Jika yang datang bisa pergi, lantas akankah yang pergi bisa kembali?***"Bangun sayang, kamu gak boleh pergi. Inara, banguuuun. Kau dengar aku kan?! Jangan tinggalkan aku sendiri di sini, Inara!! Aku sangat mencintaimu Inara, aku mencintaimu. Kumohon kembalilah, jangan pergiii .... Inaraku, bangunlah sayaaaaang."Inara masih bergeming meski Harshil berteriak dengan histeris. Harshil menghapus jejak air mata yang jatuh berderai. Ia bangkit dan kembali mencium puncak kepala Inara. Walaupun matanya terpejam, ia terlihat begitu damai dan teduh. Berkali-kali Harshil menelan saliva. Berharap ini hanya mimpi semata. Ia takkan pernah bisa terima bila Inara sudah tiada."Ah aku tau cara membangunkanmu, tunggu aku sayang ... Aku akan membawamu kembali."Harshil membuka pintu ruang perawatan dan kembali menutupnya. Sontak semua orang menatap ke arahnya. Keluarganya satu persatu sudah datang, mereka pun tengah menunggu kepastian, termasuk Chelsie yang didampingi oleh kedua orang tuanya datang.
Harshil masih menenangkan diri di ruang perawatan bayi. Ia masih belum sanggup menemui Inara dalam keadaan yang menyedihkan. Berulang kali ia menghapus jejak genangan air mata. Nyatanya dia yang biasa tegar kini terlihat begitu rapuh. Bahkan sangat rapuh akan kehilangannya. Cukup lama, bayinya itu kembali tenang, sudah tak menangis lagi. Harshil bersiap menemui Inara. Di ruangan serba putih itu, Inara masih terbaring lemah. Ia sudah tak lagi memakai mesin ventilator hanya selang oksigen dan juga selang infus. Ia masih terdiam, belum mampu berucap satu patah kata. Harshil membuka pintu ruang perawatan. Inara menoleh ke arah suaminya, pandangan mereka bersirobok. Tanpa banyak kata, Harshil langsung menghambur ke arahnya, memeluk sang istri dan menciuminya berkali-kali. Dengan tangan gemetar, Inara mengangkat tangannya lalu berusaha mengusap genangan embun di kedua mata Harshil. Lalu membelai lembut bibir sang suami, membuat lelaki itu makin tak kuasa menahan air mata.Inara tersenyum
Kecelakaan tragis yang menimpa Harshil Arsyanendra--seorang tuan muda dari keluarga Danendra dan sang ayah--Hara Danendra, membuat dirinya yang dulu sempurna menjadi lumpuh. Ia harus hidup dengan bantuan kursi roda. Sementara sang ayah masih dalam keadaan koma di ruang perawatan Rumah Sakit. Pasca kecelakaan itu, kehidupannya 100% berubah drastis. Ia harus menanggung semuanya sendirian, ditinggalkan sang kekasih, teman dekat hingga saudara yang lainnya. Hanya satu yang masih setia bekerja padanya, Ettan Gunawan yang menjadi sopir sekaligus asisten pribadinya. Satu tahun pasca kecelakaan, karena pemimpin perusahaan kosong, membuat gonjang-ganjing keluarga dan jajaran staff direksi, semuanya memperebutkan kursi kosong itu, bahkan beberapa dari mereka ingin berusaha menyingkirkan Harshil karena kondisinya yang dianggap tak berguna. Sang kakek berusaha menengahi, membuat persyaratan kepada Har
"Jadilah istriku enam bulan saja," laki-laki yang duduk diatas kursi roda itu akhirnya buka suara. Sementara Inara hanya menunduk, menunggu keputusan dari abah. Lama tak bersuara, hanya embusan nafas yang terdengar, terhanyut dalam pikirannya masing-masing. "Maaf ini terpaksa aku lakukan agar harta papa tak jatuh ke tangan orang lain yang gila harta hanya gara-gara aku belum menikah." Ia kembali membuka suara. Wajah tampannya seolah datar tanpa ekspresi dan juga sikapnya terkesan begitu dingin. "Seperti yang asistenku katakan sebelumnya, saya akan menebus sawah Abah dari juragan Bani lalu melunasi hutang abah. Dan putri Abah ini takkan sengsara menjadi istri ketiganya." Inara makin tertunduk, rasanya begitu malu. Bagaikan buah simalakama, maju salah mundur pun salah. Dan sekarang pria yang sama sekali tak dikenal sebelumnya, ia datang melamarnya tapi karena ke
"Hah? Me-menikah?" Ettan mengangguk serius. "Maaf, mungkin ini terkesan mendadak dan tidak masuk akal. Boleh saya duduk? Biar saya jelaskan dulu," ucap Ettan tegas. "Iya, iya, silahkan duduk, Tuan," sahut abah. "Begini Abah--" "Panggil saja Abah Suma. Dan ini putri saya, Inara." Pria berjas hitam itu mengangguk memberi hormat. "Saya Ettan, sopir sekaligus asisten pribadi Tuan Muda. Jadi begini, Tuan Muda kami bernama Harshil Arsyanendra, salah satu pewaris utama Danendra Group. Saat ini Tuan Harshil sedang mencari wanita yang bersedia menjadi istrinya. Kondisi Tuan Harshil yang tidak sempurna membuat beberapa orang ingin menjatuhkannya, karena dianggap tidak layak untuk memimpin sebuah perusahaan." "Maksud Tuan? Maaf, saya ini orang kampung masih awam dengan hal yang begituan, jadi tidak tahu apa hubungannya memimpin perusah
Dasar gadis ini sok jual mahal! Membuat kesabaranku habis saja!"pekik Juragan Bani murka. "Tahan emosi Anda, Tuan Bani!!" Ettan mencegah Juragan Bani yang hendak menyakiti gadis itu. Inara terperanjat kaget. "Bagaimana Inara, kau memilihnya atau memilihku?" tukas Harshil, membuat konsentrasinya terpecah. Inara memandang abahnya, kedua netranya tampak berkaca-kaca. "Bagaimana, Bah?" bisik Inara di telinga sang abah. "Nak, jawablah sesuai yang ada di hatimu. Abah akan mendukungnya. Abah selalu berdoa kebaikan untukmu." Inara mengangguk. "Baik, Tuan. Saya bersedia menikah dengan Anda. Tapi jangan tuntut saya," sahut Inara gugup dan tertekan. Entah apa yang terjadi nanti, akan ia pikirkan belakangan. Untuk sementara ini dia hanya ingin terlepas dari jerat Juragan Bani yang mencekiknya dengan alasan utang. Harshil tersenyum simpul. "Hei Inara! Kau tak bisa menikah dengannya! Abahmu mas
"Bah, bukankah ini sangat berlebihan? Kenapa dia kirim barang sebanyak ini? Padahal tadi uangnya sudah habis banyak buat bayarin hutang kita." Abah tersenyum. "Terima saja, ini hadiah dari calon suamimu." Inara pun mengangguk walaupun terasa berat di hati. Gadis itu berlalu ke kamarnya sembari membawa tas-tas belanja itu. Ia membongkarnya satu persatu. Beberapa helai baju yang cantik dengan bahan yang begitu lembut tersedia di hadapannya. "Pasti barang-barang ini mahal harganya!" gumam Inara sendiri. Ia beralih untuk mencobanya, gamis brokat tile, warna dusty pink, terlihat begitu elegan. Ada pula gamis berwarna abu-abu dengan hijab warna senada. Lalu gamis dengan warna coklat susu yang bagian bawahnya rumbai-rumbai. *** Keesokan harinya, Inara sudah bersiap-siap. Gamis dan hijab warna abu-abu membalutnya saat ini. Kemarin Ettan bilang akan menjemputnya tepat jam delapan pagi. Dan dia harus memakai salah satu gamis pembe
"Ahahahah ... Baru kali ini Tuan Harshil memuji seorang wanita. Kalian benar-benar serasi ya, cantik dan ganteng," sahut Susan yang ikut gembira melihat pasangan ini. "Ehemm! Baiklah, pilihkan juga jas untukku yang sesuai dengannya!" "Siap, Pak Bos! Kapan sih kalian akan menikah? Aku jadi tak sabar ingin hadir di acara pernikahan kalian!" "Aku akan kirim undangan untukmu. Siap-siap saja bawa hadiah yang istimewa." "Hahahaha, beres Tuan Harshil." "Ya sudah, aku sudah cukup puas melihatnya, bungkus gaun ini untuknya. Nanti kau kirim ke apartemenku ya." "Oke, Bos." Susan tersenyum, baru kali ini Harshil membuka diri. Sejak kecelakaan setahun silam, dia memang menutup diri dari siapapun. Inara kembali berganti pakaian di ruang ganti. "Kau sungguh beruntung, Inara. Tuan Harshil terlihat sangat menyayangimu. Kamu gak akan menyesal, dia adalah orang yang sangat baik." Inara mengangguk
Harshil masih menenangkan diri di ruang perawatan bayi. Ia masih belum sanggup menemui Inara dalam keadaan yang menyedihkan. Berulang kali ia menghapus jejak genangan air mata. Nyatanya dia yang biasa tegar kini terlihat begitu rapuh. Bahkan sangat rapuh akan kehilangannya. Cukup lama, bayinya itu kembali tenang, sudah tak menangis lagi. Harshil bersiap menemui Inara. Di ruangan serba putih itu, Inara masih terbaring lemah. Ia sudah tak lagi memakai mesin ventilator hanya selang oksigen dan juga selang infus. Ia masih terdiam, belum mampu berucap satu patah kata. Harshil membuka pintu ruang perawatan. Inara menoleh ke arah suaminya, pandangan mereka bersirobok. Tanpa banyak kata, Harshil langsung menghambur ke arahnya, memeluk sang istri dan menciuminya berkali-kali. Dengan tangan gemetar, Inara mengangkat tangannya lalu berusaha mengusap genangan embun di kedua mata Harshil. Lalu membelai lembut bibir sang suami, membuat lelaki itu makin tak kuasa menahan air mata.Inara tersenyum
Jika yang datang bisa pergi, lantas akankah yang pergi bisa kembali?***"Bangun sayang, kamu gak boleh pergi. Inara, banguuuun. Kau dengar aku kan?! Jangan tinggalkan aku sendiri di sini, Inara!! Aku sangat mencintaimu Inara, aku mencintaimu. Kumohon kembalilah, jangan pergiii .... Inaraku, bangunlah sayaaaaang."Inara masih bergeming meski Harshil berteriak dengan histeris. Harshil menghapus jejak air mata yang jatuh berderai. Ia bangkit dan kembali mencium puncak kepala Inara. Walaupun matanya terpejam, ia terlihat begitu damai dan teduh. Berkali-kali Harshil menelan saliva. Berharap ini hanya mimpi semata. Ia takkan pernah bisa terima bila Inara sudah tiada."Ah aku tau cara membangunkanmu, tunggu aku sayang ... Aku akan membawamu kembali."Harshil membuka pintu ruang perawatan dan kembali menutupnya. Sontak semua orang menatap ke arahnya. Keluarganya satu persatu sudah datang, mereka pun tengah menunggu kepastian, termasuk Chelsie yang didampingi oleh kedua orang tuanya datang.
"Ya, Tuan. Keadaan nona ..."'Ada apalagi dengan Inara?' Batin Harshil. Jantungnya makin berdegup dengan kencang. "Ada apa dengan Inara?" tanya Harshil dengan suara bergetar. Matanya sudah panas seolah kristal bening itu hendak berjejalan keluar."Tuan, keadaan nona kritis lagi."Tes ... Air mata itupun akhirnya jatuh tak tertahankan. Dia langsung mematikan panggilan teleponnya. Hatinya mendadak gusar."Van, kita ke rumah sakit sekarang!" titah Harshil dengan pandangan kosong. Perasaannya berubah tak enak. Khawatir, panik, cemas bercampur aduk menjadi satu. Apa yang terjadi pada Inara? Pertanyaan itu terus berputar-putat di pikirannya."Baik, Tuan." Vano memperhatikan sang majikan, merasa iba dengan keadaannya. 'Kasihan sekali, Tuan Muda."Vano memacu mobilnya dengan kecepatan kencang. Sepanjang perjalanan Harshil hanya diam, dengan perasaan yang berkecamuk begitu dahsyat.Terbayang kembali kenangan-kenangan manis bersama Inara. Kenangan yang takkan pernah bisa ia lupakan. Kepingan-
"Nak Harshil, gimana keadaan Inara?" Tiba-tiba Abah datang, wajahnya tampak begitu cemas. Teddy-lah yang sudah membawanya kemari.Harshil bangkit dan langsung menyalami tangan ayah mertuanya. "Abah bisa ikut aku ke dalam," ujar Harshil. Dia mengantarkan abah melihat kondisi putrinya. Di atas bed pasien, Inara tampak tertidur pulas dan damai. Wajah yang putih dan terlihat sangat pucat, membuat siapapun yang melihatnya melelehkan air mata. Abah menatap sang menantu, pandangannya seolah meminta penjelasan."Abah, maafkan saya karena tak bisa melindunginya dengan baik. Kata dokter, Inara mengalami koma akibat pendarahan hebat dan benturan keras yang dialaminya." Harshil mengambil nafas dalam-dalam, berusaha menenangkan gejolak hatinya. "Tapi beruntung bayi dalam kandungan Inara masih bisa diselamatkan. Abah sudah punya cucu. Cucu yang sangat tampan," lanjut Harshil lagi dengan pandangan berkaca-kaca.Abah langsung mendekat ke arah putrinya. Bahu itu tampak berguncang. Abah menangis. Me
Tanpa terasa butiran bening menitik di kedua sudut matanya. "Inara bangun, Inara! Bertahanlah sayang! Bertahanlah!"Beberapa orang langsung berkerumun. Bahkan ada yang hendak menolong Inara."Berhenti! Jangan sentuh istriku!" teriak Harshil. Emosi dan kesedihannya sudah memuncak bercampur padu menjadi satu.Mereka saling berpandangan, melihat kondisi Inara yang tampak begitu menyedihkan. Harshil meraih ponselnya dan menelepon Teddy supaya segera mempersiapkan mobil. Teddy berlari ke arahnya. "Tuan mobilnya sudah siap!" tukas Teddy, wajahnya pun ikut panik melihat kondisi nona majikannya.Dengan hati yang runtuh, Harshil mengangkat tubuh Inara. Dan berlari menuju mobil yang sudah dipersiapkan di depan mall. Tak peduli dengan tatapan orang-orang yang melihatnya iba. "Sayang, kumohon bertahanlah." Harshil terus menciumi sang istri, berharap ada keajaiban dan dia bisa sadarkan diri.Harshil duduk memangku tubuh Inara. Tak peduli rembesan darah itu sudah menodai bajunya. Ia mengusap peru
"Mas, mau pilih yang mana? Kiri apa kanan?" Inara memberikan pilihan seraya menyodorkan kedua tangannya yang mengepal."Wah, kejutan apa lagi nih?" tanya Harshil. Dia beranjak duduk dengan pandangan yang antusias."Ayo mau pilih yang mana?" tanya Inara lagi."Yang kanan apa, Sayang?" Inara membuka kepalan tangannya. "Yeay makan jagung bakar," jawabnya seraya memperlihatkan sebuah tulisan di tangannya."Kalau yang kiri?" tanya Harshil. Inara membuka kepalan tangannya yang sebelah kiri. "Jalan-jalan ke pantai.""Ya udah aku pilih yang kanan dan kiri juga. Ayo kita jalan-jalan ke pantai sambil makan jagung bakar!""Hah? Beneran?""Iya, kalau bisa dua-duanya kenapa tidak?" Harshil menaik-turunkan alisnya menggoda."Beneran, Mas?" Inara kembali bertanya seolah masih tak percaya."Iya. Anniversary kita yang ke berapa tadi?""Sepuluh bulan!"Harshil mengulum senyum. "Oh iya, ayo. Siap-siap! Mandi dulu gih!""Eeh kan aku udah mandi dari sebelum subuh! Mas sih, habis subuhan malah tidur lagi
"Inara, hari ini kita jalan-jalan yuk! Biar aku sendiri yang nyetir. Spesial hari ini khusus untuk kita berdua," ajak Harshil. Hari ini dia ada sedikit waktu. Rasanya ingin bersenang-senang bersama sang istri. Kaos warna marun dan celana jeans membalut tubuhnya yang atletis."Kemana?""Kamu maunya kemana?""Makan.""Makan lagi?" Kening Harshil mengernyit. Pasalnya mereka baru saja makan siang bersama keluarga, kurang lebih satu jam yang lalu.Inara mengangguk cepat. Semenjak kehamilannya menginjak ke trimester ketiga, entah kenapa nafsu makannya bertambah berlipat-lipat. Jadi doyan makan dan pengen makan lagi. Harshil menatap istrinya dengan pandangan takjub. Merasa heran dengan perubahan sang istri."Badan kecil begini tapi kok doyan makan ya!" celetuk Harshil."Kan permintaan dedek bayi.""Jadi dedek bayi lagi yang minta?""Heem.""Terus mau makan apa?""Emmmh bentar-bentar, aku komunikasi sama dedek bayi dulu."Harshil mengulum senyum melihat tingkah Inara yang menurutnya lucu dan
Menginjak usia kandungan yang ke tujuh bulan. "Mas, hari ini antar aku check-up ke dokter lagi ya.""Iya, tentu saja, Sayang. Bulan ini bisa tahu ya jenis kelaminnya apa?""Semoga bisa ya, Mas.""Aku sudah tidak sabar lagi menunggu hari kelahirannya."Inara tersenyum manis. "Kau benar, Mas. Aku juga sudah tidak sabar lagi. Rasanya pasti menyenangkan akan menjadi orang tua.""Apa ada yang kamu keluhkan?" tanya Harshil. Ia ingin memastikan kondisi istrinya baik-baik saja."Hanya satu yang jadi keluhanku saat ini, Mas.""Apa?" "Gak bisa tengkurap, Mas.""Hahahaha ..." Harshil justru tertawa mendengar jawaban konyol Inara. Ia tak menyangka sang istri yang lugu dan polos bisa bercanda juga."Kok ketawa, Mas? Aku kan ngomong bener. Cuma bisa miring kanan, capek miring kiri. Pinggangku juga makin pegel, Mas, gampang capek. Sesekali aku pengen tengkurep, tapi gak bisa."Harshil mengacak rambut Inara yang masih tergerai panjang. "Kamu ini ada-ada saja. Namanya juga lagi hamil, pasti rasanya
"Mas, hari ini enam bulan pernikahan kita," ujar Inara ragu-ragu."Hmmm, terus?" Harshil masih menatap layar laptop di hadapannya."Kok terus sih? Mas gak mau ucapin apapun padaku?" tanya Inara, bibirnya cemberut.Harshil menoleh, menatap Inara yang tengah kesal memandangnya. Pandangan Harshil bertanya-tanya. Ia pun bangkit, lalu menghampiri sang istri. "Kamu butuh apa, Sayang?"Inara menggeleng pelan, membuat Harshil makin tak mengerti. "Ayo coba katakan padaku, apa yang kamu inginkan? Kalau kamu gak ngomong, aku gak bakalan tau."Inara menghela nafas dalam-dalam. "Mas, apa kamu gak mau memastikan pernikahan kita?""Apanya yang perlu dipastikan? Kan semuanya sudah pasti, kau milikku dan aku milikmu. Oh, kamu masih ragu tentang perjanjian itu?"Inara mengangguk lemah. Harshil justru tersenyum seraya membuang nafas panjangnya. Dituntunnya sang istri untuk duduk di tepi ranjang. Lelaki itu membenarkan rambut Inara ke belakang telinga. "Kenapa kamu masih takut dengan hal itu? Aku kan