Siang hari yang terik mendadak mendung, titik-titik air hujan itu turun begitu saja walau di ujung barat sana ada sinar mentari yang memancar.
Rasanya ia ingin sekali menjenguk ke makam kakeknya, andai saja kondisinya tak begini. Ia pun tak tahu entah sampai kapan dia akan bersembunyi.
"Mas, sudah dong sedihnya. Kamu harus tetap kuat. Air mata takkan mengubah apapun. Kita berdoa saja untuk kebaikan bersama."
Harshil mengangguk. Sejak kecelakaan itu, ia memang menjadi pribadi yang pesimis. Seolah duka selalu menyelimutinya.
"Kita fokus dengan apa yang ada di hadapan kita sekarang. Mulai semuanya dari bawah."
Harshil mengangguk lagi, meraih pipi istrinya dan dibelainya dengan pelan. "Iya, terima kasih ya. Kamu benar-benar penguatku sekarang."
"Gimana kakimu, Mas? Apa masih terasa nyeri."
"Ya, sedikit. Kadang masih terasa nyeri."
"Pelan-pelan, nanti juga akan cepat sembuh, Mas."
"Ini semua berkat bantuan dan d
Suara adzan subuh berkumandang, gegas mereka melaksanakan salat subuh berjamaah. Seperti rutinitas sebelumnya, Inara dan Harshil tetap berjualan pagi, menjemput rezeki yang halal dan berkah. Meskipun harus menahan kantuk luar biasa, tapi kini keduanya sudah mulai terbiasa. Harshil pun bisa mulai bisa membantu Inara membuat adonan atau kadang kala dia yang membungkus jajanan ke dalam plastik maupun mika. Memang mereka membungkusnya satu persatu agar makanan itu higienis tidak terkontaminasi oleh debu."Apa doamu hari ini, Inara?" tanya Harshil ingin tahu. Pria itu terlihat lebih tampan saat memakai sarung, baju koko dan juga peci."Seperti biasanya Mas, memohon ampunan, meminta kesehatan dan rezeki yang berkah, jualan laris, terus--""Terus apa?""Semoga hubungan kita langgeng sampai maut memisahkan," sahutnya sambil tersenyum simpul. Inara melepas mukenanya dan kembali melipat dan menggantungnya di dinding.Harshil tersenyum saat
Inara dan Harshil saling berpandangan."Pak, kami beneran menemukan bayi--""Hei dengerin ya mbak, mas, satu bulan kami menerima lebih dari lima laporan tentang penemuan bayi yang sengaja dibuang oleh orang tuanya. Dan yang terakhir itu sepasang remaja SMA, ternyata bayi itu anak mereka sendiri, mereka tak mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya hingga membuat laporan palsu. Kali ini kami tidak ingin tertipu, sudah sana bawa saja bayi itu. Kalian urus baik-baik, kerja yang bener, beri makan anak yang bener, jangan cuma hobi melakukan tapi gak mau tanggung jawab. Ckckck! Dasar anak muda zaman sekarang kelakuan dah kayak binatang! Kucing aja mau merawat anaknya sendiri lah ini malah mau ditinggalin! Mau dibuang, kelakuan macam apa itu? Gak usah sok berkedok lewat penampilan yang seperti ini!"Tangan Harshil mengepal erat mendengar hinaan dari petugas itu tanpa peduli untuk menyelidikinya lebih dulu."Mas, sudah ayo kita pulang saja!" Inara menahan t
Harshil menghela nafasnya dalam-dalam. Sesekali melirik ke arah Inara yang begitu antusias dengan kehadiran si bayi."Heran, apa kata dunia, kita saja belum malam pertama tapi dah punya bayi!" celetuk Harshil kesal.Inara menoleh melihat wajah suaminya yang begitu kesal. Dia tertawa ringan."Mas, jangan begitulah. Kasihan anak ini lucu banget lho.""Nanti malam aku tidur dimana kalau ada dia?""Ya disinilah, kita bertiga, dedek bayi yang di tengah-tengah.""Ah enggak! Aku keberatan.""Lho kenapa?""Ya, karena nanti aku gak bisa memelukmu dengan leluasa. Cckk!" Harshil merajuk seperti anak kecil.Inara tersenyum menghampirinya yang merasa kesal. Harshil yang tengah duduk di dekat pintu segera memalingkan wajah."Hhmmm, suamiku lagi ngambek nih ceritanya?" Inara duduk di hadapannya."Baru sebentar saja, perhatianmu sudah teralihkan.""Haha Mas, kamu lucu sekali kalau lagi ngambek."H
Inara mencebik kesal. Ah suaminya itu memang tak mudah ditebak. Inara bangkit menuju dapur meninggalkan sang suami yang masih tertawa."Dasar, bisa-bisanya dia--""Eheeemm! Jangan menggerutu di belakangku, Sayang!""Mas kamu kok kesini? Cepat sana temani dedek bayi lagi. Kasihan sendirian.""Aku lagi ingin bersamamu," sahutnya cuek.Inara terdiam. Sementara Harshil menghela nafas panjang. "Inara, apa kau tahu, aku merasa terganggu dengan kehadirannya."Inara terdiam. Apakah salah kalau dia merawat anak itu? Anak yang tidak tahu asal usulnya dari mana. Dia melirik sekilas menatap ke arah Harshil yang masih saja tak setuju dengan keputusannya."Aku tak ingin kebersamaan dan perhatianmu terbagi, Inara. Kita bawa saja anak itu ke panti asuhan ya."Hening, yang terdengar hanya suara pisau dan talenan yang beradu. Inara masih sibuk mengiris bumbu untuk makan siang. Sementara mulutnya terdiam walaupun telinga
'Lila? Duh, gawat! Apa yang harus kulakukan?'"Harshil, kamu sedang ngapain di sini? Terus siapa bayi itu?"Harshil masih terdiam, kalau dia pergi dari sana, Lila pasti akan menguntitnya."Hei, kenapa ditanya diam saja?"Lila makin mendekat, melihat bayi yang ada dalam pangkuannya. Raut wajahnya berubah gusar."Mas?!" Panggilan Inara mengagetkan mereka."Siapa kamu?" tanya Lila dengan nada jutek.Inara menaruh keranjang itu di dekat kakinya. "Maaf ya Mbak, harusnya saya yang bertanya, siapa kamu dekat-dekat dengan suami saya?""Suami?" Lila mengerutkan kening memperhatikan sejenak penampilan Inara dari atas ke bawah. Lila bergantian memandang ke arah Harshil, memastikan kalau dia tak salah mengenali orang.Sementara Inara mendekat ke arah Harshil, membuat Lila memundurkan langkah."Mas, apa Savrina nangis?" tanya Inara. Dia meraih bayi itu dan menggendongnya."Ya sayang, tadi dia nan
"Aku juga ingin menjadi baik seperti kamu. Selama ini kamu yang sudah mengajarkan banyak hal, termasuk tentang keikhlasan. Aku jadi makin jatuh cinta padamu, Inara."Inara hanya mengangguk saja. Kepalanya memang benar-benar terasa penat.Mereka salat subuh berjamaah. Saat Inara hendak melipat dan menggantung kembali mukena itu, tiba-tiba ia lunglai, tubuhnya merosot, seketika Harshil meraihnya dalam dekapan."Astaghfirullah Inara ...!" pekik Harshil panik.Ia langsung membopong tubuh sang istri kembali ke tempat tidur."Inara! Inara!" panggilnya. Diperiksanya berulang kali kening sang istri. Panas, sementara tangan dan kakinya begitu dingin."Kamu kenapa, Sayang? Bangunlah, jangan sakit!" Cemas dalam nada bicaranya. Ia menyelimuti tubuh sang istri dengan selimut seadanya. Diciuminya berkali-kali kening dan pipinya. Harshil mengompres kening Inara, memijat kakinya yang terasa dingin. Mengambil minyak kayu putih
Pramudya menelepon seseorang anak buahnya yang lihai menjadi penguntit."Hallo, kau ikuti kemanapun Ettan pergi. Beritahu aku laporannya.""Baik, Bos. Selain itu apa yang harus saya oakukan?" sahut suara di seberang telepon."Ikuti saja dan laporkan perkembangannya. Saya akan berikan perintah menyusul.""Siap, bereees bos!"***Mobil yang dikendarai Andre sudah berbelok ke halaman rumah besar nan megah itu. Mereka semua turun. Sementara Ettan mengikuti langkah Sandra."Wah, Ettan kembali, dimana Harshil?" tanya Diandra."Diandra, jangan ganggu Ettan. Biar dia ikut Tante," pungkas Sandra."Ish ish, sok berkuasa banget sih! Aku kan cuma ingin tahu kondisi Harshil gimana!" gerutu Diandra kesal.Ettan mengikuti langkah Sandra. "Ini kunci mobilnya, kamu bawa Harshil ke
Harshil menghela nafas dalam-dalam. "Kamu istirahat saja. Akan kupikirkan malam ini."Inara mengangguk pelan. Entah kenapa hari ini dia benar-benar merasa lemas sekali, padahal tadi dia sudah meminum obat dari dokter."Mas, ini sudah sore. Maaf kalau aku menyuruhmu, tolong mandiin Savrina ya Mas."Harshil melirik bayi yang berada di samping Inara. Kalau saja dia anak kandungnya, pasti sudah ia rawat dengan sepenuh hati."Iya, aku rebuskan air hangat dulu. Kamu mau mandi juga Inara? Biar kumandikan."Mata Inara membulat, ia beranjak duduk. Harshil justru tertawa melihat ekspresi istrinya."Ih kamu ini apaan sih, Mas. Bikin aku---"Ucapan Inara terhenti seketika saat Harshil mengecup pipinya."Wajahmu merah, Inara. Pasti karena kamu sedang demam," bisiknya lirih. Inara sedikit memalingkan wajah, tersipu malu.Mendapati ada yang tak beres juga dengan debaran jantungnya, Harshil akhirnya bangkit. Ia tampak sala
Harshil masih menenangkan diri di ruang perawatan bayi. Ia masih belum sanggup menemui Inara dalam keadaan yang menyedihkan. Berulang kali ia menghapus jejak genangan air mata. Nyatanya dia yang biasa tegar kini terlihat begitu rapuh. Bahkan sangat rapuh akan kehilangannya. Cukup lama, bayinya itu kembali tenang, sudah tak menangis lagi. Harshil bersiap menemui Inara. Di ruangan serba putih itu, Inara masih terbaring lemah. Ia sudah tak lagi memakai mesin ventilator hanya selang oksigen dan juga selang infus. Ia masih terdiam, belum mampu berucap satu patah kata. Harshil membuka pintu ruang perawatan. Inara menoleh ke arah suaminya, pandangan mereka bersirobok. Tanpa banyak kata, Harshil langsung menghambur ke arahnya, memeluk sang istri dan menciuminya berkali-kali. Dengan tangan gemetar, Inara mengangkat tangannya lalu berusaha mengusap genangan embun di kedua mata Harshil. Lalu membelai lembut bibir sang suami, membuat lelaki itu makin tak kuasa menahan air mata.Inara tersenyum
Jika yang datang bisa pergi, lantas akankah yang pergi bisa kembali?***"Bangun sayang, kamu gak boleh pergi. Inara, banguuuun. Kau dengar aku kan?! Jangan tinggalkan aku sendiri di sini, Inara!! Aku sangat mencintaimu Inara, aku mencintaimu. Kumohon kembalilah, jangan pergiii .... Inaraku, bangunlah sayaaaaang."Inara masih bergeming meski Harshil berteriak dengan histeris. Harshil menghapus jejak air mata yang jatuh berderai. Ia bangkit dan kembali mencium puncak kepala Inara. Walaupun matanya terpejam, ia terlihat begitu damai dan teduh. Berkali-kali Harshil menelan saliva. Berharap ini hanya mimpi semata. Ia takkan pernah bisa terima bila Inara sudah tiada."Ah aku tau cara membangunkanmu, tunggu aku sayang ... Aku akan membawamu kembali."Harshil membuka pintu ruang perawatan dan kembali menutupnya. Sontak semua orang menatap ke arahnya. Keluarganya satu persatu sudah datang, mereka pun tengah menunggu kepastian, termasuk Chelsie yang didampingi oleh kedua orang tuanya datang.
"Ya, Tuan. Keadaan nona ..."'Ada apalagi dengan Inara?' Batin Harshil. Jantungnya makin berdegup dengan kencang. "Ada apa dengan Inara?" tanya Harshil dengan suara bergetar. Matanya sudah panas seolah kristal bening itu hendak berjejalan keluar."Tuan, keadaan nona kritis lagi."Tes ... Air mata itupun akhirnya jatuh tak tertahankan. Dia langsung mematikan panggilan teleponnya. Hatinya mendadak gusar."Van, kita ke rumah sakit sekarang!" titah Harshil dengan pandangan kosong. Perasaannya berubah tak enak. Khawatir, panik, cemas bercampur aduk menjadi satu. Apa yang terjadi pada Inara? Pertanyaan itu terus berputar-putat di pikirannya."Baik, Tuan." Vano memperhatikan sang majikan, merasa iba dengan keadaannya. 'Kasihan sekali, Tuan Muda."Vano memacu mobilnya dengan kecepatan kencang. Sepanjang perjalanan Harshil hanya diam, dengan perasaan yang berkecamuk begitu dahsyat.Terbayang kembali kenangan-kenangan manis bersama Inara. Kenangan yang takkan pernah bisa ia lupakan. Kepingan-
"Nak Harshil, gimana keadaan Inara?" Tiba-tiba Abah datang, wajahnya tampak begitu cemas. Teddy-lah yang sudah membawanya kemari.Harshil bangkit dan langsung menyalami tangan ayah mertuanya. "Abah bisa ikut aku ke dalam," ujar Harshil. Dia mengantarkan abah melihat kondisi putrinya. Di atas bed pasien, Inara tampak tertidur pulas dan damai. Wajah yang putih dan terlihat sangat pucat, membuat siapapun yang melihatnya melelehkan air mata. Abah menatap sang menantu, pandangannya seolah meminta penjelasan."Abah, maafkan saya karena tak bisa melindunginya dengan baik. Kata dokter, Inara mengalami koma akibat pendarahan hebat dan benturan keras yang dialaminya." Harshil mengambil nafas dalam-dalam, berusaha menenangkan gejolak hatinya. "Tapi beruntung bayi dalam kandungan Inara masih bisa diselamatkan. Abah sudah punya cucu. Cucu yang sangat tampan," lanjut Harshil lagi dengan pandangan berkaca-kaca.Abah langsung mendekat ke arah putrinya. Bahu itu tampak berguncang. Abah menangis. Me
Tanpa terasa butiran bening menitik di kedua sudut matanya. "Inara bangun, Inara! Bertahanlah sayang! Bertahanlah!"Beberapa orang langsung berkerumun. Bahkan ada yang hendak menolong Inara."Berhenti! Jangan sentuh istriku!" teriak Harshil. Emosi dan kesedihannya sudah memuncak bercampur padu menjadi satu.Mereka saling berpandangan, melihat kondisi Inara yang tampak begitu menyedihkan. Harshil meraih ponselnya dan menelepon Teddy supaya segera mempersiapkan mobil. Teddy berlari ke arahnya. "Tuan mobilnya sudah siap!" tukas Teddy, wajahnya pun ikut panik melihat kondisi nona majikannya.Dengan hati yang runtuh, Harshil mengangkat tubuh Inara. Dan berlari menuju mobil yang sudah dipersiapkan di depan mall. Tak peduli dengan tatapan orang-orang yang melihatnya iba. "Sayang, kumohon bertahanlah." Harshil terus menciumi sang istri, berharap ada keajaiban dan dia bisa sadarkan diri.Harshil duduk memangku tubuh Inara. Tak peduli rembesan darah itu sudah menodai bajunya. Ia mengusap peru
"Mas, mau pilih yang mana? Kiri apa kanan?" Inara memberikan pilihan seraya menyodorkan kedua tangannya yang mengepal."Wah, kejutan apa lagi nih?" tanya Harshil. Dia beranjak duduk dengan pandangan yang antusias."Ayo mau pilih yang mana?" tanya Inara lagi."Yang kanan apa, Sayang?" Inara membuka kepalan tangannya. "Yeay makan jagung bakar," jawabnya seraya memperlihatkan sebuah tulisan di tangannya."Kalau yang kiri?" tanya Harshil. Inara membuka kepalan tangannya yang sebelah kiri. "Jalan-jalan ke pantai.""Ya udah aku pilih yang kanan dan kiri juga. Ayo kita jalan-jalan ke pantai sambil makan jagung bakar!""Hah? Beneran?""Iya, kalau bisa dua-duanya kenapa tidak?" Harshil menaik-turunkan alisnya menggoda."Beneran, Mas?" Inara kembali bertanya seolah masih tak percaya."Iya. Anniversary kita yang ke berapa tadi?""Sepuluh bulan!"Harshil mengulum senyum. "Oh iya, ayo. Siap-siap! Mandi dulu gih!""Eeh kan aku udah mandi dari sebelum subuh! Mas sih, habis subuhan malah tidur lagi
"Inara, hari ini kita jalan-jalan yuk! Biar aku sendiri yang nyetir. Spesial hari ini khusus untuk kita berdua," ajak Harshil. Hari ini dia ada sedikit waktu. Rasanya ingin bersenang-senang bersama sang istri. Kaos warna marun dan celana jeans membalut tubuhnya yang atletis."Kemana?""Kamu maunya kemana?""Makan.""Makan lagi?" Kening Harshil mengernyit. Pasalnya mereka baru saja makan siang bersama keluarga, kurang lebih satu jam yang lalu.Inara mengangguk cepat. Semenjak kehamilannya menginjak ke trimester ketiga, entah kenapa nafsu makannya bertambah berlipat-lipat. Jadi doyan makan dan pengen makan lagi. Harshil menatap istrinya dengan pandangan takjub. Merasa heran dengan perubahan sang istri."Badan kecil begini tapi kok doyan makan ya!" celetuk Harshil."Kan permintaan dedek bayi.""Jadi dedek bayi lagi yang minta?""Heem.""Terus mau makan apa?""Emmmh bentar-bentar, aku komunikasi sama dedek bayi dulu."Harshil mengulum senyum melihat tingkah Inara yang menurutnya lucu dan
Menginjak usia kandungan yang ke tujuh bulan. "Mas, hari ini antar aku check-up ke dokter lagi ya.""Iya, tentu saja, Sayang. Bulan ini bisa tahu ya jenis kelaminnya apa?""Semoga bisa ya, Mas.""Aku sudah tidak sabar lagi menunggu hari kelahirannya."Inara tersenyum manis. "Kau benar, Mas. Aku juga sudah tidak sabar lagi. Rasanya pasti menyenangkan akan menjadi orang tua.""Apa ada yang kamu keluhkan?" tanya Harshil. Ia ingin memastikan kondisi istrinya baik-baik saja."Hanya satu yang jadi keluhanku saat ini, Mas.""Apa?" "Gak bisa tengkurap, Mas.""Hahahaha ..." Harshil justru tertawa mendengar jawaban konyol Inara. Ia tak menyangka sang istri yang lugu dan polos bisa bercanda juga."Kok ketawa, Mas? Aku kan ngomong bener. Cuma bisa miring kanan, capek miring kiri. Pinggangku juga makin pegel, Mas, gampang capek. Sesekali aku pengen tengkurep, tapi gak bisa."Harshil mengacak rambut Inara yang masih tergerai panjang. "Kamu ini ada-ada saja. Namanya juga lagi hamil, pasti rasanya
"Mas, hari ini enam bulan pernikahan kita," ujar Inara ragu-ragu."Hmmm, terus?" Harshil masih menatap layar laptop di hadapannya."Kok terus sih? Mas gak mau ucapin apapun padaku?" tanya Inara, bibirnya cemberut.Harshil menoleh, menatap Inara yang tengah kesal memandangnya. Pandangan Harshil bertanya-tanya. Ia pun bangkit, lalu menghampiri sang istri. "Kamu butuh apa, Sayang?"Inara menggeleng pelan, membuat Harshil makin tak mengerti. "Ayo coba katakan padaku, apa yang kamu inginkan? Kalau kamu gak ngomong, aku gak bakalan tau."Inara menghela nafas dalam-dalam. "Mas, apa kamu gak mau memastikan pernikahan kita?""Apanya yang perlu dipastikan? Kan semuanya sudah pasti, kau milikku dan aku milikmu. Oh, kamu masih ragu tentang perjanjian itu?"Inara mengangguk lemah. Harshil justru tersenyum seraya membuang nafas panjangnya. Dituntunnya sang istri untuk duduk di tepi ranjang. Lelaki itu membenarkan rambut Inara ke belakang telinga. "Kenapa kamu masih takut dengan hal itu? Aku kan