"Masuk!"
"Tuan Javas, saya minta maaf atas kericuhan yang baru saja terjadi, anda tenang saja, Saya sudah menyuruh asisten Saya untuk membuat Lyra kembali meminta maaf dan menemani anda di sisa jam malam, saya mohon pengertiannya Lyra itu memang pertama kali menemani tamu eksklusif seperti anda karena biasanya di bertugas sebagai pelayan paruh waktu jadi sekali lagi saya minta maaf."
"Jadi benar, dia baru pertama kali melakukannya?" tanya Javas setengah memastikan.
"Benar Tuan, mungkin sebentar lagi Lyra akan segera kembali,-"
"Nggak perlu, saya memutuskan memakluminya tapi sebagai gantinya saya punya permintaan."
"Saya usahakan bisa membantu anda, Tuan "
Seringai di sudut bibir Javas semakin tinggi. Jika ciuman wanita itu tidak semanis melebihi yang ia pikirkan, bagaimana mungkin seorang Javas membiarkan pipinya tertampar begitu saja. Tetapi, ia tetap tak bisa membiarkan tamparan itu berlalu begitu saja. Wanita itu harus membayarnya.
***
Akhirnya pagi kembali menyinari langit tempatnya berdiri Zehra tak berhenti bersyukur karena berhasil melewati malam tadi, entah ada angin apa yang membuat bosnya memaklumi bahkan memberinya waktu beristirahat di kamar kecil yang cukup memberinya waktu hingga ia terlelap tanpa dibangunkan kembali untuk bekerja.
Padahal setelah kejadian di ruangan karaoke VVIP, jantungnya tak berhenti berdegup dengan kencang. Menunggu kelanjutan dari aksi impulsif nya tadi ironi memang di tempat ini aksi melindungi harga diri tak sepenuhnya dibenarkan jika berhubungan oleh mereka yang berkuasa ditambah ia telah memilih menjadi wanita penghibur atau yang biasa dikenal sebagai pemandu karaoke.
Zehra berjalan ke pintu keluar dan menuruni anak tangga hingga menemukan Anggito yang bersandar di mobil yang terparkir di halaman samping gedung yang biasa dipakai oleh pejalan kaki yang juga pegawai disini.
"Anggit kenapa belum pulang, lagi nunggu siapa?"
"Hei, belum nih, mau pulang bareng lagi nggak, Ra?"
"Boleh, betapa beruntungnya gue ketemu sama lo" seru Zehra bercanda setengah menggoda.
Sesaat mobil dijalankan Zehra menyadari jika beberapa kali Anggit curi pandang ke arahnya seolah menahan bicara, "Kenapa, Nggit?"
"Ah, itu gue sebenarnya mau tanya sama lo, hari ini bukannya hari lo off kerja, malah tadi gue sempat melihat lo keluar dari lorong ruang ganti di lantai klub kita, padahal semalaman lo nggak kerja, ngapain disana, Ra?"
"Hah?" Zehra belum siap akan pertanyaan jenis itu. "Ada kerjaan lain yang baru aja gue terima sih,"
Zehra melirik dari ujung matanya mencermati wajah Anggit dari samping. Mencari tahu bagaimana reaksi Anggit yang jelas memahami ucapannya barusan.
Mengenal dan bekerja sama Anggito selama beberapa bulan ia bekerja, membuat Zehra memiliki persepsi sendiri mengenai Anggito seorang pria pekerja keras yang tak banyak bicara namun Anggito memiliki sorot mata dan berpenampilan yang membuat orang lain tak mudah meremehkannya.
Pasalnya walau bekerja sebagai bartender senior di klub ini tapi Anggito memiliki satu unit mobil, satu unit motor ninja dan selalu mengenakan arloji bermerek namun lebih dari itu Anggito selalu baik dan membantu bahkan merasa dilindungi oleh Anggito membuat Zehra nyaman.
"Lo nggak mau nanya lebih jauh, Nggit?"
Anggito menoleh dan menaikkan satu alisnya, "Jawaban lo tadi ambigu dan gue tau lo sempat kaget kan gue nanya itu? Dan gue pikir lo nggak mau menjelaskan lebih,"
Zehra tersenyum tipis ada rasa lega yang membuatkan makin nyaman, "Ya Udah nggak usah dibahas lah, gue boleh memutar musik, Nggit?"
"Boleh, putar aja!"
"Stop disini aja, Nggit gue turun disini."
"Lo yakin? Padahal gue nggak masalah kalau harus masuk gerbang kavling dan nurunin lo di depan rumah lo,"
"Nggak usah, gue khawatir lo lupa sama jalan pulangnya karena banyak belokan lagian kasihan pejalan yang lain ke block sama mobil lo. Turunin gue di depan aja, ya!"
"Ok!"
Tak lama Anggit menghentikan lajunya di samping gerbang komplek membiarkan Zehra turun setelah berterima kasih.
Zehra mengangguk pelan. Berjalan pergi sambil sesekali menengok ke belakang untuk melihat Anggit. Pria itu masih menunggu, melambaikan tangan setiap ia menengok dan melemparkan satu senyum. Zehra membalasnya, mempercepat langkahnya agar segera sampai rumah.
***
"Hallo, iya Bos?"
"Zehra, aku punya kabar buruk untukmu,"
"Kabar buruk? Apa aku melakukan kesalahan?" tanya Zehra khawatir tanpa sadar ia menggigiti kukunya.
"Semacam itu, intinya pelanggan milikmu mengirimkan komplain pada klub kita,"
"Komplain tentang apa, Bos?"
"Harusnya aku yang bertanya padamu, apa yang semalam kamu lakukan pada pelanggan kita, huh?!"
"Pelanggan semalam?" tanya Zehra menggumam.
Terdengar suara hela napas dari seberang telepon, "Ya, Tuan Javas, mengirimkan pengaduan tindakan tak menyenangkan,"
"Apa? Pengaduan tindakan tak menyenangkan, maksudnya gimana, Bos?" tanya Zehra gusar sesaat ia merasa dunianya berputar rasa terkejut, khawatir dan ketakutan merengkuhnya.
"Kamu jelas tahu, Boss. Aku hanya menampar sekali dan menyiram dia dengan segelas whiskey itupun untuk melindungi diri, Bos!"
"..."
Zehra menekan keningnya dengan cara frustasi, "Aku paham, jadi apa yang harus aku lakukan, Bos?"
***
Lift terbuka dan Zehra dihadapkan pada ruang tunggu yang nyaman dan mewah. Sekretaris yang berpenampilan cantik dan terlihat profesional, wanita setengah baya yang terlihat kaku dan efisien itu menatap Zehra dengan skeptis, sepertinya dia sedang bertanya-tanya kenapa perempuan yang berpenampilan biasa jelas bukan salah satu dari pegawai tempatnya bekerja diperbolehkan memasuki gedung hingga berdiri di depan mejanya.
"Bu Dyah, ini yang namanya Bu Zehra, sudah dipersilahkan masuk oleh Pak Javas." jelas security yang mengantar Zehra.
Wanita yang dipanggil Bu Dyah itu hanya mengangguk kecil dan tatapannya langsung fokus pada telepon dan berbicara singkat lalu menutupnya.
"Pak Javas sudah ada di dalam, beliau sudah menunggu anda, saya sudah menginformasikan kedatangan anda lewat intercom dan beliau mempersilahkan anda langsung masuk!" gumam sekretaris itu dingin.
***
Javas baru saja menyelesaikan meeting penting dan dengan segera kembali ke ruangannya. Mengingat alasan yang membuat dia begitu terburu-buru kembali, membuatnya mengerutkan dahi, dari sambungan telepon Bos Topo yang merupakan bos klub tempat Zehra bekerja sudah memberitahu pesannya kepada Zehra dan mengatakan bahwa Zehra akan segera menemuinya di kantor sesuai instruksinya. Namun Zehra belum juga sampai.
Javas tersenyum sinis memperkirakan seperti apa wajah Zehra yang memelas memohon agar ancaman pelaporan atas tuduhan perbuatan tak menyenangkan itu dicabut, pelaporan yang belum sama sekali ia lakukan. Tentu ia sengaja, untuk terpancing kail tentu ia butuh sebuah umpan, bukan?
Tapi ada alasan apa yang membuat Lyra yang terlihat cuek dan tak tau rasanya bersenang-senang di klub malam malah menjadi layaknya LC yang membantu dan menemani mereka yang butuh hiburan malam.
Padahal Javas bisa merasakan betapa risih nya Zehra saat berada ditengah tengah manusia yang berjoget ria saling bercampur dengan aroma alkohol dimana-mana di bawah lampu gelap, kelap kelip dengan dentuman musik EDM yang memekakkan telinga belum lagi aksi siulan, tawaran sumbang dan rabaan yang merendahkan wanita pasti selalu ia alami.
Javas pun tak bisa melupakan bagaimana Zehra terkejut dan risih saat ia dekap di ruang karaoke, beberapa kali Zehra membuang wajahnya risih saat dihadapkan pemandangan tak senonoh oleh wanita lain pada teman-temannya. Bahkan ia mengaku tak mau meminum alkohol dan diperkuat oleh Topo, owner klub malam itu bahwa malam itu adalah pertama kali Zehra menemani orang minum pada bulan ketiga ia bekerja di klab malam.
Kalau begitu, dia pasti gadis yang suka menghambur-hamburkan uang, Javas menyimpulkan. Yeah, segalanya akan menjadi lebih mudah. Javas rela memberikan uang sebanyak yang Zehra mau asal Zehra mau melayaninya.
Javas percaya diri sebagai lelaki lajang yang tampan dan mapan terbukti dengan bisnis startup miliknya yang sudah mampu berjalan selama empat tahun dan memiliki gadis seperti Zehra yang benar-benar memacu hasratnya memang layak diberi sedikit pengorbanan.
Lamunannya terhenti ketika intercom berbunyi memberitahukan kedatangan Zehra.
Tanpa sadar Javas menunggu berbalut antisipasi, seperti seekor singa yang menanti mangsanya, Dia punya penawaran bagus, dan jika gadis itu seperti yang diduganya, Zehra pasti tak akan mampu menolaknya.
***
"Permisi, Pak Javas maaf mengganggu waktunya, tapi saya datang kesini untuk membicarakan mengenai kabar pelaporan tuduhan perbuatan tak menyenangkan yang dialamatkan pada Saya, boleh kita bicarakan dulu, Pak?" gumam Zehra semakin kecil diujung kalimatnya ketika Javas mengisyaratkannya duduk.
Javas tidak menjawab bahkan ia masih berdiri di dekat meja kerjanya hingga Zehra menatap Javas khawatir, lelaki itu sedang menatapnya dalam seolah sedang berkonsentrasi pada sesuatu tetapi dari raut wajahnya seperti tak cukup mendengarkan.
"Pak Javas?"
Lelaki itu mengerjap. "Ah, soal ancaman itu, aku masih membicarakan hal itu dengan pengacaraku,"
Zehra mencengkram sisi dressnya, gusar, "Saya mohon maaf, atas tindakan gegabah yang saya lakukan malam itu, saya tahu bahwa itu sudah menjadi bagian dari pekerjaan saya tapi seperti yang bos katakan pada anda bahwa itu malam kedua saya bekerja seperti itu jadi saya belum pandai melakukannya, maaf."
"Belum pandai melakukannya?"
"Ah, itu maksud saya... melayani anda sampai puas,"
Javas tak mampu menahan senyum lebarnya, ada hiburan ketika melihat Lyra yang terlihat gelagapan dan menjawab absurd.
"Aku asumsikan kamu terpaksa melakukannya, tapi kenapa Lyra?" nada Javas berubah dalam dan serius
"Karena saya punya motif pribadi, Tuan,"
"Dan apa motivasi kamu itu?"
"Dan apa motivasi kamu itu?""Ada urusan keluarga yang mendesak, dan bos Topo memberi saya solusi seperti itu, jadi saya coba.""Menurut kalian itu solusinya? Dan apa kamu bilang, kamu mencobanya? Apa kamu sadar apa akibatnya kalau kamu bertemu dengan pelanggan yang salah dan semakin terjerumus pekerjaan itu, Lyra!" sentak Javas.Zehra tersentak, ia yang tadinya menatap penuh pada Javas langsung menunduk, aura dominasi begitu terasa dari diri Javas bahkan ketika ia tak melakukan apapun dan disaat Javas menyentaknya jelas Zehra terkesiap ditambah ia mengkhawatirkan nasibnya.Javas menghela napas kasar, "Apa ini berhubungan dengan kebutuhan kamu mendapatkan uang yang banyak dalam waktu singkat?"Zehra mengangguk kecil, membalas Javas dengan meringis dan rasa rendah diri menyergapnya.Lelaki itu ternyata sudah bangkit dari kursinya, memutari meja dan duduk di sofa yang sama, cukup dekat dengan Zehra,"Dengar! sebenarnya selama ini aku memperhatikanmu entah kenapa, kamu membuatku sangat b
Braakk!!Javas mengumpat geram menyadari Zehra telah kabur dengan pintu yang dibanting kasar, "Halo""...""Ok, i'll handle it" tutupnya.Javas mengusap mulutnya yang terasa panas, dia merasa sedikit bodoh, karena bertindak begitu impulsif di kantor, di mana banyak orang bisa menyebarkan gosip terlebih dentuman suara pintu yang dibanting, sudah jelas mengundang tanya sekretaris dan staff yang bekerja di lantai yang sama dengannya.Javas menarik napas dalam-dalam dan berusaha menghilangkan getaran di tubuhnya. Ciuman tadi terasa begitu nikmat, sudah lama sekali Javas tidak merasakan ciuman yang begitu membakar gairahnya sampai ke tulang sumsum.Hanya sebuah ciuman dan dia terbakar, Javas mengernyit, tidak begitu menyukai kenyataan itu. Selama ini dia selalu mampu mengendalikan gairah hingga bisa mendominasi dan menyetir pasangannya dan belum pernah sebodoh ini bahkan pada Leticia mantan terindahnya.Dan sekarang, ada ketertarikan yang membuatnya hampir lepas kendali, semudah itu. Masih
"Halo, apa benar ini dengan Pak Javas?" Butuh beberapa detik untuk Javas menjawab, "Iya betul, saya sendiri. Anda siapa?" "Maaf, Pak mengganggu waktunya, saya Lyra dari klab Euforia saya dapat nomor Bapak dari bos Topo. ah... Begini Pak, saya ingin meminta waktu sebentar aja, Pak. Apa bisa-" "Kamu dimana?" sambar Javas dingin. "Apa? Ah... Saya di halte di dekat gedung balai kota, ada yang perlu saya bicarakan-" "Apa kamu sendirian di halte bus?" Zehra mengerutkan dahi dan meneliti sekitarnya, "Iya, Pak saya sendiri di sini," "Tunggu disana!" pungkas Javas menutup sambungan telepon. "Halo, Pak Javas?" panggil Zehra yang menjadi geram karena sikap arogan Javas yang selalu memotong bahkan memutuskan pembicaraan sepihak menambah daftar panjang kisah pilunya hari ini. *** Sepuluh menit kemudian mobil Toyota Camry warna hitam menepi tepat di depan halte tempat Zehra berteduh sendirian. Seorang supir membawa payung hitam besar dan memayunginya ketika Javas turun dari mobil dan mela
Zehra tersentak kaget yang melayangkan pukulan pada sisi pintu mobilnya dengan kepalan tangan yang masih terkepal."Katakan sekali lagi?!"Zehra mendongak, membalas tatap Javas yang menghunusnya, namun tak ada jalan keluar baginya. Zehra menaikkan dagunya, menguatkan hati."Teman-temanmu yang datang bersama mu malam itu di klab, aku nggak tahu nama-nama mereka yang jelas beri aku nomor telepon ketiga temanmu, aku benar-benar kehabisan cara kalau kamu nggak mau membantuku mungkin mereka bisa menerima dan menolongku, aku tahu mereka juga sama mesum dan kayanya dengan anda." cicit Zehra yang langsung menyesal karena kalimat terakhirnya.Ditariknya lengan Javas, dan seketika lelaki itu menoleh dengan marah, "Gimana?Tolong bantu saya kali ini, saya mohon Pak Javas."Dengan kasar ditarik pinggang Zehra, menabrak bagian depan tubuh Javas, bahkan Zehra sempat mengadu. Javas menahan kepala Zehra lalumenciumnya dengan membabi-buta, merasakan tubuh Zehra yang terkesiap kaget hingga akhirnya men
Tindakan SenonohJavas menoleh sejenak, dengan acuh ia menyingkirkan tangan wanita itu dari atas dengkulnya. Javas memang tak beranjak namun ia masih memperhatikan Zehra dari tempatnya.Zehra yang sedang membungkuk untuk menaruh gelas terakhir tampak tiba-tiba menarik tangannya dan berdiri dengan tegak. Ketiga pria itu tergelak dengan reaksi Zehra yang tampak lucu di mata mereka. Berbanding terbalik dengan wajah pucat Zehra. "Mau gabung sama kita, ayo duduk sini!" ajak salah satu lelaki itu yang sudah memberi tempat di antara mereka. Spontan Zehra tersenyum ala joker dan langsung mengambil nampan hingga kembali dikejutkan oleh tepukan di bokong, yang membuat wanita itu bangkit meluruskan tubuhnya Dengan kesal yang tertahan, Zehra menatap tajam ke arah ketiga pria itu yang tawanya semakin lebar. Kemudian Zehra membatu dengan kedua manik yang berkaca-kaca dan berlalu pergi.Javas yang tak bisa menahan amarahnya lebih lama lagi, berusaha menekan emosinya yang hendak menghambur ke tempa
“Sa..saya nggak tau cara-” “Stop menggunakan kata saya apalagi bapak, jangan buat aku kehilangan seleraku, sayang.” Zehra malah semakin ingin menangis, ia bahkan tak berani mendongak apalagi berkutik karena himpitan pria ini. Javas tau ia tak mau menunggu, ia berusaha mencium bibir Zehra tapi gagal karena Zehra menggerakkan kepalanya ke kanan hingga Javas hanya mengenai pipinya. "Kenapa kamu nggak mau sama aku? Dan malah membiarkan para lelaki hidung belang itu menyentuhmu, bahkan kamu membiarkan mereka mencoba milikku!" Bisik Javas ditelinga Zehra lalu tangan kanannya meremas kasar bagian sensitif Zehra. "Ahhh...," jerit Zehra yang menahan rasa sakit di pangkal pahanya, saat itu juga Javas mengunci rahang Zehra ke atas menciumnya lalu memasukkan lidahnya ke mulut Zehra Zehra mencoba melawan. Tidak! Dia tidak terima diperlakukan seburuk ini! dengan sisa tenaga Zehra mendorong dada Javas. Javas tetap memaksa Zehra dalam permainan lidahnya dan menggiring Zehra masuk ke dalam ruang
“Javas, kalau gitu aku-” suara Zehra tercekat saking gugupnya. “Aku akan ke kamar mandi, membersihkan tubuh ku, dulu. Permisi.”Zehra meletakkan tas yang dibawanya di atas nakas panjang hitam bergaya minimalis, Zehra setengah berlari menuju kamar mandi.Di dalam kamar mandi Zehra merasa sedikit aman, disandarkannya punggungnya ke pintu dan dicobanya menarik napas lalu hembuskan perlahan dan ia mengulang hingga empat kali, sejujurnya begitu banyak kekhawatiran akan penyesalan nanti dan rasa terlampau canggung pada Javas, lelaki itu layaknya pria yang berasal dari dunia lain begitu tinggi tuk disentuh. Javas bak pemeran utama yang memerankan peran eksekutif muda ataupun keturunan para sultan hingga ia selalu merasa sedang diperhatikan, diremehkan serta diacuhkan olehnya dan Zehra jelas jengah akan hal itu.Sembari melucuti pakaiannya Zehra terus menimbang dan meyakinkan dirinya jika inilah jalan terakhir yang ia miliki mungkin benar selalu ada jalan keluar namun hanya jalan ini yang i
Zehra tersentak, berpikir keras apakah ini sudah saatnya ia beraksi?Padahal ia berniat akan menuntaskan teh hangatnya dengan fokus untuk mengulur waktu serta menenangkan dirinya.Di saat yang bersamaan, Javas pun sudah menandaskan kopinya. Membiarkan keheningan berlalu dan menikmati ketegangan yang menyergap Zehra."Mau sampai kapan, kamu minum sambil menunduk? Gimana kalau ada rambut yang masuk ke dalam tehmu, hmm?" suara serta sentuhan Javas memecah keheningan dengan mengambil sejumput anak rambut Zehra dan diselipkannya ke belakang telinga dengan lembut. Sesungguhnya Javas gemas dan ingin segera menyentuh dan merasakan semua godaan dari tubuh Zehra. Rasanya sudah lama ia se-penasaran ini akan seorang wanita. Pandangan Zehra turun ke arah tangan Tuan Javas yang memegang paha dan sesekali merangkum pahanya."Aku nggak suka bertele-tele dan kali ini aku nggak mau di tolak, paham?"Zehra belum sempat mencerna maksudnya, dan ia bahkan belum sempat mengangguk. Wajahnya sudah ditarik
Zehra berguling-guling di tempat tidur, menutup tubuhnya dengan selimut berusaha menghilangkan pikiran aneh di kepalanya. Dia bingung apa yang harus dilakukan. Semuanya jadi rumit saat dia berencana menata masa depannya dan malah bertemu dengan Javas. Jam di dinding berdetak cukup nyaring dalam kekalutan Zehra, jam 22:15. Dia memperhatikan jarum jam itu terus berputar, sementara pikirannya bermain tarik-menarik antara akan kembali atau tidak ke apartemen Javas. Jika Zehra kembali, dia bisa membujuk Javas agar tak bermain-main dengan rekaman CCTV mereka yang sedang bercinta di berbagai sudut apartemen Javas, terlebih jika Zehra bisa kembali memanfaatkan Javas, dengan begitu masa depannya tak akan terancam, bukan? Zehra mengacak rambutnya frustasi, kembali berguling-guling di tempat tidur sambil menutup mata. Apa dia harus bertahan dengan keputusannya, tapi apakah dengan begitu Javas akan melupakan ancamannya? Dia yang pertama menawarkan diri. Karena panik setelah mendengar keadaan
"Sayang, aku punya berita bahagia buat kamu, sesuatu yang selalu kamu tunggu-tunggu.”Perlahan Gista mendongak, ia menunggu tanpa antusias dan benar saja.“Minggu depan aku ambil cuti, udah disetujui" bisik Eno mengecup kepala Gista. "Akhirnya kita bisa liburan berdua."“Minggu depan? Mas, baru kemarin aku ambil cuti. Aku udah pernah bilang ‘kan sebelumnya kalau aku nggak diizinkan ambil cuti dua kali di bulan yang sama.”“Dan aku udah mengupayakan untuk dapat cuti itu, biar kita bisa berlibur bersama, supaya kamu nggak merasa kesepian seperti kemarin.”“Tapi, Mas. Tetap aja aku nggak enak sama teman kerjaku-”"Udahlah kamu nurut aja apa kata aku, kalau gaji kamu dipotong, biar aku yang ganti, ok!” potong Eno mulai tak sabar.Perasaan Gista kembali terasa diremas-remas. Pria ini, selalu saja mengatur hubungan mereka sendiri. Tak banyak pendapat Gista yang didengar olehnya. Jika dulu ia menikmatinya namun semakin lama Gista semakin merasa tak dihargai pendapatnya. “Aku lapar, hari ini
"Siapa pun pria itu yang menghabiskan malamnya di sini." Alven berdesis. Gista tersentak, memandang Alven dalam.Alven mengerti tatapan Gista yang terkejut dan kecewa padanya. Tetapi hal itu mengganggunya. Dia akan menarik rambut wanita ini dan bercinta habis-habisan di sofa itu jika saja keesokan harinya nama wanita ini akan menghilang dari ingatannya. Namun, saat ini berbeda, yang di hadapannya adalah Gista, wanita yang bisa-bisanya demikian cepat membuat hatinya berdenyut, rasa itu, rasa ingin memiliki seutuhnya menggedor-gedor dinding pertahanannya. Dan keinginan itu demikian besarnya, berbanding lurus dengan gairahnya yang belum tersalurkan. Alven menggeram, mengusap wajahnya kasar, lalu mengedarkan matanya ke sekeliling ruangan. "Hanya ini yang diberikannya untukmu?" Kepala Gista belum bisa mencerna apa maksud perkataan Alven. "Berapa dia membiayaimu per bulan? Aku bisa memberikanmu uang bulanan dua kali lipat dari dia, dan tempat tinggal yang lebih layak. Jadi berapa dia ka
Gista tersenyum terlalu lebar saat mendapat pesan bahwa Alven sedang menuju ke tempat ia berada, tak selang berapa lama mereka berbalas pesan suara bel berbunyi, detak jantung Gista berdetak lebih cepat, bergegas membuka pintu."Lebih awal dari perkiraan, kan?" Kata Eno saat mendekat. "Kaget?" ucapnya seraya mengecup pelipis Gista. Menarik pinggang Gista merapat ke tubuhnya. "Mas memang pengin kasih kamu kejutan dengan pulang lebih awal dan lebih lama, tapi sayangnya ini nggak sepenuhnya kejutan. Atasan Mas, mendadak telepon, ada rencana bisnis yang mau dibahas, meeting mendadak." Gista masih akan melanjutkan keluh kesahnya jika saja matanya tak menangkap Gista yang masih bergeming. Senyum timbul di bibirnya. "Beneran bikin kaget, ya?" Bola mata Gista akhirnya bergerak penuh kesadaran. Senyum tipis Gista mengulum sebelum mengangguk kaku. "Jadi... nanti malam, Mas mau pulang ke sini lagi?" tanya Gista penuh antisipasi. "Hmm... itu dia, Anne langsung pesan tiket begitu tahu aku bali
Kemudian Zehra merasakan dorongan keras seolah memaksa untuk masuk. Jantung Zehra berdetak bersama seperti orkestra dalam aliran penuh. Ia menangis, tidak berpikir Javas akan menidurinya dalam situasi ini. Tak ayal Zehra bereaksi panik ketika Javas menggagahinya dengan kejam di tengah pikiran yang melayang. Javas bernapas keras di lehernya, di cela rambut ikal yang menempel di sana karena keringat. Dia bercinta seperti binatang, ia lah yang memegang kendali sampai Zehra tidak tahu bagaimana memohon padanya untuk berhenti.Hentakan Javas berirama konsisten dan kuat, mengeluarkan sebagian besar sebelum menabrakkannya kembali ke tubuh Zehra, menghantam G-spot nya. Jika Zehra tak membekap mulut Linang ia pasti sudah berteriak. Wanita itu terjepit di dinding, lututnya seperti jeli saat orgasmenya mengejang dan melonjak, hentakan Javas liar, hampir tidak terkendali saat dia terengah-engah dan mendengus, menggenggam dan menariknya untuk lebih dalam. Dengan setiap dorongan bertenaga, tu
"Kenapa? Kamu tersinggung dengan pujian saya?" Pujian? Hah! Apa itu pantas disebut pujian? "Daripada pujian, saya pikir siapapun yang mendengar kalimat Tante barusan akan sepakat kalau itu lebih terdengar seperti kalimat sarkasme. “Dan—ya, saya cukup tersinggung.“ Aku Zehra jujur.Gauri mengeluarkan tawa ringan dari mulutnya.Menganggap angin lalu ketersinggungan Zehra dan bahkan tanpa mengucap kata maaf beliau mengalihkan pembicaraan. Gauri berkata dengan lembut tetapi mengejek, sambil mencondongkan kepalanya ke samping, khas wanita bersendok emas jika sedang mengejek lawan bicaranya, anggun tapi menyakitkan.Ini mengingatkan Zehra pada mereka yang pernah mengusiknya dan ibunya. Bertanya tapi menyudutkan, mengajaknya bicara lebih dulu kemudian mengejeknya."Tante, sepertinya hanya mencoba menyudutkan saya dari ucapan miring orang lain tentang saya, ya.” Zehra menyipitkan mata, Ia senantiasa akan menjawab kalimat pertama tetapi akhir pertanyaan itu sangat menyinggung dan tidak s
Zehra lantas berdiri dan menyempatkan diri untuk menjawab. “Mungkin karena saat itu gue benar terluka karena ditinggalin sama dia begitu aja, dan mungkin ini udah jalan takdir. Cara Tuhan kasih kesempatan kedua pada kami.” Gista membiarkan Zehra melewatinya setelah membiarkan Zehra keras kepala menyangkalnya."Siap?" tanya Ricky, tampil baik seperti biasa dengan kemeja hijau army yang sempurna untuk kulitnya yang bersih dan bahunya yang bidang. Sesaat Zehra tersenyum manis "Euhm. Tinggal pakai sepatu, bentar ya." "Okay." Dan pria itu menunggu. Zehra kembali memasuki kamar, memakai sepatu dengan cepat. Saat hendak keluar lagi Ia berhenti sebentar di hadapan Gista.“Doain aja yang terbaik, ya Gis dan makasih udah biarin gue menginap selama beberapa hari ini. Dah…”***Ricky melingkarkan tangannya di pinggang Zehra. Tidak ada seorang pun di lift kecuali mereka, tetapi ada keheningan yang nyaman di antara keduanya sampai Lift berhenti dan mereka berdua turun. "Relax, Ra. Kamu terli
“Halo, Theo cari tahu semua tentang Zehra termasuk masa lalunya bersama pria sialan itu!***Tujuh belas hari kemudian "I told them. Mereka bersedia mengosongkan jadwal di malam Sabtu." Ricky angkat bicara sembari bangkit dari sofa, bersiap beranjak usai menetap kurang lebih tiga puluh menit lamanya. Waktu sudah menunjukkan pukul 20:40, ia harus segera pulang dan tidur lebih cepat karena besok ia sudah harus beraktifitas seperti biasa. Zehra menoleh cepat, dahinya mengerut, “Mereka siapa?”“Orang tuaku, kamu bilang kamu mau menerima aku lagi asalkan aku serius sama hubungan kita, dan ini awal dariku. Aku usahakan tahun ini kita bertunangan atau bahkan menikah, gimana?”Zehra mengerjapkan matanya beberapa kali, ia terpaksa menghentikan kegiatannya yaitu membuat agar buah untuk cemilannya dirumah. "Kenapa lagi? Aku udah mempertimbangkan apa yang kamu tuntut dari aku, dan mereka udah setuju untuk kamu temui" dengus Ricky. "Kamu kamu mulai ragu sama hubungan kita?" "M-maaf, bukan itu
Zehra menatap ponselnya yang terus berdering atas panggilan Javas, setelah beberapa hari Javas menghilang tanpa kabar dan ia semakin intens berhubungan dengan Ricky. Zehra jelas tak ingin berpaku pada hubungannya dengan Javas di saat Ricky datang menawarkan hubungan yang serius, dan meski status ekonomi Ricky masih diatasnya setidaknya masih bisa ia gapai. Ah, satu hal lagi hubungan mereka akan segera berakhir sesuai kesepakatan di berkas yang telah mereka sepakati.“Ze, itu kenapa ponselnya nggak kunjung diangkat sih? Bikin ruangan jadi berisik aja!” seru Anggito.“Sorry,” jawab Zehra memindai sekitarnya, yang juga ikut terdistraksi dari kesibukan mereka. Diam-diam ia merasa berterima kasih pada Javas yang membantunya dalam mendapatkan modal hingga kini ia jadi salah satu investor kafe sekaligus perpustakaan milenial. “Halo, iya kenapa Jav?”“Kenapa baru diangkat, lagi sama siapa kamu?”“Sama anak-anak, aku lagi kumpul bareng teman. Maaf… tadi ponselnya baru aku lepas dari charger.