"Apa kalian yakin tidak ada yang mau mengaku?" Ardhan memang Valencia dan Tini secara bergantian.Namun, di sini, Ardhan merasa bahwa memang Valencia lah yang menjadi pelakunya. Ia merasa demikian karena dia sudah mendengar ceritanya sendiri dari Tini.Selain itu, ia pernah melihatnya di taman. Yang mana memang sepertinya wanita yang dijodohkan oleh Sarah dengannya."Katakan dengan jujur dan akui sekarang juga sebelum saya melakukan hal yang lebih kejam lagi! Sekarang saya bisa bersimpati karena melihat kalian sebagai wanita, tapi tidak berlaku jika kalian tidak ada yang mengaku!" "Ambil ponselnya!" perintah Ardhan kepada bodyguard yang ada di sana.Bodyguard yang menerima perintah itu pun langsung melakukannya. Ia merogoh isi tas dan mencari ponsel tersebut."Apa yang mau kamu lakukan dengan ponsel saya itu?!" Valencia tampak ketakutan. Ia takut jika ponselnya sampai diambil oleh Valencia.Setelah mencari beberapa saat, akhirnya bodyguard itu menemukan ponsel tersebut. Ia mendapatka
Pengejaran terhadap Kendra terus dilakukan. Duga mobil hitam beriringan mengejar mobil putih yang terus berkendara dengan kecepatan penuh."Aku tidak boleh sampai lengah!" batin Kendra sembari terus mengemudi. Sesekali, ia melihat ke arah kaca spion samping untuk memantau ketiga mobil bodyguardnya Ardhan.Para terus mengejar, mereka tidak mau kehilangan jejak. Tetapi, Kendra berusaha untuk meninggalkan jejaknya. Sampai di depan sana ia menemukan tiga jalan yang tampak bercabang, dirinya semakin mempercepat kemudinya dan pergi ke arah kiri jalan.Di sana, ia menepikan mobilnya dan memasuki sebuah toko mainan dan kemudian berjalan mencari jalan belakang yang pikirnya bisa ia gunakan untuk pergi lewat sana."Pintu belakang ada di mana?" tanya Kendra kepada pelayan toko mainan sana.Pelayan toko mainan itu merasa heran ketika Kendra datang, karena datang tanpa membawa seorang anak kecil. Biasanya, pelanggan yang datang selalu datang dengan anaknya.Selain itu, pelayan itu juga merasa aneh
Di dalam kamar itu, Ardhan mondar-mandir. "Nara, Nara, Nara. Kenapa kamu membuat saya seperti ini? Mata kamu itu kenapa bisa menghipnotis saya?" gumam Ardhan dengan perasaan tidak karuan dalam hatinya.Cklek.Mata membelalak, ia mencoba bersikap cool dan segera membuka kancing bajunya."Mas, kamu belum mandi?" tanya Nara.Ardhan mencoba bersikap biasa seolah tidak terjadi apa-apa sebelum Nara datang ke kamar itu. "Iya, tadi saya .... Biasa istirahat dulu sebentar di sini. Gerah!" Ardhan mengipas-ngipasi tubuhnya dengan semua kancing baju yang sudah terbuka tetapi belum ia lepas.Nara memasuki kamar itu untuk bersiap-siap. Ia pikir suaminya sudah selesai mandi, rupanya belum juga. "Kalau begitu, nanti saja." Nara kembali menutup pintu kamar dan pergi ke lantai bawah sembari menunggu Ardhan selesai mandi.Di luar kamar, Nara tertegun sejenak memikirkan itu. "Perasaan sudah hampir setengah jam, kenapa dia belum mandi-mandi juga? Tubuhnya tidak terlalu kelihatan berkeringat," gumamnya.
Ardhan melakukan itu dengan hati-hati, sampai akhirnya rambut Nara kering. Tetapi ...."Mas, saya belum pakai baju," ungkap Nara. Ia bangkit dari duduknya dan melangkah pergi dari hadapan Ardhan.Ardhan menoleh ke arah Nara melangkah. Ia menaruh hair dryer itu kembali.Sementara itu, Nara yang sedang berada di walk in closet pun hanya diam seraya memandangi wajahnya di cermin, ketika kedua belah pipi terasa hangat dengan jantung yang berdebar hebat.Ardhan yang tengah menunggu di kursi pun hanya memegang dadanya sebentar, merasakan debaran indah yang jauh lebih berbeda dari biasanya."Apa aku mulai jatuh cinta lagi?" batin Ardhan.5 menit lengang.Nara kembali dengan pakaian kasual yang dipakainya. Ia mengenakan celana jeans panjang dan baju kemeja putih, ia menggulung bagian lengannya.Belum sampai di sana, Nara melanjutkan langkah kakinya menuju meja rias untuk sedikit merias wajahnya yang tampak pucat tanpa make up. Sebab, ia ingin melihat wajahnya agar tampak lebih segar.Ardhan h
Ardhan menepikan mobilnya di salah satu rumah sakit. Ia sudah mengetahui keberadaan salah seorang bodyguard itu dari bodyguard lain yang sempat ia hubungi sewaktu di dalam perjalanan ke sana bersama Nara."Mas, pulang nanti kita beli mangga, 'kan?" tanya Nara, seolah mengingatkan kepada Ardhan akan hal itu."Iya, nanti kita beli mangga yang banyak. Beli yang paling bagus juga," jawab Ardhan sembari membuka sabuk pengaman yang masih mengikatnya. Setelah Ardhan menyetujuinya, barulah Nara tidak berbicara lagi. Tetapi, Nara terdiam sejenak. Ia memandangi Ardhan dan belum membuka sabuk pengamannya itu."Ayo kita masuk ke dalam!" ajaknya.Nara masih memandangi suaminya dengan kepala miring. Ia seakan tengah membawa isi pikiran Ardhan yang hendak keluar dari dalam mobilnya tersebut.Ardhan menoleh ke arah Nara ketika ajakannya tidak mendapat sahutan apapun. "Kenapa masih diam di sana? Ayo kita pergi ke sana sama-sama! Kamu jangan nunggu di sini, saya khawatir ada orang jahat!" ujar Ardhan
Mata Nara yang tampak agak menyipit menandakan bahwa wanita itu tampak bosan sekaligus mengangguk dan Ardhan memahami itu."Kamu jangan dulu pulang, menginap saja di sini semalam. Besok juga tidak usah kerja dulu kalau belum kuat!" ujar Ardhan. "Jangan khawatirkan biaya apapun, karena biaya menginap di rumah sakit ini sudah saya bayar!" tambahnya.Dengan kepala menunduk sopan, Bikuri -- bodyguardnya mengungkapkan rasa syukurnya. "Terima kasih banyak, Tuan. Entah dengan cara apa saya harus membalas atas kebaikan Anda ini.""Tidak usah dipikirkan. Sekarang, yang terpenting kau selamat dan lukanya masih bisa diobati."Ardhan yang tidak mau membuat Nara menunggu lama, ia pun segera berpamitan sebelum meninggalkan tempat itu."Ya sudah, semoga lekas sembuh. Saya harus pulang sekarang!" Ardhan menoleh ke arah bodyguardnya yang lain. "Hei, kau jaga dia dengan baik!""Baik, saya pasti akan menjaganya di sini, Tuan. Anda juga berhati-hati di jalan!" ungkapnya."Baik, kami pergi dulu!"Ardhan
Rasa bahagia yang tak terkira membuat hati berbunga-bunga. Walau dirinya masih sedikit bingung dengan Ardhan, tetapi sikapnya melebihi kalimat 'aku mencintaimu'."Sudah sampai!" ujar Ardhan yang kemudian menepikan mobilnya d tempat parkir dan kemudian keluar dari dalam sana.Mereka pun menuju sebuah supermarket terbesar di kotanya. "Mas, buah-buahan di pasar biasa juga banyak. Kalau kita ke sini, nanti pulangnya kemaleman," ucap Nara sambil berjalan di samping Ardhan.Ardhan melirik ke tangan Nara yang terlihat menganggur. Ia pun menggenggamnya. "Hati-hati. Jangan jauh-jauh!" ujar Ardhan yang malah lebih fokus dengan keselamatan Nara dibanding apa yang dibicarakan Nara saat itu."Buat kesehatan janin, kita harus membeli buah-buahan dengan kualitas yang baik. Makanya saya bawa kamu ke sini saja!" Barulah Ardhan menjawabnya.Nara berpikir sejenak. "Tapi, Mas, takutnya kamu kelelahan.""Kalau ngidamnya sesederhana ini, beli buah mangga ke luar negeri juga bukan masalah!" ungkap Ardhan
Selepas mendapatkan barang yang diinginkan Nara, kini Ardhan memikirkan sesuatu untuk membeli sesuatu juga."Nanti kita mampir sebentar, ya!" ujar Ardhan sembari mesin mobil dan tancap gas pergi meninggalkan tempat belanja itu.Ia terus mengemudi tanpa henti dengan kecepatan sedang. "Mas, kamu tumben beli daging sapi slice?" tanya Nara sembari melihat-lihat plastik belanjanya yang banyak itu."Kan saya sudah bilang tadi buat makan malam bersama," jawab Ardhan dengan sabar ketika istrinya membuat dirinya sedikit kesal karena mempertanyakan hal yang sama.Ardhan melihat-lihat ke samping, tepatnya pada beberapa toko yang dilewatinya saat itu. Ia tidak mau sampai melewatkan toko yang menjadi tujuannya.Ckiiitt! Ardhan menepikan mobilnya pada sebuah toko yang tampaknya masih buka. Ia melihat tokonya yang ternyata tidak terlalu ramai.Namun, Ardhan merasa senang karena dirinya tidak perlu mengantre saat akan melakukan pembayaran di kasir nanti."Kamu tunggu di sini sebentar!" ungkap Ardha
"Papa mau ketemu dengan istriku. Apa dia ada di sini?" tanya Rivanto."Ada, Pa. Tunggu sebentar biar saya panggilkan dulu!" sahut Ardhan sembari bangkit dari duduknya.Ardhan pun melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu. Ia membuka pintu itu perlahan. Rupanya, di depan pintu sana sudah ada Nara yang tampak khawatir sekaligus penasaran dengan pembicaraan antara Ardhan dengan Rivanto -- Ayahnya."Bagaimana kondisinya sekarang, Nak?" tanya Verra dengan antusias."Dia bicarakan soal apa sama kamu, Mas?" tanya Nara dengan serius.Ardhan pun perlahan menjawabnya satu persatu."Ma, katanya Papa mau ketemu."Tanpa mendengarkan kalimat lanjutan dari Ardhan, Verra pun bergegas masuk untuk melihatnya.Nara menarik tangan Ardhan dan mengajaknya untuk bicara sambil duduk di kursi tunggu itu."Mas, ceritakan sama saya, apa yang Papa katakan sama kamu. Dia tidak mengatakan hal yang aneh-aneh, 'kan?"Ardhan tersenyum senang. Ia menatap lekat-lekat sepasang mata Nara."Papamu sepertinya sudah sanga
Kakek Roland yang yang menyaksikan Verra terduduk lemas di lantai pun bergegas menghampiri."Ada apa? Kenapa?" tanyanya dengan santai. Verra merasa kesal. Dalam hati ia menggerutu sembari menatap wajah Kakek Roland yang penuh ambisi itu.'Kalau bukan karenamu, dia pasti tidak akan mengalami ini? Kenapa dia memiliki Ayah seperti dirimu?' Hidungnya berkerut dengan tangan mengepal di lantai.Air mata itu disekanya dengan tangan. Ia memegang ujung meja dan berusaja bangkit dari duduknya. Walaupun tubuhnya masih terasa lemas, tetapi ia berusaha bangkit untuk pergi menemuinya suaminya yang terbaring di rumah sakit."Kenapa malah diam saja? Beritahu aku kenapa? Ada apa ini?"Verra menoleh. "Suamiku mengalami kecelakaan!" jawabnya ketus.Alih-alih peduli dengan Rivanto, Kakek Heraldo yang mengetahui musibah ini malah menyalahkan Ardhan atas apa yang terjadi."Ini semua karena pria itu! Kalau saja tidak membawa Nara pergi, pasti suamimu tidak akan menyusul mereka sampai mengalami kecelakaan
Setelah suara kecelakaan itu terdengar sangat nyaring, orang-orang yang berseliweran di sana pun langsung terhenti dan menghampiri korban kecelakaan. Terutama mereka berkerumun hingga membentuk lingkaran sembari melihat kondisi Rivanto yang jauh lebih parah dibanding yang mengemudikan mobil.Darah bercucuran dengan banyak robekan pada kulitnya yang membuat orang-orang bersimpati. Tetapi, untungnya dengan gesit ada salah seorang di antara mereka yang langsung menghubungi ambulance."Mas, ayo kita lihat!" ajak Nara dengan antusias.Tanpa menyahut, Ardhan keluar dari mobil itu untuk mengikuti keinginan Nara. Dirinya akan mengusahakan apapun yang Nara inginkan, asalkan itu masih dalam batas wajar.Nara dengan cepat langsung berjalan memasuki kerumunan untuk melihat korbannya. Begitu melihatnya dengan jelas di depan mata. Sontak, tubuh Nara lemas dengan air mata mengalir deras melihat Ayahnya yang dalam keadaan tak berdaya.Ardhan yang mendengar suara tangisan Nara itu segera menghampiri
Tanpa mempedulikan apapun lagi, Nara berlari keluar dari rumah itu. Di susul oleh Ardhan yang melihat istrinya tengah dilanda kekecewaan yang mendalam.Rivanto yang tidak mau Nara benar-benar pergi sampai tidak bisa lagi ia temui pun membuatnya bergegas menyusul. Nara sudah memasuki mobil, begitu juga dengan Ardhan yang terus mengikuti istrinya, karena dirinya tidak mau jika sampai terjadi sesuatu kepada Nara tanpa sepengetahuan dari dirinya."Mas, tolong cepat jalankan mobilnya! Saya tidak mau kalau mereka mengejar saya dan tidak membiarkan saya menemui Mas lagi!" pinta Nara dengan gelisah.Rasa yang semakin tidak karuan membuat Nara seakan ingin menyalakan mobil itu sendiri. Tetapi, sayangnya yang saat itu menyetir adalah Ardhan.Begitu selesai menyalakan mesin mobil, Ardhan langsung tancap gas pergi. Bukan maksud Ardhan membuat Nara durhaka kepada orang tuanya, hanya saja ia juga tidak rela jika melihat Nara tersiksa. Terlebih lagi keadaan istrinya sedang hamil muda."Saya tahu ka
Rico yang ada di luar rumah itu hanya menyimak. Dirinya sama sekali tidak berani ikut campur atas masalah keluarga majikannya."Pokoknya aku tidak setuju! Aku cuma mau Nara menikah dengan pilihanku!" Kakek Heraldo tetap menentang pilihan Nara. "Kamu tahu 'kan Kendra itu seperti apa orangnya? Dia itu anak yang baik dan lebih terpandang! Berasal dari lulusan ternama di luar negeri! Lalu, suamimu apa kelebihannya? Dia belum tentu sehebat Kendra!" sanjung Kakek Roland untuk Kendra di depan Nara, Rivanto dan Verra.Verra yang merasa hanya seorang wanita tidak berani membantah ataupun angkat bicara. Ia hanya terdiam ketika Ayah mertuanya cukup membuatnya geram."Kek! Kenapa Kakek ikut campur dengan urusan pernikahan aku? Tidak bisalah membiarkan aku bahagia dengan pilihanku? Aku mencintai Mas Ardhan, aku juga tidak mau kehilangan dia! Apapun keputusan Kakek, Kakek tidak bisa semena-mena mengatur hidupku! Aku ini juga manusia, bukan piala bergilir yang dapat dengan bebas diperebutkan oleh
Nara memegang perutnya, lalu ia mengelus-elusnya secara perlahan. Rivanto terdiam, ia terus memperhatikan anaknya yang bertingkah aneh baginya."Kamu .... Jangan hilang kamu ....?" Rivanto mulai menduganya. Tetapi, ia belum berani untuk mengatakan hal tersebut."Benar, Pa. Papa tidak salah lagi kalau mengira aku lagi hamil. Sekarang ini aku memang lagi mengandung janin dari Mas Ardhan. Setelah tahu ini, aku harap Papa tidak lagi memikirkan dendam lama Papa. Aku hanya ingin keluarga kita tenang dan damai!" tutur Nara dengan lirih. Nada bicaranya sudah terdengar pasrah. Nara hanya mengusahakan, agar dirinya menjadi tenang. "Tidak Nara! Papa 'kan sudah memperingatkanmu supaya jangan sampai hamil anaknya!"Verra yang tak sengaja mendengar kabar kehamilan Nara itu langsung mendekat dan duduk di samping Nara. "Benarkah, Nak?" Berbeda dengan Rivanto yang kecewa karena Nara mengandung anak Ardhan, Verra malah tampak senang karena dirinya akan memiliki cucu. Sudah sekian lama ia menantikan k
"Bagaimana kalau saya pergi ke rumahmu sekarang untuk membuktikan?" tanya Budiman. Ia tidak sabar untuk membuktikan apa yang sempat Ardhan katakan kepadanya."Baik. Kita pergi sekarang!" Budiman dan Ardhan pun berjalan beriringan menuju lift. Mereka keluar dari lift ketika sudah sampai di lantai paling bawah dan lanjut menuju tempat parkir.Sementara Ardhan dan Budiman perjalanan menuju ke rumah, Nara yang sudah sekitar tiga menit yang lalu pergi. Ia berusaha fokus dan terkadang agak menaikkan kemudi mobilnya, karena ia bepergian tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Ardhan.Ardhan tidak tahu jika Nara sedang pergi. Ia hanya berpikir bahwa Nara beristirahat di rumah.Di jalanan, mobil Ardhan dan Budiman kadang berdampingan karena jalanan sedang tidak begitu ramai. Tetapi, kadang juga Ardhan menyusul dan Budiman hanya mengikuti di belakang mobil Ardhan.10 menit lengang.Ardhan sampai di rumahnya. Mereka menepikan mobilnya masing-masing di halaman rumah itu. Perlahan, Ardhan menu
"Saya serahkan sisanya kepada Anda, Pak! Kalau begitu saya permisi!" ungkap Ardhan. Ia pun melangkah keluar dari sana menuju mobil. Kini, waktunya ia pergi ke kantor karena proyek yang sebelumnya belum selesai.Namun, Nara yang dalam keadaan hamil dan tidak pergi ke kantor pun membuatnya hanya sendirian saja.Setibanya di kantor ....Di kantor itu, sudah ada Budiman -- kliennya yang selalu menginginkan kehadiran Nara di kantor itu."Selamat siang, Pak. Tadi ada klien kita yang ingin bertemu!" ungkap salah seorang karyawan kantor yang mendapat titipan pesan lisan dari Budiman."Baiklah." Ardhan melihat ke sekitar. "Tapi sekarang dia ada di mana?" tanya Ardhan. "Ada di ruang rapat.""Baik, terima kasih."Ardhan pun melanjutkan langkah kakinya untuk menaiki lift yang sebelumnya hendak ia naiki, namun sempat sedikit terganggu oleh karyawan itu.Selama di dalam lift, Ardhan hanya terdiam dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana.Ting! Pintu lift terbuka.Ardhan keluar dari san
Hari berganti, Ardhan kembali melanjutkan rencananya. Kini, ia pergi kembali ke kantor polisi untuk menyerahkan rekaman untuk memperkuat bukti yang ada. Dirinya tidak mau membuang-buang waktu dan menunggu lebih lama lagi. Ia mengemudikan mobilnya lebih cepat, hingga tak lama kemudian sampai di tempat tujuannya.Tak lama dari itu, telepon dari Rico masuk. Ia pun lekas menjawabnya.[Tuan, orangnya sudah berhasil ditemukan!]Atas kecerdikan ajudan pribadinya, Rico dapat membawa pria itu ke hadapan Ardhan. Pria itu tidak menyadari jika dirinya sedang dicari, sehingga tidak menyembunyikan dirinya.[Bawa dia ke kantor polisi!]Ardhan memerintahkan itu sewaktu dirinya berada di kantor polisi sendirian. Ia duduk sebentar dan hatinya seolah mengatakan untuk tidak pergi terlebih dahulu.[Baik, Tuan!]Tuuutt. Panggilan berakhir.Ardhan kembali melanjutkan pembicaraannya dengan salah seorang polisi. "Pak, saya sudah memiliki bukti yang lebih kuat dari kemarin. Sekarang Anda tidak boleh berlama-