Joe dan kedua wanita itu segera berlari menuju Sember suara. Sayangnya langkah mereka terhalang oleh enam orang yang mulai menyerang."Halo Joe, lama tidak bertemu." ucap salah satu orang.Joe menatap Stevi dan Debora bergantian. Tau apa yang harus di lakukan, Stevi mundur tiga langkah di belakang Joe."Sepertinya kau sangat merindukanku?" kekeh Joe"Untuk terakhir kalinya. Apakah kau mau bergabung lagi dengan kami?" tanya Orang yang sama."Sayangnya tidak," sahut Joe.Pria itu melangkah maju mendekati enam pria yang membawa senjata lengkap. Joe mengacungkan ibu jarinya ke belakang. Tau apa yang di maksud temannya itu. Stevi dan Debora segera berlari memasuki hutan.Melihat kedua wanita itu kabur tiga dari enam orang dengan pakaian hitam mulai mengejar. Joe melesatkan peluru ke udara. Seketika ketiga orang yang mengejar Debora dan stevi berhenti.Mereka berputar badan dan melangkah menuju Joe."Ternyata kalian tetap sama. Suka bermain boneka barbie," ucap Joe mengejek."Ternyata aku s
Alex membuka mata. Karena ledakan bom yang di pasang Akeno tubuhnya terpental. Untung saja dia masih bisa selamat dari maut."Shitt ..." umpat Alex saat mendapati semua senyatanya telah hilang entah di mana.Alex berusaha bang kakinya terluka cukup parah. Di betisnya terdapat luka bakar. Dia diam sejenak dan mencoba berpikir.Kondisi saat ini tidak memungkinkan untuk keluara. Dia membawa anak buah yang kompeten. namun sangat sulit bertahan di tempat yang sudah di sabotase.Sejujurnya dia kurang waspada. harusnya dia memikirkan rencana dan tidak gegabah saat ini. sangat menyebalkan. Dia akui kalau cinta benar-benar telah membutakannya.Dia pikir dia bisa melumpuhkan beberapa post penjagaan Akeno dan bisa menyelamatkan Debora dari rencana busuk sang musuh.Semuanya berjalan diluar kendali. Bahkan saat ini dia kehilangan sinyal untuk menghubungi bantuan.Alex membuka baju hitamnya dan melepas kaos putih bersihnya. sesekali dia meringis kesakitan akibat luka bakar yang berada di bagian tu
Joe melepaskan tubuh Stevi dia mendorong sedikit orang yang saat ini mencoba menenangkannya."Kau bisa pergi, aku hanya ingin sendiri." Joe melangkah mendekati mayat sang kakak.Stevi menatap pedih Joe. Baru kali ini dia melihat Pria itu begitu hancur. Wanita itu tidak ada pilihan lain. Dia tidak mau temannya harus mati di tangan musuh. Sekalipun itu saudara sedarah."Kakakmu di dalam. Kita tidak tau bagaimana keadaanya. Ledakan itu, kita tidak tau siapa targetnya bukan?" ucap Joe lirih.Di saat yang bersamaan kedua orang datang. Mereka tercengang melihat kekacauan ini. Terlebih pada satu mayat yang masih terkapar di pasir.Keduanya bertatapan sejenak dan melangkah mendekati Joe. "Kau baik-baik saja?" tanya Dante."Bawa Nona pergi. Kalian harus segera menolong Tuan di dalam. Sementara aku akan membereskan ini semua." Joe menatap kedua temannya bergantian."Sendiri?" sahut Stevi khawatir."Sepertinya aku sudah sering melakukannya sendiri. Apakah kau lupa?" ucap Joe dingin."Tidak dal
Joe menatap punggung Stevi yang menjauh di ikuti oleh Dante. Rain mendekat dan menepuk pundak Joe."Aku bantu memakamkan Kakakmu," ucap Rain menatap iba.Pria yang terkapar tak berdaya itu adalah satu-satunya keluarga Joe. Sangat di sayangkan mereka harus saling mengangkat senjata.Joe mengangguk lirih. Rain melangkah menuju kembali ke kapal untuk mencari benda yang bisa membantunya menggali tanah.Jangan tanya kenapa mereka bisa sesantai ini. Yang pertama adalah target, Debora dan Alex sudah ada di dalam yang entah bagaimana keadaanya. Tidak akan ada penyerangan di tepi pantai.Kembali pada Debora yang sudah lepas dari tali yang menjeratnya. Saat ini dengan wajah ceria dia melangkah mengikuti beberapa orang yang membawanya ke suatu tempat.Di sebuah villa tengah pulau. Seorang pria duduk menatap langit malam lewat jendela di hadapannya.Asap nikotin tipis mengelilinginya. Ingatan sang pria kembali pada masa kelam. Masa di mana dirinya berada di titik terendah.Tatapan mata ibunya yan
Di saat yang bersamaan salah satu orang mulai menyadari keberadaan dua orang yang sedang bersembunyi di balik semak-semak."Siapa di sana?" tanya salah satu orang tersebut.Karena hal itu beberapa orang mulai memperhatikan semak-semak."Shitt, merepotkan sekali. Untung saja dia Nona muda. Kalau tidak, pasti sudah aku tinggal di sini," umpat Dante sebal.Beberapa orang sudah melangkah mendekati Dante. Semakin dekat langkah mereka, semakin cepat pula degup jantung Dante.Kalau hanya nyawanya saja dia bisa sedikit lega. Namun tanggung jawabnya untuk memastikan keluarga Vernandes tetap baik-baik saja? Ini tugas yang cukup sulit.Dante mencoba mencari celah. Dia menatap sekitarnya, siapa tau ada jalan keluara yang tersembunyi."Sial, di mana kedua manusia berengsek itu. Kenapa Joe harus galau di saat seperti ini, Shitt!" berulang kali Dante mengumpat karena otak dan matanya tidak kunjung menemukan jalan keluar.Tak ada pilihan lain. Dante mundur perlahan sambil membawa Stevi dalam gendonga
Akeno tertawa kencang meliihat keadaan Alex saat ini, tidak berdaya. Empat orang mulai mendekati Debora. Wanita itu meronta sebisa mungkin melawan empat orang yang saat ini berusaha merobek bajunya.Debora terus menangis, sesekali dia menatap Alex. Ingin sekali meminta tolong. Tapi apa daya, keduanya tidak sedang baik-baik saja."Biadab! lepaskan dia," Alex menarik tangannya. Pergelangan tangannya sampai mengeluarkan tetesan air berwarna merah segar.Dua orang mulai meraih dress merah Debora dan menariknya kuat berlawanan arah. Kain bagian bawahnya sudah robek dan memperlihatkan kulit indah yang membuat mata membulat.Dua orang lagi meraih dress bagian atas dan hendak merobeknya. Namun, Akeno memetik jarinya. Memberi tanda untuk menyudahi penyiksaan Debora. Dia menatap Alex penuh kebencian.Akhirnya dia bisa melihat Alex tak berdaya. "Lihatlah, aku dapat dengan mudah merebut wanitamu. Harusnya kau duduk diam dan tidak melakukan apapun untuk membersihkan namamu. Bukankah lebih enak me
Kembali ke dua jam sebelumnya. Joe dan Rain mulai memasuki hutan. Mendengar beberapa orang yang mengobrol.Hal itu membuat keduanya penasaran. Mereka segera melangkah menuju arah suara tersebut. Mata mereka terbelalak ketika melihat sang Boss di ikat di atas tandu dengan kondisi parah."Fvck, Tuan Alex sudah tertangkap. Di mana Dante dan wanita liar itu? Segera periksa sinyal. Beri tau pada anak buah yang tersisa untuk berkumpul," ucap Joe frustasi.Dia tau bagaimana kejinya Akeno. Di tambah lagi posisi mereka saat ini tidak memungkinkan untuk menyerang. Tidak cukup orang dan senjata. Masih di tambah lagi dengan area asing yang mereka tidak tau di mana jalan keluarnya."Masih tidak ada sinyal," ucap Rain juga ikut frustasi.Matanya melihat rombongan yang berjalan kian menjauh. Sangat mustahil bagi mereka melawannya.Joe mengayunkan langkahnya perlahan mengikuti rombongan yang membawa Tuannya menuju ke suatu tempat. Rain meraih tangan Joe. Menyuruhnya untuk berhenti sejenak dan tidak
Kembali pada ruang pengap penuh debu dan percikan darah yang menghiasi lantai. Suara teriakan pasukan Akeno dari luar begitu riuh.Alex menyapu tiap anak buah Akeno. Berharap ada satu wajah yang dia kenal. sayangnya orang itu tidak di temukan."Shitt, Dante, dimana kau?" ucap Alex.Kakinya mengalir air berwarna merah kental. Bau anyir mulai tercium menyengat dan menambah rasa mual Debora. Akeno melepaskan ikatan Debora dan menarik tangannya untuk mengikuti langkahnya. Wanita itu terus menatap lekat pria yang masih di ikat dengan rantai besi."Ikut aku cantik, bukankah kau masih punya hutang padaku," kekeh Akeno."Tidak, aku tidak mau. Lepaskan aku." Debora meronta.Semakin wanita itu meronta. Semakin kuat genggaman tangan Akeno. Hingga pda akhirnya Debora mengetahui kelemahan pria jahat yang menyeretnya.Dengan keras dia menendang kaki kanan Akeno. Pria itu mengerang kesakitan. Dia segera berlari menuju pria yang masih diikat dengan rantai."Aku mohon jaga malaikat kecilku. Dia sanga
Debora masuk ke kamar mandi. Di sana sudah ada Alex yang memejamkan mata dan menikmati air hangat yang merendam sebagai tubuhnya. Harum aroma lili memenuhi seluruh ruangan."Alex, aku beri waktu lima menit untuk menjelaskan sertifikat yang ada di tasmu," ucap Debora dengan suara lantang.Pria itu tidak merespon. Dia masih memejamkan mata. Bahkan dia tidak bergerak sedikitpun."Alexander Vernandes, apakah kau mendengar suaraku?" Debora mulai sebal.Amarah Debora tak membuatnya bergeming. Pria itu masih berada di posisi ternyaman nya. Karena habis kesabaran, Wanita itu masuk kedalam bak mandi dan menepuk pipi Alex.Pria itu masih tidak merespon sampai Debora menarik paksa seekor naga yang sedang tertidur nyenyak."Argh, apakah kau sudah gila. Jangan sentuh asetku seperti itu," ucap Alex mengerang kesakitan."Kau yang memulai," jawab Debora cemberut."Aku! Kau yang menyiapkan semua ini, apa salah kalau aku menikmati semua ini?" Alex memicing."Sekarang jelaskan kenapa ada sertifikat ruma
Debora dan Lidya duduk di halaman belakang. Mereka duduk menemani Angel yang sedang sibuk dengan buku gambar dan crayonya.Lidya tak henti-hentinya memuji hasil coretan tangan mungil itu. Debora mendaratkan kecupan di ujung kepala Angel."Apakah aku menganggu?" tanya Alex yang baru saja bergabung.Ketiga orang itu menyambut hangat ke datangan Alex. Angel segera bangkit dan berhamburan menuju Paman baiknya.Alex meraih Angel dan mengangkatnya dalam gendongan. Keduanya sudah seperti sepasang Dady dan putrinya."Paman baik, aku puny gambar untgukmu," ucap Angel memeluk Alex."Terima kasih Sayang, Paman baik juga punya kejutan untumu," ucap Alex menatap bahagia mata bulat yang saat ini menatapnya."Yey ... apa itu Paman?" tanya Angel penasan.Alex menurunkan gadis kecil itu dan merogoh saku jas bagian belakang. Dia mengeluarkan sebuah amplop putih yang bertuliskan nama salah satu sekolah terbaik di kota tersebut.Karena penasaran, Debora dan Lidya melangkah mendekat. Mata Debora berkaca k
Stevi duduk di atas kasur. Matanya melihat bintang yang bertaburan di langit malam. Terdengar suara pintu di ketuk."Masuk," ucap Stevi dengan suara lantang.Joe masuk membawa nampan yang berisi makan malam dan beberapa obat. Dengan hati-hati dia menaruh nampan itu di atas meja.Stevi turun dari ranjang dan memeluk Joe dari belakang. Wajah pria itu memerah. Dia tidak bisa menahan rasa bahagianya. Walau wanita ini bukan melihat dia yang sebenarnya."Kau harus makan dan minum obat," ucap Joe memutar tubuhnya dan mencubit pipi Stevi."Suapin dong," sahut Stevi manja."Oke, asal harus minum obat ya," jawab Joe menuntun Stevi untuk duduk di sofa.Pria itu menyodorkan sepotong steak yang sudah di potong kecil-kecil. Dengan semangat Stevi membuka mulut dan melahap daging tersebut.Joe menatap dalam wanita yang selama ini dia cintai. Sepertinya penyamaran ini tidak buruk juga. Dia bisa dekat dengan Stevi tanpa harus cek-cok setiap pagi."Ada apa?" tanya Stevi menatap dalam Joe.Joe menggeleng
Debora duduk di hamparan rumputb hijau. Di hadapannya ada sebuah batu yang bertuliskan nama orang yang paling berarti di hidupnya.Orang itu rela berkorban untuk dirinya. Mengesampingkan kesenangannya demi dirinya. Memberi apapun yang dia miliki untuknya.Namun apa yang bisa dia berikan, dia tidak pernah memberi apapun pada wanita tua itu selain kesengsaraan. Tidak pernah ada kebahagiaan sdikitpun.Satu per satu orang meninggalkan pemakaman. Di sana hanya meninggalkan Alex dan Debora. Keduanya duduk dan menatap nanar batu yang di penuhi dengan kelopak bunga itu."Kenapa aku begitu tidak berguna Alex? Lihatlah, bahkan aku belum memberi kebahagiaan sedikitpun pada Bibi," ucap Debora pedih."Bibi sudah menganggapmu sebagai anak, melihatmu bahagia, dia juga merasakan hal yang sama Baby," jawab Alex memeluk pundak Debora."Ini tidak adil untuknya Alex, dia menjual segalanya demi kehidupanku dan Angel. Dia pergi sebelum aku membayar semuanya," ucap Debora dengan air mata yang terus berlina
Seorang gadis kecil menangis di depan pintu ruang IGD. Di sampingnya ada dua orng tua yang sedari tadi mencoba menenagkannya. Tak jauh dari mereka ada sekitar lima orang berpakaian serba hitam yang berdiri di depan lorong.Wanita gendut itu meraih gadis kecil dan mendekapnya dalam pangkuan. Berulang kali dia mengelus pucuk kepala anak itu. Mencob menghentikan tangisnya."Tenanglah Nak, Bibimu pasti akan baik-baik saja," ucap Wanta gendut itu."Bibi sakit Apa Nek, kenapa dia pingsan?" tanya Angel sambil menghapus air mata yang terus mengalir."Bibimu hanya kecapekan. Sebentaar lagi pasti dia akan sadar dan kembali bermain-main denganmu," ucap Nenek gendut yang memeluknyaa.Sementara Kakek gendut masih memperhatikan kelima orang yang berjaga di depan lorong. sesekali dia menatap Angel dan orang-orang itu bergantian.Dia hanya tak menyangka akan menyelamatkan seorang anak yang oraang tuanya memiliki kedudukan tinggi. Mereka pasti bukan orang biasa saat melihat penjagaan seketat ini.Seda
"Kakak tidak bisa datang?" tanya Stevi menatap Lidya penuh harap."Dia sedang dalam perjalanan bisnis. Mereka akan segera kembali," ucap Lidya mengelus pucuk kepala putrinya.Wanita yang baru saja tersadar dari depresinya itu melempar pandangannya kesamping. Dia menatap pria yang amat dia cintai duduk di sana.Pria itu memasang wajah sedih sebelum melempar senyum hangat padanya. Sama seperti sebelumnya, dia selalu bisa merubah mimik wajah dengan cepat."Kau membutuhjan sesuatu?" tanya Keanu menatap Stevi teduh."Aku lapar," jawab Stevi manja."Baiklah tunggu sebentar, aku akan membelikan makanan untukmu," jawab Keanu bangkit dari kursi dan melangkah menjauh.Lidya menatap pedih pria itu. Semua pengorbanan dan penantiannya selama ini tidak ada artinya. Dia yang beerjuang tetapi orang lain yang memetik manisnya."Tunggu sebentar, Mama mau pesan beberapa barang," ucap Lidya berlari kecil menyusul pria yang baru saja pergi."Joe!" panggil Lidya.Pria itu menghentikan langkanya. Sesaat Joe
Di tempat yang begitu tenang, Bibi Lauren duduk sambil memegang sebotol susu. Ujung matanya melihat seorang anak kecil melangkah mendekatinya.Matanya menyipit, dia melihat dengan seksama siapa yang datang. Buliran bening terjatuh saat lansia itu mengetahui siapa yang datang."Halo Nenek?" sapa Angel.Bibi Lauren mematung. Dia mencoba menahan laju air mata yang hendak melaju deras."Halo Nak, kau kembali?" tanya Bibi lauren.Anak itu mengangguk lirih dan duduk di samping sang Nenek. Dia melihat ada tiga botol susu di samping Nenek itu. Bertanada kalau dia sudah duduk di sini begitu lama."Apakah Nenek menungguku?" tanya Angel yang melihat Nenek itu menatapnya dalam.Bibi Lauren tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Tangan keriputnya membelai pipi chubby yang dulu sering dia cium.Tuhan begitu baik padanya. Dia melindunginya, bahkan memberinya hadiah yang sangat istimewa."Apakah aku boleh memelukmu?" tanya Bibi Lauren masih terpaku menatap angel.Angel mengangguk lirih. Dia berges
Joe melangkah memasuki ruang rawat. Di sana masih ada Nyonya besarnya yang duduk meringkuk di kursi. "Anda bisa pulang Nyonya, biar Saya yang menjaga Nona Stevi," ucap Joe ramah.Lidya menggelengkan kepalanya. Dia memutar kursinya menghadap Joe. matanya menatap pria yang begitu tulus pada putrinya."Sejak kapan kau mengenal Stevi?" tanya Lidya seriussss."Nona Stevi membantu Saya masuk ke dalam Klan Tuan Alex, di sini saya menemukan keluarga yang tidak pernah saya miliki sebelumnya," jawab Joe membalas tatapan Lidya.Joe teringat saat pertama bertemu Stevi. Saat itu dia berjalan di tengah keputusasaan. Dia mencari keberadaan Sang Kakak yang entah ada di mana.Dia telah mencari Sang kakak di setiap bar besar. Tidak jarang kehadirnnya membuat keributan dan pada akhirnya dirinya babak belur.Saat itu dia meringkuk di emperan toko. Bajunya penuh noda darah yang mengering. Tak hanya itu, wajahnya sudah tidak berbentuk karena banyak luka lebam."Kalau mau jadi jagoan bukan seperti itu cara
Lidya menatap kepergian Putra dan menantunya. Terlihat senyum haru di wajah cantiknya. Seperti pepatah mengatakan, pasti ada pelangi setelah badai datang.Alex menggandeng tangan Debora dan melangkah pergi. Langkah panjang Alex terhenti saat menatap ketiga orang yang berdiri di depan pintu."Sepertinya aku sudah terlalu sabar denganmu belakangan ini," ucap Alex melempar pandangan ke arah Joe.Seketika Joe menundukkan kepala diikuti oleh kedua temannya. Mereka meneguk liur dan berdoa semoga Tuannya dalam mood yang baik."Kau meninggalkan tugasmu, dan mengejar cintamu di sini. Kau pikir aku akan simpati padamu dan tidak menghukum semua keteledoraamu ini?" ucap Alex melepaskan tangan Debora dan mendekati Joe.Debora mengkerutkan alisnya. Dia mulai menampakkan wajah protesnya. Wanita itu menghalang langkah Alex."Apa kau gila, Lihatlah! Dia sudah menjaga Adikkmu dengan tulus. Kau masih ingin menghukumnya?" Tanya Debora tidak percaya.Alex menggeser tubuh Debora dan menghentikan langkah ka