Stevi menghentikan aktivitasnya menyiapkan senjata ketika telinganya mendengar suara langkah kaki mendekat.Debora segera keluar dari bak mandi. Dia meraih handuk kimono yang tergantung di atasnya."Astaga, kenapa harus sekarang," keluh Stevi.Stevi mengambil pistol dan mengisinya peluru. Dia berdiri dan bersembunyi di balik pintu. Kedua wanita itu saling berpandangan.Jantung Debora saat ini sudah seperti rollercoaster yang naik turun. Dia tidak menyangka nyawanya akan terancam saat ini.'Harusnya aku mendengar ucapan Bibi Laurent. Pasti saat ini aku sudah menikmati hidupku,' batin Debora penuh penyesalan.Bukannya balas dendam sukses yang dia dapatkan, melainkan nyawa yang terus berada di ambang kematian.Entah dia bisa selamat atau tidak malam ini. Mulutnya terus berdoa agar tidak mati konyol di tempat ini.Suara langkah kaki semakin mendekat. Stevi sudah bersiap. Dia menyodorkan pistol ke arah Debora."A-aku tidak bisa Stev," ucap Debora "Siap atau tidak, kau tetap harus bisa. In
Suara peluru yang melesat membuat beberapa burung beterbangan. Pria tersebut segera bersembunyi di balik pohon besar.Cahaya sinar bulan memberi sedikit penerang pada pandangannya. Mata tajamnya sekarang tidak berfungsi dengan baik. Sehingga dia memilih untuk menjadi pendengar yang baik.Dasar pria tersebut kembang kempis menahan deru jantung akibat dia berlari cepat. Dia bersandar dan mulai menyiapkan senjata.Di tempat yang berbeda, Joe dan dua orang wanita sedang berdiskusi. Semua menampakkan wajah khawatir."Kenapa kau membiarkan Kakak pergi sendiri?" Stevi mulai tersulut emosi."Biarkan dia menemukan perasaan sendiri, kalau tidak begini bagaimana dia akan berubah," jawab Joe santai dan menatap Debora.Wanita itu masih duduk di sofa dengan tatapan mata kosong menatap lantai kamar. Tampak raut kegelisahan di sana."Apa maksudmu? Mau makin hari makin tidak mengenal batasanmu." Stevi mendorong dada bidang Joe."Batasan apa yang kau maksud? Membiarkan dia masuk ke dalam masa lalunya l
Joe melempar pandangan sinis pada wanita yang baru saja duduk di dekatnya. Spontan dia langsung berdiri melihat tamu yang tak di undang ini datang.Mata Stevi membulat sempurna. Otaknya masih mencerna semua ucapan Joe. Sesekali sudut matanya menatap wanita yang tak mampu menunjukkan wajahnya itu.Semua pertanyaan mulai muncul di benak Stevi. Kenyataan yang dia lihat terlalu indah untuk di anggap sebagai kebohongan. Semua perhatian Alex pada Debora sangat tulus. Di tambah lagi semua perhatian yang Debora berikan pada Alex tergambar sangat jelas."Ini adalah bukti valid. Merek menikah kontrak hanya untuk keuntungan masing-masing. Tidak ada cinta di antara mereka berdua," ucap Clara penuh percaya diri.Dia melempar map ke atas meja. Di sana tertulis jelas nama Debora dan Alex. "Kau bisa membuang sampah tidak berguna ini," sahut Joe yang memandang remeh Clara."Sepertinya kau salah paham denganku, kawan." Clara tersenyum kecut menatap Joe."Aku bukan kawanmu," jawab Joe meraih kertas di
Seorang wanita masuk ke dalam kamar dan menarik tubuh clara. Sehingga wanita itu terjatuh dilantai Debora tidak percaya dengan apa yang dia lihat di hadapannya. wanita yang baru saja datang itu meraih kotak obat dan melemparkannya ke arah Debora "Obati lukamu! Masalah kita belum selesai. Kau masih hutang penjelasan padaku," ucap Stevi melempar plester itu ke hadapan Debora.Debora tersenyum kecil. Dia membuka kotak obat dan mengambil kapas. Sesekali terdengar desah kesakitan. Rasa perih akibat goresan benda pipih nan tajam itu meninggalkan luka yang cukup menyiksa."Terima kasih," jawab Debora menatap sendu Stevi.Clara bangkit dari lantai. Sesungguhnya dia murka ketika adik orang yang dia cintai berbuat demikian. Akan tetapi dia harus bisa mengontrol amarahnya demi rencananya ini.Dia memasang wajah ramah dan mendekati Stevi yang masih berdiri membelakanginya."Kau menolongnya? Bukankah dia telah menipumu," Clara mulai memancing emosi Stevi."Lebih baik kau pergi dari sini sebelum b
Joe dan kedua wanita itu segera berlari menuju Sember suara. Sayangnya langkah mereka terhalang oleh enam orang yang mulai menyerang."Halo Joe, lama tidak bertemu." ucap salah satu orang.Joe menatap Stevi dan Debora bergantian. Tau apa yang harus di lakukan, Stevi mundur tiga langkah di belakang Joe."Sepertinya kau sangat merindukanku?" kekeh Joe"Untuk terakhir kalinya. Apakah kau mau bergabung lagi dengan kami?" tanya Orang yang sama."Sayangnya tidak," sahut Joe.Pria itu melangkah maju mendekati enam pria yang membawa senjata lengkap. Joe mengacungkan ibu jarinya ke belakang. Tau apa yang di maksud temannya itu. Stevi dan Debora segera berlari memasuki hutan.Melihat kedua wanita itu kabur tiga dari enam orang dengan pakaian hitam mulai mengejar. Joe melesatkan peluru ke udara. Seketika ketiga orang yang mengejar Debora dan stevi berhenti.Mereka berputar badan dan melangkah menuju Joe."Ternyata kalian tetap sama. Suka bermain boneka barbie," ucap Joe mengejek."Ternyata aku s
Alex membuka mata. Karena ledakan bom yang di pasang Akeno tubuhnya terpental. Untung saja dia masih bisa selamat dari maut."Shitt ..." umpat Alex saat mendapati semua senyatanya telah hilang entah di mana.Alex berusaha bang kakinya terluka cukup parah. Di betisnya terdapat luka bakar. Dia diam sejenak dan mencoba berpikir.Kondisi saat ini tidak memungkinkan untuk keluara. Dia membawa anak buah yang kompeten. namun sangat sulit bertahan di tempat yang sudah di sabotase.Sejujurnya dia kurang waspada. harusnya dia memikirkan rencana dan tidak gegabah saat ini. sangat menyebalkan. Dia akui kalau cinta benar-benar telah membutakannya.Dia pikir dia bisa melumpuhkan beberapa post penjagaan Akeno dan bisa menyelamatkan Debora dari rencana busuk sang musuh.Semuanya berjalan diluar kendali. Bahkan saat ini dia kehilangan sinyal untuk menghubungi bantuan.Alex membuka baju hitamnya dan melepas kaos putih bersihnya. sesekali dia meringis kesakitan akibat luka bakar yang berada di bagian tu
Joe melepaskan tubuh Stevi dia mendorong sedikit orang yang saat ini mencoba menenangkannya."Kau bisa pergi, aku hanya ingin sendiri." Joe melangkah mendekati mayat sang kakak.Stevi menatap pedih Joe. Baru kali ini dia melihat Pria itu begitu hancur. Wanita itu tidak ada pilihan lain. Dia tidak mau temannya harus mati di tangan musuh. Sekalipun itu saudara sedarah."Kakakmu di dalam. Kita tidak tau bagaimana keadaanya. Ledakan itu, kita tidak tau siapa targetnya bukan?" ucap Joe lirih.Di saat yang bersamaan kedua orang datang. Mereka tercengang melihat kekacauan ini. Terlebih pada satu mayat yang masih terkapar di pasir.Keduanya bertatapan sejenak dan melangkah mendekati Joe. "Kau baik-baik saja?" tanya Dante."Bawa Nona pergi. Kalian harus segera menolong Tuan di dalam. Sementara aku akan membereskan ini semua." Joe menatap kedua temannya bergantian."Sendiri?" sahut Stevi khawatir."Sepertinya aku sudah sering melakukannya sendiri. Apakah kau lupa?" ucap Joe dingin."Tidak dal
Joe menatap punggung Stevi yang menjauh di ikuti oleh Dante. Rain mendekat dan menepuk pundak Joe."Aku bantu memakamkan Kakakmu," ucap Rain menatap iba.Pria yang terkapar tak berdaya itu adalah satu-satunya keluarga Joe. Sangat di sayangkan mereka harus saling mengangkat senjata.Joe mengangguk lirih. Rain melangkah menuju kembali ke kapal untuk mencari benda yang bisa membantunya menggali tanah.Jangan tanya kenapa mereka bisa sesantai ini. Yang pertama adalah target, Debora dan Alex sudah ada di dalam yang entah bagaimana keadaanya. Tidak akan ada penyerangan di tepi pantai.Kembali pada Debora yang sudah lepas dari tali yang menjeratnya. Saat ini dengan wajah ceria dia melangkah mengikuti beberapa orang yang membawanya ke suatu tempat.Di sebuah villa tengah pulau. Seorang pria duduk menatap langit malam lewat jendela di hadapannya.Asap nikotin tipis mengelilinginya. Ingatan sang pria kembali pada masa kelam. Masa di mana dirinya berada di titik terendah.Tatapan mata ibunya yan
Debora masuk ke kamar mandi. Di sana sudah ada Alex yang memejamkan mata dan menikmati air hangat yang merendam sebagai tubuhnya. Harum aroma lili memenuhi seluruh ruangan."Alex, aku beri waktu lima menit untuk menjelaskan sertifikat yang ada di tasmu," ucap Debora dengan suara lantang.Pria itu tidak merespon. Dia masih memejamkan mata. Bahkan dia tidak bergerak sedikitpun."Alexander Vernandes, apakah kau mendengar suaraku?" Debora mulai sebal.Amarah Debora tak membuatnya bergeming. Pria itu masih berada di posisi ternyaman nya. Karena habis kesabaran, Wanita itu masuk kedalam bak mandi dan menepuk pipi Alex.Pria itu masih tidak merespon sampai Debora menarik paksa seekor naga yang sedang tertidur nyenyak."Argh, apakah kau sudah gila. Jangan sentuh asetku seperti itu," ucap Alex mengerang kesakitan."Kau yang memulai," jawab Debora cemberut."Aku! Kau yang menyiapkan semua ini, apa salah kalau aku menikmati semua ini?" Alex memicing."Sekarang jelaskan kenapa ada sertifikat ruma
Debora dan Lidya duduk di halaman belakang. Mereka duduk menemani Angel yang sedang sibuk dengan buku gambar dan crayonya.Lidya tak henti-hentinya memuji hasil coretan tangan mungil itu. Debora mendaratkan kecupan di ujung kepala Angel."Apakah aku menganggu?" tanya Alex yang baru saja bergabung.Ketiga orang itu menyambut hangat ke datangan Alex. Angel segera bangkit dan berhamburan menuju Paman baiknya.Alex meraih Angel dan mengangkatnya dalam gendongan. Keduanya sudah seperti sepasang Dady dan putrinya."Paman baik, aku puny gambar untgukmu," ucap Angel memeluk Alex."Terima kasih Sayang, Paman baik juga punya kejutan untumu," ucap Alex menatap bahagia mata bulat yang saat ini menatapnya."Yey ... apa itu Paman?" tanya Angel penasan.Alex menurunkan gadis kecil itu dan merogoh saku jas bagian belakang. Dia mengeluarkan sebuah amplop putih yang bertuliskan nama salah satu sekolah terbaik di kota tersebut.Karena penasaran, Debora dan Lidya melangkah mendekat. Mata Debora berkaca k
Stevi duduk di atas kasur. Matanya melihat bintang yang bertaburan di langit malam. Terdengar suara pintu di ketuk."Masuk," ucap Stevi dengan suara lantang.Joe masuk membawa nampan yang berisi makan malam dan beberapa obat. Dengan hati-hati dia menaruh nampan itu di atas meja.Stevi turun dari ranjang dan memeluk Joe dari belakang. Wajah pria itu memerah. Dia tidak bisa menahan rasa bahagianya. Walau wanita ini bukan melihat dia yang sebenarnya."Kau harus makan dan minum obat," ucap Joe memutar tubuhnya dan mencubit pipi Stevi."Suapin dong," sahut Stevi manja."Oke, asal harus minum obat ya," jawab Joe menuntun Stevi untuk duduk di sofa.Pria itu menyodorkan sepotong steak yang sudah di potong kecil-kecil. Dengan semangat Stevi membuka mulut dan melahap daging tersebut.Joe menatap dalam wanita yang selama ini dia cintai. Sepertinya penyamaran ini tidak buruk juga. Dia bisa dekat dengan Stevi tanpa harus cek-cok setiap pagi."Ada apa?" tanya Stevi menatap dalam Joe.Joe menggeleng
Debora duduk di hamparan rumputb hijau. Di hadapannya ada sebuah batu yang bertuliskan nama orang yang paling berarti di hidupnya.Orang itu rela berkorban untuk dirinya. Mengesampingkan kesenangannya demi dirinya. Memberi apapun yang dia miliki untuknya.Namun apa yang bisa dia berikan, dia tidak pernah memberi apapun pada wanita tua itu selain kesengsaraan. Tidak pernah ada kebahagiaan sdikitpun.Satu per satu orang meninggalkan pemakaman. Di sana hanya meninggalkan Alex dan Debora. Keduanya duduk dan menatap nanar batu yang di penuhi dengan kelopak bunga itu."Kenapa aku begitu tidak berguna Alex? Lihatlah, bahkan aku belum memberi kebahagiaan sedikitpun pada Bibi," ucap Debora pedih."Bibi sudah menganggapmu sebagai anak, melihatmu bahagia, dia juga merasakan hal yang sama Baby," jawab Alex memeluk pundak Debora."Ini tidak adil untuknya Alex, dia menjual segalanya demi kehidupanku dan Angel. Dia pergi sebelum aku membayar semuanya," ucap Debora dengan air mata yang terus berlina
Seorang gadis kecil menangis di depan pintu ruang IGD. Di sampingnya ada dua orng tua yang sedari tadi mencoba menenagkannya. Tak jauh dari mereka ada sekitar lima orang berpakaian serba hitam yang berdiri di depan lorong.Wanita gendut itu meraih gadis kecil dan mendekapnya dalam pangkuan. Berulang kali dia mengelus pucuk kepala anak itu. Mencob menghentikan tangisnya."Tenanglah Nak, Bibimu pasti akan baik-baik saja," ucap Wanta gendut itu."Bibi sakit Apa Nek, kenapa dia pingsan?" tanya Angel sambil menghapus air mata yang terus mengalir."Bibimu hanya kecapekan. Sebentaar lagi pasti dia akan sadar dan kembali bermain-main denganmu," ucap Nenek gendut yang memeluknyaa.Sementara Kakek gendut masih memperhatikan kelima orang yang berjaga di depan lorong. sesekali dia menatap Angel dan orang-orang itu bergantian.Dia hanya tak menyangka akan menyelamatkan seorang anak yang oraang tuanya memiliki kedudukan tinggi. Mereka pasti bukan orang biasa saat melihat penjagaan seketat ini.Seda
"Kakak tidak bisa datang?" tanya Stevi menatap Lidya penuh harap."Dia sedang dalam perjalanan bisnis. Mereka akan segera kembali," ucap Lidya mengelus pucuk kepala putrinya.Wanita yang baru saja tersadar dari depresinya itu melempar pandangannya kesamping. Dia menatap pria yang amat dia cintai duduk di sana.Pria itu memasang wajah sedih sebelum melempar senyum hangat padanya. Sama seperti sebelumnya, dia selalu bisa merubah mimik wajah dengan cepat."Kau membutuhjan sesuatu?" tanya Keanu menatap Stevi teduh."Aku lapar," jawab Stevi manja."Baiklah tunggu sebentar, aku akan membelikan makanan untukmu," jawab Keanu bangkit dari kursi dan melangkah menjauh.Lidya menatap pedih pria itu. Semua pengorbanan dan penantiannya selama ini tidak ada artinya. Dia yang beerjuang tetapi orang lain yang memetik manisnya."Tunggu sebentar, Mama mau pesan beberapa barang," ucap Lidya berlari kecil menyusul pria yang baru saja pergi."Joe!" panggil Lidya.Pria itu menghentikan langkanya. Sesaat Joe
Di tempat yang begitu tenang, Bibi Lauren duduk sambil memegang sebotol susu. Ujung matanya melihat seorang anak kecil melangkah mendekatinya.Matanya menyipit, dia melihat dengan seksama siapa yang datang. Buliran bening terjatuh saat lansia itu mengetahui siapa yang datang."Halo Nenek?" sapa Angel.Bibi Lauren mematung. Dia mencoba menahan laju air mata yang hendak melaju deras."Halo Nak, kau kembali?" tanya Bibi lauren.Anak itu mengangguk lirih dan duduk di samping sang Nenek. Dia melihat ada tiga botol susu di samping Nenek itu. Bertanada kalau dia sudah duduk di sini begitu lama."Apakah Nenek menungguku?" tanya Angel yang melihat Nenek itu menatapnya dalam.Bibi Lauren tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Tangan keriputnya membelai pipi chubby yang dulu sering dia cium.Tuhan begitu baik padanya. Dia melindunginya, bahkan memberinya hadiah yang sangat istimewa."Apakah aku boleh memelukmu?" tanya Bibi Lauren masih terpaku menatap angel.Angel mengangguk lirih. Dia berges
Joe melangkah memasuki ruang rawat. Di sana masih ada Nyonya besarnya yang duduk meringkuk di kursi. "Anda bisa pulang Nyonya, biar Saya yang menjaga Nona Stevi," ucap Joe ramah.Lidya menggelengkan kepalanya. Dia memutar kursinya menghadap Joe. matanya menatap pria yang begitu tulus pada putrinya."Sejak kapan kau mengenal Stevi?" tanya Lidya seriussss."Nona Stevi membantu Saya masuk ke dalam Klan Tuan Alex, di sini saya menemukan keluarga yang tidak pernah saya miliki sebelumnya," jawab Joe membalas tatapan Lidya.Joe teringat saat pertama bertemu Stevi. Saat itu dia berjalan di tengah keputusasaan. Dia mencari keberadaan Sang Kakak yang entah ada di mana.Dia telah mencari Sang kakak di setiap bar besar. Tidak jarang kehadirnnya membuat keributan dan pada akhirnya dirinya babak belur.Saat itu dia meringkuk di emperan toko. Bajunya penuh noda darah yang mengering. Tak hanya itu, wajahnya sudah tidak berbentuk karena banyak luka lebam."Kalau mau jadi jagoan bukan seperti itu cara
Lidya menatap kepergian Putra dan menantunya. Terlihat senyum haru di wajah cantiknya. Seperti pepatah mengatakan, pasti ada pelangi setelah badai datang.Alex menggandeng tangan Debora dan melangkah pergi. Langkah panjang Alex terhenti saat menatap ketiga orang yang berdiri di depan pintu."Sepertinya aku sudah terlalu sabar denganmu belakangan ini," ucap Alex melempar pandangan ke arah Joe.Seketika Joe menundukkan kepala diikuti oleh kedua temannya. Mereka meneguk liur dan berdoa semoga Tuannya dalam mood yang baik."Kau meninggalkan tugasmu, dan mengejar cintamu di sini. Kau pikir aku akan simpati padamu dan tidak menghukum semua keteledoraamu ini?" ucap Alex melepaskan tangan Debora dan mendekati Joe.Debora mengkerutkan alisnya. Dia mulai menampakkan wajah protesnya. Wanita itu menghalang langkah Alex."Apa kau gila, Lihatlah! Dia sudah menjaga Adikkmu dengan tulus. Kau masih ingin menghukumnya?" Tanya Debora tidak percaya.Alex menggeser tubuh Debora dan menghentikan langkah ka