Seorang Pria duduk di kursi kerjanya. Di hadapannya terdapat laptop dan beberapa kertas yang berserakan. matanya menatap nanar ke arah laptop yang masih menyala.Di belakangnya berdiri seorang pria paruh baya dengan aura berwibawanya. Terdengar embusan napas pelan berulang kali, seolah orang itu menahan amarahnya."Kau tau siapa dia kan? Papa tidak mau ikut campur dengan dunianya yang rumit," ucap pria dengan jabatan wali kota itu.Pria yang berusia dua puluh tahun lebih muda itu hanya diam. Otaknya saat ini berkecamuk. Ingin sekali dia membantah semua ucapan pria itu walaupun fakta itu benar adanya.Hatinya masih tak mampu menerima kenyataan pahit ini. di tambah lagi konsekuensinya."Papa sudah selesai? Kalau sudah, Papa bisa pergi." Keanu mulai memainkan jarinya di keyboard laptop.Seakan di guyur bahan bakar, kobaran api kecil mendadak berkobar setelah mendengar ucapan Putranya."Apa katamu! Apa otakmu sudah gila dan tidak bisa berpikir?." Bruno menggebrak meja Keanu keras.Kertas b
Alis Stevi bertaut. Joe tadi juga melakukan hal yang sama. Mengingat pria dengan otot roti sobek itu membuatnya mengingat sesuatu."Jadi apa maksudmu memberi Debora sepenuhnya ke Joe?" Stevi menatap lekat mata Alex."Tidak ada yang penting. Kau harus memakai otakmu karena musuh kali ini menyerang bukan lewat senjata, kau mengerti." ucap Alex mengalihkan pembicaraan."Yaa, lebih tepatnya kau yang di uji saat ini. Kita lihat bagaimana hati hello kitty mu itu akan bangkit kembali," jawab stevi melangkah menjauh.Alex menarik napas panjang dan mengembuskan nya kasar. Dia tidak mampu menjawab ucapan sang Adik karena semua fakta itu benar.Tanpa dia sadari hatinya mulai luluh pada Wanita yang saat ini terbaring ini. Belum lagi kisah masa lalunya yang datang membuatnya saat ini berada di dalam kebimbangan.Pintu di ketuk pelan. Stevi membukanya. Dia tidak menyangka ada tamu besar yanng datang."Pak Michel? Silahkan masuk," ucap Stevi mempersilahkan pria paruh baya itu masuk.Pria itu salah t
Alex duduk di haluan kapal. Dia menatap ombak kecil yang menari-nari di hadapannya. Angin meniup wajahnya. Alex menutup matanya, merasakan angin yang membawa hawa panas akibat cahaya matahari yang terik.Sepintas ingatan masa lalunya terputar dalam kegelapan. Di sana dia melihat Clara memakai dres biru yang membuatnya terlihat begitu anggun.Sampai pada pemandangan yang berubah menjadi menyesakkan saat seorang pria datang memeluk mesra Clara dari belakang. Seketika Alex membuka matanya."Argh, shitt ..." Alex mengacak rambutnya. Kenapa dia begitu sulit melupakan wanita yang menancapkan luka dalam padanya. Semua terasa menyesakkan dada."Kau juga di sini?" tanya Clara yang baru saja menginjakkan kakinya di haluan kapal.Alex menatap dingin ke arah wanita itu. Entah ini takdir atau memang kebetulan. Yang jelas saat ini dirinya masih enggan bertemu walau rasa rindunya terus menjerit.Alex melangkah melewati wanita yang memakai kimono itu. Tiba-Tiba Wanita itu memeluk erat Alex dari bela
Wanita itu melangkah penuh percaya diri. Seolah dialah Nyonya di proyek film ini. Stevi berdecak kesal. Tangannya sudah gatal ingin menarik senapan di balik jaketnya.Sayangnya ucapan Joe terus terngiang-ngiang di kepalanya. Entah bisa ular apa yang dia telan setiap hari. Perkataanya penuh bisa dan mematikan.Stevi menghela napas kasar dan menggenggam erat jemari Debora."Ayo aku antar keluar, aku tau Kakak pasti tidak keberatan," ucap Stevi."Tidak usah memang kenapa? Kau bisa keluar bila ingin melanjutkan obrolan panasmu dengan pria lucu itu," ucap Debora tersenyum kecil."Apa? Pria lucu, bahkan dia seperti ular berbisa yang dapat mematuk dimana saja dan kapan saja," sahut Stevi sebal."Lihat wanita itu, aku muak dengannya. Apa kau tidak cemburu sedikitpun?" lanjut Stevi menghela napas kasar.Entah siapa yang menata kursi. Sepertinya ini memang sudah di atur sebelumnya. Clara duduk di samping Alex dan di hadapan mereka adalah kursi Debora dan Stevi.Padahal awak media sudah tau kebe
Alex membuka pintu dapur kapal. Di sana ada Debora dan Joe sedang mengobrol. Di sana sang istri tersenyum lebar dan tampak bahagia.Senyuman itu tak pernah dia dapat saat wanita itu bersamanya. Dengan amarah meletup Alex segera masuk dan melangkah mendekat.Alex menarik tangan Debora sehingga dia terjatuh."Hey ada apa ini?" tanya Joe membantu Debora."Sepertinya kau sangat menikmati peranmu," sahut Alex dengan mata memicing."Bukankah kau yang bilang kalau aku bisa bermain-main dengan dia," kekeh Joe memancing emosi.Alex harus sedikit di pancing agar dia mengerti apa yang dia mau. Entah mengapa baginya mengungkapkan perasaan sangatlah sulit."Apa? Main-main," ucap Debora melepaskan cengkraman tangannya dari sang suami."Tidak lagi," jawab Alex.Jemari kuat itu tetap mencengkram tangan mulus Debora dan menariknya untuk mengikuti langkah Alex.Debora susah payah mengikuti langkah Alex. Sesekali dia menoleh kebelakang. Menatap pria berpakaian serba hitam yang menatap kepergiannya.Joe
Clara menarik napas panjang. Dia segera mengakhiri panggilan sebelum telinganya mendengar perintah lagi.Sebenarnya dia tidak sepenuhnya percaya dengan Akeno namun hanya dia yang bisa membantunya untuk dekat dengan Alex kembali.Bermuka dua adalah pilihan yang harus dia jalani saat ini. Dirinya juga perlu menyusun strategi. Secara tidak langsung dia sudah menggadaikan nyawa pujaan hatinya.Clara menghubungi salah satu kontak pada ponselnya. Beberapa menit berlalu, sambungan tak kunjung di angkat.Hingga pada akhirnya dia memilih untuk mengurungkan niatnya. Clara merebahkan tubuh lelahnya. Hari ini dia cukup bahagia karena bisa meluapkan rasa rindunya pada sang pujaan hati.Meskipun Alex melawan, dia tau masih ada seberkas cinta untuknya. Walaupun itu hanya sedikit. Clara yakin bahwa waktu akan menjawab semuanya.Di tempat yang berbeda seorang pria sedang duduk di kegelapan. Pria itu baru saja memutus sambungan dan melempar pandangan ke arah jendela.Tampak pemandangan langit yang bert
Di tempat yang berbeda. Pria dengan berpakaian serba hitam sedang bersembunyi di balik pohon. Mata tajamnya menatap lekat gerombolan orang bersenjata yang sedang mendirikan tenda.Joe bersama beberapa temannya mulai bersiap untuk melakukan penyerangan. "Ingat ambil alat pendeteksinya dulu agar tidak ada yang curiga dengan kita. Pastikan itu semua anak buah Akeno," ucap Joe lirih."Apakah ada musuh lain?" tanya salah satu temannya."Klan Naga Hitam juga ada di sini, kau taukan siapa mereka," jawab Joe sambil mengangkat alisnya."Apakah mereka ingin meminta ganti rugi?" lanjut teman Joe bertanya."Tuan tidak tau kalau ada mereka di sini, aku khawatir mereka bersekongkol. Jadi kita coba cari tau nanti, yang jelas kita harus melumpuhkan anak buah Akeno di beberapa titik pulau." Joe mulai bersiap mengalungkan beberapa senjata di tubuhnya.Teman-teman Joe sudah bersiap. Mereka membawa senjata masing-masing dan memulai penyerangan.Joe sudah mendekati gerombolan itu tanpa suara. Sedangkan
Jangkar kapal di turunkan. Kapal sudah tiba di pulau. Seorang pria sudah berganti dengan pakaian kasual.Celana pendek dan kaos oblong yang melekat di badanya. Tidak lupa dia memakai jaket parasit agar hawa dingin angin malam tidak menyiksanya.Dengan mudah pria itu melompat dan menuruni kapal. Mata tajamnya menyapu sekitarnya untuk mengecek situasi.Tak ada tanda-tanda musuh ataupun anak buahnya yang terlihat. Ini terlalu aneh baginya. Yang paling aneh adalah kehadiran Klan lain pada misi ini.Bila di ingat tak ada kerja sama di antara mereka. Baik di dunia hitam atau bisnis. Alex memencet tombol kecil pada alat yang menempel di telinganya."Kau baik-baik saja?" tanya Alex lirih."Sudah ku bilang, tenanglah! Aku baik-baik saja. Aku masih memiliki sembilan nyawa cadangan," kekeh Joe."Pasang mata dan telingamu. Kita hanya membawa sedikit orang dan aku masih membutuhkan nyawamu," ucap Alex dingin."Aku sangat terharu, setidaknya masih ada sedikit rasa cinta untukku," ucap Joe santai."
Debora masuk ke kamar mandi. Di sana sudah ada Alex yang memejamkan mata dan menikmati air hangat yang merendam sebagai tubuhnya. Harum aroma lili memenuhi seluruh ruangan."Alex, aku beri waktu lima menit untuk menjelaskan sertifikat yang ada di tasmu," ucap Debora dengan suara lantang.Pria itu tidak merespon. Dia masih memejamkan mata. Bahkan dia tidak bergerak sedikitpun."Alexander Vernandes, apakah kau mendengar suaraku?" Debora mulai sebal.Amarah Debora tak membuatnya bergeming. Pria itu masih berada di posisi ternyaman nya. Karena habis kesabaran, Wanita itu masuk kedalam bak mandi dan menepuk pipi Alex.Pria itu masih tidak merespon sampai Debora menarik paksa seekor naga yang sedang tertidur nyenyak."Argh, apakah kau sudah gila. Jangan sentuh asetku seperti itu," ucap Alex mengerang kesakitan."Kau yang memulai," jawab Debora cemberut."Aku! Kau yang menyiapkan semua ini, apa salah kalau aku menikmati semua ini?" Alex memicing."Sekarang jelaskan kenapa ada sertifikat ruma
Debora dan Lidya duduk di halaman belakang. Mereka duduk menemani Angel yang sedang sibuk dengan buku gambar dan crayonya.Lidya tak henti-hentinya memuji hasil coretan tangan mungil itu. Debora mendaratkan kecupan di ujung kepala Angel."Apakah aku menganggu?" tanya Alex yang baru saja bergabung.Ketiga orang itu menyambut hangat ke datangan Alex. Angel segera bangkit dan berhamburan menuju Paman baiknya.Alex meraih Angel dan mengangkatnya dalam gendongan. Keduanya sudah seperti sepasang Dady dan putrinya."Paman baik, aku puny gambar untgukmu," ucap Angel memeluk Alex."Terima kasih Sayang, Paman baik juga punya kejutan untumu," ucap Alex menatap bahagia mata bulat yang saat ini menatapnya."Yey ... apa itu Paman?" tanya Angel penasan.Alex menurunkan gadis kecil itu dan merogoh saku jas bagian belakang. Dia mengeluarkan sebuah amplop putih yang bertuliskan nama salah satu sekolah terbaik di kota tersebut.Karena penasaran, Debora dan Lidya melangkah mendekat. Mata Debora berkaca k
Stevi duduk di atas kasur. Matanya melihat bintang yang bertaburan di langit malam. Terdengar suara pintu di ketuk."Masuk," ucap Stevi dengan suara lantang.Joe masuk membawa nampan yang berisi makan malam dan beberapa obat. Dengan hati-hati dia menaruh nampan itu di atas meja.Stevi turun dari ranjang dan memeluk Joe dari belakang. Wajah pria itu memerah. Dia tidak bisa menahan rasa bahagianya. Walau wanita ini bukan melihat dia yang sebenarnya."Kau harus makan dan minum obat," ucap Joe memutar tubuhnya dan mencubit pipi Stevi."Suapin dong," sahut Stevi manja."Oke, asal harus minum obat ya," jawab Joe menuntun Stevi untuk duduk di sofa.Pria itu menyodorkan sepotong steak yang sudah di potong kecil-kecil. Dengan semangat Stevi membuka mulut dan melahap daging tersebut.Joe menatap dalam wanita yang selama ini dia cintai. Sepertinya penyamaran ini tidak buruk juga. Dia bisa dekat dengan Stevi tanpa harus cek-cok setiap pagi."Ada apa?" tanya Stevi menatap dalam Joe.Joe menggeleng
Debora duduk di hamparan rumputb hijau. Di hadapannya ada sebuah batu yang bertuliskan nama orang yang paling berarti di hidupnya.Orang itu rela berkorban untuk dirinya. Mengesampingkan kesenangannya demi dirinya. Memberi apapun yang dia miliki untuknya.Namun apa yang bisa dia berikan, dia tidak pernah memberi apapun pada wanita tua itu selain kesengsaraan. Tidak pernah ada kebahagiaan sdikitpun.Satu per satu orang meninggalkan pemakaman. Di sana hanya meninggalkan Alex dan Debora. Keduanya duduk dan menatap nanar batu yang di penuhi dengan kelopak bunga itu."Kenapa aku begitu tidak berguna Alex? Lihatlah, bahkan aku belum memberi kebahagiaan sedikitpun pada Bibi," ucap Debora pedih."Bibi sudah menganggapmu sebagai anak, melihatmu bahagia, dia juga merasakan hal yang sama Baby," jawab Alex memeluk pundak Debora."Ini tidak adil untuknya Alex, dia menjual segalanya demi kehidupanku dan Angel. Dia pergi sebelum aku membayar semuanya," ucap Debora dengan air mata yang terus berlina
Seorang gadis kecil menangis di depan pintu ruang IGD. Di sampingnya ada dua orng tua yang sedari tadi mencoba menenagkannya. Tak jauh dari mereka ada sekitar lima orang berpakaian serba hitam yang berdiri di depan lorong.Wanita gendut itu meraih gadis kecil dan mendekapnya dalam pangkuan. Berulang kali dia mengelus pucuk kepala anak itu. Mencob menghentikan tangisnya."Tenanglah Nak, Bibimu pasti akan baik-baik saja," ucap Wanta gendut itu."Bibi sakit Apa Nek, kenapa dia pingsan?" tanya Angel sambil menghapus air mata yang terus mengalir."Bibimu hanya kecapekan. Sebentaar lagi pasti dia akan sadar dan kembali bermain-main denganmu," ucap Nenek gendut yang memeluknyaa.Sementara Kakek gendut masih memperhatikan kelima orang yang berjaga di depan lorong. sesekali dia menatap Angel dan orang-orang itu bergantian.Dia hanya tak menyangka akan menyelamatkan seorang anak yang oraang tuanya memiliki kedudukan tinggi. Mereka pasti bukan orang biasa saat melihat penjagaan seketat ini.Seda
"Kakak tidak bisa datang?" tanya Stevi menatap Lidya penuh harap."Dia sedang dalam perjalanan bisnis. Mereka akan segera kembali," ucap Lidya mengelus pucuk kepala putrinya.Wanita yang baru saja tersadar dari depresinya itu melempar pandangannya kesamping. Dia menatap pria yang amat dia cintai duduk di sana.Pria itu memasang wajah sedih sebelum melempar senyum hangat padanya. Sama seperti sebelumnya, dia selalu bisa merubah mimik wajah dengan cepat."Kau membutuhjan sesuatu?" tanya Keanu menatap Stevi teduh."Aku lapar," jawab Stevi manja."Baiklah tunggu sebentar, aku akan membelikan makanan untukmu," jawab Keanu bangkit dari kursi dan melangkah menjauh.Lidya menatap pedih pria itu. Semua pengorbanan dan penantiannya selama ini tidak ada artinya. Dia yang beerjuang tetapi orang lain yang memetik manisnya."Tunggu sebentar, Mama mau pesan beberapa barang," ucap Lidya berlari kecil menyusul pria yang baru saja pergi."Joe!" panggil Lidya.Pria itu menghentikan langkanya. Sesaat Joe
Di tempat yang begitu tenang, Bibi Lauren duduk sambil memegang sebotol susu. Ujung matanya melihat seorang anak kecil melangkah mendekatinya.Matanya menyipit, dia melihat dengan seksama siapa yang datang. Buliran bening terjatuh saat lansia itu mengetahui siapa yang datang."Halo Nenek?" sapa Angel.Bibi Lauren mematung. Dia mencoba menahan laju air mata yang hendak melaju deras."Halo Nak, kau kembali?" tanya Bibi lauren.Anak itu mengangguk lirih dan duduk di samping sang Nenek. Dia melihat ada tiga botol susu di samping Nenek itu. Bertanada kalau dia sudah duduk di sini begitu lama."Apakah Nenek menungguku?" tanya Angel yang melihat Nenek itu menatapnya dalam.Bibi Lauren tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Tangan keriputnya membelai pipi chubby yang dulu sering dia cium.Tuhan begitu baik padanya. Dia melindunginya, bahkan memberinya hadiah yang sangat istimewa."Apakah aku boleh memelukmu?" tanya Bibi Lauren masih terpaku menatap angel.Angel mengangguk lirih. Dia berges
Joe melangkah memasuki ruang rawat. Di sana masih ada Nyonya besarnya yang duduk meringkuk di kursi. "Anda bisa pulang Nyonya, biar Saya yang menjaga Nona Stevi," ucap Joe ramah.Lidya menggelengkan kepalanya. Dia memutar kursinya menghadap Joe. matanya menatap pria yang begitu tulus pada putrinya."Sejak kapan kau mengenal Stevi?" tanya Lidya seriussss."Nona Stevi membantu Saya masuk ke dalam Klan Tuan Alex, di sini saya menemukan keluarga yang tidak pernah saya miliki sebelumnya," jawab Joe membalas tatapan Lidya.Joe teringat saat pertama bertemu Stevi. Saat itu dia berjalan di tengah keputusasaan. Dia mencari keberadaan Sang Kakak yang entah ada di mana.Dia telah mencari Sang kakak di setiap bar besar. Tidak jarang kehadirnnya membuat keributan dan pada akhirnya dirinya babak belur.Saat itu dia meringkuk di emperan toko. Bajunya penuh noda darah yang mengering. Tak hanya itu, wajahnya sudah tidak berbentuk karena banyak luka lebam."Kalau mau jadi jagoan bukan seperti itu cara
Lidya menatap kepergian Putra dan menantunya. Terlihat senyum haru di wajah cantiknya. Seperti pepatah mengatakan, pasti ada pelangi setelah badai datang.Alex menggandeng tangan Debora dan melangkah pergi. Langkah panjang Alex terhenti saat menatap ketiga orang yang berdiri di depan pintu."Sepertinya aku sudah terlalu sabar denganmu belakangan ini," ucap Alex melempar pandangan ke arah Joe.Seketika Joe menundukkan kepala diikuti oleh kedua temannya. Mereka meneguk liur dan berdoa semoga Tuannya dalam mood yang baik."Kau meninggalkan tugasmu, dan mengejar cintamu di sini. Kau pikir aku akan simpati padamu dan tidak menghukum semua keteledoraamu ini?" ucap Alex melepaskan tangan Debora dan mendekati Joe.Debora mengkerutkan alisnya. Dia mulai menampakkan wajah protesnya. Wanita itu menghalang langkah Alex."Apa kau gila, Lihatlah! Dia sudah menjaga Adikkmu dengan tulus. Kau masih ingin menghukumnya?" Tanya Debora tidak percaya.Alex menggeser tubuh Debora dan menghentikan langkah ka