"Pak Kelvin terlalu memuji. Kalian yang sudah mengalah pada saya."Setiap kali menghadapi mitra bisnis, Dimas selalu menunjukkan sikap yang ramah dan rendah hati, tidak peduli bagaimanapun sifat mitra bisnis tersebut.Hal ini juga merupakan alasan penting kenapa dia bisa membuat industri Grup Angkasa berkembang selangkah demi selangkah.Kelvin tertawa, lalu berkata, "Kami orang tua biasanya lebih lemah. Bagaimana bisa kami dibandingkan dengan kemampuan minum kalian yang masih muda? Aku nggak menyangka Pak Dimas nggak hanya masih muda, tapi juga sangat rendah hati. Nggak banyak anak muda sepertimu. Aku lebih tua darimu, jadi aku akan mengambil kesempatan ini. Ayo, Pak Dimas, izinkan aku bersulang denganmu."Melihat ini, Dimas tidak menghentikannya. Dia mengangkat alisnya sedikit, lalu menuangkan segelas minuman untuk dirinya sendiri.Orang lainnya sudah pingsan karena minum banyak. Dimas menggosok bagian bawah cangkir dengan ujung jarinya, lalu bertanya pada Kelvin, "Saya ingat Pak Kelv
Setelah mengatakan itu, Dimas berdiri, lalu berjalan pergi.Dengan pencahayaan lampu yang redup, ekspresi Dimas tidak bisa terlihat jelas. Kelvin memegang kartu nama di tangannya dengan ekspresi tertegun. Saat dia kembali tersadar, Dimas sudah pergi.Jadi ... begini saja?Kelvin masih merasa agak tidak percaya. Dia ingin berkomunikasi lebih jauh dengan orang dari kantor pusat ini. Jika dia bisa menjalin hubungan dengan kantor pusat, dia tidak perlu berurusan dengan Dio lagi.Namun, cara pemuda ini menghadapinya sungguh di luar dugaan.Pemuda ini hanya memberinya kartu nama saja?Begitu Dimas keluar, Irfan sudah lama menunggu di luar pintu.Melihat ketidakpedulian di wajah bosnya, Irfan tidak bisa menahan senyumnya saat berkata, "Bos, Anda memang luar biasa. Anda mencoba memancing ikan dengan umpan. Saya mengerti."Daripada mencoba mengorek rahasia dari orang lain, akan lebih baik untuk menunggu mereka datang atas inisiatifnya sendiri. Trik ini namanya memegang kendali.Namun, Dimas ber
Ujung hidung mereka saling bersentuhan.Napas keduanya saling bertemu.Amel tiba-tiba langsung tersadar. Dia menatap Dimas dengan mata terbelalak dan jantung yang berdebar kencang.Sejak keduanya menikah, meski mereka bertemu setiap hari, berbicara tanpa henti serta saling menatap wajah satu sama lain, mereka belum pernah berada begitu dekat. Namun, kali ini mereka sangat dekat hingga Amel bisa mencium napas pria itu, juga melihat setiap sudut wajahnya.Wajah Dimas bisa dibilang sangat sempurna.Alisnya hitam berkilau, tekstur wajahnya sesuai dengan sikapnya yang rapi. Ujung hidungnya mancung, matanya tegas, bibir merahnya tipis dan berkilau. Sementara wajahnya bukan wajah tampan yang populer sekarang ini, melainkan wajah tampan dengan ketegasan dan kelembutan, juga memancarkan sedikit aura tajam.Wajah Dimas sangat indah hingga membuat orang takjub.Suhu udara seakan terus meningkat. Amel tidak bisa tidak tersipu.Dia bahkan lupa mendorong pria itu menjauh."Sayang, kamu sangat cantik
"Oke. Ada lemon di lemari es. Lemon bisa meredakan mabuk. Aku sudah menyiapkan beberapa makanan penutup juga untukmu. Kamu bisa memakannya untuk mengisi perutmu."Amel berlari menuju dapur seolah sedang melarikan diri.Saat melihat wanita itu sibuk di dapur, Dimas menghela napas lega. Dia tiba-tiba merasa frustrasi.Dia adalah pemimpin Grup Angkasa yang terhormat. Berapa banyak wanita yang mengantre untuk naik ke tempat tidurnya? Bukan hanya karena posisinya, penampilannya saja sudah cukup untuk menarik perhatian orang. Sayangnya, sebagai istri sahnya, tidak tahu apakah karena Amel belum tercerahkan atau karena dia kurang menarik, setiap kali dia ingin melangkah lebih jauh, Amel selalu menahannya dengan bersikap menyedihkan.Setiap saat, mereka hanya tinggal selangkah saja.Namun, Dimas akan dengan senang hati menahan dirinya.Menunggu hingga Amel yakin, lalu memercayakan diri sepenuhnya padanya adalah hal yang sangat membahagiakan.Amel tampak menjadi orang yang berbeda ketika dia mem
"Hm, terong dan kacang." Amel tidak menyangka Dimas akan bertanya sedetail itu. Jadi, dia menyebutkan sesuatu secara asal karena rasa bersalah.Namun, Dimas mengerutkan kening saat mendengarnya.Meskipun keduanya belum lama tinggal bersama, dia merasa cukup mengenal kebiasaan Amel.Amel tidak terlalu menyukai kacang. Menurut cerita wanita ini, Amel makan kacang mentah saat masih kecil, sehingga dia keracunan makanan.Dimas masih mengingat ini dengan sangat jelas. Apakah gadis kecil ini tidak makan malam?"Apa kamu sudah kenyang? Masih lapar nggak?" Dimas meletakkan piring, lalu meneguk air lagi."Aku nggak lapar."Begitu Amel selesai berbicara, perutnya keroncongan.Keduanya saling memandang."Apakah kamu belum makan malam sama sekali?" tanya Dimas dengan ekspresi serius sambil mengerutkan kening.Amel tidak pandai berbohong. Jadi, dia menjawab dengan rasa bersalah, "Uh, aku pulang agak malam, jadi aku nggak makan."Amel sibuk sampai-sampai tidak punya waktu untuk makan malam, tapi mas
"Dimas, cobalah ini."Amel memesan dua porsi nasi goreng, minuman manis, juga beberapa hidangan panggang.Penjual memberi banyak bubuk jinten sesuai permintaan. Aroma daging panggang yang harum langsung menusuk hidung, membuat Amel hampir mengeluarkan air liur karena lapar.Amel mengangkat segenggam tusuk daging, lalu menyodorkannya ke depan mulut Dimas sambil berkata, "Daging panggang ini enak sekali, cobalah!"Dimas melihat daging tusuk yang agak berminyak itu. Ada taburan jinten dan merica yang membuatnya makin menarik. Selain itu, ada sedikit minyak yang menetes dari tusukan bambu. Amel membungkus tusukan dengan tisu untuknya.Dimas tidak bisa tidak memikirkan steik serta kue-kue kelas atas yang dia makan sebelumnya. Saat melihat lagi tusukan daging di depannya, dia tiba-tiba merasa ragu untuk mencobanya.Namun, Amel sudah memintanya untuk mencoba. Dia tidak bisa menolak.Ya sudah, cicipi saja.Dimas tersenyum tipis, lalu menggigit daging itu.Hanya saja, yang tidak dia duga adalah
Perekonomian pedagang kaki lima kecil seperti ini memang patut untuk direnungkan. Mereka bisa mendapatkan referensi.Memanfaatkan kondisi saat tidak banyak orang yang membeli, Dimas tidak bisa menahan diri untuk bertanya pada penjual, "Bos, aku ingin bertanya, berapa keuntungan tahunanmu?"Penjual itu menyeringai riang sambil menjawab, "Kadang-kadang lebih dari dua miliar. Kadang juga bisa sampai delapan miliar."Omset sebuah kedai kecil ini begitu tinggi hingga di luar pemahaman Dimas."Berapa jam kamu membuka kedainya?""Setiap hari aku buka dari jam empat sore sampai jam empat pagi. Jadi, dua belas jam sehari. Aku nggak seperti anak muda seperti kalian, kalian lebih suka duduk di kantor!" kata penjual itu sambil tersenyum. Dia terus fokus dengan jualannya.Dimas tersenyum sopan, tidak ingin mengganggu penjual itu lagi. Dia menanyakan beberapa pertanyaan lagi sebelum berhenti bertanya. Hanya saja, mendengar kata-kata penjual, Dimas jadi merenung. Jika dia bisa menggabungkan semua pem
Dimas tidak mengetahui pemikiran Amel. Dia lanjut berkata, "Lalu, setelah memperhatikan lingkungan sekitar, di sana harusnya adalah jalanan hijau. Tapi tanaman di sekitarnya hampir nggak tumbuh sama sekali. Selain itu, toko-toko juga berkumpul jadi satu, sehingga memajukan sebagian dari ekonomi perorangan dan membuatnya menjadi pujasera seperti ini.""Makanya, itu bukan hal yang perlu kamu khawatirkan." Amel menghela napas, lalu berkata sambil menatap Dimas dengan tidak berdaya, "Seberapa banyak pun uang yang dihasilkan oleh orang lain, kita cukup melakukan pekerjaan kita dengan baik. Aku tahu kalau soal orang tuaku yang menyuruh kita untuk membeli rumah cukup membebani, tapi kita bisa pelan-pelan. Jadi, kamu jangan berpikir untuk ganti profesi, oke?"Mendengar itu, Dimas kebingungan.Ganti profesi? Loh? Kapan dia pernah bilang mau ganti profesi?Jangan-jangan, istrinya mengira bahwa dirinya ingin ganti profesi jadi pemilik toko barbeku?Ekspresi Dimas pun menjadi muram karena membayan