*** “Bersulang!” Jennifer menyeru saat menumbukkan kaleng birnya dengan milik Johan. Dia lantas meneguk minuman segar itu dengan kening mengernyit. “Jangan minum banyak-banyak,” tutur Johan memberi peringatan. Jennifer melirik kakaknya tersebut, lalu menjawab, “aish, Kakak sama cerewetnya dengan Daddy. Ini kan hanya bir, tidak akan membuatku mabuk!” Johan pun tersenyum tipis dan menenggak birnya lagi. “Wah, ternyata dari sini kita bisa melihat menara Alteric, ya?” tutur Jennifer menatap bangunan tertinggi di daerah La Daga, yang menyala dari balkon apartemen Johan. “Menara Alteric lebih cantik saat malam. Benar ‘kan, Kak Johan?” Johan yang sejak tadi menatap Jennifer lekat pun menjawab, “ya, sangat cantik.” “Pasti Kakak sering membawa pacar Kakak ke sini, ya? Apartemen Kakak sangat cocok untuk kencan,” tukas Jennifer masih terpaku pada menara Alteric. Tapi dengan wajah serius, Johan malah menjawab, “tidak, aku tidak punya pacar. Aku tidak pernah membawa perempuan ke sini sebe
“Argh!” Erangan lolos dari mulut Ludwig ketika peluru tenggelam di lengan kirinya.Seketika itu pistol yang dipegangnya pun jatuh.“Argh, brengsek!” umpatnya meraung karena kedua lengannya kebak peluru. “Siapa bajingan yang berani ….”Ludwig meredam ucapannya saat menoleh ke arah orang yang menembaknya. Maniknya membesar begitu melihat Johan di sana.“E-ergy?! Kenapa kau ada di sini, hah?! Sudah aku bilang kau harus … ugh!”Ucapan Ludwig terpotong saat Johan melesatkan pelurunya ke paha kanan Ludwig. Pria itu sontak ambruk dengan sebelah kakinya.River yang sudah lemas, kini tercengang karena putranya tiba-tiba datang.“Jo-johan? Bagaimana kau bisa ke sini?” gumamnya lemah.Johan melangkah masuk. Dia hanya melirik River tajam, lalu membuang pandangan ke arah Ludwig.“Argh, sialan!” Ludwig mengumpat dan berusaha meraih pistol yang tadi dijatuhkannya.Namun, belum sempat menyentuhnya, Johan malah menginjak tangannya.“Bajingan sialan! Singkirkan kakimu sebelum aku membantainya!” dengus
*** “Tuan River akan baik-baik saja, Nyonya. Saat ini beliau sedang tidur,” tutur Dokter Richard begitu keluar dari kamar River. Ya, malam itu Siegran buru-buru memanggil dokter Richard untuk ke mansion Devante. Beliau bergegas datang usai mendengar River terluka. “Terima kasih sudah menyelamatkan suami saya, Dokter.” Adeline menarik napas sesak, lalu bertanya, “apa saya boleh melihatnya?” “Silakan, Nyonya Adeline,” balas sang Dokter yang lantas menyingkir dari pintu. Adeline pun masuk, jantungnya serasa ditusuk jarum saat melihat River terkulai lemah di ranjang. Dirinya mendekat, duduk di pinggir ranjang seraya merengkuh tangan pria itu. “Kau pasti kesakitan,” tuturnya dengan alis menyatu. “River, maafkan aku. Ludwig melukaimu karena dia dendam padaku. Ini salahku. Maaf karena aku hanya memberimu luka.” Tangannya menjulur, membelai wajah tampan suaminya yang tak pernah pudar meski semakin tua. “Ke depannya, kau tidak boleh terluka tanpa seijinku,” bisik Adeline semba
*** “Sebaiknya kau istirahat. Lihat, lukamu saja belum sembuh.” Adeline menggerutu saat membantu River mengenakan jas hitamnya. “Aku harus hadir, Adeline. Aku ingin mengantar Dieter untuk terakhir kalinya,” sahut pria itu bersikeras. Ya, River selalu mengadakan upacara pemakaman yang layak untuk setiap anak buahnya yang gugur. Termasuk Dieter sekalipun. Semua orang berpikir Dieter kehilangan nyawa saat melindungi River dari Ludwig. Dan River tak berniat memberitahu pengkhianatan asistennya itu sekarang. River mengernyit saat jasnya tak sengaja menggores lengannya yang cedera, karena peluru yang mengenai tangannya. “Ah, maaf. Kau tidak apa-apa?” tukas Adeline cemas. River tersenyum tipis seraya menjawab, “tidak apa, ini tidak sakit. Aku kan sekuat Thor!” “Cih!” Adeline mendesis dan kembali membantu pria itu. “Anak-anak akan ikut. Aku meminta Siegran satu mobil dengan mereka.” Alih-alih menyahut, River malah merengkuh lengan Adeline dan memandu sang istri menatapnya. “Ada apa?”
***“Apa kau tidak masalah pergi ke pantai?” Adeline bertanya cemas. Dia tahu River punya trauma dengan lautan.Sang pria yang kini memeluknya di ranjang pun membuka mata.“Laut tidak membuatku takut sejak bertemu denganmu, Adeline,” bisiknya.Mendengar itu, Adeline pun tersenyum. Dirinya memang melihat River berulang kali melawan traumanya.“Jenny sangat ingin melihat laut. Anggap saja ini sebagai perayaan ulang tahunku juga,” sambung River merengkuh tubuh Adeline lebih erat.“Hah … kau memang keras kepala,” sahut Adeline mendesah.“Tapi kau menyukainya ‘kan?” River menyambar seiring sebelah alisnya yang terangkat.“Cih! Siapa yang bilang?!” Adeline membalas dengan senyum tertahan.River menyeringai melihat wajah wanita itu memerah. Dia pun membelainya dan lantas mendaratkan kecupan mesra di bibir Adeline.Hingga esok harinya di akhir pekan, mereka pun pergi ke vila keluarga Herakles di Flo Marina. Siegran dan beberapa anak buah River ikut ke sana untuk menjaga keamanan mereka.Begit
***San Pedro, musim semi.“Besok hari minggu, apa kalian mau ikut Nenek ke mansion Herakles? Kakek punya burung baru di kebun Turmalin,” tutur Anais sambil memangku Jennifer yang berusia lima tahun.Anak kecil yang semula asik memakan lolipopnya, langsung mendongak pada Anais. “Burung baru? Kali ini warnanya apa, Nenek?”Jenson yang mendengarnya langsung menyahut, “apa burungnya besar?”“Kalian akan tahu setelah melihatnya langsung!” sahut Anais sengaja membuat dua cucunya penasaran.Jennifer seketika turun dari pangkuan Anais. “Nenek, aku mau melihatnya!”Anak itu berpaling pada saudara laki-lakinya dan melanjutkan, “Jenson, ayo kita ikut Nenek dan lihat burungnya!”“Bilang pada Mommy jika kalian mau ikut Nenek. Jika Mommy mengijinkan, kalian bisa menginap 3 hari di mansion Herakles,” sahut Anais berbisik.“Ini seru. Aku akan meminta Kakek bermain di kebun Turmalin!” tukas Jenson antusias.Bocah itu menoleh pada adiknya dan berkata, “Jenny, ayo kita minta ijin Daddy dan Mommy!”Dia
“Senang bertemu Anda, Nona Nancy,” tutur River begitu menarik diri.Adeline seketika berpaling saat mendengarnya.‘Ah … jadi dia senang bertemu wanita seksi ini, ya? River Reiner, aku baru tahu ternyata seleramu mengejutkan!’ batin Adeline menatap tajam.River menyadari istrinya terganggu, tapi dia harus tetap menjaga sopan santun di depan Nancy.Wanita seksi itu menjulurkan tangannya membelai wajah River seraya berkata, “Anda datang untuk liburan?”River mencekal tangan Nancy dan tersenyum dingin. Tanpa ragu, dia merengkuh pinggang Adeline agar mendekat padanya.“Benar, Nona. Saya sedang liburan bersama istri saya-Adeline!” tukas pria itu tegas.Nancy menatap Adeline dari atas sampai bawah. “Menarik, istri Anda sangat cantik, Tuan Reiner.”“Terima kasih, saya sering mendengarnya!” sambar Adeline yang menjawab impulsive.Nancy seketika menyeringai, dia menawarkan jabatan tangan seraya berkata, “saya Nancy Weber!”“Adeline Herakles!” sahut istri River itu meraih tangan Nancy.Alih-alih
*** San Pedro, musim panas. “Maaf, Nona. Seseorang mengirimkan ini untuk Anda,” tutur Kepala Pelayan sembari menyerahkan karangan mawar merah muda pada Jennifer. “Benar itu untukku?” Jennifer menyahut heran.Biasanya kiriman bunga atau hadiah yang datang padanya, sebenarnya untuk Jenson. Ya, para gadis kerap menitipkannya pada Jenny dan meminta gadis itu menyerahkannya pada Jenson. “Kurir bilang ini untuk Nona Jenny,” sahut Kepala Pelayan tadi. Jennifer pun meraih bunga itu. Dia langsung mengambil catatan kecil yang terselip di antara bunga. [Bukankah bunganya cantik? Aku tidak sengaja melihat bunga ini dan ingat dirimu, Jenny. Aku menikmati dansa kita malam itu. Lionel] “Ah ….” Jennifer menyeringai saat membaca isi catatan tersebut.Dan itu membuat semua orang di meja makan jadi penasaran. “Siapa yang mengirimkannya, Sayang?” Adeline bertanya. “Lionel, Mommy,” sahut putrinya itu santai. Namun, semua orang malah mengernyit. Bahkan Johan langsung menghentikan tangannya yang s
***Malam itu River dan Adeline menghadiri pesta kemenangan di I&S Hotel. Presiden baru San Pedro itu mengundang keluarga Herakles secara khusus, sebab berhasil memenangkan pemilihan berkat andil besar River.Sebuah limosin hitam mewah berhenti di depan I&S Hotel. Dan itu menarik perhatian banyak tamu di sana. Terlebih saat River muncul menawan dengan balutan jas hitamnya. Meski mulai berumur, tapi ketampanan pria itu tetap paripurna.Dia menjulurkan tangan pada Adeline yang baru keluar dari limosinnya. Semua pasang mata juga tertuju pada wanita itu, yang tampil anggun dengan dress hitam elegan.“Astaga, mereka pasti pasangan paling serasi sepanjang abad. Meski sudah memiliki tiga anak remaja, tapi Tuan River dan Nyonya Adeline tetap bersinar!” bisik seorang perempuan yang memegang gelas wine.Teman di sebelahnya pun membalas pelan. “Kau benar. Aku benar-benar iri melihat mereka. Kapan aku punya suami seperti Tuan River? Aku sudah lelah dengan status lajang bertahun-tahun.”“Ehei! Kau
“Saya mohon maaf, Tuan. Saya bersalah karena menempatkan Tuan Muda Johan dalam bahaya,” tukas Siegran dengan leher tegang.Dia bersiap menerima hukuman dari River. Padahal Siegran sendiri tahu seberapa cemasnya River dengan putranya yang satu itu.Namun, alih-alih menyahut dengan kata-kata, River malah bangkit dan menatap Siegran yang diserang tegang sejak tadi.“Baguslah!” katanya yang sontak memicu Siegran mengernyit.“Ma-maaf?” Siegeran menyahut bingung.Dia mengira telinganya salah dengar, tapi saat melihat raut wajah River, agaknya tuannya tersebut memang memujinya.“Aku percaya pada penilaianmu,” tukas River yang lantas memasukan kedua tangan ke saku celananya. “Johan memang berbeda dengan Jenson. Sejak kecil, dia tumbuh di dunia yang keras, penuh darah dan beragam senjata mematikan untuk bertahan hidup. Karena itu aku tak heran kalau dia tidak bisa diam saja saat ada situasi genting.”Siegran terdiam, tapi alisnya berangsur mendapuk saat melihat seringai tipis di bibir River.
***Berita kematian Sabrina Daniester sampai ke telinga Sebastian sehari sebelum pemilihan. Seorang asisten yang baru melaporkan berita itu, malah dilempar asbak oleh calon presiden tersebut.“Apa maksudmu, hah? Tidak mungkin Nyonya ma … tidak! Kau tidak tahu Sabrina Daniester orang seperti apa. Di wanita hebat yang punya segalanya. Ada banyak pengawal berkemampuan tinggi yang mengurusnya. Dan aku baru saja menemui Nyonya beberapa hari lalu. Mana mungkin? Mana mungkin sekarang dia mati?!” Sebastian mendengus tak percaya.Memang tak ada berita yang tersebar ke media, sebab secara resmi Sabrina Daniester masihlah tawanan yang ada di penjara.“Mo-mohon maaf, Tuan. Laporan dari penjaga yang tersisa, ada seorang pria yang menyerang Rather Hall kemarin malam,” tutur Asisten Sebastian ragu-ragu.Lawan bincangnya memicing kian berang dan lantas menimpali. “Apa kau bilang? Seorang pria? Maksudmu satu orang?!”“Be-benar, Tuan. Orang itu datang membawa jasad Tuan Frederick, lalu menghabisi beber
Alih-alih kembali ke mansion Devante, River malah membawa mayat Frederick ke mobilnya. Dia memacu kendaraan itu amat kencang menembus jalanan malam yang sepi.‘Sekarang aku akan mengakhiri semuanya. Dendam masa lalu itu harus selesai, demi Adeline dan anak-anakku!’ batin pria tersebut menatap tajam.Maniknya melirik Frederick yang tergeletak di kursi belakang.‘Dia pasti sudah lama merencanakan pembalasan dendam. Kali ini aku yang akan menyelesaikan segalanya!’ sambung River yang lantas menginjak gas kian dalam.Hingga setelah lama mengemudi, River bisa melihat bangunan megah yang dikelilingi tembok besar. Di pintu masuknya ada gerbang yang tertutup. Akan tetapi River tak peduli. Dia terus melesatkan mobilnya dan menabrak gerbang yang ada di depan. Suara gubrakan keras terdengar saat bemper mobil River menghantam gerbang itu. Hal ini membuat beberapa penjaga di sana tersentak kaget.“Sial! Orang gila mana yang berani masuk sembarangan?!” tukas salah satu penjaga di sana.Rekannya yang
“Hah, sial!” Fredercik mengumpat tajam.Alisnya mendapuk dengan seringai miring saat River menahan mata tajam belatinya dengan sebelah tangan. Ya, tanpa peduli telapak tangannya berlumuran darah, River tetap mencengkeramnya seolah itu bukanlah apa-apa.“Aku tidak akan mengampunimu!” cecarnya yang lantas memutar tangan Frederick hingga belatinya berbalik arah.Tanpa ragu, River semakin menekannya hingga benda tajam itu menusuk dada Frederick. Namun, sialnya sang sepupu dengan keras mendorongnya menjauh, hingga River tak sampai menekan belatinya terlalu dalam.“Argh, brengsek!” Frederick mengumpat keras sambil mencabut belati itu dari dadanya.Akan tetapi dirinya tak menduga bahwa di depan sana River sudah mengeluarkan pistol dan mengacungkan padanya.“Hah … aku terlalu meremehkanmu. Rupanya kau masih gesit meskipun sudah tua!” Frederick mencecar geram.Tapi tanpa menjawab apapun, River langsung melesatkan peluru pada paha Frederick. Lelaki tersebut mengernyit sambil berdiri dengan tump
‘Sial! Bajingan yang membawa Adeline benar-benar Frederick!’ batin River dengan amukan membengkak.Tanpa ragu, dia langsung menginjak gas dan membanting setir untuk memotong jalan. Nyaris saja mobil dari arah depan menghantamnya, tapi sang pengemudi mati-matian menginjak rem sebelum menabrak mobil River.“Dasar, bajingan sialan! Jika tidak bisa menyetir, jangan bawa mobil!” cecar pengemudi itu mengeluarkan kepala dari jendela.River tak meggubris. Di kepalanya hanya ada Adeline. Ya, River tahu seberapa gilanya Frederick. Dia sudah menyaksikan Jenson yang tergantung di atap, lantas apa yang akan dilakukan pria itu pada istrinya sekarang?“Brengsek! Aku akan membunuhnya jika menyentuh Adeline seujung rambut saja!” tukas River menatap amat tajam.Sial sekali mobil Frederick melaju amat cepat, hingga dia ketinggalan jauh. Namun, itu bukan masalah. River menginjak gas amat dalam, melaju kencang menyalip beberapa mobil yang menghalangi jalannya.‘Aish, sial! Dia pasti mau membawa Adeline k
‘Adeline, apa yang terjadi? Apa itu kecelakaan?’ batin River ragu-ragu.Dia coba menghubungi sopir yang mengemudi mobil wanita itu, sialnya tetap nihil. Anteknya tersebut tidak mengangkat panggilan juga.Tanpa buang waktu, River pun melacak ponsel Adeline. Dari system, gawai sang istri berada tak jauh dari Picasso Hotel.Kening pria itu mengernyit ketika perasaan buruk menyerangnya. Dia tahu anteknya yang bersama Adeline bukan orang ringkih. Hingga tanpa ragu, dia pun beranjak pergi ke lokasi wanita tersebut.Baru masuk mobilnya, River pun menghubungi Siegran yang sudah berada di depan vila sekitar hutan La Daga.“Siegran, jika situasi terlalu berbahaya, kau cukup awasi sekitar. Kita tunda penyerangan. Aku tidak bisa datang karena Adeline dalam bahaya!” tukasnya disertai tatapan tajam.Dari seberang, tangan kanannya itu pun menjawab, “Tuan, orang kita sudah menyusup ke dalam. Tapi Frederick tidak ada di markas. Dari perbincangan anak buahnya, Frederick masih ada di pusat San Pedro!”
“Jadi mereka semua bekerja sama?!” tukas River menyeringai tajam.Tanpa mengangkat pandangan, pria itu lantas berkata, “Siegran, segera bongkar kebusukan Sebastian dan Howard Company!”Ya, dia langsung mengambil keputusan, setelah mengetahui calon presiden itu bertemu Frederick di Rather Hall. River tahu betul bahwa tempat itu property pribadi keluarga Daniester yang disembunyikan. Jadi sudah pasti Sabrina Daniester ada di sana juga.“Lakukan itu sehari sebelum pemilihan. Dengan begitu, mereka tidak punya waktu untuk memperbaiki citranya,” sambung River meletakkan tab tadi ke meja.“Saya mengerti, Tuan. Lalu bagaimana dengan Frederick dan Sabrina? Mereka pasti merencanakan penyerangan lagi. Anak-anak Anda akan dalam bahaya, terutama Nona Jennifer. Sejak insiden penculikan Tuan Muda Jenson, Frederick selalu mengawasi akademi balet La Huerta.” Siegran berkata cemas.River menyatukan alisnya dengan tatapan garang.“Aku tahu. Sampai hari pemilihan, anak-anak tidak akan keluar dari mansion
“Apa ini? Tidak disangka Calon Presiden ikut dalam pertemuan seperti ini,” ujar Frederick dengan tatapan sinis.Ya, orang yang datang memanglah Sebastian Howard. Alih-alih menjawab, lelaki dengan perut buncit itu malah melangkah ke dekat Sabrina.“Nyonya, apa maksudnya ini? Saya pikir ini pertemuan privat, tapi kenapa ada orang lain di sini?” katanya protes.Mendengar sindiran tersebut, Frederick seketika menyeringai sinis. Dia mengepulkan asap rokoknya, lalu mematikan dengan kasar ke asbak yang ada di meja.“Sabrina, Sebenarnya siapa yang ‘orang lain’ di sini?” decaknya memicing berang.Sabrina melirik Sebastian seraya berkata tegas. “Diam dan duduklah. Waktu kita tidak banyak. Kalian sendiri tahu, siapa orang yang kita hadapi!”“Tapi, Nyonya—”“Kau berani menentangku?!” sentak Sabrina lebih tajam sebelum Sebastian menyelesaikan perkataannya.Hanya dengan satu kalimat itu, Sebastian langsung bungkam. Frederick pun tercengang karena Sebastian yang seorang calon presiden dan pemilik Ho