"Ya, memang benar. Sekarang, aku hanya berharap mereka berdua bisa memupuk perasaan mereka dan segera menikah. Jadi, aku bisa segera menggendong cucu." Mirna sudah memikirkan tentang menggendong cucu, padahal Lidya dan Bima masih belum menikah."Jangan terlalu buru-buru. Mereka masih muda. Setelah menikah, mereka bisa fokus pada karier dan menikmati waktu berdua dulu. Belum terlambat untuk memiliki anak.""Lili, kamu pandai bicara saat menasihatiku. Beberapa waktu yang lalu, bukankah kamu juga mendesak Amel untuk segera punya anak? Aku rasa kamu takut kalau aku menggendong cucu duluan dibanding dirimu.""Nggak, bukan begitu. Anak dan cucu punya rezekinya masing-masing. Mereka bisa punya anak kapan pun mereka mau. Aku nggak ingin memberi terlalu banyak tekanan pada mereka.""Sudahlah, jangan iri ya kalau nanti melihatku menggendong cucu.""Apa kamu nggak merasa kalau sekarang masih terlalu dini bagimu untuk berkata seperti itu? Sebaiknya, tunggu sampai Lidya menikah, baru kamu bisa meny
Lidya masih bergeming. Dia kembali meminum birnya. Amel merasa jika Lidya agak aneh hari ini. Bukankah seharusnya Lidya senang karena kencan butanya berhasil? Namun, Lidya justru terlihat seperti sedang menghadapi masalah."Amel, bagaimana perasaanmu saat pertama kali menikah dengan pria yang kamu temui saat kencan buta ini?" Setelah Lidya menghabiskan sebotol bir, wajahnya tampak memerah. Tiba-tiba saja dia mengangkat kepalanya dan bertanya dengan rasa ingin tahu kepada Amel.Amel langsung tertegun mendengar pertanyaan tersebut. "Aku ... aku sepertinya nggak punya perasaan khusus. Aku hanya merasa nggak akan sendirian lagi dalam menjalani hidup ini. Juga, muncul rasa memiliki di dalam hatiku."Amel berpikir sejenak sebelum menjawab dengan serius."Ah, Amel. Kamu juga tahu sendiri kalau aku orang yang selalu mengejar kebebasan. Aku menganggap perasaan lebih penting dari segalanya. Sangat sulit bagiku untuk membayangkan seperti apa menikah tanpa perasaan." Saat Lidya mengatakan semua it
"Sayang, lanjutkan tidurmu.""Nggak. Aku mau menemui Lidya." Amel buru-buru bangun dari tempat tidur dan membuka pintu kamar sebelah. Betapa terkejutnya dia saat melihat kamar tersebut sudah kosong."Hei, mana Lidya? Apa mungkin dia sudah pergi pagi-pagi sekali?" gumam Amel dengan bingung."Mungkin saja. Kamu bisa meneleponnya untuk bertanya kepadanya," kata Dimas sambil menyerahkan ponselnya.Amel pun buru-buru menelepon Lidya. "Lidya, kamu pergi ke mana pagi-pagi sekali?""Ibuku meneleponku pagi-pagi tadi. Dia menyuruhku pulang sebentar. Aku lihat kalian berdua masih belum bangun. Jadi, kupikir aku akan meneleponmu waktu sampai di rumah nanti.""Ternyata begitu. Oke, hati-hati di jalan. Aku tutup dulu teleponnya," kata Amel sebelum menutup teleponnya."Sayang, aku akan membelikanmu sarapan." Setelah Dimas berkata seperti itu, bel di pintu mengalun merdu.Dimas pun berjalan menuju pintu untuk membukanya."Kak, pekerjaanku sudah selesai. Aku datang untuk menemuimu," kata Martha sambil
"Baiklah."Setelah Amel mengganti pakaiannya, dia keluar dari kamar tidur bersama Dimas."Kak Amel, ini pertama kalinya aku bertemu denganmu. Aku nggak tahu apa yang kamu suka, jadi aku membelikanmu satu set produk perawatan kulit. Aku harap kamu menyukainya." Martha dengan cepat mengeluarkan hadiah yang dia bawa.Amel buru-buru menerima satu set produk perawatan kulit itu, lalu berkata, "Terima kasih. Kamu jadi repot."Rangkaian produk perawatan kulit ini tidak mungkin berharga di bawah 16 juta."Aku nggak tahu sebelumnya kalau kamu akan datang, jadi aku nggak menyiapkan apa-apa." Amel menggigit bibirnya dengan malu. Dia merasa sungkan karena sudah menerima hadiah dari Martha, tapi dia tidak menyiapkan hadiah sebagai balasannya."Kak Amel, kamu nggak perlu menyiapkan apa pun. Kak Dimas selalu menjagaku sejak aku masih kecil, jadi wajar kalau aku datang menemui kalian dengan membelikan beberapa barang," ujar Martha menenangkan Amel."Martha, kamu suka makan apa? Aku akan pergi ke pasar
"Ada apa denganmu akhir-akhir ini? Kenapa kamu selalu datang membawakanku makanan?" tanya Amel dengan bingung."Nenek membuat makanan enak hari ini. Jadi, Ayah dan Ibu memintaku untuk membawakanmu sedikit," kata Andi sambil mengerutkan bibirnya."Jadi begitu. Coba aku lihat makanan apa itu." Begitu Amel membuka kotak makan, aroma makanan yang harum langsung menyergap hidungnya."Wah, iga panggang, ayam kola dan ayam rebus." Amel tidak bisa menahan diri untuk menelan ludah. Semua ini adalah makanan favoritnya. Ketika dia hendak mengundang Clara untuk makan bersama setelah menyelesaikan pekerjaan, dia menyadari bahwa Clara sudah menghilang. Sepertinya Clara sudah pergi untuk membeli makanan."Kak, aku berencana untuk pindah dari tempat Kak Lidya," kata Andi dengan berat hati."Aku tahu. Lidya sudah memberitahuku kemarin," jawab Amel sambil makan.Andi mengerutkan kening, lalu bertanya, "Lalu, apa lagi yang dia katakan padamu?""Nggak ada. Lidya sudah punya pasangan sekarang, kamu seharus
"Pak Dimas, kita melakukan semuanya dengan sangat tegas sekarang. Apa hal ini nggak akan menimbulkan kecurigaannya?""Saat ini, dia sudah sangat sibuk dengan proyek pembangunan pusat perbelanjaan. Dia nggak akan punya banyak waktu untuk memikirkan hal lain.""Aku mengerti. Pak Dimas, aku akan melanjutkan pekerjaan dulu."Di sisi lain, Amel mengobrol sebentar dengan orang-orang di dalam grup sebelum kembali bekerja. Saat sedang menata etalase, panggilan telepon dari Lili tiba-tiba masuk."Amel, ada masalah, ada masalah. Tolong segera datang ke rumah sakit," kata Lili sambil terisak di telepon."Bu, tenangkan dirimu. Beri tahu aku apa yang terjadi.""Amel, nenekmu masuk rumah sakit. Kata dokter, ada masalah dengan jantungnya." Saat mengatakan ini, Lili menangis lebih keras."Bukankah dokter sudah mengatakan sebelumnya kalau Nenek minum obat, dia akan baik-baik saja? Kenapa bisa tiba-tiba masuk rumah sakit?""Beberapa waktu lalu, Kakek dan nenekmu pergi jalan-jalan, 'kan? Mungkin dia kele
"Bu, Amel, biarkan dokter membawa Nenek ke bangsal dulu. Jangan berdiri mengalangi di sini," ingat Dimas. Kedua wanita itu pun melepaskan tangan mereka.Wati didorong masuk ke unit perawatan intensif."Bu, jangan menangis lagi. Bukankah Nenek sudah keluar dari bahaya sekarang?" Amel menahan air matanya sambil menyeka air mata di wajah Lili."Halo, keluarga Bu Wati. Aku adalah dokter yang merawatnya. Silakan ikut ke kantorku." Dokter memanggil mereka ke kantor.Lili dan Amel tiba-tiba merasa cemas, seakan merasakan firasat buruk."Kondisi pasien agak rumit. Saat ini ada dua pilihan pengobatan. Yang pertama adalah pengobatan konservatif, di mana pasien hanya bisa berbaring di tempat tidur. Pilihan lainnya adalah melakukan operasi bypass jantung. Tapi, risiko operasi ini sangat tinggi," kata dokter dengan serius sambil menutup pintu kantornya."Kalau operasinya berjalan lancar, apakah nenekku nggak akan merasakan sakit seperti sekarang?""Ya. Kalau operasi dilakukan, kondisi pasien akan l
Dimas baru saja membuka mulutnya, tapi Amel dan Lili membuka pintu, lalu berjalan keluar."Dimas, apa yang kamu lakukan di depan pintu?" tanya Lili dengan bingung."Aku bertemu dengan seorang kenalan lama. Ibu, Sayang, izinkan aku memperkenalkan kalian. Ini adalah Liana Hariono. Dia mantan tetanggaku, sekaligus teman bermain masa kecilku.""Halo, Nona Liana. Namaku Amel, aku adalah istrinya Dimas.""Halo. Dimas, kamu nggak mengatakan apa-apa tentang pernikahanmu. Aku harusnya memberimu hadiah!""Apakah ada anggota keluargamu yang sedang sakit di rumah sakit ini?" tanya Liana lagi.Dimas mengangguk, lalu menjawab, "Nenek istriku menderita penyakit jantung. Dia sedang dirawat di rumah sakit ini."Begitu Dimas selesai berbicara, dokter yang merawat Wati berlari ke arah Liana, kemudian berkata, "Dokter Liana, aku sedang mencarimu.""Ada apa mencariku?""Dokter Liana, aku mencarimu karena masalah pasien di bangsal ini. Kondisinya saat ini agak rumit, ditambah dengan usianya yang sudah tua,