***
Setelah berhasil mengelabui kedua bodyguard tadi, Zehra melewati lorong yang akan membawanya kembali pada area club, bekerja kembali. Di tengah lorong Zehra mendapatkan panggilan telpon dari papahnya.
"Hallo"
"..."
"Aku ngga bisa, Aku lagi kerja! Jelas ngga bisa ditinggal,"
"..."
"Apa lagi sekarang! Aku udah muak dan aku capek, mau papah apa, sih?"
"..."
Zehra mengeratkan genggaman ponselnya, mendengar tiap suara berat diujung telepon, Zehra menekan keningnya frustasi berharap bisa menghalau segala resah dan khawatir yang membelenggunya.
"Yaudah, aku usahakan kesana, sekarang, Papah tunggu aku dan pastikan ponsel Papah aktif." tutup Zehra gusar dengan langkah berat ia menghadap ke bosnya yang tengah mengawasi.
"Bos, aku minta maaf sebelumnya tapi aku harus minta izin,"
"Izin apa, Zehra?"
***
Zehra berdiri saat menyadari bus tengah memelankan laju pertanda jika tujuannya sudah sampai dan betapa terkejutnya Zehra memandang ayahnya yang tampak loyo tengah duduk membatu dengan bahu menurun di bangku besi khas halte bus.
Zehra menarik napas dan menghembuskan perlahan berharap mengurangi cubitan perih di dada, tanpa sadar Zehra turun dari bus dengan langkah cepat untuk kemudian berhenti di depan papanya yang masih menunduk.
"Pah." tubuh rintih itu sedikit terkesiap dengan pasti ia mendongak dan tersenyum mendapati Zehra benar datang bahkan ada senyum sendu terpatri di wajahnya.
"Syukurlah kamu datang, papah kira kamu kesal dan nggak mau mendatangi papah lagi." serunya tersenyum tulus.
Zehra memaksa untuk ikut tersenyum ia menghela napas lega, "Barang bawaan papah cuma segini, kapan mau diambil barang yang lain?"
"Nggak segini aja cukup, lagian papah udah nggak kuat bawa barang yang lain,"
"Aku nggak minta papah untuk ambil lagi barang itu, aku cuma tanya kapan..-"
"Nggak usah! Papah udah memutuskan hubungan papah sama mereka dan akhirnya papah diusir, papa cuma sempat membawa beberapa baju dan papa nggak sudi kembali ke rumah itu lagi termasuk kamu, jadi berhenti bertanya Zehra. Papah capek!"
Zehra membuang wajahnya gusar sumpah serapah kata-kata makian hingga menyalahkan ingin ia semburkan ke pria dihadapannya namun melihat sang papah duduk dengan wajah lelah dan kalah menahannya.
"Yasudah, ayo kita cari motel di sekitar sini! Papah harus istirahat udah larut malam,"
"Apa... kita nggak bisa pulang ke rumah aja, Ra?" gumam sang papah lemah.
"Ngga bisa, aku belum cerita apapun tentang papah yang sekarang, aku nggak mau buat mamah bingung dan nggak nyaman di rumah kalau ada Papah," ucapan Zehra menghentikan segala obrolan mereka di malam itu.
Zehra sudah memutuskan untuk membuka kamar di motel secepat yang bisa ia dapatkan, kamar yang bersih dan cukup nyaman untuk papanya, meski harus menghabiskan uangnya yang tersisa.
Setelah memastikan papahnya menyuapkan nasi dan lauk ke mulutnya, Zehra menaruh beberapa lembar uang di atas nakas samping tempat tidur. "Itu uang untuk Papa beli sarapan dan makan siang besok, aku usahakan sebelum berangkat kerja aku kesini lagi, jadi sekarang aku pamit pulang, Pah."
Sang papah mengangguk kecil dengan raut wajah tak rela lantaran ia hanya mampu memandangi Zehra yang meninggalkannya di tempat baru sendirian ditengah malam yang teramat dingin.
***
Keesokan harinya
"Zehra!"
Sontak semua pekerja yang tengah menyiapkan klub untuk dibuka nanti malam, langsung ikut menoleh pada Zehra yang tengah berjalan ke arah ruangan Bos.
Tentu saja hal itu mengundang rasa curiga yang teramat besar. Bahkan managernya pun bertanya-tanya apa dia melakukan kesalahan sangat besar yang fatal sehingga bos besar yang juga pemilik klub sendiri yang harus turun tangan. Atau sebagian dari mereka menebak-nebak jika Zehra adalah salah satu kerabat dari si big boss.
"Menurut lo, Zehra ada keperluan apa sampai dia harus dipanggil ke ruangan bos segala, sendirian pula?"
"Nggak tahu, yang jelas itu bukan urusan gue apalagi lo dan liat ke meja! Lo tuang cairan pembersihnya kebanyakan, lap yang benar karena bentar lagi klub mau dibuka!" seru Anggito jutek menghentikan aksi julid Tina pada Zehra.
"Kenapa sih, Anggit? Lo selalu antipati kalau itu tentang Zehra, lo udah sesuka itu sama Zehra, ya?"
Dengan tatapan datarnya Anggito Siswanto menghentikan aksi mengelap gelasnya lalu menoleh sekali lagi pada Tina yang bergumam,
"Menurut lo?"
***
"Jadi bisa kamu jelaskan! Kenapa dan bagaimana usaha kamu untuk mengganti hutang kamu nanti, itupun kalau aja aku mau kasih hutang itu, ya,"
"Aku butuh uang itu untuk keperluan mendesak Bos dan Bos tenang aja aku masih akan terus bekerja disini dan sebentar lagi sertifikat kelas masak aku keluar, nah! Aku yakin jualan milikku nanti bakalan lebih laku dan aku bisa melunasi hutang aku ke bos, aku benar minta tolong, aku janji bakalan lebih nurut kerja seperti kemarin malam, ya, Bos."
"Memangnya kamu mau hutang berapa?"
"Lima puluh juta, Bos,"
"Itu bukan nominal yang besar sebenarnya, kamu yakin nggak mau bekerja seperti Nina atau Adya?"
Seketika raut wajah Zehra berubah menjadi datar, "Maaf Bos, tapi aku ngga se-hopeless itu sampai harus menggadaikan harga diri,"
"Dan sekarang kamu lagi merendahkan harga diri dengan memohon dipinjamkan uang oleh orang yang memfasilitasi bagi mereka yang mau menggadaikan harga dirinya, begitu Zehra? bagus aku mulai kesal sekarang!" seru si bos mendengus sembari menyalakan cerutunya.
Zehra menatap khawatir pada bosnya sadar sudah ungkapan jujurnya sudah menyinggung hati si bos Zehra pun mulai bernegosiasi, "Maaf Bos, aku nggak bermaksud menyinggung Bos apalagi teman-temanku yang lain tapi yang jelas aku mau berusaha cari tambahan uang dengan cara yang benar, Bos."
Si bos yang mendengarnya hanya mengangguk malas, sesekali menyesap cerutunya dan menghembuskan gumpalan asap dengan cara dramatik.
"Jadi gimana Bos, aku memang ngga bisa pastikan berapa lama aku kembalikan uangnya tapi yang jelas aku usahakan kembalikan uang itu secepat aku bisa."
"Tadi kamu bilang kamu mau bekerja seperti kemarin malam, benar 'kan?"
Zehra meringis mengingat ucapannya barusan dan mengangguk kecil sembari mendengarkan penjelasan dari tawaran big Bos tersebut.
Setelah memastikan ia menutup pintu dengan benar, Zehra melihat tubuh Nina yang melangkah lunglai ke arahnya dengan penampilan yang sedikit kacau. Ia bergidik membayangkan Nina mendapatkan client yang kasar. Ia jelas tak mau seperti itu.
***
Javas menatap ke luar jendela sambil berkacak pinggang dari penthouse nya. Amarahnya masih saja membuncah walau ia sudah memukul samsak gantung berkali-kali pun dengan keringat yang sudah membasahi dari kening hingga perut yang bebas masih saja tak mampu menghentikan amarahnya akan ingatan kelam yang selalu hadir.
Javas baru menyadari betapa tebal wajah Anne yang memberi salam formal padanya bersikap layaknya teman lama yang baru bertemu dan tak segan menunjukkan kemesraannya bersama kekasih barunya yang akan segera bertunangan.
Sungguh sial! Selama ini Javas tak pernah menyadari jika ia sudah diduakan, Javas selalu mempercayai Anne bahkan ketika Javas harus pulang pergi ke luar negeri untuk bekerja tak pernah menyangka disaat yang sama Anne menjalin cinta dengan pria ningrat yang pernah menjadi relasi bisnisnya. Deringan ponsel mengalihkan perhatiannya.
"Di mana, Bro?"
"Menurut lo, sial lo lagi mengejek gue?!" Pertanyaan dari seberang telpon makin membuatnya jengkel.
"Relax, Bro!" suara orang yang menelpon makin terkekeh, "Jangan sampai dia tahu kalau lo langsung merenung sendiri di kamar setelah ketemu dia sama pacar barunya, butuh bantuan untuk melampiaskan emosi?"
"Omong kosong, lo dimana?" sambar Javas mendengus.
"Di depan pintu." Tak lama kemudian bel berbunyi.
"Shit!" Pria itu makin kesal hingga membanting ponselnya di sofa lalu membuka pintu.
Alven mengerutkan keningnya,"Ngeboxing malam-malam, eh? Kurang seru lo butuh melampiaskan gairah dan amarah lo, ayo pergi, kita bersenang-senang!"
"Apa gue terlihat separah itu?"
"Ngga juga, buktinya lo masih beraktivitas dan berpikir seperti biasa tapi sialnya di acara tadi lo harus ketemu sama betina itu yang bergelayut manja di lengan cowok barunya si anak bungsu dari keluarga Wicaksono,"
"Nggak penting." tukas Javas acuh yang sudah duduk di atas sofa mahalnya dengan kedua tangan terbuka lebar bersandar.
"Yes, emang nggak penting sama kayak kelakuan lo yang nggak penting sendirian merenung disini, ayo kita clubing dan kita pesan pesan perempuan yang paling cantik dan seru, gimana?"
Javas mendengus lalu melempar Alven dengan bantal kursi. "Gue lagi nggak merenung!" tukas Javas bangkit dan berjalan ke arah kamar sembari membuka sarung tinjunya.
"Ke mana?"
"Ke klab, kan? Ayo!"
"Ok."
***
"Level berapa?" Teriak Alven di tengah alunan musik yang memekakkan telinga.
Javas mengerutkan kening tidak mengerti. Pandangannya kembali ke arah gadis-gadis seksi yang meliuk-liuk di dance floor.
"Level 1 atau 2?" Tanya Alven lagi.
Javas meneguk alkohol yang tersaji di hadapannya, "Apa bedanya?"
"Pro atau amatir?"
Pilihan itu menarik perhatian Javas, "Yang kedua."
Alven mencibir, "Maksud lo amatir, don't you take a serious bro! Mana puas, gue pilihkan pro ya, biar sama kayak gue" Matanya berkedip nakal.
Javas kembali meneguk minumannya habis, "Bro, yang namanya Lyra mana, kenapa dia belum juga kelihatan?"
Anggito yang tengah meracik minuman langsung menoleh pada Javas yang duduk pada arah jam satu di depannya yang hanya terhalang bar panjang.
"Oh ya. Lyra, pelayan yang itu, dimana dia?"
“Maaf?”
“Aku mau kamu panggil wanita yang bernama Lyra, dan suruh dia temui aku ke ruangan yang aku pesan, sekarang!”
"Dia libur hari ini.""Gue pilih level satu inisial A1 paket lengkap." Alven mengambil alih percakapan dengan menunjukkan sebuah foto pada Javas, "Sexy, kan?!" Kedua matanya berkedip dua kali mengerling.Dengan wajah yang ditekuk Javas mengabaikan Alven yang terus menggodanya. Dia mengambil tablet di tangan Alven lalu mencari pilihan level 2."Nggak ada fotonya." protes Javas saat hanya melihat daftar inisial B1 sampai B9.""Maaf, pekerjaan ini bagi level dua semacam part time job, mereka hanya bekerja jika ada waktu luang atau keadaan mendesak butuh uang, dan, identitas mereka kami rahasiakan dan untuk B6 sampai B9 mereka cuma menemani minum nggak lebih" jelas pria berjas dan berdasi kupu-kupu yang sedari tadi berdiri di samping Alven memberikan penjelasan."Level satu paket lengkap, lo pilih siapa ceweknya!" intrupsi Alven menggeser page pada iPad yang masih dipegang Javas."B9.""What? Seriously?!""Menemani minum bukan berarti ngga bisa bersenang-senang, lo tahu itu 'kan? Lagian b
"Masuk!""Tuan Javas, saya minta maaf atas kericuhan yang baru saja terjadi, anda tenang saja, Saya sudah menyuruh asisten Saya untuk membuat Lyra kembali meminta maaf dan menemani anda di sisa jam malam, saya mohon pengertiannya Lyra itu memang pertama kali menemani tamu eksklusif seperti anda karena biasanya di bertugas sebagai pelayan paruh waktu jadi sekali lagi saya minta maaf.""Jadi benar, dia baru pertama kali melakukannya?" tanya Javas setengah memastikan."Benar Tuan, mungkin sebentar lagi Lyra akan segera kembali,-""Nggak perlu, saya memutuskan memakluminya tapi sebagai gantinya saya punya permintaan.""Saya usahakan bisa membantu anda, Tuan "Seringai di sudut bibir Javas semakin tinggi. Jika ciuman wanita itu tidak semanis melebihi yang ia pikirkan, bagaimana mungkin seorang Javas membiarkan pipinya tertampar begitu saja. Tetapi, ia tetap tak bisa membiarkan tamparan itu berlalu begitu saja. Wanita itu harus membayarnya.***Akhirnya pagi kembali menyinari langit tempatn
"Dan apa motivasi kamu itu?""Ada urusan keluarga yang mendesak, dan bos Topo memberi saya solusi seperti itu, jadi saya coba.""Menurut kalian itu solusinya? Dan apa kamu bilang, kamu mencobanya? Apa kamu sadar apa akibatnya kalau kamu bertemu dengan pelanggan yang salah dan semakin terjerumus pekerjaan itu, Lyra!" sentak Javas.Zehra tersentak, ia yang tadinya menatap penuh pada Javas langsung menunduk, aura dominasi begitu terasa dari diri Javas bahkan ketika ia tak melakukan apapun dan disaat Javas menyentaknya jelas Zehra terkesiap ditambah ia mengkhawatirkan nasibnya.Javas menghela napas kasar, "Apa ini berhubungan dengan kebutuhan kamu mendapatkan uang yang banyak dalam waktu singkat?"Zehra mengangguk kecil, membalas Javas dengan meringis dan rasa rendah diri menyergapnya.Lelaki itu ternyata sudah bangkit dari kursinya, memutari meja dan duduk di sofa yang sama, cukup dekat dengan Zehra,"Dengar! sebenarnya selama ini aku memperhatikanmu entah kenapa, kamu membuatku sangat b
Braakk!!Javas mengumpat geram menyadari Zehra telah kabur dengan pintu yang dibanting kasar, "Halo""...""Ok, i'll handle it" tutupnya.Javas mengusap mulutnya yang terasa panas, dia merasa sedikit bodoh, karena bertindak begitu impulsif di kantor, di mana banyak orang bisa menyebarkan gosip terlebih dentuman suara pintu yang dibanting, sudah jelas mengundang tanya sekretaris dan staff yang bekerja di lantai yang sama dengannya.Javas menarik napas dalam-dalam dan berusaha menghilangkan getaran di tubuhnya. Ciuman tadi terasa begitu nikmat, sudah lama sekali Javas tidak merasakan ciuman yang begitu membakar gairahnya sampai ke tulang sumsum.Hanya sebuah ciuman dan dia terbakar, Javas mengernyit, tidak begitu menyukai kenyataan itu. Selama ini dia selalu mampu mengendalikan gairah hingga bisa mendominasi dan menyetir pasangannya dan belum pernah sebodoh ini bahkan pada Leticia mantan terindahnya.Dan sekarang, ada ketertarikan yang membuatnya hampir lepas kendali, semudah itu. Masih
"Halo, apa benar ini dengan Pak Javas?" Butuh beberapa detik untuk Javas menjawab, "Iya betul, saya sendiri. Anda siapa?" "Maaf, Pak mengganggu waktunya, saya Lyra dari klab Euforia saya dapat nomor Bapak dari bos Topo. ah... Begini Pak, saya ingin meminta waktu sebentar aja, Pak. Apa bisa-" "Kamu dimana?" sambar Javas dingin. "Apa? Ah... Saya di halte di dekat gedung balai kota, ada yang perlu saya bicarakan-" "Apa kamu sendirian di halte bus?" Zehra mengerutkan dahi dan meneliti sekitarnya, "Iya, Pak saya sendiri di sini," "Tunggu disana!" pungkas Javas menutup sambungan telepon. "Halo, Pak Javas?" panggil Zehra yang menjadi geram karena sikap arogan Javas yang selalu memotong bahkan memutuskan pembicaraan sepihak menambah daftar panjang kisah pilunya hari ini. *** Sepuluh menit kemudian mobil Toyota Camry warna hitam menepi tepat di depan halte tempat Zehra berteduh sendirian. Seorang supir membawa payung hitam besar dan memayunginya ketika Javas turun dari mobil dan mela
Zehra tersentak kaget yang melayangkan pukulan pada sisi pintu mobilnya dengan kepalan tangan yang masih terkepal."Katakan sekali lagi?!"Zehra mendongak, membalas tatap Javas yang menghunusnya, namun tak ada jalan keluar baginya. Zehra menaikkan dagunya, menguatkan hati."Teman-temanmu yang datang bersama mu malam itu di klab, aku nggak tahu nama-nama mereka yang jelas beri aku nomor telepon ketiga temanmu, aku benar-benar kehabisan cara kalau kamu nggak mau membantuku mungkin mereka bisa menerima dan menolongku, aku tahu mereka juga sama mesum dan kayanya dengan anda." cicit Zehra yang langsung menyesal karena kalimat terakhirnya.Ditariknya lengan Javas, dan seketika lelaki itu menoleh dengan marah, "Gimana?Tolong bantu saya kali ini, saya mohon Pak Javas."Dengan kasar ditarik pinggang Zehra, menabrak bagian depan tubuh Javas, bahkan Zehra sempat mengadu. Javas menahan kepala Zehra lalumenciumnya dengan membabi-buta, merasakan tubuh Zehra yang terkesiap kaget hingga akhirnya men
Tindakan SenonohJavas menoleh sejenak, dengan acuh ia menyingkirkan tangan wanita itu dari atas dengkulnya. Javas memang tak beranjak namun ia masih memperhatikan Zehra dari tempatnya.Zehra yang sedang membungkuk untuk menaruh gelas terakhir tampak tiba-tiba menarik tangannya dan berdiri dengan tegak. Ketiga pria itu tergelak dengan reaksi Zehra yang tampak lucu di mata mereka. Berbanding terbalik dengan wajah pucat Zehra. "Mau gabung sama kita, ayo duduk sini!" ajak salah satu lelaki itu yang sudah memberi tempat di antara mereka. Spontan Zehra tersenyum ala joker dan langsung mengambil nampan hingga kembali dikejutkan oleh tepukan di bokong, yang membuat wanita itu bangkit meluruskan tubuhnya Dengan kesal yang tertahan, Zehra menatap tajam ke arah ketiga pria itu yang tawanya semakin lebar. Kemudian Zehra membatu dengan kedua manik yang berkaca-kaca dan berlalu pergi.Javas yang tak bisa menahan amarahnya lebih lama lagi, berusaha menekan emosinya yang hendak menghambur ke tempa
“Sa..saya nggak tau cara-” “Stop menggunakan kata saya apalagi bapak, jangan buat aku kehilangan seleraku, sayang.” Zehra malah semakin ingin menangis, ia bahkan tak berani mendongak apalagi berkutik karena himpitan pria ini. Javas tau ia tak mau menunggu, ia berusaha mencium bibir Zehra tapi gagal karena Zehra menggerakkan kepalanya ke kanan hingga Javas hanya mengenai pipinya. "Kenapa kamu nggak mau sama aku? Dan malah membiarkan para lelaki hidung belang itu menyentuhmu, bahkan kamu membiarkan mereka mencoba milikku!" Bisik Javas ditelinga Zehra lalu tangan kanannya meremas kasar bagian sensitif Zehra. "Ahhh...," jerit Zehra yang menahan rasa sakit di pangkal pahanya, saat itu juga Javas mengunci rahang Zehra ke atas menciumnya lalu memasukkan lidahnya ke mulut Zehra Zehra mencoba melawan. Tidak! Dia tidak terima diperlakukan seburuk ini! dengan sisa tenaga Zehra mendorong dada Javas. Javas tetap memaksa Zehra dalam permainan lidahnya dan menggiring Zehra masuk ke dalam ruang
“Halo,”“Ra, akhirnya kamu angkat telpon aku juga! Ra, tolong bantu aku bicarakan pada pria itu untuk berhenti mengacaukan pekerjaanku! Aku sudah merelakanmu ‘kan? Jadi seharusnya dia menghentikan semuanya ‘kan?”Zehra menghela napas gusar dan menatap balik Javas yang menyeringai ringan kemudian mengangguk kecil. “Ya, aku akan menolongmu untuk bicara sama dia, ada lagi?”“Apa?... Ah, kamu mengerti ‘kan? Posisi aku? Kamu nggak marah sama aku ‘kan?”Zehra menahan nafasnya saat Javas menyambar ponsel dan mematikannya. ***Javas membuka kancing kemeja nya, melonggarkan ikat pinggangnya. "Apalagi yang bisa kulakukan selain ngobrol dengannya di tempat kerjamu. Kamu melarangku bicara dengan orang lain," balas Zehra berbaring di sofa panjang depan tv. "Entah kenapa aku nggak suka melihatmu bersamanya." Javas tiba-tiba menindih Zehra. Remote tv yang dipegangnya terjatuh karena kaget. Serangan Javas membungkam mulutnya sebelum protes. Awalnya Zehra meronta memukul dada Javas tapi lama-lama
“Mau kemana?”refleks “Kenapa kamu harus menyamar jadi orang lain, hah? Apa tujuan kamu sebenarnya?”“Tujuan? Ckk… itu cuma sekedar nama panggung Jav! Lagian kamu tahu dari mana nama asli aku?”Javas memandang Zehra lamat lalu menjawab, “Aku jelas mendengar mantan pacarmu itu yang memanggil kamu Zehra.” “Oh, ya…. Kami saling mengenal sebelum aku bekerja di club malam,”“Lalu?”“Lalu, bukan cuma kamu orang yang memanggil aku dengan panggilan Lyra. Semua orang yang memakai jasaku, jga memanggil nama itu. Jadi apa kamu udah paham? Apa pembahasan kita udah selesai?”“Pergilah, setelah kamu, aku juga harus mandi atau kita bisa mandi berdu-”“Aku duluan!” potong Zehra segera berlalu.***"Iya Mah, aku paham. Tapi untuk kali ini aku lagi fokus membiayai urusan rumah sakit papah yang ternyata cukup banyak dan masih panjang. Tapi aku yakin aku bisa mengatasinya satu persatu." ucap Zehra sebelum ia memutuskan panggilan. Zehra menarik napas lega. Karena masalahnya sudah teratasi satu persatu d
Mataku mengerjap menyaksikan benda mencuat dengan begitu gagahnya. “Jadi?” Alis Javas terangkat menggoda.“Udah bereaksi ternyata,” refleks jawaban itu meluncur dari bibirku.“Yeah, I know" Javas mengangguk membuat bola mataku berputar. Dia terkekeh melihat wajah sebalku, sementara aku hanya bisa terpaku saat menyaksikan telapak tangannya perlahan melingkari miliknya lalu dengan santai mulai bergerak.Ya ampun, aku terpesona, seperti terhipnotis melihat pemandangan di hadapanku. Ada sesuatu yang sangat seksi melihat seorang laki-laki memuaskan dirinya sendiri, apalagi laki-laki setampan Javas, dengan tubuh tegap, rambut berantakan, dan cambang tipis yang membuatnya semakin maskulin, dengan celana yang ditarik ke bawah dan sepasang mata berkabut oleh gairah, dengan kepercayaan dirinya yang terpancar jelas.Tanpa ragu apalagi malu-malu, tangannya bergerak mantap mengurut miliknya yang semakin “Jadi mau mulai kapan? Karena milikku udah siap,” Suara serak Javas membuyarkan lamunanku. K
“dan mulai sekarang kamu hanya akan jadi milikku!”Zehra menjauhkan tubuhnya, menatap Javas dengan ekspresi kecewa. Dia berniat protes tapi ditarik kembali masuk dalam dekapan pria itu. "Aku akan meminta Theo menarik proposal kerjasama itu. Jadi nggak ada alasan dia buat nyalahin kamu kalau dia nggak kepilih jadi penanggung jawab di kantornya." "Jav, walau gimanapun kamu nggak boleh mencari masalah sama pekerjaan orang lain yang udah diperjuangin oleh siapapun itu, bahkan kamu sadar nggak sih? Kalau kamu udah ngerepotin teman kamu hanya untuk menyingkirkan Ricky dari tender itu. Maksud aku siapapun orangny, tolong jangan usik pekerjaan mereka demi Maslah pribadi. Karena kalau ada orang yang melakukan hal yang sama, aku yakin nggak ada orang yang terima dengan hal itu." bisik Zehra membujuk. Javas menarik napas berat menyadari betapa gigihnya perempuan ini mempermainkan logika dan simpatinya. Dia membaringkan tubuh Zehra di sampingnya lalu tangannya berusaha mengambil ponsel di atas
Zehra berguling-guling di tempat tidur, menutup tubuhnya dengan selimut berusaha menghilangkan pikiran aneh di kepalanya. Dia bingung apa yang harus dilakukan. Semuanya jadi rumit saat dia berencana menata masa depannya dan malah bertemu dengan Javas. Jam di dinding berdetak cukup nyaring dalam kekalutan Zehra, jam 22:15. Dia memperhatikan jarum jam itu terus berputar, sementara pikirannya bermain tarik-menarik antara akan kembali atau tidak ke apartemen Javas. Jika Zehra kembali, dia bisa membujuk Javas agar tak bermain-main dengan rekaman CCTV mereka yang sedang bercinta di berbagai sudut apartemen Javas, terlebih jika Zehra bisa kembali memanfaatkan Javas, dengan begitu masa depannya tak akan terancam, bukan? Zehra mengacak rambutnya frustasi, kembali berguling-guling di tempat tidur sambil menutup mata. Apa dia harus bertahan dengan keputusannya, tapi apakah dengan begitu Javas akan melupakan ancamannya? Dia yang pertama menawarkan diri. Karena panik setelah mendengar keadaan
"Sayang, aku punya berita bahagia buat kamu, sesuatu yang selalu kamu tunggu-tunggu.”Perlahan Gista mendongak, ia menunggu tanpa antusias dan benar saja.“Minggu depan aku ambil cuti, udah disetujui" bisik Eno mengecup kepala Gista. "Akhirnya kita bisa liburan berdua."“Minggu depan? Mas, baru kemarin aku ambil cuti. Aku udah pernah bilang ‘kan sebelumnya kalau aku nggak diizinkan ambil cuti dua kali di bulan yang sama.”“Dan aku udah mengupayakan untuk dapat cuti itu, biar kita bisa berlibur bersama, supaya kamu nggak merasa kesepian seperti kemarin.”“Tapi, Mas. Tetap aja aku nggak enak sama teman kerjaku-”"Udahlah kamu nurut aja apa kata aku, kalau gaji kamu dipotong, biar aku yang ganti, ok!” potong Eno mulai tak sabar.Perasaan Gista kembali terasa diremas-remas. Pria ini, selalu saja mengatur hubungan mereka sendiri. Tak banyak pendapat Gista yang didengar olehnya. Jika dulu ia menikmatinya namun semakin lama Gista semakin merasa tak dihargai pendapatnya. “Aku lapar, hari ini
"Siapa pun pria itu yang menghabiskan malamnya di sini." Alven berdesis. Gista tersentak, memandang Alven dalam.Alven mengerti tatapan Gista yang terkejut dan kecewa padanya. Tetapi hal itu mengganggunya. Dia akan menarik rambut wanita ini dan bercinta habis-habisan di sofa itu jika saja keesokan harinya nama wanita ini akan menghilang dari ingatannya. Namun, saat ini berbeda, yang di hadapannya adalah Gista, wanita yang bisa-bisanya demikian cepat membuat hatinya berdenyut, rasa itu, rasa ingin memiliki seutuhnya menggedor-gedor dinding pertahanannya. Dan keinginan itu demikian besarnya, berbanding lurus dengan gairahnya yang belum tersalurkan. Alven menggeram, mengusap wajahnya kasar, lalu mengedarkan matanya ke sekeliling ruangan. "Hanya ini yang diberikannya untukmu?" Kepala Gista belum bisa mencerna apa maksud perkataan Alven. "Berapa dia membiayaimu per bulan? Aku bisa memberikanmu uang bulanan dua kali lipat dari dia, dan tempat tinggal yang lebih layak. Jadi berapa dia ka
Gista tersenyum terlalu lebar saat mendapat pesan bahwa Alven sedang menuju ke tempat ia berada, tak selang berapa lama mereka berbalas pesan suara bel berbunyi, detak jantung Gista berdetak lebih cepat, bergegas membuka pintu."Lebih awal dari perkiraan, kan?" Kata Eno saat mendekat. "Kaget?" ucapnya seraya mengecup pelipis Gista. Menarik pinggang Gista merapat ke tubuhnya. "Mas memang pengin kasih kamu kejutan dengan pulang lebih awal dan lebih lama, tapi sayangnya ini nggak sepenuhnya kejutan. Atasan Mas, mendadak telepon, ada rencana bisnis yang mau dibahas, meeting mendadak." Gista masih akan melanjutkan keluh kesahnya jika saja matanya tak menangkap Gista yang masih bergeming. Senyum timbul di bibirnya. "Beneran bikin kaget, ya?" Bola mata Gista akhirnya bergerak penuh kesadaran. Senyum tipis Gista mengulum sebelum mengangguk kaku. "Jadi... nanti malam, Mas mau pulang ke sini lagi?" tanya Gista penuh antisipasi. "Hmm... itu dia, Anne langsung pesan tiket begitu tahu aku bali
Kemudian Zehra merasakan dorongan keras seolah memaksa untuk masuk. Jantung Zehra berdetak bersama seperti orkestra dalam aliran penuh. Ia menangis, tidak berpikir Javas akan menidurinya dalam situasi ini. Tak ayal Zehra bereaksi panik ketika Javas menggagahinya dengan kejam di tengah pikiran yang melayang. Javas bernapas keras di lehernya, di cela rambut ikal yang menempel di sana karena keringat. Dia bercinta seperti binatang, ia lah yang memegang kendali sampai Zehra tidak tahu bagaimana memohon padanya untuk berhenti.Hentakan Javas berirama konsisten dan kuat, mengeluarkan sebagian besar sebelum menabrakkannya kembali ke tubuh Zehra, menghantam G-spot nya. Jika Zehra tak membekap mulut Linang ia pasti sudah berteriak. Wanita itu terjepit di dinding, lututnya seperti jeli saat orgasmenya mengejang dan melonjak, hentakan Javas liar, hampir tidak terkendali saat dia terengah-engah dan mendengus, menggenggam dan menariknya untuk lebih dalam. Dengan setiap dorongan bertenaga, tu