Setelah melakukan perbincangan panjang semalam suntuk. Akhirnya, Ardhan pun memilih untuk tidur di rumah Kakek Heraldo. Ia tidak menghubungi Nara atas kepergiannya untuk sesaat. Sebab, ia merasa bahwa dirinya memang perlu menghindar untuk sementara waktu.Namun, masalah yang baru tidak membuatnya melupakan masalah lama. Ia tetap akan mengupas tuntas masalah tersebut.Sampai pada pagi harinya ...."Kek, aku mau pergi sekarang!" ujar Ardhan kepada Kakek Heraldo."Sarapannya belum habis!" sahut Kakek Heraldo. Kala itu mereka sedang berada di ruang makan. Mereka tengah menikmati sarapan bersama, karena jarang-jarang mereka begini."Aku sudah selesai, Kek. Sekarang masih ada banyak urusan yang perlu diurus."Kakek Heraldo paham betul dengan kesibukan cucunya itu. Ia tidak ingin menganggu, tetapi ...."Kalau sudah pasti dia mengandung anakmu, nanti kabari Kakek, ya!" pesan Kakek Heraldo dengan wajah tersenyum.Ardhan pun menanggapinya dengan santai. "Iya, Kek. Nanti, ya. Sekarang aku harus
"Mas, kamu pergi ke mana saja semalaman?" tanya Nara dengan santai tetapi antusias. Ia bergegas menuju Ardhan.Namun, saat itu Ardhan seolah tidak ingin tersentuh oleh Nara. Sekalipun dirinya belum dapat mengetahui jelas mengenai kebenarannya. Hatinya masih terus berprasangka kepada Nara."Mas!" seru Nara sekali lagi. Tetapi, Ardhan masih tampak abai. Ia bersikap seolah tidak peduli dengan Nara yang ada di dekatnya. Dirinya terus berjalan menaiki tangga tanpa henti.Suminah yang menyaksikan kejadian itu juga menjadi heran saat melihat Ardhan yang tiba-tiba cuek kepada Nara, padahal kemarin terlihat antusias begitu mengetahui kondisi Nara yang terbaring di tempat tidur. Sebelumnya Ardhan tampak mencemaskan keadaan Nara."Kenapa Tuan tiba-tiba begitu kepada Nyonya, ada apa ini?" gumam Suminah. Ia mendekati Nara yang tampak sedih menghadapi kenyataan itu.Nara merasa heran dengan sikap Ardhan pagi ini yang langsung berubah begitu saja. "Apa dia memang tidak suka kalau aku hamil? Tapi ke
"Nyonya muda, Nyonya tidak apa-apa?" Suminah berjalan ke arah Nara. Ia langsung memeluknya dari samping, karena saat itu ia melihat Nara yang menangis terisak. Nara memeluk Suminah, ia mencoba mencari ketenangan dari pelukan itu. "Kenapa Mas Ardhan mengabaikan saya, Bi? Apa yang telah saya lakukan sampai membuatnya tampak kecewa begitu?" ucap Nara sembari menangis.Suminah terus mengelus kepala Nara yang bersandar kepadanya. "Yang sabar ya, Nya. Saya tahu ini bukan sesuatu hal yang mudah buat Nyonya hadapi. Tapi, percaya saja kalau semuanya akan baik-baik saja," ungkap Suminah mencoba menenangkan Nara yang tampaknya masih dalam keadaan bersedih.Sementara itu, Ardhan sepanjang jalan dirinya tidak bisa berhenti memikirkan Nara. Mengemudi pun menjadi terganggu dan tidak bisa sepenuhnya terfokuskan pada jalan raya, sebab Nara memenuhi pikirannya."Kenapa hatiku merasa sedih?"Ikatan batin di antara mereka seolah membuat keduanya bisa saling merasakan apa yang salah satunya dirasakan.N
"Saya sudah melakukan apa yang Anda minta. Sekarang biarkan saya bebas!" pinta Tini."Belum selesai. Sekarang saya antar kamu ke tempat itu. Masuk!""Kenapa tidak Anda sendiri saja yang menemuinya, Pak?!" "Bawa dia ke dalam!" perintah Ardhan kepada kedua bodyguard yang tengah menjaganya di dua sisi kanan dan kiri.Tini pun diseret masuk ke dalam mobil yang ada di sana. Lalu, menutup pintu itu dengan rapat. "Tuan, apa yang harus kami lakukan lagi setelah ini?""Kalian ikut di belakang, tapi nanti jangan ikut masuk ke restoran itu. Masalah itu biar menjadi urusan saya saja!" Begitu pesan Ardhan kepada para bodyguardnya."Baik!" jawab kedua bodyguard itu serentak.Lantas, semuanya pun memasuki mobil itu dengan cepat. Tini yang sudah berada di dalam mobil tidak bisa lagi keluar atau bahkan berontak. Dirinya terpaksa harus melakukan semua itu demi keselamatan dirinya.Walaupun awalnya Tini tidak ingin melakukan hal itu, tetapi ia tidak memiliki pilihan lain lagi karena memang ingin bebas
"Bagus! Sekarang kamu temui dia!" perintah Ardhan.Belum sampai di sana, rupanya Tini harus menjalankan banyak tugas yang dibebankan kepada karyawan yang telah mengkhianati Nara.Namun, Tini tidak begitu bermasalah selama dirinya tetap aman dan tidak dipenjarakan."Baik, Pak."Tanpa berlama-lama, Tini pun melangkahkan kakinya memasuki sebuah restoran. Dari belakang dalam jarak yang agak jauh, Ardhan terus memantau pergerakan Tini yang tidak bisa ia biarkan begitu saja. Sebab, Tini tidak bisa ia percaya sepenuhnya."Kenapa dia begitu teliti sekali. Dia seperti detektif, tidak mau kehilangan jejak sedikitpun. Sepertinya, aku memang tidak bisa melarikan dari pekerjaan ini. Alasan apa yang harus aku katakan kalau ada sesuatu yang terjadi di luar kendaliku."Tini sudah tahu bagaimana Valencia ketika bersemangat ingin menemuinya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya jika rencana ini sampai tercium oleh Valencia."Semoga saja aku aman." Tini terus berharap dalam benaknya.Sesekali, kepa
Dari balik pagar besi yang tinggi, tepatnya dari arah luar itu Kendra mulai berbicara kepada bodyguard yang tengah berjaga di dekat pagar."Saya mau menemui Nara! Tolong katakan kalau saya ada di depan gerbang!" pinta Kendra kepada kedua bodyguard yang ada di sana.Kedua bodyguard itu menghampiri Kendra dengan lebih dekat lagi. Kedua saling menatap satu sama lain. "Nyonya muda sedang tidak ingin diganggu! Silakan Anda pergi dari sini!" ujar salah seorang bodyguard mengusirnya dengan cara halus.Namun, Kendra masih tidak percaya dengan ucapan itu sebelum dirinya bertemu langsung dengan Nara."Pokoknya kalian harus buka gerbang ini! Saya mau bertemu Nara!" Kendra bersikukuh dengan keinginannya.Sementara itu, Bodyguard yang tidak mau jika sampai ada keributan lagi di rumah itu terus berusaha untuk teguh pada pencurian dengan tidak membuka gerbang pada sembarang orang. Terlebih lagi, mereka tidak mengenal lelaki itu sama sekali.Mereka memang tidak mengenalnya karena ini baru pertama k
"Nyonya muda, ayo makan dulu! Tuan pasti akan sangat sedih sekali kalau Anda telat makan begini," ucap Suminah sembari membawa piring yang sudah ada nasi putih, timun dan ayam goreng.Nara yang masih menunggu sembari memikirkan suaminya itu membuat Nara kehilangan nafsu makan. Ia tidak merasa lapar sekalipun perutnya kosong."Saya belum laper, Bi. Nanti saja kalau lagi laper," jawab Nara dengan lemas.Tatapan matanya kosong dengan salah satu tangan memegang perutnya."Toh, dia juga sudah tidak peduli dengan saya, buat apa saya jaga kesehatan."Nara menoleh ke arah Suminah yang tepat berada di sampingnya. "Bi, apa Mas Ardhan marah sama saya? Kenapa dia tampak berbeda sekali? Sepertinya dia tidak suka kalau saya hamil begini," lirihnya bertanya kepada Suminah."Tidak, Nyonya muda. Saya harap Anda jangan berpikir semacam itu. Anda harus yakin kalau Tuan tidak pernah menyesal atau marah dengan kehamilan Anda. Dalam hubungan tidak selalu manis, jadi tolong berpikirlah positif," tutur Sumin
Suminah kembali membawa kotak P3K dan air hangat dalam wadah kecil. Ia langsung menyodorkan barang itu kepada Nara."Maaf Nyonya kalau saya lama," ungkap Suminah."Iya."Nara segera membukanya dan mengambil kapas banyak-banyak yang kemudian ia celupkan ke dalam air hangat tadi."Tolong bantu buka pakaiannya!" pinta Nara.Bodyguard itu pun langsung membuka satu persatu kancing bajunya. Ia juga mencoba untuk melepas bagian lengannya secara perlahan, karena dirinya melihat temannya yang tampak begitu kesakitan.Setelah semua pakaian dibuka, barulah Nara melakukan pertolongan pertama untuk luka tersebut. Awalnya, ia membersihkan dahulu darah yang mengucur itu. Lalu, ia mengobatinya dengan obat merah. Setelah itu, barulah ia memberikan perban dengan kain kasa, agar darahnya berhenti."Sudah. Sekarang lebih baik kamu bawa dia ke rumah sakit terdekat, supaya mendapatkan penanganan lebih lanjut.""Terima kasih banyak, Nyonya muda," ucap bodyguard yang terluka itu.Nara tersenyum senang karen
"Papa mau ketemu dengan istriku. Apa dia ada di sini?" tanya Rivanto."Ada, Pa. Tunggu sebentar biar saya panggilkan dulu!" sahut Ardhan sembari bangkit dari duduknya.Ardhan pun melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu. Ia membuka pintu itu perlahan. Rupanya, di depan pintu sana sudah ada Nara yang tampak khawatir sekaligus penasaran dengan pembicaraan antara Ardhan dengan Rivanto -- Ayahnya."Bagaimana kondisinya sekarang, Nak?" tanya Verra dengan antusias."Dia bicarakan soal apa sama kamu, Mas?" tanya Nara dengan serius.Ardhan pun perlahan menjawabnya satu persatu."Ma, katanya Papa mau ketemu."Tanpa mendengarkan kalimat lanjutan dari Ardhan, Verra pun bergegas masuk untuk melihatnya.Nara menarik tangan Ardhan dan mengajaknya untuk bicara sambil duduk di kursi tunggu itu."Mas, ceritakan sama saya, apa yang Papa katakan sama kamu. Dia tidak mengatakan hal yang aneh-aneh, 'kan?"Ardhan tersenyum senang. Ia menatap lekat-lekat sepasang mata Nara."Papamu sepertinya sudah sanga
Kakek Roland yang yang menyaksikan Verra terduduk lemas di lantai pun bergegas menghampiri."Ada apa? Kenapa?" tanyanya dengan santai. Verra merasa kesal. Dalam hati ia menggerutu sembari menatap wajah Kakek Roland yang penuh ambisi itu.'Kalau bukan karenamu, dia pasti tidak akan mengalami ini? Kenapa dia memiliki Ayah seperti dirimu?' Hidungnya berkerut dengan tangan mengepal di lantai.Air mata itu disekanya dengan tangan. Ia memegang ujung meja dan berusaja bangkit dari duduknya. Walaupun tubuhnya masih terasa lemas, tetapi ia berusaha bangkit untuk pergi menemuinya suaminya yang terbaring di rumah sakit."Kenapa malah diam saja? Beritahu aku kenapa? Ada apa ini?"Verra menoleh. "Suamiku mengalami kecelakaan!" jawabnya ketus.Alih-alih peduli dengan Rivanto, Kakek Heraldo yang mengetahui musibah ini malah menyalahkan Ardhan atas apa yang terjadi."Ini semua karena pria itu! Kalau saja tidak membawa Nara pergi, pasti suamimu tidak akan menyusul mereka sampai mengalami kecelakaan
Setelah suara kecelakaan itu terdengar sangat nyaring, orang-orang yang berseliweran di sana pun langsung terhenti dan menghampiri korban kecelakaan. Terutama mereka berkerumun hingga membentuk lingkaran sembari melihat kondisi Rivanto yang jauh lebih parah dibanding yang mengemudikan mobil.Darah bercucuran dengan banyak robekan pada kulitnya yang membuat orang-orang bersimpati. Tetapi, untungnya dengan gesit ada salah seorang di antara mereka yang langsung menghubungi ambulance."Mas, ayo kita lihat!" ajak Nara dengan antusias.Tanpa menyahut, Ardhan keluar dari mobil itu untuk mengikuti keinginan Nara. Dirinya akan mengusahakan apapun yang Nara inginkan, asalkan itu masih dalam batas wajar.Nara dengan cepat langsung berjalan memasuki kerumunan untuk melihat korbannya. Begitu melihatnya dengan jelas di depan mata. Sontak, tubuh Nara lemas dengan air mata mengalir deras melihat Ayahnya yang dalam keadaan tak berdaya.Ardhan yang mendengar suara tangisan Nara itu segera menghampiri
Tanpa mempedulikan apapun lagi, Nara berlari keluar dari rumah itu. Di susul oleh Ardhan yang melihat istrinya tengah dilanda kekecewaan yang mendalam.Rivanto yang tidak mau Nara benar-benar pergi sampai tidak bisa lagi ia temui pun membuatnya bergegas menyusul. Nara sudah memasuki mobil, begitu juga dengan Ardhan yang terus mengikuti istrinya, karena dirinya tidak mau jika sampai terjadi sesuatu kepada Nara tanpa sepengetahuan dari dirinya."Mas, tolong cepat jalankan mobilnya! Saya tidak mau kalau mereka mengejar saya dan tidak membiarkan saya menemui Mas lagi!" pinta Nara dengan gelisah.Rasa yang semakin tidak karuan membuat Nara seakan ingin menyalakan mobil itu sendiri. Tetapi, sayangnya yang saat itu menyetir adalah Ardhan.Begitu selesai menyalakan mesin mobil, Ardhan langsung tancap gas pergi. Bukan maksud Ardhan membuat Nara durhaka kepada orang tuanya, hanya saja ia juga tidak rela jika melihat Nara tersiksa. Terlebih lagi keadaan istrinya sedang hamil muda."Saya tahu ka
Rico yang ada di luar rumah itu hanya menyimak. Dirinya sama sekali tidak berani ikut campur atas masalah keluarga majikannya."Pokoknya aku tidak setuju! Aku cuma mau Nara menikah dengan pilihanku!" Kakek Heraldo tetap menentang pilihan Nara. "Kamu tahu 'kan Kendra itu seperti apa orangnya? Dia itu anak yang baik dan lebih terpandang! Berasal dari lulusan ternama di luar negeri! Lalu, suamimu apa kelebihannya? Dia belum tentu sehebat Kendra!" sanjung Kakek Roland untuk Kendra di depan Nara, Rivanto dan Verra.Verra yang merasa hanya seorang wanita tidak berani membantah ataupun angkat bicara. Ia hanya terdiam ketika Ayah mertuanya cukup membuatnya geram."Kek! Kenapa Kakek ikut campur dengan urusan pernikahan aku? Tidak bisalah membiarkan aku bahagia dengan pilihanku? Aku mencintai Mas Ardhan, aku juga tidak mau kehilangan dia! Apapun keputusan Kakek, Kakek tidak bisa semena-mena mengatur hidupku! Aku ini juga manusia, bukan piala bergilir yang dapat dengan bebas diperebutkan oleh
Nara memegang perutnya, lalu ia mengelus-elusnya secara perlahan. Rivanto terdiam, ia terus memperhatikan anaknya yang bertingkah aneh baginya."Kamu .... Jangan hilang kamu ....?" Rivanto mulai menduganya. Tetapi, ia belum berani untuk mengatakan hal tersebut."Benar, Pa. Papa tidak salah lagi kalau mengira aku lagi hamil. Sekarang ini aku memang lagi mengandung janin dari Mas Ardhan. Setelah tahu ini, aku harap Papa tidak lagi memikirkan dendam lama Papa. Aku hanya ingin keluarga kita tenang dan damai!" tutur Nara dengan lirih. Nada bicaranya sudah terdengar pasrah. Nara hanya mengusahakan, agar dirinya menjadi tenang. "Tidak Nara! Papa 'kan sudah memperingatkanmu supaya jangan sampai hamil anaknya!"Verra yang tak sengaja mendengar kabar kehamilan Nara itu langsung mendekat dan duduk di samping Nara. "Benarkah, Nak?" Berbeda dengan Rivanto yang kecewa karena Nara mengandung anak Ardhan, Verra malah tampak senang karena dirinya akan memiliki cucu. Sudah sekian lama ia menantikan k
"Bagaimana kalau saya pergi ke rumahmu sekarang untuk membuktikan?" tanya Budiman. Ia tidak sabar untuk membuktikan apa yang sempat Ardhan katakan kepadanya."Baik. Kita pergi sekarang!" Budiman dan Ardhan pun berjalan beriringan menuju lift. Mereka keluar dari lift ketika sudah sampai di lantai paling bawah dan lanjut menuju tempat parkir.Sementara Ardhan dan Budiman perjalanan menuju ke rumah, Nara yang sudah sekitar tiga menit yang lalu pergi. Ia berusaha fokus dan terkadang agak menaikkan kemudi mobilnya, karena ia bepergian tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Ardhan.Ardhan tidak tahu jika Nara sedang pergi. Ia hanya berpikir bahwa Nara beristirahat di rumah.Di jalanan, mobil Ardhan dan Budiman kadang berdampingan karena jalanan sedang tidak begitu ramai. Tetapi, kadang juga Ardhan menyusul dan Budiman hanya mengikuti di belakang mobil Ardhan.10 menit lengang.Ardhan sampai di rumahnya. Mereka menepikan mobilnya masing-masing di halaman rumah itu. Perlahan, Ardhan menu
"Saya serahkan sisanya kepada Anda, Pak! Kalau begitu saya permisi!" ungkap Ardhan. Ia pun melangkah keluar dari sana menuju mobil. Kini, waktunya ia pergi ke kantor karena proyek yang sebelumnya belum selesai.Namun, Nara yang dalam keadaan hamil dan tidak pergi ke kantor pun membuatnya hanya sendirian saja.Setibanya di kantor ....Di kantor itu, sudah ada Budiman -- kliennya yang selalu menginginkan kehadiran Nara di kantor itu."Selamat siang, Pak. Tadi ada klien kita yang ingin bertemu!" ungkap salah seorang karyawan kantor yang mendapat titipan pesan lisan dari Budiman."Baiklah." Ardhan melihat ke sekitar. "Tapi sekarang dia ada di mana?" tanya Ardhan. "Ada di ruang rapat.""Baik, terima kasih."Ardhan pun melanjutkan langkah kakinya untuk menaiki lift yang sebelumnya hendak ia naiki, namun sempat sedikit terganggu oleh karyawan itu.Selama di dalam lift, Ardhan hanya terdiam dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana.Ting! Pintu lift terbuka.Ardhan keluar dari san
Hari berganti, Ardhan kembali melanjutkan rencananya. Kini, ia pergi kembali ke kantor polisi untuk menyerahkan rekaman untuk memperkuat bukti yang ada. Dirinya tidak mau membuang-buang waktu dan menunggu lebih lama lagi. Ia mengemudikan mobilnya lebih cepat, hingga tak lama kemudian sampai di tempat tujuannya.Tak lama dari itu, telepon dari Rico masuk. Ia pun lekas menjawabnya.[Tuan, orangnya sudah berhasil ditemukan!]Atas kecerdikan ajudan pribadinya, Rico dapat membawa pria itu ke hadapan Ardhan. Pria itu tidak menyadari jika dirinya sedang dicari, sehingga tidak menyembunyikan dirinya.[Bawa dia ke kantor polisi!]Ardhan memerintahkan itu sewaktu dirinya berada di kantor polisi sendirian. Ia duduk sebentar dan hatinya seolah mengatakan untuk tidak pergi terlebih dahulu.[Baik, Tuan!]Tuuutt. Panggilan berakhir.Ardhan kembali melanjutkan pembicaraannya dengan salah seorang polisi. "Pak, saya sudah memiliki bukti yang lebih kuat dari kemarin. Sekarang Anda tidak boleh berlama-