Amel tertegun. Saat dia hendak mengangguk, tiba-tiba saja sebuah tangan besar menghalangi pintu.Tiba-tiba saja Andi melompat ke arah Lidya dari belakang. "Sudah malam."Lidya menengadah, bibirnya yang kering sedikit bergerak. "Kamu ....""Sudah pergi sejauh ini untuk kemari. Apa Kak Lidya nggak mau mempersilakan kami masuk dan duduk dulu? Berdiri di beranda begini, sepertinya nggak sopan."Lidya tampak tidak senang. Lalu, dia menoleh ke arah Amel yang berada di sampingnya dengan kaku. "Masuklah."Mereka mengikuti Lidya masuk ke dalam ruangan. Setelah duduk di ruang tamu, Lidya menuangkan segelas air untuk mereka.Ruangan itu ber-AC. Ventilasi udara mengeluarkan udara sejuk yang menyenangkan.Setelah beberapa saat, Amel menatap Lidya. "Bukankah kamu baru saja bilang kalau kamu ingin mencari seseorang untuk diajak menyewa bersama?"Amel ingat dengan apa yang mereka bicarakan di telepon sebelumnya, jadi dia pun bertanya pada Lidya.Lidya menundukkan kepalanya. Dia memutar-mutar kedua tan
Setelah berkata seperti itu, Andi menarik Amel dan Dimas untuk pergi.Begitu mereka keluar dari pintu, Lidya langsung mengentak-entakkan kakinya karena merasa sangat marah....Barang-barang Andi memang tidak banyak. Mereka bertiga hanya membutuhkan waktu dua puluh menit untuk berkemas dan juga mengangkutnya ke mobil.Mobil itu merupakan mobil pengangkut barang yang dipanggil oleh Andi. Sebenarnya, barang-barang Andi tidak banyak, jadi tidak memerlukan mobil sebesar itu. Namun, Andi tidak ingin terus-menerus merepotkan Amel. Itu sebabnya, dia memanggil mobil pengangkut barang tersebut. Andi juga menyuruh mereka berdua untuk pulang dan beristirahat, tidak perlu mengikutinya ke kawasan bisnis timur."Sebaiknya aku tetap ikut denganmu." Amel berpikir sebentar, tetapi masih merasa agak cemas.Andi melompat masuk ke dalam mobil pengangkut barang itu, lalu melambaikan tangannya seraya berkata, "Nggak perlu. Terlalu jauh. Bolak-balik hanya akan membuang-buang waktu. Kakak masih harus bekerja
Melihat Dimas tidak kunjung duduk, Amel pun mendongak dan bertanya dengan bingung, "Ada apa?"Dimas mengerutkan kening. Setelah merasa ragu-ragu untuk waktu yang lama, Dimas akhirnya duduk juga. Dia langsung mengambil tisu dari meja dan membentangkannya di atas meja. Setelah tisu yang tampak sedikit lebih bersih itu menutupi meja, Dimas baru menghela napas lega."Nggak ada apa-apa."Baru saja Dimas selesai bicara, nenek tua itu datang sambil membawa dua mangkuk mi ayam ke atas meja.Amel dengan cekatan langsung menuangkan saus dan sambal. Sekali lihat saja, sudah jelas bahwa dia sering datang ke tempat itu."Dulu, ayahku biasa pergi ke sekolah untuk rapat. Aku dan adikku sering datang ke rumah Nenek untuk makan mi ayam setelah selesai belajar di malam hari."Dimas tanpa sadar mengikuti gerakan Amel. Dia menggenggam sendok di tangannya dan mengayun-ayunkannya sedikit sebanyak beberapa kali.Meskipun tatapan matanya tertuju pada mi ayam, perhatian Dimas selalu tertuju pada Amel.Dimas be
"Cari toko yang cocok untuk menjual makanan penutup dan beli toko itu."...Keesokan harinya ketika Amel bangun tidur, sisi lain dari tempat tidurnya sudah kosong.Amel mengulurkan tangannya dan meraba-raba bantal Dimas. Bantal itu tidak lagi terasa hangat. Amel berpikir, Dimas pasti sudah bangun pagi-pagi sekali.Ketika bangun dan berjalan menuju dapur, Amel menemukan Dimas sudah menyiapkan sarapan untuknya.Di samping segelas susu, terdapat secarik kertas yang tertempel di sana, "Ada urusan penting di lokasi proyek. Aku pergi dulu."Amel merobek kertas itu dengan hati-hati. Kemudian, dia meminum segelas susu hangat tersebut. Hatinya terasa hangat, sehangat susu itu.Setelah sarapan, Amel pergi ke toko.Sejak manajer toko memberi komisi kepada Amel, dia tidak lagi mengganggu Amel. Akhir-akhir ini, hari-hari yang dijalani Amel di toko juga menjadi lebih baik.Satu-satunya hal yang buruk adalah hampir semua pesanan kue berikutnya di toko diserahkan kepada pembuat kue lain.Yang lainnya
"Saya bertanggung jawab untuk mengatur orang-orang di toko. Hanya saja, pembuat makanan penutup yang satu ini agak berbeda. Saya ... saya benar-benar nggak bisa mengaturnya."Manajer toko menghentikan kata-kata yang ingin diucapkannya, membuat orang lain bertanya-tanya mengenai alasan di baliknya.Petugas inspeksi itu mendengus. "Apanya yang beda? Semua orang datang untuk bekerja. Ganti saja kalau dia nggak mau bekerja. Bagaimana kalau toko nggak bisa menangani pesanan pelanggan? Siapa yang akan menanggung kerugian toko? Siapa yang harus bertanggung jawab? Kamu atau dia?""Saya akan segera meneleponnya dan memintanya kembali."Manajer toko itu menelepon Amel dengan wajah ketakutan. Namun, dia merasa sangat senang dalam hati.Setiap empat bulan sekali, tim inspeksi akan datang untuk melakukan pemeriksaan sebanyak dua sampai tiga kali. Jadwal inspeksi tersebut tidak pasti. Tentu saja, setiap inspeksi yang dilakukan akan diberitahukan kepada manajer toko. Oleh karena itu, ketika tim inspe
Melihat kembali ke belakang, Amel baru menyadarinya. Pantas saja manajer toko tidak melarangnya saat dia keluar untuk membagikan selebaran. Amel selalu merasa ada yang aneh. Ternyata ada sesuatu yang menunggunya di sini.Pelayan toko menatap Amel dengan penuh simpati. "Amel, sepertinya gajimu bulan ini akan berkurang. Kepala inspeksi nggak mudah untuk diajak berbicara."Amel menundukkan kepalanya dan terdiam. Memikirkan hal ini, Amel merasa agak marah. Hanya saja, meskipun marah, Amel juga tidak punya solusi yang baik. Namun, apakah dia harus menerima kenyataan bahwa dirinya harus menanggung kerugian ini?Dengan kesal, Amel masuk ke dalam ruang untuk membuat makanan penutup. Memikirkan kata-kata manajer toko, Amel pun menggertakkan giginya karena marah. Dia tidak bisa menunggu sampai pulang kerja.Siang itu, Dimas dan Amel membuat janji untuk makan siang bersama.Begitu keluar dari toko, Amel melihat Dimas yang bertubuh tegap itu tengah berdiri di luar pintu. Dimas sedang duduk dengan
"Aku ... aku jawab telepon dulu."Melihat tulisan 'Ibu' yang menyala di layar ponselnya, Amel buru-buru mengangkat sambungan tanpa memedulikan apa-apa lagi."Amel, kamu dan Dimas sudah pindah selama beberapa hari dan belum kembali menemui kami. Kudengar adikmu datang ke tempatmu kemarin. Bocah nakal ini nggak membuat masalah untuk Dimas, 'kan?" Suara lembut Lili terdengar dari ujung sambungan.Amel buru-buru menjelaskan kejadian kemarin malam ketika Andi datang. Dia berkata, "Bagaimana mungkin Andi menyusahkan kami? Mereka berdua berhubungan dengan baik."Berhubungan dengan baik?Dimas hanya tersenyum. Dia tidak punya komplain terhadap adik iparnya ini. Bagaimanapun juga, Andi hanyalah seorang anak kecil. Hanya saja, adik iparnya ini tampak memiliki kebencian yang dalam terhadapnya.Namun, jika dilihat dari sudut pandang Andi, Dimas bisa memahami kebenciannya.Bagaimanapun juga, Dimas sudah menikahi kakaknya dengan terburu-buru.Lili berkata dengan nada puas, "Baguslah, baguslah. Aku d
Begitu Irfan selesai menjelaskan, tak tahu kenapa Irfan merasa ada aura dingin meski tak ada suara apa pun yang terdengar dari ujung lain telepon.Memecat Amel? Sulit dipercaya bahwa ketua tim inspeksi itu bisa memikirkan hal ini. Dimas bisa membeli toko kue kecil mereka kapan saja dia mau. Memang mereka pikir siapa bosnya? Sungguh tidak masuk akal.Dimas bertanya, "Bagaimana dengan toko yang aku suruh kamu cari?""Jalan Canggar nomor 29. Tempat itu awalnya adalah sebuah toko kue dengan luas 80 meter persegi. Toko ini memiliki semua peralatan yang dibutuhkan untuk membuat makanan penutup. Di sekitarnya juga banyak orang yang lalu-lalang."Tokonya tidak terlalu besar, cocok sebagai toko awal bagi Amel. Jika Dimas ingin menyembunyikan identitasnya, sebaiknya mereka tidak mencari toko yang terlalu mewah. Toko ini adalah pilihan yang tepat.Irfan, yang sangat pandai memahami apa yang diinginkan oleh bosnya, mendapat pujian dari Dimas."Oke, aku mengerti."Suara telepon yang dimatikan pun d
Lidya sudah terbiasa bebas dan tidak ingin terlalu cepat terikat oleh pernikahan."Baiklah, kita berdua nggak perlu terburu-buru. Orang tuamu dan orang tuaku mungkin sudah nggak sabar untuk menyuruh kita menikah karena ingin segera punya cucu," kata Andi dengan nada bercanda."Kalau Amel nggak menceraikan Dimas, dia mungkin harus mengikuti Dimas kembali ke Kota Ambara. Akan sulit untuk bertemu dengannya lagi di masa depan," sahut Lidya dengan sedih ketika memikirkan hal ini.Andi memeluk bahu Lidya dengan hangat sambil berkata, "Nggak apa-apa. Kalau kamu merindukan kakakku, kita bisa mengunjunginya kapan saja. Lagi pula, sekarang masih ada aku yang menemanimu, 'kan?"Lidya menghela napas, lalu menjawab, "Bagaimana kamu bisa dibandingkan dengan kakakmu."Di sisi lain, Dimas mengambil sup penghilang rasa mabuk yang sudah dimasak, lalu dengan hati-hati menyuapkannya kepada Amel. Setelah sibuk selama setengah malam, dia baru tertidur di samping Amel dengan mengantuk.Sinar matahari pagi me
Pada saat ini, Amel sudah tersungkur di atas meja, sementara Lidya terbelalak saat melihat Dimas melangkahkan kakinya selangkah demi selangkah ke arah mereka. Lidya pun mengguncang bahu Amel dengan lembut sambil berkata, "Amel, Dimas ada di sini.""Dimas? Dia itu penipu besar. Aku nggak akan pernah peduli lagi padanya," ucap Amel dengan tidak jelas sambil memeluk botol bir.Dimas mengerutkan kening saat mendengar kata-kata Amel. Melihat Amel dalam keadaan mabuk seperti itu, Dimas merasakan sakit di dalam hatinya."Amel, aku akan mengantarmu pulang," kata Dimas dengan lembut. Amel memaksakan diri untuk mengangkat kepalanya, lalu menatap Dimas yang ada di depannya. Dimas tampak tersenyum kepadanya."Aku nggak akan pulang." Amel menegaskan setiap kata yang diucapkannya. Dia masih marah karena Dimas sudah menipunya."Ka ... kalau begitu, aku serahkan Amel kepadamu. Aku pergi dulu." Melihat suasananya tidak terlalu bagus, Lidya pun bersiap untuk menyelinap pergi. Identitas Dimas sebagai dir
Amel ragu-ragu untuk beberapa saat, sebelumnya akhirnya perlahan-lahan berkata, "Sejujurnya, aku benar-benar nggak rela berpisah dari Dimas. Sejak kami menikah sampai sekarang, dia selalu memperlakukanku dengan sangat baik. Dimas adalah contoh sempurna dari suami yang baik."Semalam saat berbaring di tempat tidur, yang terlintas di benak Amel hanyalah kebaikan Dimas kepada dirinya. Amel pun menjadi tidak begitu marah lagi."Hatiku masih sangat kacau sekarang." Amel menggaruk-garuk kepalanya dengan kesal."Jangan khawatir. Semua pasti akan ada jalan keluarnya," bujuk Lidya sambil menepuk bahu Amel dengan lembut."Bagaimana kalau kita minum bersama malam ini, untuk menenangkan suasana hati?" usul Lidya saat melihat Amel tampak bingung dan gelisah.Sebelumnya, Amel pasti akan menolaknya. Namun, sekarang Amel langsung menyetujuinya tanpa ragu. "Oke."Dimas menghabiskan sepanjang pagi di rumah sakit. Kondisi Nenek Salma juga sudah stabil. "Ayah, Ibu, Nenek, masih ada beberapa hal yang harus
"Tentu saja, Kak Amel. Aku benar-benar ingin terus bekerja di sini," kata Clara dengan tegas. Dia sudah memantapkan hati untuk tetap bekerja pada Amel."Oke." Raut wajah Amel langsung menunjukkan perasaan lega.Dimas memesan penerbangan paling awal dan bergegas pulang malam itu juga. Sesampainya di rumah sakit, Salma sudah beristirahat di bangsal."Ayah, Ibu, aku datang.""Akhirnya kamu datang juga. Nenekmu terus menyebut-nyebut namamu sepanjang malam tadi," tegur Bela.Dimas berjalan menghampiri ranjang Salma dengan perasaan bersalah. Tiba-tiba saja Dimas menyadari jika neneknya benar-benar sudah sangat tua. Entah sejak kapan, rambut neneknya sudah memutih semua.Untuk sementara waktu ini, Dimas tidak memenuhi kewajibannya sebagai cucu. Dimas juga gagal membina hubungan asmaranya. Tiba-tiba saja, Dimas merasa agak sedih dan kecewa karenanya.Salma perlahan-lahan membuka matanya. Melihat Dimas, raut wajahnya tampak agak emosional."Aku sudah pulang, Nek." Dimas menggenggam erat tangan
Amel memandangi punggung kepergian Dimas. Dia merasa agak kehilangan di dalam hati. Namun, melihat Dimas yang tampak begitu cemas, Amel merasa pasti ada suatu masalah yang sangat penting.Lantaran suasana hatinya sedang buruk, Amel tidak punya keinginan untuk mengurus toko makanan penutup miliknya. Dia memutuskan untuk sementara waktu membiarkan Clara membantunya mengawasi toko. Keesokan harinya, Amel bangun pagi-pagi sekali, lalu pergi ke toko untuk memberi penjelasan pada Clara."Tenang saja, Pak Irfan. Aku pasti akan membantu Bu Amel menjaga toko dengan baik. Aku yakin Pak Dimas dan Bu Amel pasti akan baikan nanti."Begitu memasuki pintu, Amel mendengar suara Clara. Amel pun mengerutkan kening. Dia bertanya-tanya kenapa Clara berkata seperti itu.Memikirkan kembali sikap Clara terhadap Dimas dan fakta bahwa Clara yang merupakan seorang ahli pembuat makanan penutup top, tapi bersedia merendahkan diri untuk bekerja di toko makanan penutup kecil miliknya ini, Amel pun sepertinya sudah
Amel sangat sadar diri dan tahu bahwa dia tidak layak untuk pria di depannya ini. Mungkin sekarang Dimas memiliki perasaan padanya, tetapi jika kesenjangan antara keduanya mulai ditemukan di masa depan, kemungkinan besar cinta mereka akan perlahan-lahan kandas.Dimas cukup baik, orang-orang di sekitar Dimas juga sangat baik. Amel hanya seorang wanita biasa, benar-benar tidak bisa berjalan berdampingan dengan pria itu.Saat mendengar kata cerai, Dimas langsung terbelalak kaget, lalu berkata, "Aku nggak bisa. Amel, jangan cerai, ya? Nggak peduli siapa aku, cintaku padamu nggak akan pernah berubah."Dimas menjelaskan dengan tegas kepada Amel alasan kenapa dia menyembunyikan identitasnya, tetapi Amel tampaknya tetap bertekad untuk menceraikannya."Dimas, beri aku waktu untuk menenangkan diri dulu," jawab Amel, lalu menutup pintunya lagi.Lili menepuk bahu Dimas sambil berkata, "Beri dia waktu. Bagaimanapun, ini bukan masalah sepele. Dia perlu waktu untuk menerimanya."Dimas mengangguk frus
"Kami nggak bisa menerima permintaan maaf dari seorang direktur," sahut Gibran dengan kesal.Dimas mengerutkan keningnya dan kembali menjelaskan "Ayah, Ibu, aku benar-benar nggak bermaksud menyembunyikan identitasku.""Kalau begitu, beri tahu aku kenapa kamu menyembunyikan identitasmu?" sahut Lili dengan nada dingin.Saat menghadapi Dimas, Lili masih mengalah dan ingin memberi Dimas kesempatan untuk menjelaskan. Bagaimanapun, dia masih bisa memercayai karakter Dimas.Mereka juga dapat melihat bahwa Dimas tidak memperlakukan putri mereka hanya untuk bermain-main saja."Orang yang bertanggung jawab atas cabang Grup Angkasa adalah kerabat jauh Keluarga Cahyadi. Ketika aku meninjau dana pada akhir tahun lalu, aku menemukan ada celah keuangan yang besar. Aku menyelidikinya secara pribadi dan menemukan kalau dia telah menggelapkan dana publik. Dia sering mengabaikan tugasnya dan membeli properti dalam jumlah besar. Tapi karena kurangnya bukti, aku dan asistenku menyembunyikan identitas kami
Sebagai seorang profesor, Gibran tidak pernah memperhatikan ketenaran dan kekayaan selama bertahun-tahun. Meskipun identitas asli Dimas adalah direktur Grup Angkasa, menurutnya juga tidak ada yang istimewa dengan itu."Kenapa Dimas menyembunyikan identitasnya? Mungkinkah dia sengaja melakukannya pada kita karena takut kita menginginkan uangnya?" sahut Lili dengan nada kecewa.Lili selalu merasa bahwa Dimas lumayan baik. Dia bahkan menganggap Dimas seperti putranya sendiri."Amel, karena kamu sudah memikirkannya dan memutuskan untuk menceraikannya, Ayah akan mendukung keputusanmu. Keluarga Santoso nggak peduli apakah dia direktur atau bukan," ucap Gibran. Pria itu adalah orang pertama yang mengungkapkan sikapnya."Ibu juga mendukungmu. Hal yang paling penting bagi pasangan untuk hidup bersama adalah kejujuran. Dia bahkan nggak bisa melakukan integritas paling dasar. Meskipun Keluarga Cahyadi kaya, Amel juga nggak bisa menikmatinya. Jadi, lebih baik lupakan saja," ujar Lili dengan nada k
"Aku ingin menceraikannya. Dia adalah seorang direktur Grup Angkasa, sementara aku cuma gadis biasa. Kami nggak berasal dari dunia yang sama dan nggak akan mendapatkan hasil apa pun di masa depan," tukas Amel. Ketika mengatakan itu, Amel merasa sakit yang menyesakkan datang dari hatinya.Ketika mendengar itu, Lidya langsung mengerutkan dahinya. Dia bisa melihat betapa Amel sangat mencintai Dimas."Huh ...." Lidya menghela napas panjang."Aku nggak pernah mengira bahwa hal dramatis yang ditampilkan di TV akan terjadi padaku," ujar Amel. Dia merasa sangat kecewa dengan Dimas ketika mengingat kembali berapa banyak kebohongan yang sudah dibuat pria ini untuk menipunya sejak mereka menikah."Ya, ini sudah keterlaluan. Kupikir hal semacam ini hanya ada di TV, tapi nggak disangka hal ini benar-benar terjadi di kehidupan nyata," sahut Lidya dengan emosi.Setelah suasana hati Amel sedikit stabil, Lidya mengantarnya pulang ke rumah Keluarga Santoso.Saat ini, Mirna sedang berbicara dengan Lili,