“Pesta keluarga Herald. Presdir Herald mengundang keluarga Herakles untuk hadir di pesta ulang tahunnya. Beliau juga memintamu datang, Jenny,” tutur River yang lantas memicu kerutan di kening putrinya. “Aku? Apa Daddy yakin? Aku bahkan tidak mengenal siapa Presdir Herald,” sahut Jennifer mengendikkan bahunya. “Jenny, beliau adalah pemilik Herald’s Gallery yang terkenal. Nenekmu juga mengenal beliau dengan baik.” Jennifer menyipitkan pandangan, lalu menyambar, “Nenek?” “Ya, Presdir Herald sahabat baik nenekmu. Saat itu beliau melihat pertunjukanmu di kompetisi balet dan terpukau karena kau menjadi pemenangnya. Selain itu, cucu laki-laki beliau juga pulang dari luar negeri. Beliau ingin—” “Tunggu, apa maksud Daddy? Semua itu tidak ada hubungannya denganku ‘kan?!” Jennifer menyambar sebelum ucapan River tuntas. Gadis itu sadar kalau pembicaraan ini akan mengarah ke hal yang tak diinginkannya. Dia pun menoleh pada Adeline dengan ekspresi bertanya-tanya. Jelas sekali dia ingin minta b
Johan tersentak saat melihat River datang. Dia buru-buru menolak panggilan Ludwig dan mematikan ponselnya. River memasukan kedua tangannya ke saku celana dan lantas bertanya, “Daddy boleh masuk?” Johan pun mengangguk samar, hingga membuat River masuk dan duduk di sampingnya. “Kenapa kau mematikan teleponnya?” kata River sembari menaikkan kedua alisnya. Alih-alih menjawab, Johan malah balik bertanya, “ada perlu apa?” “Tidak ada. Daddy hanya ingin mengobrol denganmu. Daddy kehilanganmu bertahun-tahun, dan Daddy tidak tahu apapun tentangmu. Daddy ingin tahu seperti apa hidupmu selama ini,” tutur River disertai senyum tipis. “Tidak ada yang menarik dalam hidupku dan itu tidak pantas dibicarakan,” sahut Johan dingin. Ya, semua penyiksaan Ludwig memang bukan topik obrolan yang baik. “Baiklah, Daddy tidak akan memaksa jika kau tidak mau membicarakannya. Tapi Daddy benar-benar minta maaf, Johan.” “Kenapa selalu minta maaf?” Johan menyambar ketus. Entah kenapa saat bicara
Jennifer berpaling dan langsung membelalak. “Ester? Kenapa kau ada di sini?” Ya, rupanya orang yang tadi memanggilnya adalah teman sekolahnya. “Menurutmu apa lagi? Tentu saja aku mau belan … ah?!” Ester tiba-tiba memangkas katanya saat melihat wajah Johan. Gadis itu melotot pada Jennifer, lalu kembali melirik Johan dengan canggung. “Ka-kak Jenson?” tuturnya sembari menyelipkan anakan rambutnya ke balik telinga. Dia menyikut lengan Jennifer yang berdiri di sebelahnya sambil berbisik, “hei, kenapa kau tidak bilang kalau Kak Jenson sudah pulang?!” “Kau salah paham dia bukan Jenson!” sahut Jennifer menyatukan alisnya. “Jangan menipuku. Jelas-jelas Kak—” “Maaf, apa kalian menunggu lama?” Jenson yang baru datang langsung membuat Ester tercengang. Gadis itu mengerjap beberapa kali, bergantian menatap Jenson dan Johan dengan bingung. “Tu-tunggu, kenapa Kak Jenson ada dua?!” ujarnya menodong penjelasan. Jennifer menahan tawa dan itu kian membuat Ester pusing. “Hei, J
“A-apa yang Kakek bicarakan?” Lionel berkata panik. Presdir Herald tertawa dan lantas menyambar, “memangnya kenapa? Kalian sangat serasi, hubungan keluarga Herald dan Herakles juga baik. Jadi tidak masalah jika kalian menikah. Benar ‘kan, Tuan River?”Alih-alih menjawab, River hanya menanggapi dengan senyum tipis. Itu membuat situasi agak canggung.Lionel pun tersenyum kikuk pada Jennifer, lalu berujar, “maaf, Jenny. Kakek memang suka bercanda. Kau tidak marah ‘kan?”Jennifer menaikkan sebelah alisnya dan menjawab dengan canggung. “A-aku mengerti.”“Tapi yang Kakek bilang memang benar. Ternyata kau sangat cantik, Jenny,” tutur Lionel menatapnya lekat.Belum sempat mendapat balasan, tiba-tiba saja Johan menyambar tangan Lionel hingga pemuda itu melepaskan Jennifer.“Ya, dia perempuan. Tentu saja cantik!” decak Johan menjabat tangan Lionel. “Aku Johan, Kakaknya Jennifer!”Tanpa sadar, Johan bertindak impulsif hingga membuat semua orang heran. Johan sendiri juga tidak tahu kenapa. Tapi
Manik River berubah selebar cakram saat menoleh ke atas. Ekspresinya berangsur berang saat melihat Ludwig di sana.“Kakak ipar?!” decaknya.Dia sengaja menyapa dengan sebutan itu karena Ludwig sangat membencinya.Ludwig menyeringai, dia melangkah dengan menyeret kakinya yang pincang seraya mendengus, “lama tidak bertemu, rupanya kau semakin brengsek!”‘Sialan! Bagaimana dia bisa masuk ke sini?! Bukankah harusnya dia masih di penjara?!’ batin River mengedutkan alisnya.“Mengapa? Kau merindukanku?!” Ludwig mendecak. “Lihat? Karena kau kakiku jadi seperti ini. Bukankah kau harus bertanggung jawab?!”River menatap tajam sembari mendengus, “kau akan menyesal karena datang ke tempat yang salah!”“Benarkah?” sahut Ludwig tersenyum miring.Baru saja pria itu berkata, tiba-tiba peluru melesat dari belakang River. Beruntung dirinya sejak tadi waspada, hingga dia berhasil menunduk tepat waktu hingga anak timah itu menghancurkan guci di lantai atas.River segera berpaling, netranya sontak membela
*** “Bersulang!” Jennifer menyeru saat menumbukkan kaleng birnya dengan milik Johan. Dia lantas meneguk minuman segar itu dengan kening mengernyit. “Jangan minum banyak-banyak,” tutur Johan memberi peringatan. Jennifer melirik kakaknya tersebut, lalu menjawab, “aish, Kakak sama cerewetnya dengan Daddy. Ini kan hanya bir, tidak akan membuatku mabuk!” Johan pun tersenyum tipis dan menenggak birnya lagi. “Wah, ternyata dari sini kita bisa melihat menara Alteric, ya?” tutur Jennifer menatap bangunan tertinggi di daerah La Daga, yang menyala dari balkon apartemen Johan. “Menara Alteric lebih cantik saat malam. Benar ‘kan, Kak Johan?” Johan yang sejak tadi menatap Jennifer lekat pun menjawab, “ya, sangat cantik.” “Pasti Kakak sering membawa pacar Kakak ke sini, ya? Apartemen Kakak sangat cocok untuk kencan,” tukas Jennifer masih terpaku pada menara Alteric. Tapi dengan wajah serius, Johan malah menjawab, “tidak, aku tidak punya pacar. Aku tidak pernah membawa perempuan ke sini sebe
“Argh!” Erangan lolos dari mulut Ludwig ketika peluru tenggelam di lengan kirinya.Seketika itu pistol yang dipegangnya pun jatuh.“Argh, brengsek!” umpatnya meraung karena kedua lengannya kebak peluru. “Siapa bajingan yang berani ….”Ludwig meredam ucapannya saat menoleh ke arah orang yang menembaknya. Maniknya membesar begitu melihat Johan di sana.“E-ergy?! Kenapa kau ada di sini, hah?! Sudah aku bilang kau harus … ugh!”Ucapan Ludwig terpotong saat Johan melesatkan pelurunya ke paha kanan Ludwig. Pria itu sontak ambruk dengan sebelah kakinya.River yang sudah lemas, kini tercengang karena putranya tiba-tiba datang.“Jo-johan? Bagaimana kau bisa ke sini?” gumamnya lemah.Johan melangkah masuk. Dia hanya melirik River tajam, lalu membuang pandangan ke arah Ludwig.“Argh, sialan!” Ludwig mengumpat dan berusaha meraih pistol yang tadi dijatuhkannya.Namun, belum sempat menyentuhnya, Johan malah menginjak tangannya.“Bajingan sialan! Singkirkan kakimu sebelum aku membantainya!” dengus
*** “Tuan River akan baik-baik saja, Nyonya. Saat ini beliau sedang tidur,” tutur Dokter Richard begitu keluar dari kamar River. Ya, malam itu Siegran buru-buru memanggil dokter Richard untuk ke mansion Devante. Beliau bergegas datang usai mendengar River terluka. “Terima kasih sudah menyelamatkan suami saya, Dokter.” Adeline menarik napas sesak, lalu bertanya, “apa saya boleh melihatnya?” “Silakan, Nyonya Adeline,” balas sang Dokter yang lantas menyingkir dari pintu. Adeline pun masuk, jantungnya serasa ditusuk jarum saat melihat River terkulai lemah di ranjang. Dirinya mendekat, duduk di pinggir ranjang seraya merengkuh tangan pria itu. “Kau pasti kesakitan,” tuturnya dengan alis menyatu. “River, maafkan aku. Ludwig melukaimu karena dia dendam padaku. Ini salahku. Maaf karena aku hanya memberimu luka.” Tangannya menjulur, membelai wajah tampan suaminya yang tak pernah pudar meski semakin tua. “Ke depannya, kau tidak boleh terluka tanpa seijinku,” bisik Adeline semba
Saat itulah Rachel naik ke lantai atas dan menghampiri Ashley. Dia berhenti di hadapan adik tirinya, lalu mengibaskan tangannya, memberi kode untuk minggir.Namun, dengan keras kepala Ashley tetap di tempatnya. Lagi pula ini rumahnya, ini kamar miliknya!“Aish … adikku, kau tidak mau pergi?” Rachel berkata sambil menaikkan sebelah alisnya.“Siapa yang kau sebut Adik, hah?!” Ashley menyahut sinis. “Apa kau tidak malu? Kau dan ibumu bisa masuk ke mansion ini karena belas kasih ayahku. Tapi sekarang, kau ingin merebut milikku?!”Alih-alih menyahut langsung dengan kata-kata, Rachel justru mengikis jarak dari Ashley. Dia semakin dekat, tapi Ashley tetap mengangkat dagunya tanpa gentar. Dan tiba-tiba saja, Rachel langsung menjambak rambut Ashley amat kuat, sampai-sampai gadis itu mendongak kesakitan.“Argh! Apa yang kau lakukan?!” Ashley mendengus kesal.Rachel semakin keras menarik rambut Ashley seraya menimpali. “Panggil aku Kakak!”“Siapa kau berani memerintahku?!” sambar Ashley berang.
“Rachel, tidurmu jadi terganggu, ya?” Rose berujar sambil mendekati gadis rambut pirang tersebut.“Mommy, apa yang terjadi?” Rachel melangkah ke arah pelukan Rose.Matanya memicing pada Ashley. Alisnya pun mendapuk, seolah jijik dengan penampilan Ashley yang berantakan. Apalagi pipinya tampak merah, bekas tamparan keras Derek.“Dia siapa, Mommy?” Rachel bertanya heran.“Ah … d-dia Ashley. Saudara—”“Dia adik tirimu!” Derek menyambar sebelum ucapan Rose tuntas.Namun, kalimat singkat itu sontak memicu Ashley membelalak bingung. Dia bahkan bungkam beberapa saat, berharap salah dengar. Akan tetapi raut wajah sang ayah tak menunjukkan candaan.“Hah! Apa yang Ayah katakan? Adik tiri?!” Ashley memastikan dengan leher tegang.Belum sampai Derek membenarkan, Rose dengan hati-hati berkata, “maaf, Ashley. Ibu terlambat memberitahumu, ya? Ini Rachel, kakak tirimu. Karena kita sudah menjadi keluarga, jadi Rachel akan tinggal di sini juga.”Mendengar itu, dada Ashley langsung berkobar. Satu siluma
“Asley, bagaimana kau bisa jadi seliar ini? Sejak kapan ayah mengajarimu minum alkohol? Apalagi main bersama lelaki berandalan, hah?!” Derek memberang penuh amarah.Sang putri yang tak mengerti dengan sikapnya, kini tertegun.“A-ayah … sepertinya Ayah salah paham. Aku memang ada di bar untuk ker—”“Kau masih berani membantah?!” Derek langsung menyambar sebelum ucapan Ashley tuntas.Gadis itu melangkah lebih dekat, berusaha menjelaskan agar ayahnya jadi tenang. Namun, Derek dengan geramnya menyambar beberapa lembar foto dari nakas belakangnya, lalu melemparkan pada Ashley.Manik Ashley sontak berubah selebar cakram saat melihat potret dirinya yang tengah pingsan, sedang berada di antara dua pria yang memegang botol alkohol.“Hah! A-apa ini?!” Ashley menegang.Dia tahu foto itu rekayasa. Pasti Rose yang membuatnya. Tapi tetap saja Ashley sangat merinding sebab pria-pria tadi adalah dua orang yang sebelumnya menyekap Ashley di gedung tua. Sial, sensasi empedu seperti naik ke tenggorokan
*** “Buka pintunya!” titah seorang lelaki berbadan gempal yang membawa nampan makanan. Rekannya yang memiliki tato ular di lehernya, melirik bubur di nampan itu.“Apa dia bisa memakannya?” tanyanya.Lelaki gempal tadi menaikkan sebelah alisnya seraya menimpali, “siapa yang peduli? Yang penting kita sudah memberinya makanan. Kalau dia tidak mau makan, ya sudah. Mati saja sana. Itu lebih memudahkan pekerjaan kita.”Temannya tadi menarik seringai miring dan lantas membuka kunci pintu ruangan Ashley disekap. Di sana, gadis itu tampak pucat sebab sudah sehari dua malam ini perutnya tidak terisi makanan atau minuman. Dia memicing tajam saat dua lelaki mendatanginya. Lelaki bertato ular tadi melepas tali yang mengikat tangan dan kaki Ashley pada pilar. Begitu bebas, gadis itu seketika ambruk karena seluruh tubuhnya lemas. Lelaki gempal pun menyodorkan nampan makanan pada Ashley. “Makanlah jika kau masih mau hidup!”Alih-alih senang, Ashley justru menampik nampan tadi hingga mangkok bubu
“Putraku. Golongan darah putraku dan River sama,” ujar Adeline diliputi tegang. Tenaga medis di hadapannya pun menimpali, “mohon maaf, apa maksudnya putra Anda yang juga terluka dan datang bersama Tuan River? Kondisinya tidak memungkinkan jika melakukan tranfusi darah saat terluka, Nyonya.” “Tidak. Adiknya, saudara kembar Jenson. Aku akan membawa saudara kembar putraku ke sini,” sahut Adeline menjelaskan. Ya, tak ada pilihan lain yang cepat selain meminta bantuan Johan. Akhirnya Adeline menghubungi pemuda tersebut dan memintanya datang ke rumah sakit. Usai menunggu beberapa waktu, Johan pun tiba. Dia bergegas mengikuti perawat untuk mendonorkan darahnya pada River. “Johan,” tutur Adeline memanggil sang putra yang baru datang. “Mommy, bagaimana keadaan Daddy dan Jenson?” tanya pemuda tersebut. Dengan ekspresi tegang, Adeline pun menimpali, “mereka baru saja memindahkan Jenson ke ruang rawat, tapi Daddy sangat membutuhkanmu sekarang.” “Mommy tenang saja, saya sudah di sini. Daddy
Jennifer menoleh ke belakang saat suara langkah itu tak lagi terdengar. ‘Apa tadi hanya perasaanku?’ gemingnya mengerutkan kening. Tatapannya terus waspada, lalu kembali melangkah menuju lokernya. Namun, ketika dia berjalan beberapa langkah, suara tadi kembali menggema seakan mengikutinya. Jennfer terhenti dan detik itu juga tiba-tiba seseorang menepuk bahunya. “Hah!” Jennifer tersentak. Gadis itu dengan cepat berbalik dan langsung memukul lengan orang yang menyentuhnya. Dia hendak merengkuh punggung orang tersebut, lalu membantingnya. Akan tetapi, orang tadi malah mencekal tangan Jennifer, bahkan meraih pinggang gadis itu dan merapatkan pada tubuhnya. “Reflek yang bagus, gadisku,” bisik suara seorang pemuda. Jennifer mendongak. Di tengah kegelapan itu, dia menajamkan pandangan dan baru mengenali wajah orang di hadapannya. “Lionel?” katanya. “Apa aku mengejutkanmu?” sahut pemuda tersebut. “Ck!” Jennifer mendecak dan lantas mendorong Lionel menjauh darinya. Tapi pemuda itu kem
‘Hah! A-apa yang aku dengar?!’ batin Adeline tertegun.Ponsel yang digenggamnya pun jatuh. Dia nyaris tak percaya dengan pendengarannya, tapi suara yang memanggilnya sangatlah jelas. “Tidak mungkin! I-ini … tidak mungkin. Bajingan itu kembali?” gumamya terserang tegang.Bayangan wajah pria pemilik suara itu memenuhi kepala, hingga membuat napas Adeline tercekat. Sementara Johan yang semula berdiri di dekat jendela, kini langsung menghampiri sang ibu di tepi ranjang. Dia tampak cemas melihat Adeline terserang panik.“Mommy? Ada apa? Mommy baik-baik saja?” Pemuda itu bertanya.Adeline tak langsung menyahut. Bahkan dia seperti tak mendengar ucapan putranya. Johan pun menyentuh bahu wanita itu seraya berujar, “Mommy?”“Ah?!” Adeline akhirnya tersadar. “Johan, Mommy tidak apa-apa.” Wanita itu melanjutkan disertai senyum.Akan tetapi Johan tahu sang ibu tersenyum paksa. Dia melirik layar ponsel yang terjatuh ke ranjang, tapi Adeline buru-buru meraihnya dan membalik layarnya agar sang pu
S2: Aku Harus Memastikannya “Tuan River!” Terdengar suara lelaki memekik kencang. Itu anak buah River. Dia bergegas naik ke tangga dan menghampiri sang tuan. “Tuan River!” Lelaki itu membelalak saat melihat luka tembak dan darah yang mengalir dari perut River. “Tuan, bertahanlah. Kami akan membawa Anda ke rumah sakit!” Anak buah tersebut merengkuh River karena api dari ledakan di lantai dua mulai menyebar. Alih-alih langsung menurut, River malah menahan tangan anak buahnya tersebut. Dengan tatapan gemetar, pria itu bertanya, “Jenson. D-di mana Jenson? Apa kalian menemukannya?” “Ya, Tuan. Kami menemukan Tuan Muda Jenson jatuh dari atap,” sahut anak buah tersebut yang sontak memicu River melebarkan maniknya. “Tapi Anda tenang saja, Tuan Muda Jenson akan baik-baik saja. Beliau tidak terluka parah.” Mendengar itu, kecemasan River tak terkikis banyak. Dia tak akan lega sampai melihat kondisi sang putra dengan mata kepalanya sendiri. “Aku harus memastikannya!” tukas River penuh tekad
“Kau?!” Sorot Mata River bertambah tajam saat melihat sosok di balik masker hitam itu.Dia nyaris tak percaya, tapi wajah lelaki di hadapannya benar-benar jelas.“Apa kabar, Sepupu?!” ujar Frederick tersenyum miring.Ya, laki-laki itu memanglah Frederick Chen. Sepupu River yang lama koma akibat kecelakaan hebat sembilan belas tahun lalu. River tak tahu kapan Frederick sadar. Sudah lama dia tak mendengar kabarnya, karena Leah-nenek River telah memindahkan Frederick ke rumah sakit lain tanpa sepengetahuan orang lain.“Padahal aku merindukan Princess, tapi kau malah datang dengan tikusmu. Aku benar-benar kecewa!” Frederick melanjutkan sambil menaikkan kedua alisnya.Alih-alih langsung menyambar, River justru menekan cengkeraman lebih kuat di leher Frederick. Amukannya seketika membengkak saat sepupunya itu menyinggung sang istri.“Ugh ….” Napas Frederick sangat tercekat, tapi River tak peduli.“Kau! Berani sekali muncul di hadapanku lagi. Harusnya saat itu aku membunuhmu!” tukas River de