“Tuan Muda Jenson, hari ini kau berangkat sendiri?” Maximilian buka suara lebih dulu.Tatapannya tampak mengejek. Bahkan dia sengaja merangkul pundak Ashley dan merapatkan pada tubuhnya.“Apa yang kau lakukan, Max?!” tukas Ashley dengan gigi terkatup.Gadis tersebut berusaha menarik diri dari Maximilian, tapi pemuda itu malah merengkuh pinggangnya sambil tersenyum miring. Dia tak mengalihkan pandang dari Jenson, seolah menunjukan bahwa dia-lah pemilik Ashley Walter.‘Hah! Dasar pecundang. Kau berlagak merebut Ashley dariku, tapi nyatanya kau tidak berani mengakui Ashley saat di Dalin Court?!’ batin Maximilian memicing berang. ‘Baguslah, aku jadi lebih mudah merebut kembali milikku!’Beberapa murid yang tak sengaja melewati lobi, jadi memperhatikan mereka bertiga. Bahkan beberapa dari mereka berisik dan menatap tajam Ashley. Ya, tak heran karena siapapun gadis yang berkaitan dengan Jenson, pasti akan menjadi sasaran penggemar pemuda tersebut. Belum lagi Maximilian. Meski dia baru pinda
“Apa maksudmu, Jenson? Menyingkirlah, sebelum ada yang lihat!” decak Ashley dengan tatapan tajam.Dia berusaha menghempas dan mendorog tunangannya tersebut. Akan tetapi, Jenson tetap kekeh dalam posisi itu. Dirinya bahkan mengikis jarak hingga wajah mereka nyaris bertumbukan.“Apa ini menyenangkan, Nona Walter? Kau merahasiakan pertunangan kita, tapi menunjukan pada semua orang di Dalin Court bahwa kau memiliki hubungan dengan putra Tuan Sebastian?!” tukas Jenson pelan, tapi setiap katanya penuh tekanan. “Kau ingin kembali bersama mantan kekasihmu?!”“Hah!” Ashley menatap lebih garang.Dia hampir tak percaya Jenson menuduh seperti itu.“Kau benar-benar picik, Tuan Muda Jenson!” ujarnya menekan. “Kau lupa perjanjian kita? Kau lupa karena apa kita bertunangan? Itu semua demi kerja sama perusahaan ‘kan? Jangan anggap dirimu—”“Siapa yang bilang demi kerja sama perusahaan? Aku yang menginginkannya. Aku yang menginginkan pertunangan denganmu, Nona Ashley Walter!” Jenson menyambar sebelum u
Adeline mempersempit jarak alisnya seraya bertanya, “apa kau yakin?”“Ya, Mommy. Aku sudah mengeceknya. Baik Jenson maupun Kak Johan, mereka tidak ada di kamar,” balas Jennifer menjelaskan. Mendengar itu, Adeline pun berpaling pada River. Akan tetapi sang suami hanya mengangguk, memberinya kode agar tidak cemas. Ya, Adeline tahu River pasti akan menangani ini. Namun, Rose dan Derek malah curiga. Terlebih kini mereka menyadari bahwa calon menantunya tidak terlihat. Dengan ragu Derek pun menginterupsi. “Maaf, Tuan Reiner. Apa ada masalah?”“Tidak ada!” River seketika menyahut tegas. “Anda tidak perlu khawarit!”Pria tersebut menoleh dan mengangkat tangan pada pengawal yang bersiaga tak jauh dari meja makan. Mendapati kode sang tuan, pengawal itu pun mendekat. “Anda butuh sesuatu, Tuan?” tanyanya berbisik. “Katakan pada Siegran untuk melacak lokasi Jenson dan Johan,” balas River pelan. Titah itu langsung dimengerti pengawalnya. Akan tetapi, Rose yang melihatnya, jadi curiga kalau R
‘Aish, sial! Siapa mereka?!’ batin Jenson menatap tajam. “Kau tuli? Buka pintunya sekarang!” sentak anggota geng dengan masker hitam itu.Jenson tetap tak bergeming, hingga memicu amukan lelaki itu naik. Tanpa ragu, dia pun memukul spion mobil Jenson dengan tongkat baseball. Hantaman yang keras seketika membuat spion itu remuk dan jatuh. “Hei, brengsek. Teruslah sembunyi di dalam, maka aku akan mengancurkan satu pergi satu bagian mobil ini. Kau pikir aku hanya omong kosong, hah?!” pekik lelaki tadi disertai umpatan. Tanpa diduga Jenson malah memprovokasi dengan menyalakan mesin mobilnya. Dia menatap tajam sambil mencengkeram kemudi dengan kuat.‘Tidak ada banyak waktu, aku harus segera menemui Johan!’ batinnya bertekad dalam hati.Ya, saat di Dalin Court siang tadi, dia tak sengaja mendengar rencana Maximilian yang berniat mencelakai Johan. Jenson yang berpikir Johan ada di mansion jadi buncah, karena ternyata sang adik sedang di Oran Brewery. Sebab itu, Jenson rela meninggalkan ac
‘Siapa mereka sebenarnya? Sepertinya bukan orang-orang Maximilian ataupun geng The Dragon!’ batin Johan mendapati beberapa orang berjas hitam menghajar para Bodyguard Oran Brewery.Alis pemuda itu berkedut ketika bodyguardnya tersungkur ke arahnya. ‘Oh? Tuan Muda?’ batin Bodyguard tersebut saat Johan melangkahi tubuhnya. Dia bergegas bangkit dengan kening mengernyit. Maniknya berubah lebar saat melihat Johan yang tak ragu menghajar orang-orang berjas hitam tadi.‘Aish, bagaimana ini? Padahal Tuan Siegran meminta kami menjaga Tuan Muda Johan,’ sambung Bodyguard tadi yang lantas menyusul Johan. Di sana Johan mencekal bahu pria botak dan langsung melayangkan tinju ke wajahnya. Sepasang iris pemuda itu melirik ke belakang, lalu dengan cepat menyikut rahang pria lain yang berniat menghajarnya. Tapi, seorang lainnya malah mencekal tubuh Johan dari belakang, bahkan mengunci tangannya agar tak bisa bergerak. Dan sialnya, dari depan lelaki lain datang dan Johan akan menjadi sasaran empuk un
***Sampai makan malam di mansion Devante usai, Ashley dan Jenson tidak muncul. River pun beranjak menemui Siegran yang bersiaga di ruang kontrol.“Tuan!”Beberapa bodyguard menunduk hormat saat River datang.Namun, pria itu hanya berlalu dan masuk menemui Siegran. Matanya yang menyorot tajam, seolah mengintimidasi para bawahannya. Terlebih dia belum menerima kabar apapun tentang kedua putranya.“Bagaimana? Kalian menemukan Jenson dan Johan?” River bertanya dengan suara dinginnya.Siegran mengangkat pandangan, lalu menjawab, “kami baru saja menerima kabar bahwa Tuan Muda Johan mendapat serangan di Oran Brewery, Tuan.”“Serangan?” River memastikan dengan alis bertaut.“Benar, Tuan. Beberapa orang asing tiba-tiba masuk Oran Brewery dan membuat keributan. Mereka mengaku suruhan keluarga Walter untuk menjemput Nona Ashley yang bekerja paruh waktu di sana,” balas Siegran menjelaskan.“Di mana Johan sekarang? Apa dia baik-baik saja?” River lebih mengkhawatirkan sang putra.“Ya, Tuan. Tuan M
“Dasar brengsek!” Maximilian mengumpat berang saat Jenson meludahi wajahnya.Max yang kehilangan fokus pun, asal menggerakan belatinya hingga mengenai area bawah mata Jenson.“Aish ….” Jenson mendesis begitu merasakan gelenyar darah mengaliri mukanya.Mungkin sayatan itu tidak terlalu dalam, tapi cukup perih dan bisa meninggalkan bekas.“Hah! Bajingan ini benar-benar minta dihajar!” Maximilian mengusap jijik pipinya.Tanpa ragu dia pun menendang dada Jenson yang terikat di kursi. Seketika itu, Jenson terguling dalam posisi tubuh terikat.“Argh ….” Jenson pun mengerang.Namun, Maximilian yang tak kenal ampun kembali menendang perutnya amat kencang. Jenson yang tak bisa menghindar, hanya bisa mengernyit kesakitan.“Jenson, kau akan tamat malam ini!” Maximilian mendecak garang.Dia berbalik pada anggota geng yang berjaga di belakang. Matanya terpaku pada tongkat baseball yang dibawa anggota bertubuh gempal.“Hei, berikan padaku!” kata Max memerintah.“Baik, Boss!” balas sang antek yang l
“Kejar mobil itu!” tukas Siegran berpaling pada anak buahnya. Ya, entah mengapa instingnya meminta untuk segera bergerak sebelum mobil itu jauh. Beberapa anak buahnya pun bergegas masuk ke sedan masing-masing dan memutar balik mengikuti mobil hitam yang dimaksud Siegran. Asisten River itu duduk di kursi penumpang samping pengemudi, lalu berkata, “di sana. Coba kejar lebih dekat. Kita harus memeriksa plat nomornya.” “Baik, Tuan!” sahut orang disebelahnya yang lantas menancap gas kian dalam. Siegran memicing tajam. Dia memperhatikan nomor kendaraan dengan pengemudi mencurigakan itu. Begitu mereka semakin dekat, Siegran pun menghubungi salah satu antek River yang stay di markas. “J4, lacak nomor ini untukku!” tukas Siegran memberi titah. “PR9901B.” “Siap, Tuan.” Seorang dari seberang pun menyahut. Bagi orang-orang didikan Siegran, mencari hal seperti ini bukanlah hal sulit. Apalagi mereka memegang kuasa besar dan didukung kekuatan Herakles. Hingga tak sampai satu menit, antek tadi
***Malam itu River dan Adeline menghadiri pesta kemenangan di I&S Hotel. Presiden baru San Pedro itu mengundang keluarga Herakles secara khusus, sebab berhasil memenangkan pemilihan berkat andil besar River.Sebuah limosin hitam mewah berhenti di depan I&S Hotel. Dan itu menarik perhatian banyak tamu di sana. Terlebih saat River muncul menawan dengan balutan jas hitamnya. Meski mulai berumur, tapi ketampanan pria itu tetap paripurna.Dia menjulurkan tangan pada Adeline yang baru keluar dari limosinnya. Semua pasang mata juga tertuju pada wanita itu, yang tampil anggun dengan dress hitam elegan.“Astaga, mereka pasti pasangan paling serasi sepanjang abad. Meski sudah memiliki tiga anak remaja, tapi Tuan River dan Nyonya Adeline tetap bersinar!” bisik seorang perempuan yang memegang gelas wine.Teman di sebelahnya pun membalas pelan. “Kau benar. Aku benar-benar iri melihat mereka. Kapan aku punya suami seperti Tuan River? Aku sudah lelah dengan status lajang bertahun-tahun.”“Ehei! Kau
“Saya mohon maaf, Tuan. Saya bersalah karena menempatkan Tuan Muda Johan dalam bahaya,” tukas Siegran dengan leher tegang.Dia bersiap menerima hukuman dari River. Padahal Siegran sendiri tahu seberapa cemasnya River dengan putranya yang satu itu.Namun, alih-alih menyahut dengan kata-kata, River malah bangkit dan menatap Siegran yang diserang tegang sejak tadi.“Baguslah!” katanya yang sontak memicu Siegran mengernyit.“Ma-maaf?” Siegeran menyahut bingung.Dia mengira telinganya salah dengar, tapi saat melihat raut wajah River, agaknya tuannya tersebut memang memujinya.“Aku percaya pada penilaianmu,” tukas River yang lantas memasukan kedua tangan ke saku celananya. “Johan memang berbeda dengan Jenson. Sejak kecil, dia tumbuh di dunia yang keras, penuh darah dan beragam senjata mematikan untuk bertahan hidup. Karena itu aku tak heran kalau dia tidak bisa diam saja saat ada situasi genting.”Siegran terdiam, tapi alisnya berangsur mendapuk saat melihat seringai tipis di bibir River.
***Berita kematian Sabrina Daniester sampai ke telinga Sebastian sehari sebelum pemilihan. Seorang asisten yang baru melaporkan berita itu, malah dilempar asbak oleh calon presiden tersebut.“Apa maksudmu, hah? Tidak mungkin Nyonya ma … tidak! Kau tidak tahu Sabrina Daniester orang seperti apa. Di wanita hebat yang punya segalanya. Ada banyak pengawal berkemampuan tinggi yang mengurusnya. Dan aku baru saja menemui Nyonya beberapa hari lalu. Mana mungkin? Mana mungkin sekarang dia mati?!” Sebastian mendengus tak percaya.Memang tak ada berita yang tersebar ke media, sebab secara resmi Sabrina Daniester masihlah tawanan yang ada di penjara.“Mo-mohon maaf, Tuan. Laporan dari penjaga yang tersisa, ada seorang pria yang menyerang Rather Hall kemarin malam,” tutur Asisten Sebastian ragu-ragu.Lawan bincangnya memicing kian berang dan lantas menimpali. “Apa kau bilang? Seorang pria? Maksudmu satu orang?!”“Be-benar, Tuan. Orang itu datang membawa jasad Tuan Frederick, lalu menghabisi beber
Alih-alih kembali ke mansion Devante, River malah membawa mayat Frederick ke mobilnya. Dia memacu kendaraan itu amat kencang menembus jalanan malam yang sepi.‘Sekarang aku akan mengakhiri semuanya. Dendam masa lalu itu harus selesai, demi Adeline dan anak-anakku!’ batin pria tersebut menatap tajam.Maniknya melirik Frederick yang tergeletak di kursi belakang.‘Dia pasti sudah lama merencanakan pembalasan dendam. Kali ini aku yang akan menyelesaikan segalanya!’ sambung River yang lantas menginjak gas kian dalam.Hingga setelah lama mengemudi, River bisa melihat bangunan megah yang dikelilingi tembok besar. Di pintu masuknya ada gerbang yang tertutup. Akan tetapi River tak peduli. Dia terus melesatkan mobilnya dan menabrak gerbang yang ada di depan. Suara gubrakan keras terdengar saat bemper mobil River menghantam gerbang itu. Hal ini membuat beberapa penjaga di sana tersentak kaget.“Sial! Orang gila mana yang berani masuk sembarangan?!” tukas salah satu penjaga di sana.Rekannya yang
“Hah, sial!” Fredercik mengumpat tajam.Alisnya mendapuk dengan seringai miring saat River menahan mata tajam belatinya dengan sebelah tangan. Ya, tanpa peduli telapak tangannya berlumuran darah, River tetap mencengkeramnya seolah itu bukanlah apa-apa.“Aku tidak akan mengampunimu!” cecarnya yang lantas memutar tangan Frederick hingga belatinya berbalik arah.Tanpa ragu, River semakin menekannya hingga benda tajam itu menusuk dada Frederick. Namun, sialnya sang sepupu dengan keras mendorongnya menjauh, hingga River tak sampai menekan belatinya terlalu dalam.“Argh, brengsek!” Frederick mengumpat keras sambil mencabut belati itu dari dadanya.Akan tetapi dirinya tak menduga bahwa di depan sana River sudah mengeluarkan pistol dan mengacungkan padanya.“Hah … aku terlalu meremehkanmu. Rupanya kau masih gesit meskipun sudah tua!” Frederick mencecar geram.Tapi tanpa menjawab apapun, River langsung melesatkan peluru pada paha Frederick. Lelaki tersebut mengernyit sambil berdiri dengan tump
‘Sial! Bajingan yang membawa Adeline benar-benar Frederick!’ batin River dengan amukan membengkak.Tanpa ragu, dia langsung menginjak gas dan membanting setir untuk memotong jalan. Nyaris saja mobil dari arah depan menghantamnya, tapi sang pengemudi mati-matian menginjak rem sebelum menabrak mobil River.“Dasar, bajingan sialan! Jika tidak bisa menyetir, jangan bawa mobil!” cecar pengemudi itu mengeluarkan kepala dari jendela.River tak meggubris. Di kepalanya hanya ada Adeline. Ya, River tahu seberapa gilanya Frederick. Dia sudah menyaksikan Jenson yang tergantung di atap, lantas apa yang akan dilakukan pria itu pada istrinya sekarang?“Brengsek! Aku akan membunuhnya jika menyentuh Adeline seujung rambut saja!” tukas River menatap amat tajam.Sial sekali mobil Frederick melaju amat cepat, hingga dia ketinggalan jauh. Namun, itu bukan masalah. River menginjak gas amat dalam, melaju kencang menyalip beberapa mobil yang menghalangi jalannya.‘Aish, sial! Dia pasti mau membawa Adeline k
‘Adeline, apa yang terjadi? Apa itu kecelakaan?’ batin River ragu-ragu.Dia coba menghubungi sopir yang mengemudi mobil wanita itu, sialnya tetap nihil. Anteknya tersebut tidak mengangkat panggilan juga.Tanpa buang waktu, River pun melacak ponsel Adeline. Dari system, gawai sang istri berada tak jauh dari Picasso Hotel.Kening pria itu mengernyit ketika perasaan buruk menyerangnya. Dia tahu anteknya yang bersama Adeline bukan orang ringkih. Hingga tanpa ragu, dia pun beranjak pergi ke lokasi wanita tersebut.Baru masuk mobilnya, River pun menghubungi Siegran yang sudah berada di depan vila sekitar hutan La Daga.“Siegran, jika situasi terlalu berbahaya, kau cukup awasi sekitar. Kita tunda penyerangan. Aku tidak bisa datang karena Adeline dalam bahaya!” tukasnya disertai tatapan tajam.Dari seberang, tangan kanannya itu pun menjawab, “Tuan, orang kita sudah menyusup ke dalam. Tapi Frederick tidak ada di markas. Dari perbincangan anak buahnya, Frederick masih ada di pusat San Pedro!”
“Jadi mereka semua bekerja sama?!” tukas River menyeringai tajam.Tanpa mengangkat pandangan, pria itu lantas berkata, “Siegran, segera bongkar kebusukan Sebastian dan Howard Company!”Ya, dia langsung mengambil keputusan, setelah mengetahui calon presiden itu bertemu Frederick di Rather Hall. River tahu betul bahwa tempat itu property pribadi keluarga Daniester yang disembunyikan. Jadi sudah pasti Sabrina Daniester ada di sana juga.“Lakukan itu sehari sebelum pemilihan. Dengan begitu, mereka tidak punya waktu untuk memperbaiki citranya,” sambung River meletakkan tab tadi ke meja.“Saya mengerti, Tuan. Lalu bagaimana dengan Frederick dan Sabrina? Mereka pasti merencanakan penyerangan lagi. Anak-anak Anda akan dalam bahaya, terutama Nona Jennifer. Sejak insiden penculikan Tuan Muda Jenson, Frederick selalu mengawasi akademi balet La Huerta.” Siegran berkata cemas.River menyatukan alisnya dengan tatapan garang.“Aku tahu. Sampai hari pemilihan, anak-anak tidak akan keluar dari mansion
“Apa ini? Tidak disangka Calon Presiden ikut dalam pertemuan seperti ini,” ujar Frederick dengan tatapan sinis.Ya, orang yang datang memanglah Sebastian Howard. Alih-alih menjawab, lelaki dengan perut buncit itu malah melangkah ke dekat Sabrina.“Nyonya, apa maksudnya ini? Saya pikir ini pertemuan privat, tapi kenapa ada orang lain di sini?” katanya protes.Mendengar sindiran tersebut, Frederick seketika menyeringai sinis. Dia mengepulkan asap rokoknya, lalu mematikan dengan kasar ke asbak yang ada di meja.“Sabrina, Sebenarnya siapa yang ‘orang lain’ di sini?” decaknya memicing berang.Sabrina melirik Sebastian seraya berkata tegas. “Diam dan duduklah. Waktu kita tidak banyak. Kalian sendiri tahu, siapa orang yang kita hadapi!”“Tapi, Nyonya—”“Kau berani menentangku?!” sentak Sabrina lebih tajam sebelum Sebastian menyelesaikan perkataannya.Hanya dengan satu kalimat itu, Sebastian langsung bungkam. Frederick pun tercengang karena Sebastian yang seorang calon presiden dan pemilik Ho