"Hah? Me-menikah?"
Ettan mengangguk serius. "Maaf, mungkin ini terkesan mendadak dan tidak masuk akal. Boleh saya duduk? Biar saya jelaskan dulu," ucap Ettan tegas.
"Iya, iya, silahkan duduk, Tuan," sahut abah.
"Begini Abah--"
"Panggil saja Abah Suma. Dan ini putri saya, Inara."
Pria berjas hitam itu mengangguk memberi hormat.
"Saya Ettan, sopir sekaligus asisten pribadi Tuan Muda. Jadi begini, Tuan Muda kami bernama Harshil Arsyanendra, salah satu pewaris utama Danendra Group. Saat ini Tuan Harshil sedang mencari wanita yang bersedia menjadi istrinya. Kondisi Tuan Harshil yang tidak sempurna membuat beberapa orang ingin menjatuhkannya, karena dianggap tidak layak untuk memimpin sebuah perusahaan."
"Maksud Tuan? Maaf, saya ini orang kampung masih awam dengan hal yang begituan, jadi tidak tahu apa hubungannya memimpin perusahaan dengan menikah?" sahut abah.
"Itu salah satu syarat yang diajukan oleh Tuan Danendra."
Pria berjas hitam nan rapi itu menghela nafasnya dalam-dalam, kemudian kembali menjelaskan. Ia harus mendapatkan simpatik keluarga ini agar mereka setuju dengan rencananya. Sejujurnya Ettan sudah lelah melihat sikap dingin Harshil yang seolah acuh tak acuh ketika dikenalkan dengan seorang wanita. Jadi, dia harus memanfaatkan momentum ini karena majikannya sendiri yang meminta.
"Tuan Muda kami lumpuh, akibat kecelakaan setahun yang lalu. Dia harus menggunakan kursi roda untuk membantu segala aktivitasnya. Tapi akhir-akhir ini ada desakan dari keluarga agar Tuan Harshil menikah, kalau tidak, dia tidak akan mendapatkan bagian apa-apa dan akan diasingkan ke panti sosial karena hanya dianggap sebagai benalu." Ettan mulai bercerita.
"Saya tidak mengerti maksud, Tuan."
"Tuan Danendra, kakek Tuan Harshil memberikan pilihan untuknya agar secepatnya menikah, supaya Tuan Muda bisa menggantikan Tuan Hara untuk memimpin salah satu perusahaan yang sudah diwariskan oleh kakeknya. Karena sekarang, perusahaan itu sedang diperebutkan oleh saudara-saudaranya yang lain. Gonjang-ganjing masalah keluarga ini sudah dimulai dari setahun yang lalu usai Tuan Rendra dan Tuan Harshil mengalami kecelakaan."
"Maaf, Tuan Hara itu siapa?"
"Beliau anak sulung Tuan Danendra, ayahanda Tuan Harshil. Sekarang ini kondisinya masih koma di Rumah Sakit. Dan begini, Abah, Non Inara, Tuan Harshil hanya diberikan waktu satu bulan untuk mencari seorang istri. Itu waktu yang sangat singkat mengingat kondisi Tuan Harshil yang cacat, membuat para wanita enggan untuk dekat dengannya. Apalagi terdengar rumor kalau Tuan Harshil akan diasingkan dari keluarga Danendra."
"Maaf Tuan, tapi sepertinya Anda salah orang. Kami hanya orang miskin, tidak mungkin bersanding dengan tuan muda Anda. Lebih baik Anda cari orang lain saja. Dan lagi, putri saya ini masih belum siap untuk menikah," tolak Abah dengan nada halus.
"Kenapa memangnya dengan orang miskin? Tuan Harshil tidak mempermasalahkan hal itu, dia menginginkan anda, Nona. Tenang saja Non Inara, kami akan memberikan penawaran yang terbaik. Hutang abah akan lunas asalkan Non Inara bersedia menjadi istri Tuan Harshil. Atau Abah justru akan membiarkan Non Inara diperistri oleh juragan kejam yang tadi?"
Inara menggeleng pelan, ia menatap abahnya yang juga tengah kebingungan. Dilema sudah pasti. Dia bahkan tidak pernah tahu dan mengenal orang yang disebutkannya tadi. Masalah dalam keluarga besarnya pun terdengar cukup pelik.
"Ya, mungkin saya memang lancang, dan terkesan memanfaatkan situasi ini. Tapi mohon dipikirkan lagi. Semua pilihan ada di tangan Abah dan Non Inara. Apakah memilih jadi istri ketiga dari juragan kejam? Atau jadi satu-satunya istri Tuan Muda kami."
Ettan beranjak. "Oh iya, ada yang lupa. Saya juga harus menyampaikan ini. Pernikahan ini hanya bersifat sementara saja, Nona. Sampai Tuan Harshil bisa mengungkapkan siapa sebenarnya musuh dalam selimutnya, maka semuanya akan berakhir. Termasuk perjanjian pernikahan ini."
Abah dan Inara masih terdiam, terhanyut dalam pikirannya masing-masing. Menjawab takut salah, karena ini pilihan yang sangat sulit.
"Baik, saya akan memberikan kalian waktu. Mungkin ini terkesan buru-buru karena kalian belum mengenal Tuan kami. Enam hari lagi kami akan datang kemari dan mendengar keputusan kalian. Saya permisi."
Entah kenapa, keadaannya justru bertambah rumit seperti ini. Selain harus berhadapan dengan Juragan Bani, mereka justru berhadapan dengan orang yang sama sekali tidak dikenalnya. Seolah memanfaatkan kelemahannya dengan memberikan tawaran yang terbaik, melunasi hutang Abah tapi dia harus bersedia menikah dengan seorang pria yang lumpuh.
***
"Bagaimana apa kalian setuju dengan kesepakatan ini?" Harshil kembali bertanya.
Ia memang agak mendesak gadis itu. Tadi ia hanya sempat memperkenalkan nama dan umurnya saja dan langsung mengajaknya menikah, cukup membuat Inara shock.
"Berapa umurmu sekarang, Inara?" tanya pria itu.
"Dua puluh tahun, Tuan."
Harshil mengangguk. "Usiamu sudah cukup ideal untuk menikah. Usiaku saat ini tiga puluh dua tahun, usia kita terpaut dua belas tahun, tapi tidak masalah bukan?"
Inara hanya tertunduk malu, saat lagi-lagi Harshil menatapnya lekat. Wajahnya memang tampan, tapi seperti tak terurus. Rambut gondrong sepunggung serta ada kumis tipisnya menghiasi wajah berkulit bersih itu.
Ini kali kedua mereka bertemu, pertemuan yang awalnya tak terduga, kini berlanjut dengan obrolan yang serius. Perjanjian pernikahan antara seorang Tuan Muda dengan gadis desa.
Entah kenapa ada keyakinan dalam hati Harshil. Ia percaya jikalau gadis itu bisa membantunya keluar dari masalah ini.
Masih belum ada jawaban diantara keduanya. Abah pun tak mampu bersuara, Inara tahu abah dilema. Bila ia menolak lamaran ini, sudah dipastikan putrinya akan menjadi istri ketiga juragan Bani, sang bandot tua itu. Karena hutang abah dan sawahnya yang tergadai, kembali tak bisa ditebus.
"Tenang saja, aku tidak akan menyentuhmu, pernikahan ini hanyalah di atas kertas. Setelah enam bulan aku akan membebaskanmu dari ikatan ini. Dan selama itu, aku akan memenuhi semua kebutuhanmu, apapun yang kau minta akan kukabulkan. Bukankah ini tawaran yang sangat menggiurkan?" ucap Harshil lagi dengan tatapan elangnya.
"Hanya enam bulan saja, dan kau akan bebas. Tak bisakah kau membantuku?" Hatinya dilanda kesal setengah mati karena sedari tadi gadis itu hanya diam, tak lekas menjawabnya. Padahal dia sudah merendahkan dirinya untuk memohon.
Prokk ... Prokk ... Prokk ... Sebuah tepuk tangan dari luar menghenyakkan suasana. Mereka semua menoleh, Juragan Bani dan dua asistennya Pardi dan Somad berdiri di ambang pintu.
"Hai gadis manis, rupanya ada yang tengah datang bertamu juga!" tukas Juragan Bani. Ia masuk ke dalam rumah tanpa dipersilahkan.
"Bagaimana, Abah, Inara? Apa kalian sudah siapkan uangnya untuk membayar semua hutang-hutang kalian? Atau Inara bersedia jadi istriku?" Juragan Bani memainkan alisnya untuk menggoda gadis itu. "Aku sudah panggilkan pak penghulu untuk kita menikah hari ini, Inara sayang!"
"Abah, aku gak mau nikah sama juragan," lirih Inara tapi masih terdengar yang lain.
"Dasar gadis ini sok jual mahal! Membuat kesabaranku habis saja!"
Dasar gadis ini sok jual mahal! Membuat kesabaranku habis saja!"pekik Juragan Bani murka. "Tahan emosi Anda, Tuan Bani!!" Ettan mencegah Juragan Bani yang hendak menyakiti gadis itu. Inara terperanjat kaget. "Bagaimana Inara, kau memilihnya atau memilihku?" tukas Harshil, membuat konsentrasinya terpecah. Inara memandang abahnya, kedua netranya tampak berkaca-kaca. "Bagaimana, Bah?" bisik Inara di telinga sang abah. "Nak, jawablah sesuai yang ada di hatimu. Abah akan mendukungnya. Abah selalu berdoa kebaikan untukmu." Inara mengangguk. "Baik, Tuan. Saya bersedia menikah dengan Anda. Tapi jangan tuntut saya," sahut Inara gugup dan tertekan. Entah apa yang terjadi nanti, akan ia pikirkan belakangan. Untuk sementara ini dia hanya ingin terlepas dari jerat Juragan Bani yang mencekiknya dengan alasan utang. Harshil tersenyum simpul. "Hei Inara! Kau tak bisa menikah dengannya! Abahmu mas
"Bah, bukankah ini sangat berlebihan? Kenapa dia kirim barang sebanyak ini? Padahal tadi uangnya sudah habis banyak buat bayarin hutang kita." Abah tersenyum. "Terima saja, ini hadiah dari calon suamimu." Inara pun mengangguk walaupun terasa berat di hati. Gadis itu berlalu ke kamarnya sembari membawa tas-tas belanja itu. Ia membongkarnya satu persatu. Beberapa helai baju yang cantik dengan bahan yang begitu lembut tersedia di hadapannya. "Pasti barang-barang ini mahal harganya!" gumam Inara sendiri. Ia beralih untuk mencobanya, gamis brokat tile, warna dusty pink, terlihat begitu elegan. Ada pula gamis berwarna abu-abu dengan hijab warna senada. Lalu gamis dengan warna coklat susu yang bagian bawahnya rumbai-rumbai. *** Keesokan harinya, Inara sudah bersiap-siap. Gamis dan hijab warna abu-abu membalutnya saat ini. Kemarin Ettan bilang akan menjemputnya tepat jam delapan pagi. Dan dia harus memakai salah satu gamis pembe
"Ahahahah ... Baru kali ini Tuan Harshil memuji seorang wanita. Kalian benar-benar serasi ya, cantik dan ganteng," sahut Susan yang ikut gembira melihat pasangan ini. "Ehemm! Baiklah, pilihkan juga jas untukku yang sesuai dengannya!" "Siap, Pak Bos! Kapan sih kalian akan menikah? Aku jadi tak sabar ingin hadir di acara pernikahan kalian!" "Aku akan kirim undangan untukmu. Siap-siap saja bawa hadiah yang istimewa." "Hahahaha, beres Tuan Harshil." "Ya sudah, aku sudah cukup puas melihatnya, bungkus gaun ini untuknya. Nanti kau kirim ke apartemenku ya." "Oke, Bos." Susan tersenyum, baru kali ini Harshil membuka diri. Sejak kecelakaan setahun silam, dia memang menutup diri dari siapapun. Inara kembali berganti pakaian di ruang ganti. "Kau sungguh beruntung, Inara. Tuan Harshil terlihat sangat menyayangimu. Kamu gak akan menyesal, dia adalah orang yang sangat baik." Inara mengangguk
"Harshil, tunggu! Kita belum selesai bicara!" tukas Chelsie. "Siapa gadis kampungan yang bersamamu ini?" lanjutnya sembari menatap Inara dengan tatapan sinis. "Kenapa? Apa pedulimu?" tanya Harshil dingin. "Sayang, kata Harshil dia itu calon istrinya. Kasihan banget ya, harus jadi pengantin dari pria yang lumpuh!" Erick berkata sambil menyeringai. Sementara Chelsie terus memandang Inara dengan tatapan tak suka. "Serius, Harshil? Apa kau sudah tak punya mata lagi sehingga memilih gadis kampungan itu untuk menjadi istrimu?" pertanyaan menohok kembali dilontarkan oleh Chelsie. Mendengar hinaan dari wanita seksi itu, Inara tertunduk dalam. Dia memang kampungan, tidak pantas untuk bersanding dengan Harshil. Kalau bukan karena hutang itu, pasti saat ini Inara pun tidak bersedia. "Kenapa? Walaupun kampungan, dia justru lebih baik darimu!" ketus Harshil. Ia menoleh ke arah Inara yang raut wajahnya menjadi sedih. "Sayang, ay
"Bagaimana denganmu, Inara?" "Saya juga serius, Kek. Mas Harshil sangat baik padaku jadi--," ujar Inara menutupi rasa gugupnya. "Hahahaha ... Panggilannya lucu sekali. Mas katanya, hahahaha." Seseorang tertawa mengejek, mendengar jawaban dari gadis yang polos itu. "Benarkah? Apa ada tekanan dari Harshil agar kau mengatakan itu semua?" Kakek menengahi. Inara menggeleng pelan. "Tidak, Kek." "Kakek, jangan percaya! Harshil pasti sudah membayar gadis itu, supaya sandiwaranya tidak terbongkar. Tidak mungkin kan dia menemukan calon istrinya secepat ini?" "Rahasia jodoh, tidak ada yang tahu kan, Tante Ros?" sahut Harshil sambil tersenyum. "Coba kenalkan pada kami, siapa namanya? Dari kalangan keluarga mana? Latar belakangnya seperti apa? Siapa ayahnya? Bisnisnya apa? Apa yang dia miliki sampai-sampai ingin menikah denganmu?" Tante Rosa mulai bersuara kembali disertai anggukan yang lain. "Betul, harusnya kau cari
Sesampainya di rumah kecil itu Inara yang hendak turun dari mobil, dicegah oleh Harshil." "Inara, berikan kartu identitasmu," ucap Harshil memecah kebisuan. "Buat apa, Tuan?" Harshil menghela nafasnya dalam-dalam. "Buat daftar pernikahan di KUA. Gak cuma identitasku saja, tetapi mereka juga butuh identitas calon mempelai wanitanya." "Ah iya, ini," ujar Inara sembari menyerahkannya pada Harshil. "Ettan, tolong kau urus semuanya ya!" "Siap, Tuan." "Aku ingin dua minggu lagi, pernikahan bisa dilaksanakan." "Baik, Tuan." "Ya sudah kau boleh turun, Inara. Maafkan atas perlakuan keluargaku padamu. Aku akan mengatasi hap ini. Tenang saja, pernikahan ini akan tetap berjalan lancar. Untuk dua minggu ke depan aku tak bisa menemuimu. Kita akan langsung bertemu di lokasi pernikahan." "Hah? Tapi kenapa?" "Ada banyak hal yang perlu kuurus. Kau gak usah banyak pikiran, makan makanan yang
"Ayo Non Inara, kita pergi sekarang!" tukasnya sedikit memaksa."Anda ini siapa ya?" tanya gadis itu. Gadis yang sudah bersusah payah berdandan sendiri demi memperbaiki penampilannya di hadapan calon suami."Saya yang menggantikan Ettan untuk menjemput Anda, Nona. Tuan Harshil yang mengutus saya," sahut pria itu lagi."Memangnya kenapa dengan Ettan?" Ragu, Inara bertanya. Dia tak pernah melihat Harshil mengutus orang lain selain Ettan."Ada musibah yang menimpa Ettan, jadi dia tak bisa menjemput Anda, Nona. Masuklah sekarang ke mobil, Tuan Harshil sudah menunggu Anda."Inara terdiam sejenak."Maaf Nona, mungkin anda meragukan saya. Tapi saya benar-benar diutus sama Tuan Harshil. Ini saya ada surat kuasa dari Tuan," ujarnya sembari menyerahkan lembaran kertas itu."Biar saya telepon Tuan Harshil dulu," sahut Inara."Silahkan, Nona. Tapi sepertinya Tuan Harshil sedang sibuk."Inara mer
"Ettan, kau bawa Abah kesini, nanti kita atur rencana untuk mencari Inara," tukas Harshil memerintah."Baik, Tuan."Panggilan itupun terputus begitu saja.Harshil mengepalkan tangannya geram. Siapa yang sudah merencanakan ini semua?'Mereka benar-benar tak ingin melihatku bahagia ya? Beraninya mencampur obat dalam makananku!' gumamnya.Susah payah Harshil duduk di kursi roda yang ada di samping ranjangnya. Ia memutar kursi rodanya sendiri, keluar untuk menemui keluarga yang lain.Rumah besar itu tampak sepi, tak ada suara orang mengobrol ataupun aktivitas yang lain.Ada dimana orang-orang rumah? Kenapa tak ada satupun aktivitas di rumah ini?"Kek ... Kakeeek ...!!" panggil Harshil."Bu Sujiiii .... Bu Sujiiii ...!" Diapun memanggil kepala pelayan di rumahnya.Ia kembali memutar kursi rodanya menuju dapur. Hening."Kemana sih orang-orang pergi?"Seorang pria lari
Harshil masih menenangkan diri di ruang perawatan bayi. Ia masih belum sanggup menemui Inara dalam keadaan yang menyedihkan. Berulang kali ia menghapus jejak genangan air mata. Nyatanya dia yang biasa tegar kini terlihat begitu rapuh. Bahkan sangat rapuh akan kehilangannya. Cukup lama, bayinya itu kembali tenang, sudah tak menangis lagi. Harshil bersiap menemui Inara. Di ruangan serba putih itu, Inara masih terbaring lemah. Ia sudah tak lagi memakai mesin ventilator hanya selang oksigen dan juga selang infus. Ia masih terdiam, belum mampu berucap satu patah kata. Harshil membuka pintu ruang perawatan. Inara menoleh ke arah suaminya, pandangan mereka bersirobok. Tanpa banyak kata, Harshil langsung menghambur ke arahnya, memeluk sang istri dan menciuminya berkali-kali. Dengan tangan gemetar, Inara mengangkat tangannya lalu berusaha mengusap genangan embun di kedua mata Harshil. Lalu membelai lembut bibir sang suami, membuat lelaki itu makin tak kuasa menahan air mata.Inara tersenyum
Jika yang datang bisa pergi, lantas akankah yang pergi bisa kembali?***"Bangun sayang, kamu gak boleh pergi. Inara, banguuuun. Kau dengar aku kan?! Jangan tinggalkan aku sendiri di sini, Inara!! Aku sangat mencintaimu Inara, aku mencintaimu. Kumohon kembalilah, jangan pergiii .... Inaraku, bangunlah sayaaaaang."Inara masih bergeming meski Harshil berteriak dengan histeris. Harshil menghapus jejak air mata yang jatuh berderai. Ia bangkit dan kembali mencium puncak kepala Inara. Walaupun matanya terpejam, ia terlihat begitu damai dan teduh. Berkali-kali Harshil menelan saliva. Berharap ini hanya mimpi semata. Ia takkan pernah bisa terima bila Inara sudah tiada."Ah aku tau cara membangunkanmu, tunggu aku sayang ... Aku akan membawamu kembali."Harshil membuka pintu ruang perawatan dan kembali menutupnya. Sontak semua orang menatap ke arahnya. Keluarganya satu persatu sudah datang, mereka pun tengah menunggu kepastian, termasuk Chelsie yang didampingi oleh kedua orang tuanya datang.
"Ya, Tuan. Keadaan nona ..."'Ada apalagi dengan Inara?' Batin Harshil. Jantungnya makin berdegup dengan kencang. "Ada apa dengan Inara?" tanya Harshil dengan suara bergetar. Matanya sudah panas seolah kristal bening itu hendak berjejalan keluar."Tuan, keadaan nona kritis lagi."Tes ... Air mata itupun akhirnya jatuh tak tertahankan. Dia langsung mematikan panggilan teleponnya. Hatinya mendadak gusar."Van, kita ke rumah sakit sekarang!" titah Harshil dengan pandangan kosong. Perasaannya berubah tak enak. Khawatir, panik, cemas bercampur aduk menjadi satu. Apa yang terjadi pada Inara? Pertanyaan itu terus berputar-putat di pikirannya."Baik, Tuan." Vano memperhatikan sang majikan, merasa iba dengan keadaannya. 'Kasihan sekali, Tuan Muda."Vano memacu mobilnya dengan kecepatan kencang. Sepanjang perjalanan Harshil hanya diam, dengan perasaan yang berkecamuk begitu dahsyat.Terbayang kembali kenangan-kenangan manis bersama Inara. Kenangan yang takkan pernah bisa ia lupakan. Kepingan-
"Nak Harshil, gimana keadaan Inara?" Tiba-tiba Abah datang, wajahnya tampak begitu cemas. Teddy-lah yang sudah membawanya kemari.Harshil bangkit dan langsung menyalami tangan ayah mertuanya. "Abah bisa ikut aku ke dalam," ujar Harshil. Dia mengantarkan abah melihat kondisi putrinya. Di atas bed pasien, Inara tampak tertidur pulas dan damai. Wajah yang putih dan terlihat sangat pucat, membuat siapapun yang melihatnya melelehkan air mata. Abah menatap sang menantu, pandangannya seolah meminta penjelasan."Abah, maafkan saya karena tak bisa melindunginya dengan baik. Kata dokter, Inara mengalami koma akibat pendarahan hebat dan benturan keras yang dialaminya." Harshil mengambil nafas dalam-dalam, berusaha menenangkan gejolak hatinya. "Tapi beruntung bayi dalam kandungan Inara masih bisa diselamatkan. Abah sudah punya cucu. Cucu yang sangat tampan," lanjut Harshil lagi dengan pandangan berkaca-kaca.Abah langsung mendekat ke arah putrinya. Bahu itu tampak berguncang. Abah menangis. Me
Tanpa terasa butiran bening menitik di kedua sudut matanya. "Inara bangun, Inara! Bertahanlah sayang! Bertahanlah!"Beberapa orang langsung berkerumun. Bahkan ada yang hendak menolong Inara."Berhenti! Jangan sentuh istriku!" teriak Harshil. Emosi dan kesedihannya sudah memuncak bercampur padu menjadi satu.Mereka saling berpandangan, melihat kondisi Inara yang tampak begitu menyedihkan. Harshil meraih ponselnya dan menelepon Teddy supaya segera mempersiapkan mobil. Teddy berlari ke arahnya. "Tuan mobilnya sudah siap!" tukas Teddy, wajahnya pun ikut panik melihat kondisi nona majikannya.Dengan hati yang runtuh, Harshil mengangkat tubuh Inara. Dan berlari menuju mobil yang sudah dipersiapkan di depan mall. Tak peduli dengan tatapan orang-orang yang melihatnya iba. "Sayang, kumohon bertahanlah." Harshil terus menciumi sang istri, berharap ada keajaiban dan dia bisa sadarkan diri.Harshil duduk memangku tubuh Inara. Tak peduli rembesan darah itu sudah menodai bajunya. Ia mengusap peru
"Mas, mau pilih yang mana? Kiri apa kanan?" Inara memberikan pilihan seraya menyodorkan kedua tangannya yang mengepal."Wah, kejutan apa lagi nih?" tanya Harshil. Dia beranjak duduk dengan pandangan yang antusias."Ayo mau pilih yang mana?" tanya Inara lagi."Yang kanan apa, Sayang?" Inara membuka kepalan tangannya. "Yeay makan jagung bakar," jawabnya seraya memperlihatkan sebuah tulisan di tangannya."Kalau yang kiri?" tanya Harshil. Inara membuka kepalan tangannya yang sebelah kiri. "Jalan-jalan ke pantai.""Ya udah aku pilih yang kanan dan kiri juga. Ayo kita jalan-jalan ke pantai sambil makan jagung bakar!""Hah? Beneran?""Iya, kalau bisa dua-duanya kenapa tidak?" Harshil menaik-turunkan alisnya menggoda."Beneran, Mas?" Inara kembali bertanya seolah masih tak percaya."Iya. Anniversary kita yang ke berapa tadi?""Sepuluh bulan!"Harshil mengulum senyum. "Oh iya, ayo. Siap-siap! Mandi dulu gih!""Eeh kan aku udah mandi dari sebelum subuh! Mas sih, habis subuhan malah tidur lagi
"Inara, hari ini kita jalan-jalan yuk! Biar aku sendiri yang nyetir. Spesial hari ini khusus untuk kita berdua," ajak Harshil. Hari ini dia ada sedikit waktu. Rasanya ingin bersenang-senang bersama sang istri. Kaos warna marun dan celana jeans membalut tubuhnya yang atletis."Kemana?""Kamu maunya kemana?""Makan.""Makan lagi?" Kening Harshil mengernyit. Pasalnya mereka baru saja makan siang bersama keluarga, kurang lebih satu jam yang lalu.Inara mengangguk cepat. Semenjak kehamilannya menginjak ke trimester ketiga, entah kenapa nafsu makannya bertambah berlipat-lipat. Jadi doyan makan dan pengen makan lagi. Harshil menatap istrinya dengan pandangan takjub. Merasa heran dengan perubahan sang istri."Badan kecil begini tapi kok doyan makan ya!" celetuk Harshil."Kan permintaan dedek bayi.""Jadi dedek bayi lagi yang minta?""Heem.""Terus mau makan apa?""Emmmh bentar-bentar, aku komunikasi sama dedek bayi dulu."Harshil mengulum senyum melihat tingkah Inara yang menurutnya lucu dan
Menginjak usia kandungan yang ke tujuh bulan. "Mas, hari ini antar aku check-up ke dokter lagi ya.""Iya, tentu saja, Sayang. Bulan ini bisa tahu ya jenis kelaminnya apa?""Semoga bisa ya, Mas.""Aku sudah tidak sabar lagi menunggu hari kelahirannya."Inara tersenyum manis. "Kau benar, Mas. Aku juga sudah tidak sabar lagi. Rasanya pasti menyenangkan akan menjadi orang tua.""Apa ada yang kamu keluhkan?" tanya Harshil. Ia ingin memastikan kondisi istrinya baik-baik saja."Hanya satu yang jadi keluhanku saat ini, Mas.""Apa?" "Gak bisa tengkurap, Mas.""Hahahaha ..." Harshil justru tertawa mendengar jawaban konyol Inara. Ia tak menyangka sang istri yang lugu dan polos bisa bercanda juga."Kok ketawa, Mas? Aku kan ngomong bener. Cuma bisa miring kanan, capek miring kiri. Pinggangku juga makin pegel, Mas, gampang capek. Sesekali aku pengen tengkurep, tapi gak bisa."Harshil mengacak rambut Inara yang masih tergerai panjang. "Kamu ini ada-ada saja. Namanya juga lagi hamil, pasti rasanya
"Mas, hari ini enam bulan pernikahan kita," ujar Inara ragu-ragu."Hmmm, terus?" Harshil masih menatap layar laptop di hadapannya."Kok terus sih? Mas gak mau ucapin apapun padaku?" tanya Inara, bibirnya cemberut.Harshil menoleh, menatap Inara yang tengah kesal memandangnya. Pandangan Harshil bertanya-tanya. Ia pun bangkit, lalu menghampiri sang istri. "Kamu butuh apa, Sayang?"Inara menggeleng pelan, membuat Harshil makin tak mengerti. "Ayo coba katakan padaku, apa yang kamu inginkan? Kalau kamu gak ngomong, aku gak bakalan tau."Inara menghela nafas dalam-dalam. "Mas, apa kamu gak mau memastikan pernikahan kita?""Apanya yang perlu dipastikan? Kan semuanya sudah pasti, kau milikku dan aku milikmu. Oh, kamu masih ragu tentang perjanjian itu?"Inara mengangguk lemah. Harshil justru tersenyum seraya membuang nafas panjangnya. Dituntunnya sang istri untuk duduk di tepi ranjang. Lelaki itu membenarkan rambut Inara ke belakang telinga. "Kenapa kamu masih takut dengan hal itu? Aku kan