"Bibi Ningsih, dia adalah suamiku." Amel memperkenalkan Dimas dengan bangga."Amel, kamu sudah menikah ternyata. Kenapa aku nggak mendengar kabar apa pun dari kakek dan nenekmu?""Bibi Ningsih, aku baru saja menikah, nggak ada pesta besar-besaran juga. Kami berdua sibuk dengan pekerjaan kami, jadi kami hanya mendaftarkan pernikahan di Kantor Catatan Sipil saja," jelas Amel sambil tersenyum."Ternyata begitu.""Bibi Ningsih, silakan lanjutkan pekerjaan kalian, aku akan membawanya berkeliling." Setelah mengatakan itu, Amel meraih tangan Dimas, lalu membawa pria itu pergi.Namun, Dimas tiba-tiba menghentikan langkahnya, lalu bertanya dengan tatapan serius, "Sayang, bagaimana kalau kita mempersiapkan pesta pernikahan saat kita kembali?"Amel pun bertanya dengan tatapan bingung, "Kenapa kamu tiba-tiba ingin mengadakan pesta pernikahan?""Aku pikir ini benar-benar nggak adil bagimu. Semua wanita pasti berharap untuk mengadakan pesta pernikahan yang megah. Kita berdua menikah dengan sedikit t
Begitu Lidya kembali ke kamar tidurnya, dia menerima telepon dari Andi."Salah paham, salah paham!" Begitu panggilan tersambung, suara Andi terdengar dari ujung lain telepon."Ada apa? Salah paham apa?" Lidya tiba-tiba mendapat firasat buruk."Dimas nggak selingkuh ataupun mengkhianati kakakku. Wanita yang dia ajak berbelanja hari itu ternyata adalah sepupunya. Kita yang sudah salah paham." Ketika mendengar Andi memberitahunya berita ini, Lidya seakan membeku."Jadi, Dimas nggak melakukan kesalahan apa pun pada Amel?" tanya Lidya dengan suara sedikit gemetar."Ya, itu semua salahku. Aku nggak menyelidikinya dengan jelas sebelumnya. Kita sudah salah paham padanya," kata Andi dengan penuh penyesalan. Dia seharusnya menyelidiki semuanya dengan jelas sebelum mengatakan apa-apa. Sekarang semuanya jadi kacau. Kalau keduanya benar-benar bercerai karena dirinya, Andi mungkin akan merasa bersalah seumur hidupnya."Gawat.""Ada apa?""Aku tutup dulu teleponnya, aku harus bicara dengan ibuku." Se
"Paman, Bibi, kalian datang rupanya. Kak Amel memberitahuku kemarin lusa kalau ada sesuatu yang harus dia lakukan. Dia memintaku menjaga toko selama beberapa hari. Dia sudah dua hari ini nggak datang ke sini," jawab Clara dengan jujur."Lihat apa yang aku katakan. Sekarang kalian sudah percaya, 'kan? Amel sangat mementingkan toko ini, bagaimana mungkin dia mengabaikannya kalau bukan karena ada sesuatu yang terjadi?" kata Mirna lagi.Kali ini, Gibran dan Lili sepertinya memercayai apa yang dikatakan Mirna. Lili dan Mirna juga tumbuh bersama, jadi dia juga cukup mengenal Mirna. Meskipun Mirna terkadang sangat kasar, wanita ini tidak akan pernah berbicara omong kosong."Cepat ... cepat telepon Amel untuk mencari tahu apa yang terjadi. Tanyakan di mana dia berada sekarang," kata Lili dengan suara bergetar sambil menatap Gibran tanpa daya. Tadi Lili keluar dengan terburu-buru, jadi bahkan lupa membawa ponselnya.Gibran mencari nomor telepon Amel dengan wajah serius, lalu langsung meneleponn
Ketika Amel dan Dimas kembali bersama Tuty dan Dharma, mereka melihat semua orang sedang duduk di sofa dengan wajah muram. Suasana di ruang tamu tampak sangat suram."Ayah, Ibu, aku dan Dimas menjemput Kakek dan Nenek kembali," kata Amel sambil tersenyum.Ketika mereka melihat Tuty dan Dharma, ekspresi mereka sedikit melembut."Kenapa kamu nggak bilang sebelumnya kalau kamu menjemput Kakek dan Nenek ke sini? Kami bisa turun untuk menunggu," tegur Lili sambil melirik Amel."Aku ingin memberi kejutan untuk Ayah dan Ibu."Lili dan Gibran segera mempersilakan kedua orang tua itu untuk duduk di sofa, lalu berujar, "Ayah, Ibu, kalian pasti lelah setelah melakukan perjalanan ke sini.""Kami nggak lelah, kok," kata Tuty sambil tersenyum ramah."Aku akan bereskan kamar untuk kalian." Lili berdiri, hendak membersihkan kamar, tapi dihentikan oleh Tuty."Nggak perlu, ayahmu merasa sedikit mabuk kendaraan, jadi aku akan mengajaknya jalan-jalan dulu.""Nenek, aku akan menemani kalian." Amel merasa k
Lili dan Gibran melihat bahwa Dimas terlihat serius dan tidak seperti sedang berbohong. Mereka pun sontak kembali ragu."Apakah semua yang kamu katakan itu benar?""Kalau aku benar-benar berbuat salah pada Amel, bagaimana mungkin aku masih berani berdiri di depan kalian dan berhadapan dengan Ayah dan Ibu? Aku bersumpah, kalau suatu hari nanti aku berani berbuat salah pada Amel, kelak aku akan mati dengan mengenaskan," ucap Dimas sambil bersumpah untuk mengungkapkan perasaannya."Andi yang bersalah padamu karena dia nggak mengetahui kejelasannya dan menyebabkan keributan ini," sahut Amel. Dia tak sanggup menahan diri untuk mengeluh pada Andi."Bukankah ini juga karena aku takut kalau Kakak akan dirugikan?" gumam Andi dengan sedih."Ternyata ini semua salah paham. Baguslah kalau kalian berdua baik-baik saja. Kalau suatu hari terjadi sesuatu, kalian harus komunikasi satu sama lain dan membicarakan semuanya. Untuk bisa bersama itu nggak mudah, jadi kalian juga nggak boleh bercerai dengan m
Ibu dan anak itu mulai saling menyalahkan satu sama lain."Nggak, menurutku masalah ini nggak sesederhana itu. Ibu nggak bisa melihat Amel menderita," sahut Mirna setelah berpikir sejenak dan merasa bahwa Dimas bukanlah orang yang mudah."Bu, menurutku Ibu harus berhenti terlalu khawatir," jawab Lidya. Begitu mendengar perkataan anak perempuannya itu, Mirna mengambil bantal dan melemparkannya ke arah Lidya."Dasar gadis nakal, bagaimana kamu bisa bicara seperti itu padaku? Kuberi tahu ya, sore hari ini kamu harus pergi kencan buta, kalau nggak jangan panggil aku 'ibu' lagi. Ibu akan mengirimkanmu alamat kencan buta dan juga foto pria itu sekarang," ucap Mirna sambil mengeluarkan ponselnya dan mengirimkannya pada Lidya.Lidya duduk terdiam dengan ekspresi tidak senang."Kakek, Nenek, malam ini kalian bisa tidur di kamar yang aku tempati sebelumnya," kata Amel. Dia dan Gibran sudah selesai berkemas."Ya. Aku dan kakekmu bisa tinggal di mana saja.""Bu, malam ini aku akan mengajak kalian
"Ini handuknya," kata Amel setelah meletakkan laptopnya ke samping, kemudian bangkit untuk mengambil handuk mandi dari lemari dan membawanya ke pintu kamar mandi.Amel khawatir dia akan melihat sesuatu yang tidak seharusnya dia lihat, jadi dia memalingkan wajahnya. Dimas menjulurkan kepalanya dan tidak bisa menahan senyum ketika melihat tampang Amel."Kenapa? Kita sudah menjadi pasangan yang sah, apa kamu masih malu?" canda Dimas."Ini untukmu, cepat ambil.""Sayang, terakhir kali kamu nggak sengaja memperlihatkan dirimu di hadapanku, kenapa kamu nggak memperlihatkannya lagi," goda Dimas. Dia sengaja menyebutkan hal yang terjadi beberapa hari yang lalu.Wajah Amel menjadi lebih merah, dia berbalik dan menatap Dimas dengan marah sambil menolak, "Nggak mau."Setelah berkata demikian, Amel menyadari bahwa Dimas sedang berdiri di depannya dalam keadaan telanjang. Amel merasa bahwa kepalanya berdenyut sejenak, lalu dia segera menutup matanya dan membalikkan badan."Kamu .... Perhatikan diri
"Astaga, bagaimana aku bisa keluar dan bertemu orang-orang dengan tampang seperti ini?" gumam Amel saat melihat ada beberapa bekas ciuman di lehernya. Dia akan merasa sangat malu jika orang-orang di luar melihatnya seperti ini.Amel buru-buru mandi, kemudian mencari kemeja berkerah tinggi di lemari. Memakai kemeja ini bisa menutupi cupang yang ada di lehernya, tetapi Amel merasa panas dan berkeringat setelah memakainya selama setengah menit.Jika Amel mengenakan kemeja berkerah tinggi di musim kemarau, dia mungkin akan terkena sengatan panas, jadi Amel tidak punya pilihan selain melepasnya."Sayang, aku sudah beli makan siang. Ayo kita makan!" panggil Dimas setelah meletakkan makan siang yang dibelinya di atas meja. Namun, Amel menghampirinya dengan marah."Ada apa? Apakah ada orang yang membuatmu marah lagi?" tanya Dimas tanpa mengetahui alasannya."Lihat apa yang sudah kamu lakukan, bagaimana aku bisa keluar seperti ini?" tanya Amel dengan kesal sambil menunjuk ke lehernya."Maaf, se