"Nggak."Ketika mendengar Amel mengatakan tidak, rasa ingin tahu yang sebelumnya berkobar di hati Lidya langsung padam. Dia bertanya, "Lalu, ada apa? Bukankah saat ini kamu sedang memupuk hubungan dengan suamimu?"Setelah mengatakan hal ini, entah kenapa Lidya teringat sikap licik Dimas ketika mereka bertemu di hari itu. Lidya merasakan rasa dingin di bagian belakang lehernya, membuatnya merinding.Amel sebenarnya enggan untuk membicarakan tentang rumah Lidya yang ada di kawasan bisnis timur. Namun, dia tetap mengumpulkan keberanian untuk membicarakan hal ini demi adiknya. Dia berkata, "Aku ingat kamu punya rumah di kawasan bisnis timur, 'kan?"Lidya mengangguk, lalu menjawab, "Ya, aku tinggal di sini sekarang. Ada apa?"Beberapa hari terakhir ini, Lidya sudah memposting iklan sewa di jejaring online. Dia berencana untuk mencari teman serumah untuk tinggal bersama. Baginya, tinggal bersama seseorang pasti lebih ramai daripada tinggal sendirian."Apakah kamu masih mencari orang untuk ti
Amel tertegun. Saat dia hendak mengangguk, tiba-tiba saja sebuah tangan besar menghalangi pintu.Tiba-tiba saja Andi melompat ke arah Lidya dari belakang. "Sudah malam."Lidya menengadah, bibirnya yang kering sedikit bergerak. "Kamu ....""Sudah pergi sejauh ini untuk kemari. Apa Kak Lidya nggak mau mempersilakan kami masuk dan duduk dulu? Berdiri di beranda begini, sepertinya nggak sopan."Lidya tampak tidak senang. Lalu, dia menoleh ke arah Amel yang berada di sampingnya dengan kaku. "Masuklah."Mereka mengikuti Lidya masuk ke dalam ruangan. Setelah duduk di ruang tamu, Lidya menuangkan segelas air untuk mereka.Ruangan itu ber-AC. Ventilasi udara mengeluarkan udara sejuk yang menyenangkan.Setelah beberapa saat, Amel menatap Lidya. "Bukankah kamu baru saja bilang kalau kamu ingin mencari seseorang untuk diajak menyewa bersama?"Amel ingat dengan apa yang mereka bicarakan di telepon sebelumnya, jadi dia pun bertanya pada Lidya.Lidya menundukkan kepalanya. Dia memutar-mutar kedua tan
Setelah berkata seperti itu, Andi menarik Amel dan Dimas untuk pergi.Begitu mereka keluar dari pintu, Lidya langsung mengentak-entakkan kakinya karena merasa sangat marah....Barang-barang Andi memang tidak banyak. Mereka bertiga hanya membutuhkan waktu dua puluh menit untuk berkemas dan juga mengangkutnya ke mobil.Mobil itu merupakan mobil pengangkut barang yang dipanggil oleh Andi. Sebenarnya, barang-barang Andi tidak banyak, jadi tidak memerlukan mobil sebesar itu. Namun, Andi tidak ingin terus-menerus merepotkan Amel. Itu sebabnya, dia memanggil mobil pengangkut barang tersebut. Andi juga menyuruh mereka berdua untuk pulang dan beristirahat, tidak perlu mengikutinya ke kawasan bisnis timur."Sebaiknya aku tetap ikut denganmu." Amel berpikir sebentar, tetapi masih merasa agak cemas.Andi melompat masuk ke dalam mobil pengangkut barang itu, lalu melambaikan tangannya seraya berkata, "Nggak perlu. Terlalu jauh. Bolak-balik hanya akan membuang-buang waktu. Kakak masih harus bekerja
Melihat Dimas tidak kunjung duduk, Amel pun mendongak dan bertanya dengan bingung, "Ada apa?"Dimas mengerutkan kening. Setelah merasa ragu-ragu untuk waktu yang lama, Dimas akhirnya duduk juga. Dia langsung mengambil tisu dari meja dan membentangkannya di atas meja. Setelah tisu yang tampak sedikit lebih bersih itu menutupi meja, Dimas baru menghela napas lega."Nggak ada apa-apa."Baru saja Dimas selesai bicara, nenek tua itu datang sambil membawa dua mangkuk mi ayam ke atas meja.Amel dengan cekatan langsung menuangkan saus dan sambal. Sekali lihat saja, sudah jelas bahwa dia sering datang ke tempat itu."Dulu, ayahku biasa pergi ke sekolah untuk rapat. Aku dan adikku sering datang ke rumah Nenek untuk makan mi ayam setelah selesai belajar di malam hari."Dimas tanpa sadar mengikuti gerakan Amel. Dia menggenggam sendok di tangannya dan mengayun-ayunkannya sedikit sebanyak beberapa kali.Meskipun tatapan matanya tertuju pada mi ayam, perhatian Dimas selalu tertuju pada Amel.Dimas be
"Cari toko yang cocok untuk menjual makanan penutup dan beli toko itu."...Keesokan harinya ketika Amel bangun tidur, sisi lain dari tempat tidurnya sudah kosong.Amel mengulurkan tangannya dan meraba-raba bantal Dimas. Bantal itu tidak lagi terasa hangat. Amel berpikir, Dimas pasti sudah bangun pagi-pagi sekali.Ketika bangun dan berjalan menuju dapur, Amel menemukan Dimas sudah menyiapkan sarapan untuknya.Di samping segelas susu, terdapat secarik kertas yang tertempel di sana, "Ada urusan penting di lokasi proyek. Aku pergi dulu."Amel merobek kertas itu dengan hati-hati. Kemudian, dia meminum segelas susu hangat tersebut. Hatinya terasa hangat, sehangat susu itu.Setelah sarapan, Amel pergi ke toko.Sejak manajer toko memberi komisi kepada Amel, dia tidak lagi mengganggu Amel. Akhir-akhir ini, hari-hari yang dijalani Amel di toko juga menjadi lebih baik.Satu-satunya hal yang buruk adalah hampir semua pesanan kue berikutnya di toko diserahkan kepada pembuat kue lain.Yang lainnya
"Saya bertanggung jawab untuk mengatur orang-orang di toko. Hanya saja, pembuat makanan penutup yang satu ini agak berbeda. Saya ... saya benar-benar nggak bisa mengaturnya."Manajer toko menghentikan kata-kata yang ingin diucapkannya, membuat orang lain bertanya-tanya mengenai alasan di baliknya.Petugas inspeksi itu mendengus. "Apanya yang beda? Semua orang datang untuk bekerja. Ganti saja kalau dia nggak mau bekerja. Bagaimana kalau toko nggak bisa menangani pesanan pelanggan? Siapa yang akan menanggung kerugian toko? Siapa yang harus bertanggung jawab? Kamu atau dia?""Saya akan segera meneleponnya dan memintanya kembali."Manajer toko itu menelepon Amel dengan wajah ketakutan. Namun, dia merasa sangat senang dalam hati.Setiap empat bulan sekali, tim inspeksi akan datang untuk melakukan pemeriksaan sebanyak dua sampai tiga kali. Jadwal inspeksi tersebut tidak pasti. Tentu saja, setiap inspeksi yang dilakukan akan diberitahukan kepada manajer toko. Oleh karena itu, ketika tim inspe
Melihat kembali ke belakang, Amel baru menyadarinya. Pantas saja manajer toko tidak melarangnya saat dia keluar untuk membagikan selebaran. Amel selalu merasa ada yang aneh. Ternyata ada sesuatu yang menunggunya di sini.Pelayan toko menatap Amel dengan penuh simpati. "Amel, sepertinya gajimu bulan ini akan berkurang. Kepala inspeksi nggak mudah untuk diajak berbicara."Amel menundukkan kepalanya dan terdiam. Memikirkan hal ini, Amel merasa agak marah. Hanya saja, meskipun marah, Amel juga tidak punya solusi yang baik. Namun, apakah dia harus menerima kenyataan bahwa dirinya harus menanggung kerugian ini?Dengan kesal, Amel masuk ke dalam ruang untuk membuat makanan penutup. Memikirkan kata-kata manajer toko, Amel pun menggertakkan giginya karena marah. Dia tidak bisa menunggu sampai pulang kerja.Siang itu, Dimas dan Amel membuat janji untuk makan siang bersama.Begitu keluar dari toko, Amel melihat Dimas yang bertubuh tegap itu tengah berdiri di luar pintu. Dimas sedang duduk dengan
"Aku ... aku jawab telepon dulu."Melihat tulisan 'Ibu' yang menyala di layar ponselnya, Amel buru-buru mengangkat sambungan tanpa memedulikan apa-apa lagi."Amel, kamu dan Dimas sudah pindah selama beberapa hari dan belum kembali menemui kami. Kudengar adikmu datang ke tempatmu kemarin. Bocah nakal ini nggak membuat masalah untuk Dimas, 'kan?" Suara lembut Lili terdengar dari ujung sambungan.Amel buru-buru menjelaskan kejadian kemarin malam ketika Andi datang. Dia berkata, "Bagaimana mungkin Andi menyusahkan kami? Mereka berdua berhubungan dengan baik."Berhubungan dengan baik?Dimas hanya tersenyum. Dia tidak punya komplain terhadap adik iparnya ini. Bagaimanapun juga, Andi hanyalah seorang anak kecil. Hanya saja, adik iparnya ini tampak memiliki kebencian yang dalam terhadapnya.Namun, jika dilihat dari sudut pandang Andi, Dimas bisa memahami kebenciannya.Bagaimanapun juga, Dimas sudah menikahi kakaknya dengan terburu-buru.Lili berkata dengan nada puas, "Baguslah, baguslah. Aku d