"Kek ... Kakeeekk ...!" Ryan berteriak panik. Dia tak menduga hal ini akan terjadi.
Sandra dan Rosa yang mendengar teriakan Ryan segera berlalu menghampirinya.
"Apa yang terjadi?"
"Kakek tiba-tiba pingsan setelah mendengar kabar tentang Harshil."
"Apa maksudmu, Ryan?" tanya ibunya.
"Ma, ledakan di gudang minyak itu, ternyata ada Harshil di sana. Mobilnya juga hangus terbakar."
"Apa? Kamu kasih tahu info ini pada kakekmu yang pernah punya riwayat sakit jantung?"
Sandra menggeleng pelan lalu menghubungi para penjaga dan sopirnya untuk membawa Tuan Danendra ke Rumah Sakit.
"Andre, tolong ke sini, bawa Tuan ke Rumah Sakit, kami akan menyusul di belakang," perintah Sandra pada sang sopir.
"Baik, Nyonya."
Sementara Rossa sibuk menghubungi anak buah, untuk mencari tahu kebenaran yang terjadi pada Harshil dan istrinya.
"Hallo, Tanto, kau cari tahu informasi akurat tentang Harshil dan
"Inara, sudah, aku udah merasa enakan. Kamu juga pasti sangat lelah, mengalami hal-hal yang buruk tadi. Sekarang istirahatlah. Besok kita akan pergi.""Pergi? Pergi kemana, Mas?"Harshil hanya tersenyum. Ia pun bingung untuk menjawabnya. Lebih baik, dia memulai kehidupannya yang baru dengan sang istri, mulai dari nol."Kita sembunyi ke tempat yang tak pernah mereka duga. Kamu mau ikut kan?"Inara mengangguk. "Aku akan ikut kemanapun kamu pergi."Harshil mengelus puncak kepala sang istri, menyentuh pipinya pelan. "Ya sudah, sekarang tidur ya."Inara mengangguk kembali seraya memejamkan mata, mencoba berdamai dengan keadaan, tidur walaupun perasaannya masih bergejolak.***Pagi-pagi sekali, jam empat pagi, Inara dan Harshil berpamitan pada Pak RT, rencananya dia akan pulang ke rumah abah terlebih dahulu. Abah pasti akan membantunya memberikan solusi."Maaf Pak RT, mengganggu waktu istirahatnya. Tapi kami bern
Di kegelapan malam, mereka berdua berjalan. Inara menggamit lengan sang suami. Untuk mencapai jalan raya, harus berjalan kurang lebih 1 km. Suasana perkampungan sangat sepi, mereka hanya berharap tidak ada yang memergokinya di tengah jalan, apalagi bila ketahuan anak buah Juragan Bani. Habis sudah.Tiba-tiba dari kejauhan terlihat cahaya kendaraan bermotor yang semakin mendekat. Inara tampak panik, ia takut kalau motor itu adalah anak buah Juragan Bani."Mas, gimana ini kalau ketahuan?" tanya Inara."Jalan saja, gak usah khawatir," sahut Harshil.Inara mengangguk walaupun debaran jantungnya lebih kencang dari biasanya.Pengendara motor itu berhenti di seberang jalan. Dia turun dari motor dan melepaskan helmnya, menghampiri Inara dan Harshil."Inara? Alhamdulillah, syukurlah kamu selamat," ucapnya.Inara cukup terkejut melihat lelaki itu. "Mas Angga?""Aku sempat khawatir pas dengar berita ledakan di Gu
"Mas, kamu mau ngapain?""Mencium istriku." Harshil mendaratkan kecupan manis di kening Inara membuat wajahnya merona kemerahan."Ish ... Awas Mas, aku mau mandi dulu!" perlahan Inara mendorong Harshil, lelaki itu hanya terkekeh melihat sikap istrinya yang salah tingkah."Kebiasaan tidurmu yang sembarangan harus diperbaiki, Inara. Untung kamu lagi sama aku kalau sama orang lain bagaimana?"Inara menghentikan langkah. "Iya aku capek banget Mas, sampai ketiduran gitu aja.""Di bus juga kamu tidur."Inara tersenyum nyengir. "Justru karena ada kamu Mas, aku jadi merasa nyaman. Kalau orang lain aku pasti waspada.""Kamu gak takut aku ngapa-ngapain?""Kamu kan suami aku, kalau mau ngapa-ngapain juga halal.""Hmmm ... Sepertinya aku harus--"Belum selesai bicara Inara langsung berlari ke kamar mandi. Harshil menggeleng perlahan melihat tingkah polos istrinya. Hidup sederhana dan berdua dengan istrinya mungk
"Makasih ya, Inara. Sepertinya aku mulai jatuh cinta padamu."Inara yang tengah memijat telapak kaki Harshil, segera menghentikannya lalu menoleh, menatap sang suami yang mengucapkan kata-kata tak biasa."Apa maksudnya, Mas?""Aku jatuh cinta padamu, Inara. Apa kamu keberatan?"Inara menunduk dan menggeleng pelan. Entah bagaimana perasaannya saat ini pun tak mengerti. Ada bunga-bunga yang bermekaran dalam hatinya, ada debaran jantung yang makin berirama tak biasa. Antara bahagia maupun sedih. Bahagia karena akhirnya cinta itupun datang bersambut, dan sedih karena suatu saat hubungan ini akan berakhir."Kenapa diam? Apa kau tak suka kalau aku memiliki perasaan padamu?""Emmmh ... Bukannya seperti itu Mas, tapi--""Sudahlah lupakan saja, Inara. Kau istirahat saja, dari pagi kamu terus bekerja. Kamu pasti capek. Gak usah dimasukkan ke hati ucapanku tadi, anggap saja sebagai angin lalu."Inara mengangguk. Mencuci tang
Harshil tersenyum. "Apa yang harus kulakukan?""Nanti bantuin jualan aja Mas.""Siap, Bos!""Haha, belum apa-apa udah dipanggil Bos.""Iya dong, walaupun kecil-kecilan tapi kan kamu pemilik usaha ini, jadi kamu bos-nya.""Aamiin ..." sahut Inara tersenyum.Pukul 04.45 pagi"Mas, tolong ini masuk-masukin ke keranjang ya," ucap Inara."Oke.""Kantong kreseknya jangan lupa dibawa, Mas.""Iya."Inara masih berkutat dengan penggorengan terakhir. Usai selesai dan memasukkannya ke dalam keranjang, ia bergegas mandi dengan kilat. Dua keranjang penuh dengan barang jualannya."Mas, ayo kita jualan!" ajak Inara."Sudah selesai semua?""Sudah.""Oke, ayo! Daftar harganya sudah ada?""Sudah, semalam. Sudah kutulisin, nanti jangan sampai salah ya, Mas.""Siap.""Ini hari pertama jualan, bismillah semoga laris manis, Aamiin."Lelaki itu membuka pi
"Aku tidak apa-apa, Inara. asalkan kamu tidak terluka, akupun akan baik-baik saja. Berhentilah mengkhawatirkanku. Aku akan berusaha untuk terus melindungimu.""Jangan, tidak boleh seperti ini.""Kenapa?""Nanti kamu sakit lagi," sahut Inara.Harshil justru terkekeh mendengar sekaligus melihat wajah Inara yang tampak begitu khawatir."Aku lapar, Inara. Bisakah aku menikmati masakanmu?" tanya Harshil.Inara mendongak, bibirnya melengkungkan sebuah senyuman. "Iya, aku masak dulu sebentar, Mas," ucap wanita itu seraya mengurai pelukan suaminya.Harshil mengangguk. Meneguk teh manis buatan Inara yang sudah dingin. Sementara di dapur, Inara memasak bahan seadanya. Nasi plus omelette dengan isian sosis serta potongan daun bawang, lalu sambal bawang ia sajikan untuk menu sarapan, yang mudah dan juga praktis.Lalu, lontong isi dan gorengan yang memang sengaja ia sisakan di rumah untuk suaminya masih bertengger manis
Siang hari yang terik mendadak mendung, titik-titik air hujan itu turun begitu saja walau di ujung barat sana ada sinar mentari yang memancar.Rasanya ia ingin sekali menjenguk ke makam kakeknya, andai saja kondisinya tak begini. Ia pun tak tahu entah sampai kapan dia akan bersembunyi."Mas, sudah dong sedihnya. Kamu harus tetap kuat. Air mata takkan mengubah apapun. Kita berdoa saja untuk kebaikan bersama."Harshil mengangguk. Sejak kecelakaan itu, ia memang menjadi pribadi yang pesimis. Seolah duka selalu menyelimutinya."Kita fokus dengan apa yang ada di hadapan kita sekarang. Mulai semuanya dari bawah."Harshil mengangguk lagi, meraih pipi istrinya dan dibelainya dengan pelan. "Iya, terima kasih ya. Kamu benar-benar penguatku sekarang.""Gimana kakimu, Mas? Apa masih terasa nyeri.""Ya, sedikit. Kadang masih terasa nyeri.""Pelan-pelan, nanti juga akan cepat sembuh, Mas.""Ini semua berkat bantuan dan d
Suara adzan subuh berkumandang, gegas mereka melaksanakan salat subuh berjamaah. Seperti rutinitas sebelumnya, Inara dan Harshil tetap berjualan pagi, menjemput rezeki yang halal dan berkah. Meskipun harus menahan kantuk luar biasa, tapi kini keduanya sudah mulai terbiasa. Harshil pun bisa mulai bisa membantu Inara membuat adonan atau kadang kala dia yang membungkus jajanan ke dalam plastik maupun mika. Memang mereka membungkusnya satu persatu agar makanan itu higienis tidak terkontaminasi oleh debu."Apa doamu hari ini, Inara?" tanya Harshil ingin tahu. Pria itu terlihat lebih tampan saat memakai sarung, baju koko dan juga peci."Seperti biasanya Mas, memohon ampunan, meminta kesehatan dan rezeki yang berkah, jualan laris, terus--""Terus apa?""Semoga hubungan kita langgeng sampai maut memisahkan," sahutnya sambil tersenyum simpul. Inara melepas mukenanya dan kembali melipat dan menggantungnya di dinding.Harshil tersenyum saat
Harshil masih menenangkan diri di ruang perawatan bayi. Ia masih belum sanggup menemui Inara dalam keadaan yang menyedihkan. Berulang kali ia menghapus jejak genangan air mata. Nyatanya dia yang biasa tegar kini terlihat begitu rapuh. Bahkan sangat rapuh akan kehilangannya. Cukup lama, bayinya itu kembali tenang, sudah tak menangis lagi. Harshil bersiap menemui Inara. Di ruangan serba putih itu, Inara masih terbaring lemah. Ia sudah tak lagi memakai mesin ventilator hanya selang oksigen dan juga selang infus. Ia masih terdiam, belum mampu berucap satu patah kata. Harshil membuka pintu ruang perawatan. Inara menoleh ke arah suaminya, pandangan mereka bersirobok. Tanpa banyak kata, Harshil langsung menghambur ke arahnya, memeluk sang istri dan menciuminya berkali-kali. Dengan tangan gemetar, Inara mengangkat tangannya lalu berusaha mengusap genangan embun di kedua mata Harshil. Lalu membelai lembut bibir sang suami, membuat lelaki itu makin tak kuasa menahan air mata.Inara tersenyum
Jika yang datang bisa pergi, lantas akankah yang pergi bisa kembali?***"Bangun sayang, kamu gak boleh pergi. Inara, banguuuun. Kau dengar aku kan?! Jangan tinggalkan aku sendiri di sini, Inara!! Aku sangat mencintaimu Inara, aku mencintaimu. Kumohon kembalilah, jangan pergiii .... Inaraku, bangunlah sayaaaaang."Inara masih bergeming meski Harshil berteriak dengan histeris. Harshil menghapus jejak air mata yang jatuh berderai. Ia bangkit dan kembali mencium puncak kepala Inara. Walaupun matanya terpejam, ia terlihat begitu damai dan teduh. Berkali-kali Harshil menelan saliva. Berharap ini hanya mimpi semata. Ia takkan pernah bisa terima bila Inara sudah tiada."Ah aku tau cara membangunkanmu, tunggu aku sayang ... Aku akan membawamu kembali."Harshil membuka pintu ruang perawatan dan kembali menutupnya. Sontak semua orang menatap ke arahnya. Keluarganya satu persatu sudah datang, mereka pun tengah menunggu kepastian, termasuk Chelsie yang didampingi oleh kedua orang tuanya datang.
"Ya, Tuan. Keadaan nona ..."'Ada apalagi dengan Inara?' Batin Harshil. Jantungnya makin berdegup dengan kencang. "Ada apa dengan Inara?" tanya Harshil dengan suara bergetar. Matanya sudah panas seolah kristal bening itu hendak berjejalan keluar."Tuan, keadaan nona kritis lagi."Tes ... Air mata itupun akhirnya jatuh tak tertahankan. Dia langsung mematikan panggilan teleponnya. Hatinya mendadak gusar."Van, kita ke rumah sakit sekarang!" titah Harshil dengan pandangan kosong. Perasaannya berubah tak enak. Khawatir, panik, cemas bercampur aduk menjadi satu. Apa yang terjadi pada Inara? Pertanyaan itu terus berputar-putat di pikirannya."Baik, Tuan." Vano memperhatikan sang majikan, merasa iba dengan keadaannya. 'Kasihan sekali, Tuan Muda."Vano memacu mobilnya dengan kecepatan kencang. Sepanjang perjalanan Harshil hanya diam, dengan perasaan yang berkecamuk begitu dahsyat.Terbayang kembali kenangan-kenangan manis bersama Inara. Kenangan yang takkan pernah bisa ia lupakan. Kepingan-
"Nak Harshil, gimana keadaan Inara?" Tiba-tiba Abah datang, wajahnya tampak begitu cemas. Teddy-lah yang sudah membawanya kemari.Harshil bangkit dan langsung menyalami tangan ayah mertuanya. "Abah bisa ikut aku ke dalam," ujar Harshil. Dia mengantarkan abah melihat kondisi putrinya. Di atas bed pasien, Inara tampak tertidur pulas dan damai. Wajah yang putih dan terlihat sangat pucat, membuat siapapun yang melihatnya melelehkan air mata. Abah menatap sang menantu, pandangannya seolah meminta penjelasan."Abah, maafkan saya karena tak bisa melindunginya dengan baik. Kata dokter, Inara mengalami koma akibat pendarahan hebat dan benturan keras yang dialaminya." Harshil mengambil nafas dalam-dalam, berusaha menenangkan gejolak hatinya. "Tapi beruntung bayi dalam kandungan Inara masih bisa diselamatkan. Abah sudah punya cucu. Cucu yang sangat tampan," lanjut Harshil lagi dengan pandangan berkaca-kaca.Abah langsung mendekat ke arah putrinya. Bahu itu tampak berguncang. Abah menangis. Me
Tanpa terasa butiran bening menitik di kedua sudut matanya. "Inara bangun, Inara! Bertahanlah sayang! Bertahanlah!"Beberapa orang langsung berkerumun. Bahkan ada yang hendak menolong Inara."Berhenti! Jangan sentuh istriku!" teriak Harshil. Emosi dan kesedihannya sudah memuncak bercampur padu menjadi satu.Mereka saling berpandangan, melihat kondisi Inara yang tampak begitu menyedihkan. Harshil meraih ponselnya dan menelepon Teddy supaya segera mempersiapkan mobil. Teddy berlari ke arahnya. "Tuan mobilnya sudah siap!" tukas Teddy, wajahnya pun ikut panik melihat kondisi nona majikannya.Dengan hati yang runtuh, Harshil mengangkat tubuh Inara. Dan berlari menuju mobil yang sudah dipersiapkan di depan mall. Tak peduli dengan tatapan orang-orang yang melihatnya iba. "Sayang, kumohon bertahanlah." Harshil terus menciumi sang istri, berharap ada keajaiban dan dia bisa sadarkan diri.Harshil duduk memangku tubuh Inara. Tak peduli rembesan darah itu sudah menodai bajunya. Ia mengusap peru
"Mas, mau pilih yang mana? Kiri apa kanan?" Inara memberikan pilihan seraya menyodorkan kedua tangannya yang mengepal."Wah, kejutan apa lagi nih?" tanya Harshil. Dia beranjak duduk dengan pandangan yang antusias."Ayo mau pilih yang mana?" tanya Inara lagi."Yang kanan apa, Sayang?" Inara membuka kepalan tangannya. "Yeay makan jagung bakar," jawabnya seraya memperlihatkan sebuah tulisan di tangannya."Kalau yang kiri?" tanya Harshil. Inara membuka kepalan tangannya yang sebelah kiri. "Jalan-jalan ke pantai.""Ya udah aku pilih yang kanan dan kiri juga. Ayo kita jalan-jalan ke pantai sambil makan jagung bakar!""Hah? Beneran?""Iya, kalau bisa dua-duanya kenapa tidak?" Harshil menaik-turunkan alisnya menggoda."Beneran, Mas?" Inara kembali bertanya seolah masih tak percaya."Iya. Anniversary kita yang ke berapa tadi?""Sepuluh bulan!"Harshil mengulum senyum. "Oh iya, ayo. Siap-siap! Mandi dulu gih!""Eeh kan aku udah mandi dari sebelum subuh! Mas sih, habis subuhan malah tidur lagi
"Inara, hari ini kita jalan-jalan yuk! Biar aku sendiri yang nyetir. Spesial hari ini khusus untuk kita berdua," ajak Harshil. Hari ini dia ada sedikit waktu. Rasanya ingin bersenang-senang bersama sang istri. Kaos warna marun dan celana jeans membalut tubuhnya yang atletis."Kemana?""Kamu maunya kemana?""Makan.""Makan lagi?" Kening Harshil mengernyit. Pasalnya mereka baru saja makan siang bersama keluarga, kurang lebih satu jam yang lalu.Inara mengangguk cepat. Semenjak kehamilannya menginjak ke trimester ketiga, entah kenapa nafsu makannya bertambah berlipat-lipat. Jadi doyan makan dan pengen makan lagi. Harshil menatap istrinya dengan pandangan takjub. Merasa heran dengan perubahan sang istri."Badan kecil begini tapi kok doyan makan ya!" celetuk Harshil."Kan permintaan dedek bayi.""Jadi dedek bayi lagi yang minta?""Heem.""Terus mau makan apa?""Emmmh bentar-bentar, aku komunikasi sama dedek bayi dulu."Harshil mengulum senyum melihat tingkah Inara yang menurutnya lucu dan
Menginjak usia kandungan yang ke tujuh bulan. "Mas, hari ini antar aku check-up ke dokter lagi ya.""Iya, tentu saja, Sayang. Bulan ini bisa tahu ya jenis kelaminnya apa?""Semoga bisa ya, Mas.""Aku sudah tidak sabar lagi menunggu hari kelahirannya."Inara tersenyum manis. "Kau benar, Mas. Aku juga sudah tidak sabar lagi. Rasanya pasti menyenangkan akan menjadi orang tua.""Apa ada yang kamu keluhkan?" tanya Harshil. Ia ingin memastikan kondisi istrinya baik-baik saja."Hanya satu yang jadi keluhanku saat ini, Mas.""Apa?" "Gak bisa tengkurap, Mas.""Hahahaha ..." Harshil justru tertawa mendengar jawaban konyol Inara. Ia tak menyangka sang istri yang lugu dan polos bisa bercanda juga."Kok ketawa, Mas? Aku kan ngomong bener. Cuma bisa miring kanan, capek miring kiri. Pinggangku juga makin pegel, Mas, gampang capek. Sesekali aku pengen tengkurep, tapi gak bisa."Harshil mengacak rambut Inara yang masih tergerai panjang. "Kamu ini ada-ada saja. Namanya juga lagi hamil, pasti rasanya
"Mas, hari ini enam bulan pernikahan kita," ujar Inara ragu-ragu."Hmmm, terus?" Harshil masih menatap layar laptop di hadapannya."Kok terus sih? Mas gak mau ucapin apapun padaku?" tanya Inara, bibirnya cemberut.Harshil menoleh, menatap Inara yang tengah kesal memandangnya. Pandangan Harshil bertanya-tanya. Ia pun bangkit, lalu menghampiri sang istri. "Kamu butuh apa, Sayang?"Inara menggeleng pelan, membuat Harshil makin tak mengerti. "Ayo coba katakan padaku, apa yang kamu inginkan? Kalau kamu gak ngomong, aku gak bakalan tau."Inara menghela nafas dalam-dalam. "Mas, apa kamu gak mau memastikan pernikahan kita?""Apanya yang perlu dipastikan? Kan semuanya sudah pasti, kau milikku dan aku milikmu. Oh, kamu masih ragu tentang perjanjian itu?"Inara mengangguk lemah. Harshil justru tersenyum seraya membuang nafas panjangnya. Dituntunnya sang istri untuk duduk di tepi ranjang. Lelaki itu membenarkan rambut Inara ke belakang telinga. "Kenapa kamu masih takut dengan hal itu? Aku kan