"Bah, bukankah ini sangat berlebihan? Kenapa dia kirim barang sebanyak ini? Padahal tadi uangnya sudah habis banyak buat bayarin hutang kita."
Abah tersenyum. "Terima saja, ini hadiah dari calon suamimu."
Inara pun mengangguk walaupun terasa berat di hati. Gadis itu berlalu ke kamarnya sembari membawa tas-tas belanja itu. Ia membongkarnya satu persatu. Beberapa helai baju yang cantik dengan bahan yang begitu lembut tersedia di hadapannya.
"Pasti barang-barang ini mahal harganya!" gumam Inara sendiri.
Ia beralih untuk mencobanya, gamis brokat tile, warna dusty pink, terlihat begitu elegan. Ada pula gamis berwarna abu-abu dengan hijab warna senada. Lalu gamis dengan warna coklat susu yang bagian bawahnya rumbai-rumbai.
***
Keesokan harinya, Inara sudah bersiap-siap. Gamis dan hijab warna abu-abu membalutnya saat ini. Kemarin Ettan bilang akan menjemputnya tepat jam delapan pagi. Dan dia harus memakai salah satu gamis pemberian tuannya.
Mobil sport mewah itu sudah bertengger mewah di halaman rumahnya. Beberapa tetangga yang melihatnya saling berbisik-bisik, mereka keheranan.
"Jangan-jangan si Inara jadi wanita simpanan orang kaya.l," celetuk salah seorang tetangganya.
"Iya, kemarin mau dinikahi Juragan Bani gak mau, eh ternyata jadi simpanan pria kaya. Ckckck!"
"Jangan-jangan sudah gak suci lagi itu si Inara, makanya dia mau. Kalian tahu sendiri kan orang-orang kaya itu tuh seperti apa?"
"Gak beda jauh dong kayak pelacur, penampilannya aja yang alim ternyata--"
Ettan yang tak tahan mendengarnya hendak memberi pelajaran pada para tetangga julid itu.
"Ettan, biarkan saja! Gak usah diladeni," ucap inara.
Pria itu mengangguk. "Ayo Non, kita harus berangkat sekarang!" sergah Ettan.
Inara melangkah ragu. Belum masuk ke mobil, ia menghentikan langkahnya.
"Maaf Tuan, laki-laki dan perempuan gak boleh berduaan nanti yang ketiganya setan," ucap Inara dengan polosnya.
Tetiba kaca mobil terbuka. Inara terkejut saat melihat Tuan Harshil tengah duduk di sana dengan tatapan dingin.
"Jadi kau anggap aku ini setan?" celetuk Harshil tiba-tiba.
Ettan mengulum senyum, ia tak tahan mendengarnya.
"Eh, Tu-tuan? Maaf saya gak bermaksud--" sapa Inara gugup.
"Sudah cepat masuk!" sergah Harshil lagi. Ia benar-benar kesal dibuatnya.
"Tapi--" Ucapannya mengambang di udara. Inara menoleh ke kanan dan kiri.
"Non, silahkan masuk ya! Tuan gak bakalan gigit kok!" seru Ettan bercanda.
Ia mengulum senyum kembali saat Harshil menatapnya dengan tajam.
Inara mengangguk ragu, ia duduk mepet ke ujung.
"Kenapa mepet-mepet gitu duduknya? Disini kan masih longgar."
"Maaf Tuan, jaga jarak," sahut Inara. Gadis itu benar-benar gugup, jantungnya berdegup tak karuan. Baru kali ini dia merasa begitu canggung berhadapan dengan seorang laki-laki.
Harshil menghela nafasnya dalam-dalam lalu menggeleng pelan.
"Ayo jalan, Ettan!"
"Baik, Tuan."
Mobil melaju dengan kecepatan sedang.
"Kamu sudah sarapan?" tanya Harshil memecah keheningan suasana.
"Sudah, tadi sama abah."
"Oke, berarti kita langsung ke tempat tujuan saja."
Inara mengangguk.
"Atau kau mau berjalan-jalan dulu?"
"Tidak, Tuan. Lebih cepat lebih baik. Biar cepat pulang."
"Kau gak nyaman pergi bersamaku?"
"Iya, Tuan. Soalnya kita ini bukan mahram."
"Jadi kau ingin aku segera menikahimu?"
Inara tertunduk dalam, tak berani menjawab apapun.
"Oke, kalau itu keinginanmu, besok kita ke KUA."
"Hah?"
"Biar kamu gak canggung saat jalan denganku," tukasnya lagi.
"Bukan itu maksudku--" Inara kecewa karena lelaki yang ada di sampingnya justru memalingkan wajah ke arah jendela.
Ettan yang mendengarnya dan sesekali memperhatikan mereka di kaca spion, ia mengulum senyum. Baru kali ini tuan mudanya penuh dengan semangat. Tak ada kemuraman di wajahnya.
'Semoga ini awal yang baik buat tuan muda.'
Tak butuh waktu lama, mereka sampai di area pelataran Wedding Organizer.
Ettan membantu sang majikan turun dari mobilnya lalu mendorong kursi rodanya. Sementara Inara memandang dengan takjub bangunan mewah di hadapannya. Aneka baju pengantin mewah, dipajang di lemari kaca.
"Selamat datang, selamat berbelanja di toko kami," sambut salah satu pegawai dengan ramah.
Inara masih mengikuti langkahnya dari belakang.
"Ettan, kau hubungi pemiliknya ya, aku akan langsung berkonsultasi dengannya."
"Baik, Tuan."
Ettan melangkah pergi menjauh dari mereka.
"Inara, kau pilih saja yang kamu suka," cetus Harshil.
Inara hanya mengangguk pelan, entah hatinya dilanda bingung. Ia tak terbiasa berada di pusat perbelanjaan.
"Hallo, Tuan Harshil, baru bertemu lagi kita nih," seorang wanita berpakaian modis dan elegan berjalan menghampirinya. Mereka saling berjabat tangan.
"Tumben nih, datang kesini. Ngomong-ngomong gadis ini siapa?" tanya wanita yang bernama Susan itu penasaran.
Terakhir kali Harshil datang kesini bersama seorang wanita, calon tunangannya--Chelsie, itu sudah dua tahun silam. Tapi rencana pernikahan mereka kandas karena Harshil mengalami kecelakaan. Dan terakhir yang ia dengar, Chelsie sudah menikah dengan pria lain yaitu Erick, yang tak lain tak bukan sahabat Harshil sendiri.
"Nyonya Susan, kenalkan, ini calon istri saya. Inara, namanya," sahut Harshil.
Inara menyambut uluran tangan Susan. Mereka saling melempar senyum. Walaupun dalam hati Susan bertanya-tanya kenapa tiba-tiba Harshil akan menikah dengan gadis low profil seperti dia? Dia bahkan tak mengenalnya sama sekali.
'Apa sekarang selera Harshil sudah berubah? Dulu bukannya lebih suka perempuan yang seksi dan modis? Mereka berkenalan dimana?' Banyak pertanyaan bertebaran di kepala wanita itu.
"Nyonya Susan, tolong kau pilihkan gaun terbaik untuk calon istriku ini."
"Siap, Tuan. Kapan nih pernikahannya akan digelar?"
"Tidak akan lama lagi."
"Hahaha, Tuan Harshil sudah bosan sendirian ya?" tanya Susan dengan nada meledek.
"Ya, aku butuh pendamping."
"Chelsie gimana? Kudengar ia sudah menikah dengan Erick?"
"Aku tak peduli lagi dengannya," ucap Harshil acuh. "Ayo Susan, tolong pilihkan gaun terbaik yang cocok dengannya. Kami masih banyak urusan."
"Hahahaha, its oke. Ayo Inara, kau ikut denganku."
Inara hanya mengangguk lalu mengikuti langkah Susan ke dalam.
"Kau mau model yang seperti apa? Disini banyak pilihan modelnya," ucap Susan sembari menunjuk gaun-gaun cantik, tapi sayang semuanya terbuka.
Inara menggeleng pelan. "Mbak, maaf, saya cuma ingin gaunnya tertutup dari ujung kepala sampai ke bawah."
"Gaun pengantin muslim?" tanya Susan memastikan.
Inara mengangguk.
"Itu ada di belakang, tinggal beberapa saja. Inara tunggu disini ya, biar pegawai saya yang ambilkan."
Susan menyuruh salah satu pegawainya untuk mengambilkan gaun pengantin muslim.
"Nah, ini dia. Silahkan pilih yang warna apa?" tanya Susan sembari menyodorkan dua buah gaun, satu warna putih dan satu lagi warna ungu muda.
"Putih saja, Mbak," jawab Inara tanpa pikir panjang. Baginya warna putih adalah warna yang suci, ia pun berharap bisa menjalankan pernikahannya yang suci.
"Kita coba dulu ya, Inara," sahut Susan.
Gadis itu kembali mengangguk.
Usai mengenakan gaun pengantin itu, wajah Inara dipoles dengan make-up flawless, lalu Susan menghias model hijabnya dan menyematkan manik-manik headpiece untuk menambah kesan sempurna.
Susan tertegun melihat perubahan Inara, gadis itu terlihat sangat cantik. Dia seperti bidadari yang tersembunyi.
"Sudah selesai Inara, ayo kita temui calon suamimu itu," ajak Susan. Dia menggamit lengan Inara, tak sabar dengan reaksi Harshil.
"Tuan Harshil, lihatlah kemari. Bagaimana tanggapanmu dengan calon istrimu ini? Apa gaunnya cocok?" tanya Susan.
Harshil menoleh dan tertegun melihatnya. Seorang gadis biasa menjelma seperti putri yang cantik. Tanpa sadar ia menelan salivanya sendiri.
"Tuan muda Harshil, kenapa diam saja? Bagaimana tanggapanmu?"
Harshil masih memandang Inara tanpa berkedip. Ia berbisik lirih. "Cantik, sangat cantik ..."
"Ahahahah ... Baru kali ini Tuan Harshil memuji seorang wanita. Kalian benar-benar serasi ya, cantik dan ganteng," sahut Susan yang ikut gembira melihat pasangan ini. "Ehemm! Baiklah, pilihkan juga jas untukku yang sesuai dengannya!" "Siap, Pak Bos! Kapan sih kalian akan menikah? Aku jadi tak sabar ingin hadir di acara pernikahan kalian!" "Aku akan kirim undangan untukmu. Siap-siap saja bawa hadiah yang istimewa." "Hahahaha, beres Tuan Harshil." "Ya sudah, aku sudah cukup puas melihatnya, bungkus gaun ini untuknya. Nanti kau kirim ke apartemenku ya." "Oke, Bos." Susan tersenyum, baru kali ini Harshil membuka diri. Sejak kecelakaan setahun silam, dia memang menutup diri dari siapapun. Inara kembali berganti pakaian di ruang ganti. "Kau sungguh beruntung, Inara. Tuan Harshil terlihat sangat menyayangimu. Kamu gak akan menyesal, dia adalah orang yang sangat baik." Inara mengangguk
"Harshil, tunggu! Kita belum selesai bicara!" tukas Chelsie. "Siapa gadis kampungan yang bersamamu ini?" lanjutnya sembari menatap Inara dengan tatapan sinis. "Kenapa? Apa pedulimu?" tanya Harshil dingin. "Sayang, kata Harshil dia itu calon istrinya. Kasihan banget ya, harus jadi pengantin dari pria yang lumpuh!" Erick berkata sambil menyeringai. Sementara Chelsie terus memandang Inara dengan tatapan tak suka. "Serius, Harshil? Apa kau sudah tak punya mata lagi sehingga memilih gadis kampungan itu untuk menjadi istrimu?" pertanyaan menohok kembali dilontarkan oleh Chelsie. Mendengar hinaan dari wanita seksi itu, Inara tertunduk dalam. Dia memang kampungan, tidak pantas untuk bersanding dengan Harshil. Kalau bukan karena hutang itu, pasti saat ini Inara pun tidak bersedia. "Kenapa? Walaupun kampungan, dia justru lebih baik darimu!" ketus Harshil. Ia menoleh ke arah Inara yang raut wajahnya menjadi sedih. "Sayang, ay
"Bagaimana denganmu, Inara?" "Saya juga serius, Kek. Mas Harshil sangat baik padaku jadi--," ujar Inara menutupi rasa gugupnya. "Hahahaha ... Panggilannya lucu sekali. Mas katanya, hahahaha." Seseorang tertawa mengejek, mendengar jawaban dari gadis yang polos itu. "Benarkah? Apa ada tekanan dari Harshil agar kau mengatakan itu semua?" Kakek menengahi. Inara menggeleng pelan. "Tidak, Kek." "Kakek, jangan percaya! Harshil pasti sudah membayar gadis itu, supaya sandiwaranya tidak terbongkar. Tidak mungkin kan dia menemukan calon istrinya secepat ini?" "Rahasia jodoh, tidak ada yang tahu kan, Tante Ros?" sahut Harshil sambil tersenyum. "Coba kenalkan pada kami, siapa namanya? Dari kalangan keluarga mana? Latar belakangnya seperti apa? Siapa ayahnya? Bisnisnya apa? Apa yang dia miliki sampai-sampai ingin menikah denganmu?" Tante Rosa mulai bersuara kembali disertai anggukan yang lain. "Betul, harusnya kau cari
Sesampainya di rumah kecil itu Inara yang hendak turun dari mobil, dicegah oleh Harshil." "Inara, berikan kartu identitasmu," ucap Harshil memecah kebisuan. "Buat apa, Tuan?" Harshil menghela nafasnya dalam-dalam. "Buat daftar pernikahan di KUA. Gak cuma identitasku saja, tetapi mereka juga butuh identitas calon mempelai wanitanya." "Ah iya, ini," ujar Inara sembari menyerahkannya pada Harshil. "Ettan, tolong kau urus semuanya ya!" "Siap, Tuan." "Aku ingin dua minggu lagi, pernikahan bisa dilaksanakan." "Baik, Tuan." "Ya sudah kau boleh turun, Inara. Maafkan atas perlakuan keluargaku padamu. Aku akan mengatasi hap ini. Tenang saja, pernikahan ini akan tetap berjalan lancar. Untuk dua minggu ke depan aku tak bisa menemuimu. Kita akan langsung bertemu di lokasi pernikahan." "Hah? Tapi kenapa?" "Ada banyak hal yang perlu kuurus. Kau gak usah banyak pikiran, makan makanan yang
"Ayo Non Inara, kita pergi sekarang!" tukasnya sedikit memaksa."Anda ini siapa ya?" tanya gadis itu. Gadis yang sudah bersusah payah berdandan sendiri demi memperbaiki penampilannya di hadapan calon suami."Saya yang menggantikan Ettan untuk menjemput Anda, Nona. Tuan Harshil yang mengutus saya," sahut pria itu lagi."Memangnya kenapa dengan Ettan?" Ragu, Inara bertanya. Dia tak pernah melihat Harshil mengutus orang lain selain Ettan."Ada musibah yang menimpa Ettan, jadi dia tak bisa menjemput Anda, Nona. Masuklah sekarang ke mobil, Tuan Harshil sudah menunggu Anda."Inara terdiam sejenak."Maaf Nona, mungkin anda meragukan saya. Tapi saya benar-benar diutus sama Tuan Harshil. Ini saya ada surat kuasa dari Tuan," ujarnya sembari menyerahkan lembaran kertas itu."Biar saya telepon Tuan Harshil dulu," sahut Inara."Silahkan, Nona. Tapi sepertinya Tuan Harshil sedang sibuk."Inara mer
"Ettan, kau bawa Abah kesini, nanti kita atur rencana untuk mencari Inara," tukas Harshil memerintah."Baik, Tuan."Panggilan itupun terputus begitu saja.Harshil mengepalkan tangannya geram. Siapa yang sudah merencanakan ini semua?'Mereka benar-benar tak ingin melihatku bahagia ya? Beraninya mencampur obat dalam makananku!' gumamnya.Susah payah Harshil duduk di kursi roda yang ada di samping ranjangnya. Ia memutar kursi rodanya sendiri, keluar untuk menemui keluarga yang lain.Rumah besar itu tampak sepi, tak ada suara orang mengobrol ataupun aktivitas yang lain.Ada dimana orang-orang rumah? Kenapa tak ada satupun aktivitas di rumah ini?"Kek ... Kakeeek ...!!" panggil Harshil."Bu Sujiiii .... Bu Sujiiii ...!" Diapun memanggil kepala pelayan di rumahnya.Ia kembali memutar kursi rodanya menuju dapur. Hening."Kemana sih orang-orang pergi?"Seorang pria lari
"Tidak! Tolong lepaskan saya, Tuan!"Inara meronta walau tangan dan kakinya masih terikat tali.Pria itu kembali menjapit dagunya. "Kalau diperhatikan kamu memang cantik, pantas saja Harshil mau denganmu, ternyata seleranya masih tinggi. Hanya saja kamu sedikit kampungan."Tanpa terasa butiran bening menitik dari sudut matanya."Kenapa menangis, Sayang? Inara, bagaimana kalau kamu menikah denganku saja?" ucapnya sembari menggoda, mengedipkan matanya."Kau lihat sendiri kan, penampilanku jauh lebih keren dan sempurna dari pada Harshil. Aku akan membuatmu bahagia. Percayalah, apapun yang kau inginkan akan kuturuti. Bagaimana, apa kau terima tawaranku?""Aku tidak mengenalmu, Tuan. Aku juga tak punya masalah denganmu. Tolong lepaskan saya, Tuan.""Tidak semudah itu, Nona manis. Aku masih ingin bersenang-senang denganmu."Tanpa terasa waktu bergulir dengan cepat. Inara hanya akan dilepaskan jika waktunya makan i
"Masih ada waktu untukmu istirahat. Tidur yang nyenyak ya, besok Ettan akan menjemputmu jam 7 pagi untuk dirias.""Abah dimana, Tuan?" tanya Inara celingukan."Tenang saja, kita akan bertemu dengannya besok, sekaligus berkumpul di gedung pernikahan. Abah kan akan menikahkan kita, jadi beliau aman bersama dengan yang lain."Inara hanya mampu mengangguk, tanpa basa-basi lagi, dia masuk ke dalam kamar hotelnya. Harshil tersenyum tipis. Entah kenapa sejak kejadian Inara diculik, perasaannya berubah. Ada getaran asing yang melanda hatinya.***Detak jarum jam terus berputar, menemani Inara yang masih bergelung dalam selimut. Gadis itu masih belum bisa tertidur, matanya enggan terpejam memikirkan hari esok. Dia harus bersanding dengan orang yang sama sekali belum dikenalnya. Sifat dan perangainya seperti apa. Entahlah. Hanya debaran jantung yang makin terpompa tak beraturan kala mengingatnya. Walaupun baru bertemu beberapa hari ada getaran-
Harshil masih menenangkan diri di ruang perawatan bayi. Ia masih belum sanggup menemui Inara dalam keadaan yang menyedihkan. Berulang kali ia menghapus jejak genangan air mata. Nyatanya dia yang biasa tegar kini terlihat begitu rapuh. Bahkan sangat rapuh akan kehilangannya. Cukup lama, bayinya itu kembali tenang, sudah tak menangis lagi. Harshil bersiap menemui Inara. Di ruangan serba putih itu, Inara masih terbaring lemah. Ia sudah tak lagi memakai mesin ventilator hanya selang oksigen dan juga selang infus. Ia masih terdiam, belum mampu berucap satu patah kata. Harshil membuka pintu ruang perawatan. Inara menoleh ke arah suaminya, pandangan mereka bersirobok. Tanpa banyak kata, Harshil langsung menghambur ke arahnya, memeluk sang istri dan menciuminya berkali-kali. Dengan tangan gemetar, Inara mengangkat tangannya lalu berusaha mengusap genangan embun di kedua mata Harshil. Lalu membelai lembut bibir sang suami, membuat lelaki itu makin tak kuasa menahan air mata.Inara tersenyum
Jika yang datang bisa pergi, lantas akankah yang pergi bisa kembali?***"Bangun sayang, kamu gak boleh pergi. Inara, banguuuun. Kau dengar aku kan?! Jangan tinggalkan aku sendiri di sini, Inara!! Aku sangat mencintaimu Inara, aku mencintaimu. Kumohon kembalilah, jangan pergiii .... Inaraku, bangunlah sayaaaaang."Inara masih bergeming meski Harshil berteriak dengan histeris. Harshil menghapus jejak air mata yang jatuh berderai. Ia bangkit dan kembali mencium puncak kepala Inara. Walaupun matanya terpejam, ia terlihat begitu damai dan teduh. Berkali-kali Harshil menelan saliva. Berharap ini hanya mimpi semata. Ia takkan pernah bisa terima bila Inara sudah tiada."Ah aku tau cara membangunkanmu, tunggu aku sayang ... Aku akan membawamu kembali."Harshil membuka pintu ruang perawatan dan kembali menutupnya. Sontak semua orang menatap ke arahnya. Keluarganya satu persatu sudah datang, mereka pun tengah menunggu kepastian, termasuk Chelsie yang didampingi oleh kedua orang tuanya datang.
"Ya, Tuan. Keadaan nona ..."'Ada apalagi dengan Inara?' Batin Harshil. Jantungnya makin berdegup dengan kencang. "Ada apa dengan Inara?" tanya Harshil dengan suara bergetar. Matanya sudah panas seolah kristal bening itu hendak berjejalan keluar."Tuan, keadaan nona kritis lagi."Tes ... Air mata itupun akhirnya jatuh tak tertahankan. Dia langsung mematikan panggilan teleponnya. Hatinya mendadak gusar."Van, kita ke rumah sakit sekarang!" titah Harshil dengan pandangan kosong. Perasaannya berubah tak enak. Khawatir, panik, cemas bercampur aduk menjadi satu. Apa yang terjadi pada Inara? Pertanyaan itu terus berputar-putat di pikirannya."Baik, Tuan." Vano memperhatikan sang majikan, merasa iba dengan keadaannya. 'Kasihan sekali, Tuan Muda."Vano memacu mobilnya dengan kecepatan kencang. Sepanjang perjalanan Harshil hanya diam, dengan perasaan yang berkecamuk begitu dahsyat.Terbayang kembali kenangan-kenangan manis bersama Inara. Kenangan yang takkan pernah bisa ia lupakan. Kepingan-
"Nak Harshil, gimana keadaan Inara?" Tiba-tiba Abah datang, wajahnya tampak begitu cemas. Teddy-lah yang sudah membawanya kemari.Harshil bangkit dan langsung menyalami tangan ayah mertuanya. "Abah bisa ikut aku ke dalam," ujar Harshil. Dia mengantarkan abah melihat kondisi putrinya. Di atas bed pasien, Inara tampak tertidur pulas dan damai. Wajah yang putih dan terlihat sangat pucat, membuat siapapun yang melihatnya melelehkan air mata. Abah menatap sang menantu, pandangannya seolah meminta penjelasan."Abah, maafkan saya karena tak bisa melindunginya dengan baik. Kata dokter, Inara mengalami koma akibat pendarahan hebat dan benturan keras yang dialaminya." Harshil mengambil nafas dalam-dalam, berusaha menenangkan gejolak hatinya. "Tapi beruntung bayi dalam kandungan Inara masih bisa diselamatkan. Abah sudah punya cucu. Cucu yang sangat tampan," lanjut Harshil lagi dengan pandangan berkaca-kaca.Abah langsung mendekat ke arah putrinya. Bahu itu tampak berguncang. Abah menangis. Me
Tanpa terasa butiran bening menitik di kedua sudut matanya. "Inara bangun, Inara! Bertahanlah sayang! Bertahanlah!"Beberapa orang langsung berkerumun. Bahkan ada yang hendak menolong Inara."Berhenti! Jangan sentuh istriku!" teriak Harshil. Emosi dan kesedihannya sudah memuncak bercampur padu menjadi satu.Mereka saling berpandangan, melihat kondisi Inara yang tampak begitu menyedihkan. Harshil meraih ponselnya dan menelepon Teddy supaya segera mempersiapkan mobil. Teddy berlari ke arahnya. "Tuan mobilnya sudah siap!" tukas Teddy, wajahnya pun ikut panik melihat kondisi nona majikannya.Dengan hati yang runtuh, Harshil mengangkat tubuh Inara. Dan berlari menuju mobil yang sudah dipersiapkan di depan mall. Tak peduli dengan tatapan orang-orang yang melihatnya iba. "Sayang, kumohon bertahanlah." Harshil terus menciumi sang istri, berharap ada keajaiban dan dia bisa sadarkan diri.Harshil duduk memangku tubuh Inara. Tak peduli rembesan darah itu sudah menodai bajunya. Ia mengusap peru
"Mas, mau pilih yang mana? Kiri apa kanan?" Inara memberikan pilihan seraya menyodorkan kedua tangannya yang mengepal."Wah, kejutan apa lagi nih?" tanya Harshil. Dia beranjak duduk dengan pandangan yang antusias."Ayo mau pilih yang mana?" tanya Inara lagi."Yang kanan apa, Sayang?" Inara membuka kepalan tangannya. "Yeay makan jagung bakar," jawabnya seraya memperlihatkan sebuah tulisan di tangannya."Kalau yang kiri?" tanya Harshil. Inara membuka kepalan tangannya yang sebelah kiri. "Jalan-jalan ke pantai.""Ya udah aku pilih yang kanan dan kiri juga. Ayo kita jalan-jalan ke pantai sambil makan jagung bakar!""Hah? Beneran?""Iya, kalau bisa dua-duanya kenapa tidak?" Harshil menaik-turunkan alisnya menggoda."Beneran, Mas?" Inara kembali bertanya seolah masih tak percaya."Iya. Anniversary kita yang ke berapa tadi?""Sepuluh bulan!"Harshil mengulum senyum. "Oh iya, ayo. Siap-siap! Mandi dulu gih!""Eeh kan aku udah mandi dari sebelum subuh! Mas sih, habis subuhan malah tidur lagi
"Inara, hari ini kita jalan-jalan yuk! Biar aku sendiri yang nyetir. Spesial hari ini khusus untuk kita berdua," ajak Harshil. Hari ini dia ada sedikit waktu. Rasanya ingin bersenang-senang bersama sang istri. Kaos warna marun dan celana jeans membalut tubuhnya yang atletis."Kemana?""Kamu maunya kemana?""Makan.""Makan lagi?" Kening Harshil mengernyit. Pasalnya mereka baru saja makan siang bersama keluarga, kurang lebih satu jam yang lalu.Inara mengangguk cepat. Semenjak kehamilannya menginjak ke trimester ketiga, entah kenapa nafsu makannya bertambah berlipat-lipat. Jadi doyan makan dan pengen makan lagi. Harshil menatap istrinya dengan pandangan takjub. Merasa heran dengan perubahan sang istri."Badan kecil begini tapi kok doyan makan ya!" celetuk Harshil."Kan permintaan dedek bayi.""Jadi dedek bayi lagi yang minta?""Heem.""Terus mau makan apa?""Emmmh bentar-bentar, aku komunikasi sama dedek bayi dulu."Harshil mengulum senyum melihat tingkah Inara yang menurutnya lucu dan
Menginjak usia kandungan yang ke tujuh bulan. "Mas, hari ini antar aku check-up ke dokter lagi ya.""Iya, tentu saja, Sayang. Bulan ini bisa tahu ya jenis kelaminnya apa?""Semoga bisa ya, Mas.""Aku sudah tidak sabar lagi menunggu hari kelahirannya."Inara tersenyum manis. "Kau benar, Mas. Aku juga sudah tidak sabar lagi. Rasanya pasti menyenangkan akan menjadi orang tua.""Apa ada yang kamu keluhkan?" tanya Harshil. Ia ingin memastikan kondisi istrinya baik-baik saja."Hanya satu yang jadi keluhanku saat ini, Mas.""Apa?" "Gak bisa tengkurap, Mas.""Hahahaha ..." Harshil justru tertawa mendengar jawaban konyol Inara. Ia tak menyangka sang istri yang lugu dan polos bisa bercanda juga."Kok ketawa, Mas? Aku kan ngomong bener. Cuma bisa miring kanan, capek miring kiri. Pinggangku juga makin pegel, Mas, gampang capek. Sesekali aku pengen tengkurep, tapi gak bisa."Harshil mengacak rambut Inara yang masih tergerai panjang. "Kamu ini ada-ada saja. Namanya juga lagi hamil, pasti rasanya
"Mas, hari ini enam bulan pernikahan kita," ujar Inara ragu-ragu."Hmmm, terus?" Harshil masih menatap layar laptop di hadapannya."Kok terus sih? Mas gak mau ucapin apapun padaku?" tanya Inara, bibirnya cemberut.Harshil menoleh, menatap Inara yang tengah kesal memandangnya. Pandangan Harshil bertanya-tanya. Ia pun bangkit, lalu menghampiri sang istri. "Kamu butuh apa, Sayang?"Inara menggeleng pelan, membuat Harshil makin tak mengerti. "Ayo coba katakan padaku, apa yang kamu inginkan? Kalau kamu gak ngomong, aku gak bakalan tau."Inara menghela nafas dalam-dalam. "Mas, apa kamu gak mau memastikan pernikahan kita?""Apanya yang perlu dipastikan? Kan semuanya sudah pasti, kau milikku dan aku milikmu. Oh, kamu masih ragu tentang perjanjian itu?"Inara mengangguk lemah. Harshil justru tersenyum seraya membuang nafas panjangnya. Dituntunnya sang istri untuk duduk di tepi ranjang. Lelaki itu membenarkan rambut Inara ke belakang telinga. "Kenapa kamu masih takut dengan hal itu? Aku kan