Dan Javas menyadari, ini pengalaman pertama bagi Zehra, dia harus membuatnya seindah mungkin, dia tidak boleh menyakiti Zehra. Karena itu sambil menggertakkan diri menahan gairahnya, Javas mencoba bergerak selembut mungkin, menarik tubuhnya pelan dari balutan sutra basah dan panas itu, untuk kemudian menghujamkannya lembut. Lagi dan lagi.Zehra tersentak, merintih dan mulai menggeleng panik menahan sakit. Dia ingin Javas berhenti atau melepasnya, tapi pria itu justru makin mendorong miliknya masuk, membentur beberapa kali sebelum akhirnya bisa menembus dinding yang menghalangi dari sumber kenikmatan hingga dia bisa menghujam makin jauh. Zehra mengejang, menjerit kesakitan dan tak sanggup bernapas, serasa mau pingsan. Kemudian Zehra merasakan kejantanan Javas, yang perlahan bergerak, tapi tetap membuatnya terkesiap. Zehra membuka matanya yang terpejam, menatap Javas di atasnya. Lelaki itu menatapnya dengan tajam, matanya berkabut, napasnya terengah, dan sejumput rambut tampak jat
Wajah Zehra merah padam, otaknya mendadak kosong ia fokus menetralkan detak jantungnya sembari berdoa semoga saja Javas tak mendengar degup jantungnya dari jarak sedekat ini.Javas mendengus tak mendapatkan balasan lalu melepaskan Zehra dan melangkah ke kamar mandi."Ganti semuanya, salin dengan pakaian baru yang ada di dalam goodie bag itu, Aku akan mandi duluan. Setelah itu kita sarapan, lalu kita akan melihat draf kontrak perjanjian kita, setelah itu kamu akan mendapatkan uangmu, oh ya hubungi orang yang jadi pengacara, oh bukan saksi hidup sesuai yang kamu minta." serunya dengan wajah kelewat datar. Membuat Zehra meringis dan mengangguk kecil walau ia tahu Javas tak lagi melihatnya, lalu ia mengambil goodie bag warna hitam metalik berlambang brand pakaian ternama, masih baru, dan lengkap dengan pakaian dalamnya...jadi ini untuknya? Serius?Dengan hati-hati Zehra membuka goodie bag itu, sebuah long dress santai berwarna merah muda dari bahan yang sangat halus, apakah ini sutra? Da
"Deal," ucap Javas menggigit potongan steak sapi terakhir dari piringnya. "Papi sudah baca artikel yang memuat tentang karir kamu?" seru Papinya Javas yang menghentikan gerakan Javas. "Sejak awal kamu terlalu idealis sampai menolak tawaran Papi tapi apa yang kamu lakukan sekarang, Papi pikir itu lebih mengarah mewujudkan mimpi kamu. Dengar! bisnis startup mungkin ide yang brilian tapi akan mudah tertinggal tanpa sokongan dan suntikan dana yang besar apalagi negara kita sedang mengalami retensi. Kegiatan pergi wisata itu jadi pilihan terakhir untuk menghamburkan uang. Apa kamu masih belum paham juga, Jav?" "Itu semua bagian dari proses dan resiko yang harus aku ambil kan Pi, apapun hasilnya nanti yang jelas aku cukup bangga sama diriku sendiri meski aku tahu ini bukan hasil kerja keras ku sendiri ada banyak teman dan pegawai yang membantu." Papi Javas tertawa kecil, "Padahal akan lebih mudah kalau kamu nurut sama Papi seperti kakak kamu, walaupun posisi Papi ngga sekuat dulu setidak
"Beri aku waktu, tolong." Javas tak menjawab, ia memilih sibuk menyalakan TV dan mulai memilih lagu yang akan diputar. Zehra menaruh bantal kecil untuk menutupi pahanya yang tersingkap karena roknya yang sudah cukup ketat harus tertarik ke atas saat dia duduk. Mengabaikan tatapan lekat Javas yang melihatnya."Karena kamu ngga bisa nyanyi kamu cukup mendengarkan aku nyanyi, ok!" Zehra terkesima menyaksikan Javas yang ternyata memiliki suara berat dan merdu walaupun belum dikatakan sempurna tapi Javas begitu menjiwai lagu barat yang ia pahami jika lagu itu menceritakan tentang curahan hati seseorang yang selalu disalahkan dan dijadikan cadangan meski ia sudah memberi segalanya tentang ego yang terluka karena tak cukup dihargai.Javas menoleh pada Zehra yang sedari tadi menatapnya dalam, tertegun sejenak saat mata Zehra yang sendu tersenyum menenangkan dengan gerakan ragu tangan gadis itu terulur pada pundaknya mengusap lembut sembari tersenyum manis. Gadis itu seperti ingin mengatak
Zehra masih termenung terpaku di tempatnya. Kepalanya tak berani bergerak sedikit pun. Membersihkan diri bersama? Apakah ini cara lain dalam melayaninya? la ingat ketika Javas menciumnya di ruang karaoke pria itu dan di kamar hotel.Mencumbunya dengan cara yang tidak pernah dirasakan Zehra selama ini ia berpacaran tidak pernah diberi sentuhan yang begitu intim. Bukan hanya sekedar berciuman bibir. Javas mencium lehernya, dan dadanya. Dan ia yakin, malam ini seluruh kulit di tubuhnya akan disentuh oleh pria itu. Itulah sebabnya Javas menyuruhnya untuk mandi."Apa kamu akan terus duduk terbengong di tempat itu sepanjang malam?" sergah Javas tak sabaran melihat Zehra yang bukannya gegas meraih tangannya, malah berdiri mematung di tempat.Zehra tergelagap, matanya mengerjap dua kali. "Aku akan mandi duluan, aku mandinya cepat kok." dan Zehra langsung bergegas ke pintu kamar mandi dengan setengah berlari. Mengunci pintu tersebut rapat-rapat, seolah itulah satu-satunya sekat yang bisa menol
Tok...tok"Mbak, permisi.""Iya sus, sebentar.""Maaf Mbak tapi dokternya sudah datang untuk berkunjung"Zehra lekas membuka pintu dan langsung mendapatkan tatap kaget dari seorang dokter paruh baya dengan kacamata tebalnya dan juga dua dokter jaga yang mulai ia kenal."Maaf, dok" sapa Zehra meringis karena tak pandai membuka percakapan."Adik ini, anak dari Bapak Deris, yah?""Iya, dok Saya Zehra anak kedua papah, jadi gimana dok, perkembangan papah Saya""Yah, belum ada perkembangan lebih dong dik Zehra, karena Pak Deris belum diambil tindakan dalam hal ini operasi untuk mengangkat satu ginjalnya yang sudah tidak berfungsi malah akan jadi masalah baru kalau dibiarkan lebih lama, nak"Zehra mengangguk sesekali ia melirik pada dokter wanita yang tadi memanggilnya, dr. Betharia atau biasa dipanggil dr.Ibeth."Iya, saya paham dr. Sebenarnya baru saja saya pergi ke kasir untuk menyelesaikan administrasi dan pembayarannya. Jadi apa bisa dioperasi secepatnya dr?""Kalau begitu biar kami p
"Apa yang akan gue lakukan? Entahlah Jav, gue belum punya rencana apapun bahkan gue tau kalau sekarang gue kalah cepat dari lo," Theo spontan menoleh pada Javas yang tengah memicingkan matanya, bahkan bisa dilihat tubuh Javas yang tampak siaga. “Jadi maksud lo. Lo suka sama Lyra?”“Jav,” sambar Theo yang lantas kikuk karena tak benar tahu akan bicara apa, dia hanya meringis mendapatkan dua pasang tatapan yang menunggunya bicara.“Maksud gue, buat sekarang itu bukan hal penting yang harus dibahas, Lo tahu ‘kan El nggak seserius itu. Jadi kita ganti topik nya, ok!...soal orang tua lo apa mereka tau hal ini, Jav?”“Kenapa juga harus bahas mereka sih?”Theo memajukan tubuhnya, menaruh kedua tangannya di atas lutut. “Buat gue penting, biar seandainya nanti mereka menanyakan kesibukan lo, dan lo lagi berduaan sama cewek itu, gue jadi tau apa yang harus gue jawab.”“Keluarga Sastro yang complicated sekaligus fenomenal.” gumam Elkan yang jelas terdengar oleh ketiganya.“Shut up, El!” sambar
Javas melangkah lebar-lebar lengkap dengan raut wajah tegang lalu melempar undangan asal ke arah sofa panjang yang berada di tengah ruang besar, ia menoleh mendapati Zehra yang berdiri di dapurnya bersama alat masaknya, tengah terdiam mereka berbalas tatap, Javas yang mengakhiri duluan ia berjalan menuju kamarnya miliknya untuk membersihkan diri.Zehra menghempaskan napasnya panjang, akan sikap Javas yang berubah drastis, ia kembali menuangkan telur yang sudah di kocok di atas pan yang sudah diberi margarin lalu menaruh satu lembar roti kupas dan ikan tuna kaleng yang berbentuk lembaran tepat di atas telur yang hampir matang lalu tutup lagi dengan roti kupas kemudian di balik dan sdikit di tekan agar cepat matang merata ia melakukan hal yang sama hingga mendapat tiga porsi.Zehra tersenyum bangga, setidaknya ia berhasil memasak menu makan malam yang mengandung protein dan karbo dari roti gandum kupas. Ia mengedarkan pandangan lalu menggelengkan kepalanya. Pasalnya di dapur yang sebag
“Halo,”“Ra, akhirnya kamu angkat telpon aku juga! Ra, tolong bantu aku bicarakan pada pria itu untuk berhenti mengacaukan pekerjaanku! Aku sudah merelakanmu ‘kan? Jadi seharusnya dia menghentikan semuanya ‘kan?”Zehra menghela napas gusar dan menatap balik Javas yang menyeringai ringan kemudian mengangguk kecil. “Ya, aku akan menolongmu untuk bicara sama dia, ada lagi?”“Apa?... Ah, kamu mengerti ‘kan? Posisi aku? Kamu nggak marah sama aku ‘kan?”Zehra menahan nafasnya saat Javas menyambar ponsel dan mematikannya. ***Javas membuka kancing kemeja nya, melonggarkan ikat pinggangnya. "Apalagi yang bisa kulakukan selain ngobrol dengannya di tempat kerjamu. Kamu melarangku bicara dengan orang lain," balas Zehra berbaring di sofa panjang depan tv. "Entah kenapa aku nggak suka melihatmu bersamanya." Javas tiba-tiba menindih Zehra. Remote tv yang dipegangnya terjatuh karena kaget. Serangan Javas membungkam mulutnya sebelum protes. Awalnya Zehra meronta memukul dada Javas tapi lama-lama
“Mau kemana?”refleks “Kenapa kamu harus menyamar jadi orang lain, hah? Apa tujuan kamu sebenarnya?”“Tujuan? Ckk… itu cuma sekedar nama panggung Jav! Lagian kamu tahu dari mana nama asli aku?”Javas memandang Zehra lamat lalu menjawab, “Aku jelas mendengar mantan pacarmu itu yang memanggil kamu Zehra.” “Oh, ya…. Kami saling mengenal sebelum aku bekerja di club malam,”“Lalu?”“Lalu, bukan cuma kamu orang yang memanggil aku dengan panggilan Lyra. Semua orang yang memakai jasaku, jga memanggil nama itu. Jadi apa kamu udah paham? Apa pembahasan kita udah selesai?”“Pergilah, setelah kamu, aku juga harus mandi atau kita bisa mandi berdu-”“Aku duluan!” potong Zehra segera berlalu.***"Iya Mah, aku paham. Tapi untuk kali ini aku lagi fokus membiayai urusan rumah sakit papah yang ternyata cukup banyak dan masih panjang. Tapi aku yakin aku bisa mengatasinya satu persatu." ucap Zehra sebelum ia memutuskan panggilan. Zehra menarik napas lega. Karena masalahnya sudah teratasi satu persatu d
Mataku mengerjap menyaksikan benda mencuat dengan begitu gagahnya. “Jadi?” Alis Javas terangkat menggoda.“Udah bereaksi ternyata,” refleks jawaban itu meluncur dari bibirku.“Yeah, I know" Javas mengangguk membuat bola mataku berputar. Dia terkekeh melihat wajah sebalku, sementara aku hanya bisa terpaku saat menyaksikan telapak tangannya perlahan melingkari miliknya lalu dengan santai mulai bergerak.Ya ampun, aku terpesona, seperti terhipnotis melihat pemandangan di hadapanku. Ada sesuatu yang sangat seksi melihat seorang laki-laki memuaskan dirinya sendiri, apalagi laki-laki setampan Javas, dengan tubuh tegap, rambut berantakan, dan cambang tipis yang membuatnya semakin maskulin, dengan celana yang ditarik ke bawah dan sepasang mata berkabut oleh gairah, dengan kepercayaan dirinya yang terpancar jelas.Tanpa ragu apalagi malu-malu, tangannya bergerak mantap mengurut miliknya yang semakin “Jadi mau mulai kapan? Karena milikku udah siap,” Suara serak Javas membuyarkan lamunanku. K
“dan mulai sekarang kamu hanya akan jadi milikku!”Zehra menjauhkan tubuhnya, menatap Javas dengan ekspresi kecewa. Dia berniat protes tapi ditarik kembali masuk dalam dekapan pria itu. "Aku akan meminta Theo menarik proposal kerjasama itu. Jadi nggak ada alasan dia buat nyalahin kamu kalau dia nggak kepilih jadi penanggung jawab di kantornya." "Jav, walau gimanapun kamu nggak boleh mencari masalah sama pekerjaan orang lain yang udah diperjuangin oleh siapapun itu, bahkan kamu sadar nggak sih? Kalau kamu udah ngerepotin teman kamu hanya untuk menyingkirkan Ricky dari tender itu. Maksud aku siapapun orangny, tolong jangan usik pekerjaan mereka demi Maslah pribadi. Karena kalau ada orang yang melakukan hal yang sama, aku yakin nggak ada orang yang terima dengan hal itu." bisik Zehra membujuk. Javas menarik napas berat menyadari betapa gigihnya perempuan ini mempermainkan logika dan simpatinya. Dia membaringkan tubuh Zehra di sampingnya lalu tangannya berusaha mengambil ponsel di atas
Zehra berguling-guling di tempat tidur, menutup tubuhnya dengan selimut berusaha menghilangkan pikiran aneh di kepalanya. Dia bingung apa yang harus dilakukan. Semuanya jadi rumit saat dia berencana menata masa depannya dan malah bertemu dengan Javas. Jam di dinding berdetak cukup nyaring dalam kekalutan Zehra, jam 22:15. Dia memperhatikan jarum jam itu terus berputar, sementara pikirannya bermain tarik-menarik antara akan kembali atau tidak ke apartemen Javas. Jika Zehra kembali, dia bisa membujuk Javas agar tak bermain-main dengan rekaman CCTV mereka yang sedang bercinta di berbagai sudut apartemen Javas, terlebih jika Zehra bisa kembali memanfaatkan Javas, dengan begitu masa depannya tak akan terancam, bukan? Zehra mengacak rambutnya frustasi, kembali berguling-guling di tempat tidur sambil menutup mata. Apa dia harus bertahan dengan keputusannya, tapi apakah dengan begitu Javas akan melupakan ancamannya? Dia yang pertama menawarkan diri. Karena panik setelah mendengar keadaan
"Sayang, aku punya berita bahagia buat kamu, sesuatu yang selalu kamu tunggu-tunggu.”Perlahan Gista mendongak, ia menunggu tanpa antusias dan benar saja.“Minggu depan aku ambil cuti, udah disetujui" bisik Eno mengecup kepala Gista. "Akhirnya kita bisa liburan berdua."“Minggu depan? Mas, baru kemarin aku ambil cuti. Aku udah pernah bilang ‘kan sebelumnya kalau aku nggak diizinkan ambil cuti dua kali di bulan yang sama.”“Dan aku udah mengupayakan untuk dapat cuti itu, biar kita bisa berlibur bersama, supaya kamu nggak merasa kesepian seperti kemarin.”“Tapi, Mas. Tetap aja aku nggak enak sama teman kerjaku-”"Udahlah kamu nurut aja apa kata aku, kalau gaji kamu dipotong, biar aku yang ganti, ok!” potong Eno mulai tak sabar.Perasaan Gista kembali terasa diremas-remas. Pria ini, selalu saja mengatur hubungan mereka sendiri. Tak banyak pendapat Gista yang didengar olehnya. Jika dulu ia menikmatinya namun semakin lama Gista semakin merasa tak dihargai pendapatnya. “Aku lapar, hari ini
"Siapa pun pria itu yang menghabiskan malamnya di sini." Alven berdesis. Gista tersentak, memandang Alven dalam.Alven mengerti tatapan Gista yang terkejut dan kecewa padanya. Tetapi hal itu mengganggunya. Dia akan menarik rambut wanita ini dan bercinta habis-habisan di sofa itu jika saja keesokan harinya nama wanita ini akan menghilang dari ingatannya. Namun, saat ini berbeda, yang di hadapannya adalah Gista, wanita yang bisa-bisanya demikian cepat membuat hatinya berdenyut, rasa itu, rasa ingin memiliki seutuhnya menggedor-gedor dinding pertahanannya. Dan keinginan itu demikian besarnya, berbanding lurus dengan gairahnya yang belum tersalurkan. Alven menggeram, mengusap wajahnya kasar, lalu mengedarkan matanya ke sekeliling ruangan. "Hanya ini yang diberikannya untukmu?" Kepala Gista belum bisa mencerna apa maksud perkataan Alven. "Berapa dia membiayaimu per bulan? Aku bisa memberikanmu uang bulanan dua kali lipat dari dia, dan tempat tinggal yang lebih layak. Jadi berapa dia ka
Gista tersenyum terlalu lebar saat mendapat pesan bahwa Alven sedang menuju ke tempat ia berada, tak selang berapa lama mereka berbalas pesan suara bel berbunyi, detak jantung Gista berdetak lebih cepat, bergegas membuka pintu."Lebih awal dari perkiraan, kan?" Kata Eno saat mendekat. "Kaget?" ucapnya seraya mengecup pelipis Gista. Menarik pinggang Gista merapat ke tubuhnya. "Mas memang pengin kasih kamu kejutan dengan pulang lebih awal dan lebih lama, tapi sayangnya ini nggak sepenuhnya kejutan. Atasan Mas, mendadak telepon, ada rencana bisnis yang mau dibahas, meeting mendadak." Gista masih akan melanjutkan keluh kesahnya jika saja matanya tak menangkap Gista yang masih bergeming. Senyum timbul di bibirnya. "Beneran bikin kaget, ya?" Bola mata Gista akhirnya bergerak penuh kesadaran. Senyum tipis Gista mengulum sebelum mengangguk kaku. "Jadi... nanti malam, Mas mau pulang ke sini lagi?" tanya Gista penuh antisipasi. "Hmm... itu dia, Anne langsung pesan tiket begitu tahu aku bali
Kemudian Zehra merasakan dorongan keras seolah memaksa untuk masuk. Jantung Zehra berdetak bersama seperti orkestra dalam aliran penuh. Ia menangis, tidak berpikir Javas akan menidurinya dalam situasi ini. Tak ayal Zehra bereaksi panik ketika Javas menggagahinya dengan kejam di tengah pikiran yang melayang. Javas bernapas keras di lehernya, di cela rambut ikal yang menempel di sana karena keringat. Dia bercinta seperti binatang, ia lah yang memegang kendali sampai Zehra tidak tahu bagaimana memohon padanya untuk berhenti.Hentakan Javas berirama konsisten dan kuat, mengeluarkan sebagian besar sebelum menabrakkannya kembali ke tubuh Zehra, menghantam G-spot nya. Jika Zehra tak membekap mulut Linang ia pasti sudah berteriak. Wanita itu terjepit di dinding, lututnya seperti jeli saat orgasmenya mengejang dan melonjak, hentakan Javas liar, hampir tidak terkendali saat dia terengah-engah dan mendengus, menggenggam dan menariknya untuk lebih dalam. Dengan setiap dorongan bertenaga, tu