Jauh di gerbang sana, Rivanto memaksa untuk terus meminta kepada bodyguard yang berjaga di sana agar membukanya. Namun, mereka belum berani melakukan itu sebelum Rico kembali."Tunggu sebentar, Pak!" ujar salah seorang bodyguard.Nara terus berjalan menuju gerbang. Ia dengan cepat menghampiri Rivanto dan ....Langkah kakinya langsung terhenti sekitar tiga meter dari sana begitu melihat ada Kakek Roland di tempat itu."Kakek?" gumamnya.Dari sana ia langsung merasa bahwa mungkin datang ke sana hanya untuk menjemputnya pergi.Rivanto dengan cepat langsung menyeru begitu melihatnya anaknya itu datang. "Ayo buka pintunya, Nak! Ini Papa mau ketemu sama kamu!" ujarnya.Namun, hati Nara tidak dapat dibohongi. Hatinya seolah mengatakan bahwa mereka memang bermaksud untuk menjemputnya."Benar. Kami mau ketemu sama kamu!" sahut Kakek Roland, membenarkan perkataan Rivanto."Masa kamu tega membiarkan kami terus berada di sini, kamu tidak lihat juga keadaan panas begini!" ujar Rivanto.Di sini Nar
"Bi Sumi!" serunya dengan lembut.Tanpa menunggu lama, Suminah datang dengan tubuh agak membungkuk sopan. Ia bertanya. "Iya, Nyonya muda, saya di sini.""Tolong buatkan minuman sama bawakan camilan, ya!" pintanya. "Baik, Nyonya muda, segera saya laksanakan."Suminah pun bergegas menuju dapur. Ia melakukan apa yang dipinta oleh Nara dan itu tidak memerlukan waktu lama. Suminah datang dengan membawa minuman serta camilan di atas nampan perak.Nara mengambil nampan itu dari tangan Suminah. Ia sendiri yang menatanya di atas meja sana."Silakan dinikmati camilan sama minumannya!" ujar Nara dengan ramah kepada Rivanto dan Kakek Roland.Karena merasa haus, Rivanto pun langsung mengambil gelas minuman rasa jeruk yang ada di hadapannya. Ia meneguknya sampai tersisa seperempatnya."Bibi boleh kembali. Kalau perlu sesuatu, nanti saya akan panggil," katanya ketika melihat Suminah yang berdiri di sana sembari menunggu perintah selanjutnya.Tetapi, setelah mendapat kepastian itu, Suminah pun kemu
Reyhan tidak menyangka jika ternyata Ardhan membawanya ke rumah Reyhan itu sendiri.Ardhan menepikan mobilnya di depan rumah dan langsung membawanya ke sebuah rumah mewah milik Reyhan.Reyhan langsung melongo begitu melihat huniannya yang dapat ia lihat kembali. "Apa maksudmu dengan membawaku ke sini?""Bawa dia ke dalam!" Kedua bodyguard itu memapahnya dari dua sisi ke dalam rumah tersebut."Jaga dia di sana! Kurung di kamarnya!" perintah Ardhan.Kini, Ardhan ingin fokus menyelesaikan masalahnya satu persatu. Walaupun dirinya sempat kecewa dengan apa yang dilakukan Adik sepupunya, tetapi ia pun masih berperikemanusiaan ketika melihat Adik sepupunya sakit.Setelah menaruh Reyhan di dalam kamarnya, kedua bodyguard itu dengan cepat langsung kembali. Saat itu, Ardhan sedang menyalakan mesin mobilnya. "Tuan, kami sudah menaruhnya di kamarnya. Kamarnya pun sudah kami kunci."Nafas mereka tampak terengah-engah. "Lalu, hal apa lagi yang harus kami lakukan?" lanjut salah seorang bodyguard i
Melihat Nara yang sedang terbaring di tempat tidur, itu membuat Ardhan segera menghampirinya. Ia menaruh sembarangan barang yang baru dibelinya, lalu duduk di samping Nara."Kamu kenapa, Ra? Kalau kamu lagi sakit, harusnya kamu bilang, jangan cuma nunggu saya pulang!" Ardhan mengomeli Nara karena rasa khawatirnya yang tak terbendung.Nara yang melihat Ardhan tampak begitu mencemaskan dirinya membuatnya senang karena ternyata ada rasa peduli yang dihadirkan untuknya. Ia tersenyum sembari memegang pipi Ardhan."Mas, aku tidak apa-apa, kok. Semuanya akan baik-baik saja.""Terus, kenapa kamu mual-mual? Apa kamu salah konsumsi makanan?" "Saya tidak tahu," sahut Nara sembari menggelengkan kepala. "Tapi, saya ingin mengetahui sesuatu."Ardhan mengernyitkan dahi penuh tanya.Nara menoleh ke arah wadah plastik yang baru saja dibawa Ardhan kala itu. "Tapi sebelumnya saya mau lihat dulu isi kantont plastik itu?"Ardhan menoleh ke belakang. Ia pun langsung mengambilkannya untuk Nara. Plastik it
Ardhan masih tidak yakin dengan instingnya yang mengatakan bahwa Nara tengah hamil. Terlebih lagi kini ia belum membuktikannya sendiri karena memang Rico pun belum kembali dari toko serba ada.Berkali-kali Nara melihat ke pintu. Ia sangat tidak sabar ingin segera memeriksakan dirinya."Kenapa si Rico belum kembali juga?" gumamnya.Sampai pada saat Nara membicarakannya, Rico datang ke kamar itu dengan membawa dua testpack sekaligus.Rico berlari-lari kecil dengan keringat di dahi. "Tuan, Nyonya muda, maaf saya tadi--....""Tidak apa-apa," sahut Nara dengan tangan menjulur ke arah testpack yang sedang dipegang oleh Rico.Sontak, Rico pun langsung memberikan testpack itu kepada Nara. Ardhan yang ada di sana hanya diam saja. Dirinya dilanda rasa bimbang yang membuat kata 'mandul' itu seolah terus berlarian di kepala.Kini, testpack itu sudah ada di tangannya. Tetapi, ia malah bingung sendiri. 'Kalau memang benar aku hamil, apa aku siap menjadi seorang Ibu? Lalu, setelah itu .... Apa yang
Ardhan merasa belum bisa memutuskan segalanya sendiri. Ia tidak mau salah paham dengan Nara seperti kala itu. Perasaan yang mulai mendalam membuat Ardhan ingin segera menyelesaikan masalah yang ada ini dengan baik.Bruuumm!"Sepertinya aku harus menanyakan hal ini kepada Kakek!" ujar Ardhan dalam mobilnya ketika dirinya mulai tancap gas pergi.Sepanjang perjalanan, Ardhan merasa tidak tenang karena apa yang diinginkannya hanyalah sebuah kejelasan akan keraguan yang dirasakannya tersebut.Di rumah ....Nara hanya merasa bimbang dengan apa yang dilakukan suaminya, tidak tahu juga bagaimana ia menyikapi hal ini.Tatapan mata kosong dengan tubuh diam mematung, Nara terus melakukan itu. Sampai malam tiba, Nara mengerjap. Ia menutup mulutnya yang kembali terasa mual.Sementara itu, di rumah Reyhan sendiri, Reyhan dalam perawatan karena sakit yang dideritanya membuatnya menyesal. Ia menyesal karena telah berbuat jahat kepada Ardhan. Ketika itu, ia baru menyadari kebaikan Ardhan."Kenapa ka
Ardhan menunduk, seolah memberikan kode bahwa dirinya tengah dilanda masalah pikiran yang begitu memberatkannya. "Apa yang terjadi? Katakan sama Kakek sekarang!" ujar Kakek Heraldo dengan antusias.Keduanya saling berhadapan satu sama lain. Kakek Heraldo menatap tajam wajah Ardhan yang memang tampak sekali tengah menyembunyikan sesuatu jauh di dalam pikirannya."Katakan sama Kakek sekarang, apa yang mau kamu bicarakan, karena sepertinya ada sesuatu yang sedang kamu pendam!" lanjutnya ketika melihat Ardhan.Ardhan mengangkat kepalanya perlahan, ia menatap wajah Kakek Heraldo sembari mengatakannya secara perlahan."Sebenarnya aku butuh pendapat Kakek mengenai diri aku ...."Ardhan menghela nafas sejenak. Saat Ardhan membuka mulut untuk melanjutkan kalimatnya, Kakek Heraldo langsung menyela."Memangnya apa yang terjadi sama kamu? Kenapa kamu malah menanyakan pertanyaan konyol seperti itu!" Kakek Roland kembali berujar. Kakek Roland merasa aneh dengan Ardhan yang secara mendadak menanya
Setelah melakukan perbincangan panjang semalam suntuk. Akhirnya, Ardhan pun memilih untuk tidur di rumah Kakek Heraldo. Ia tidak menghubungi Nara atas kepergiannya untuk sesaat. Sebab, ia merasa bahwa dirinya memang perlu menghindar untuk sementara waktu.Namun, masalah yang baru tidak membuatnya melupakan masalah lama. Ia tetap akan mengupas tuntas masalah tersebut.Sampai pada pagi harinya ...."Kek, aku mau pergi sekarang!" ujar Ardhan kepada Kakek Heraldo."Sarapannya belum habis!" sahut Kakek Heraldo. Kala itu mereka sedang berada di ruang makan. Mereka tengah menikmati sarapan bersama, karena jarang-jarang mereka begini."Aku sudah selesai, Kek. Sekarang masih ada banyak urusan yang perlu diurus."Kakek Heraldo paham betul dengan kesibukan cucunya itu. Ia tidak ingin menganggu, tetapi ...."Kalau sudah pasti dia mengandung anakmu, nanti kabari Kakek, ya!" pesan Kakek Heraldo dengan wajah tersenyum.Ardhan pun menanggapinya dengan santai. "Iya, Kek. Nanti, ya. Sekarang aku harus
"Papa mau ketemu dengan istriku. Apa dia ada di sini?" tanya Rivanto."Ada, Pa. Tunggu sebentar biar saya panggilkan dulu!" sahut Ardhan sembari bangkit dari duduknya.Ardhan pun melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu. Ia membuka pintu itu perlahan. Rupanya, di depan pintu sana sudah ada Nara yang tampak khawatir sekaligus penasaran dengan pembicaraan antara Ardhan dengan Rivanto -- Ayahnya."Bagaimana kondisinya sekarang, Nak?" tanya Verra dengan antusias."Dia bicarakan soal apa sama kamu, Mas?" tanya Nara dengan serius.Ardhan pun perlahan menjawabnya satu persatu."Ma, katanya Papa mau ketemu."Tanpa mendengarkan kalimat lanjutan dari Ardhan, Verra pun bergegas masuk untuk melihatnya.Nara menarik tangan Ardhan dan mengajaknya untuk bicara sambil duduk di kursi tunggu itu."Mas, ceritakan sama saya, apa yang Papa katakan sama kamu. Dia tidak mengatakan hal yang aneh-aneh, 'kan?"Ardhan tersenyum senang. Ia menatap lekat-lekat sepasang mata Nara."Papamu sepertinya sudah sanga
Kakek Roland yang yang menyaksikan Verra terduduk lemas di lantai pun bergegas menghampiri."Ada apa? Kenapa?" tanyanya dengan santai. Verra merasa kesal. Dalam hati ia menggerutu sembari menatap wajah Kakek Roland yang penuh ambisi itu.'Kalau bukan karenamu, dia pasti tidak akan mengalami ini? Kenapa dia memiliki Ayah seperti dirimu?' Hidungnya berkerut dengan tangan mengepal di lantai.Air mata itu disekanya dengan tangan. Ia memegang ujung meja dan berusaja bangkit dari duduknya. Walaupun tubuhnya masih terasa lemas, tetapi ia berusaha bangkit untuk pergi menemuinya suaminya yang terbaring di rumah sakit."Kenapa malah diam saja? Beritahu aku kenapa? Ada apa ini?"Verra menoleh. "Suamiku mengalami kecelakaan!" jawabnya ketus.Alih-alih peduli dengan Rivanto, Kakek Heraldo yang mengetahui musibah ini malah menyalahkan Ardhan atas apa yang terjadi."Ini semua karena pria itu! Kalau saja tidak membawa Nara pergi, pasti suamimu tidak akan menyusul mereka sampai mengalami kecelakaan
Setelah suara kecelakaan itu terdengar sangat nyaring, orang-orang yang berseliweran di sana pun langsung terhenti dan menghampiri korban kecelakaan. Terutama mereka berkerumun hingga membentuk lingkaran sembari melihat kondisi Rivanto yang jauh lebih parah dibanding yang mengemudikan mobil.Darah bercucuran dengan banyak robekan pada kulitnya yang membuat orang-orang bersimpati. Tetapi, untungnya dengan gesit ada salah seorang di antara mereka yang langsung menghubungi ambulance."Mas, ayo kita lihat!" ajak Nara dengan antusias.Tanpa menyahut, Ardhan keluar dari mobil itu untuk mengikuti keinginan Nara. Dirinya akan mengusahakan apapun yang Nara inginkan, asalkan itu masih dalam batas wajar.Nara dengan cepat langsung berjalan memasuki kerumunan untuk melihat korbannya. Begitu melihatnya dengan jelas di depan mata. Sontak, tubuh Nara lemas dengan air mata mengalir deras melihat Ayahnya yang dalam keadaan tak berdaya.Ardhan yang mendengar suara tangisan Nara itu segera menghampiri
Tanpa mempedulikan apapun lagi, Nara berlari keluar dari rumah itu. Di susul oleh Ardhan yang melihat istrinya tengah dilanda kekecewaan yang mendalam.Rivanto yang tidak mau Nara benar-benar pergi sampai tidak bisa lagi ia temui pun membuatnya bergegas menyusul. Nara sudah memasuki mobil, begitu juga dengan Ardhan yang terus mengikuti istrinya, karena dirinya tidak mau jika sampai terjadi sesuatu kepada Nara tanpa sepengetahuan dari dirinya."Mas, tolong cepat jalankan mobilnya! Saya tidak mau kalau mereka mengejar saya dan tidak membiarkan saya menemui Mas lagi!" pinta Nara dengan gelisah.Rasa yang semakin tidak karuan membuat Nara seakan ingin menyalakan mobil itu sendiri. Tetapi, sayangnya yang saat itu menyetir adalah Ardhan.Begitu selesai menyalakan mesin mobil, Ardhan langsung tancap gas pergi. Bukan maksud Ardhan membuat Nara durhaka kepada orang tuanya, hanya saja ia juga tidak rela jika melihat Nara tersiksa. Terlebih lagi keadaan istrinya sedang hamil muda."Saya tahu ka
Rico yang ada di luar rumah itu hanya menyimak. Dirinya sama sekali tidak berani ikut campur atas masalah keluarga majikannya."Pokoknya aku tidak setuju! Aku cuma mau Nara menikah dengan pilihanku!" Kakek Heraldo tetap menentang pilihan Nara. "Kamu tahu 'kan Kendra itu seperti apa orangnya? Dia itu anak yang baik dan lebih terpandang! Berasal dari lulusan ternama di luar negeri! Lalu, suamimu apa kelebihannya? Dia belum tentu sehebat Kendra!" sanjung Kakek Roland untuk Kendra di depan Nara, Rivanto dan Verra.Verra yang merasa hanya seorang wanita tidak berani membantah ataupun angkat bicara. Ia hanya terdiam ketika Ayah mertuanya cukup membuatnya geram."Kek! Kenapa Kakek ikut campur dengan urusan pernikahan aku? Tidak bisalah membiarkan aku bahagia dengan pilihanku? Aku mencintai Mas Ardhan, aku juga tidak mau kehilangan dia! Apapun keputusan Kakek, Kakek tidak bisa semena-mena mengatur hidupku! Aku ini juga manusia, bukan piala bergilir yang dapat dengan bebas diperebutkan oleh
Nara memegang perutnya, lalu ia mengelus-elusnya secara perlahan. Rivanto terdiam, ia terus memperhatikan anaknya yang bertingkah aneh baginya."Kamu .... Jangan hilang kamu ....?" Rivanto mulai menduganya. Tetapi, ia belum berani untuk mengatakan hal tersebut."Benar, Pa. Papa tidak salah lagi kalau mengira aku lagi hamil. Sekarang ini aku memang lagi mengandung janin dari Mas Ardhan. Setelah tahu ini, aku harap Papa tidak lagi memikirkan dendam lama Papa. Aku hanya ingin keluarga kita tenang dan damai!" tutur Nara dengan lirih. Nada bicaranya sudah terdengar pasrah. Nara hanya mengusahakan, agar dirinya menjadi tenang. "Tidak Nara! Papa 'kan sudah memperingatkanmu supaya jangan sampai hamil anaknya!"Verra yang tak sengaja mendengar kabar kehamilan Nara itu langsung mendekat dan duduk di samping Nara. "Benarkah, Nak?" Berbeda dengan Rivanto yang kecewa karena Nara mengandung anak Ardhan, Verra malah tampak senang karena dirinya akan memiliki cucu. Sudah sekian lama ia menantikan k
"Bagaimana kalau saya pergi ke rumahmu sekarang untuk membuktikan?" tanya Budiman. Ia tidak sabar untuk membuktikan apa yang sempat Ardhan katakan kepadanya."Baik. Kita pergi sekarang!" Budiman dan Ardhan pun berjalan beriringan menuju lift. Mereka keluar dari lift ketika sudah sampai di lantai paling bawah dan lanjut menuju tempat parkir.Sementara Ardhan dan Budiman perjalanan menuju ke rumah, Nara yang sudah sekitar tiga menit yang lalu pergi. Ia berusaha fokus dan terkadang agak menaikkan kemudi mobilnya, karena ia bepergian tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Ardhan.Ardhan tidak tahu jika Nara sedang pergi. Ia hanya berpikir bahwa Nara beristirahat di rumah.Di jalanan, mobil Ardhan dan Budiman kadang berdampingan karena jalanan sedang tidak begitu ramai. Tetapi, kadang juga Ardhan menyusul dan Budiman hanya mengikuti di belakang mobil Ardhan.10 menit lengang.Ardhan sampai di rumahnya. Mereka menepikan mobilnya masing-masing di halaman rumah itu. Perlahan, Ardhan menu
"Saya serahkan sisanya kepada Anda, Pak! Kalau begitu saya permisi!" ungkap Ardhan. Ia pun melangkah keluar dari sana menuju mobil. Kini, waktunya ia pergi ke kantor karena proyek yang sebelumnya belum selesai.Namun, Nara yang dalam keadaan hamil dan tidak pergi ke kantor pun membuatnya hanya sendirian saja.Setibanya di kantor ....Di kantor itu, sudah ada Budiman -- kliennya yang selalu menginginkan kehadiran Nara di kantor itu."Selamat siang, Pak. Tadi ada klien kita yang ingin bertemu!" ungkap salah seorang karyawan kantor yang mendapat titipan pesan lisan dari Budiman."Baiklah." Ardhan melihat ke sekitar. "Tapi sekarang dia ada di mana?" tanya Ardhan. "Ada di ruang rapat.""Baik, terima kasih."Ardhan pun melanjutkan langkah kakinya untuk menaiki lift yang sebelumnya hendak ia naiki, namun sempat sedikit terganggu oleh karyawan itu.Selama di dalam lift, Ardhan hanya terdiam dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana.Ting! Pintu lift terbuka.Ardhan keluar dari san
Hari berganti, Ardhan kembali melanjutkan rencananya. Kini, ia pergi kembali ke kantor polisi untuk menyerahkan rekaman untuk memperkuat bukti yang ada. Dirinya tidak mau membuang-buang waktu dan menunggu lebih lama lagi. Ia mengemudikan mobilnya lebih cepat, hingga tak lama kemudian sampai di tempat tujuannya.Tak lama dari itu, telepon dari Rico masuk. Ia pun lekas menjawabnya.[Tuan, orangnya sudah berhasil ditemukan!]Atas kecerdikan ajudan pribadinya, Rico dapat membawa pria itu ke hadapan Ardhan. Pria itu tidak menyadari jika dirinya sedang dicari, sehingga tidak menyembunyikan dirinya.[Bawa dia ke kantor polisi!]Ardhan memerintahkan itu sewaktu dirinya berada di kantor polisi sendirian. Ia duduk sebentar dan hatinya seolah mengatakan untuk tidak pergi terlebih dahulu.[Baik, Tuan!]Tuuutt. Panggilan berakhir.Ardhan kembali melanjutkan pembicaraannya dengan salah seorang polisi. "Pak, saya sudah memiliki bukti yang lebih kuat dari kemarin. Sekarang Anda tidak boleh berlama-