POV : Diva
Aku masih tidak percaya Papa telah pergi meninggalkan aku. Kenapa bukan aku saja yang pergi, kenapa aku ditinggalkan lagi? Maaf Pah, jika perkataanku banyak menyakitimu.
"Bagaimana perasaanmu?" Tanya Renata sambil mengelus bahuku lembut. Kami duduk di bangku panjang di tengah-tengah mobil yang berparkir.
"Aku--aku gak punya siapa-siapa lagi, Re. Papa sudah pergi dan sebentar lagi Liam akan kembali dengan Samira." Ucapku. Kudengar helaan nafas Renata pelan.
"Jangan berpikir semua akan meninggalkanmu, Va. Bahkan kalaupun kamu bercerai, kamu gak sendiri," ujarnya memandang wajahku. Dia memakai baju serba hitam dan syal hitam yang melilit di lehernya. Mengingatkanku bahwa kami memang sedang berkabung. Ini bukan mimpi.
Aku sendiri, ya... Aku sebatang kara.
Kalau saja ceritanya lain, aku sangat yakin anak dalam kandungan Samira adalah anak Liam. Dan mereka sedang sibuk mempersiapkan masa depan untuk anak mereka. Liam juga memikirkan mas
Liam mengerang mendengar jawaban dan suara perempuan berkata, "Liam? Kamu denger gak aku bicara apa? Hari ini kamu harus anter aku cek up."Liam menghela nafas dan perlahan menarik diri dari tempat duduknya untuk menghadap jendela."Gak harus hari ini, kan?""Hari ini jadwalnya." Jawab diseberang.Dia menarik nafas. Mata hitamnya tertunduk, sedang berpikir. Lalu ia berkata lagi, "Saya harus nemenin istri saya sekarang. Dia masih berduka. Tolong kamu mengerti keadaan saya.""Menurutku dia harus diberitahu. Dia harus tau kamu sekarang adalah seorang calon ayah!""Samira--""Kamu jangan ngulur-ngulur waktu. Aku yakin dia sudah curiga sewaktu dia mengikuti kamu ke rumah sakit siang itu." Ucap Samira, Liam terdiam, "kamu pikir dia bodoh?""Saya minta maaf, Sa. Mungkin saya terlihat kejam sama kamu, tapi saya benar-benar gak mau diganggu hari ini. Saya harus jaga perasaan Diva, dia istri saya. Saya tau kamu orang seperti apa, S
"Aku bilang, aku akan membawa anak ini ke luar negeri. Kamu gak akan bisa bertemu dengan anakmu! Puas! Sekarang kamu pergi dari sini!""Keluar!"Samira kehilangan kesabaran. Ia merasa lebih dipermainkan dengan sikap Liam yang tidak memikirkan perasaannya.Liam masih berdiri tepat di depan jendela yang terbuat dari kaca itu. Ia menarik nafas kasar, geram mendengar ancaman Samira."Kamu memang wanita gak punya perasaan." Liam bersuara pelan dan tajam."Aku belajar darimu. Kalau kamu datang ke sini untuk mengatakan omong kosong itu! Lebih baik pergi dari sini dan lupakan bayi dalam perutku.""Ini bukan semudah itu, Samira. Tapi ada hati Diva yang akan tersakiti."Liam menatap intens pada Samira yang tengah mengambil vas bunga lalu melemparnya ke arah Liam. Untuk pria itu dengan sigap menghindar dengan cepat."Tolong jangan jauhkan saya dari anak saya. Dia keturunan saya."Samira mendelik sejenak pada Liam, lalu kembali meng
BabJalan itu terasa licin pada kakinya yang memakai sendal jepit, tapi Diva berhasil menahan kakinya tepat di mobil Liam yang terparkir di depan gedung apartemen. Segera matanya menelusuri keadaan di gedung berlantai dua itu. Dia berharap tidak melihat sesuatu yang menyakiti hatinya.Diva yakin dengan apa yang dia lakukan sekarang ini. Jika ia menemukan Liam bersama Samira sedang membahas tentang hal pribadi mereka, ia akan menghampiri mereka dan bicara kepada Liam akan menerima anak mereka.Walaupun ia tidak ingin merawat anak dari Samira tapi Diva bukan tipe wanita yang membenci bayi kecil mungil yang tak berdosa.Akhirnya dari tempatnya berdiri ia bisa melihat Liam dan Samira sedang berdiri berhadapan, dan tampak Samira sedang mengamuk. Diva menunggu sampai beberapa menit, memberikan waktu mereka bicara setelah itu Diva berniat untuk mendatangi mereka.Diva mendongak. Di balik jendela kaca itu, dia bisa melihat dengan je
POV Diva"Jam berapa pulang semalam?" tanyaku melihat Liam baru saja turun dari tangga. Ia duduk dengan santainya di ruang makan, seakan kelakuan bajingannya semalam bukanlah dosa. "Mukanya kelihatan sumringah. Apa terjadi sesuatu?" Tanyaku.Aku mencengkram kuat cangkir kopi, berusaha melawan rasa marah dan sakit hati di dalam hatiku. Aku melihat Liam yang duduk di depanku dengan wajah sumringah.Aku memberikan kopi di depannya dan roti bakar kepadanya dengan wajah seperti biasa. Aku sudah malas mendengar alasannya, tapi aku ingin tahu apa yang akan ia katakan."Subuh. Aku begadang di rumah Mas Ray karena mengerjakan proyek yang baru kami terima. Banyak hal yang harus kami bicarakan." Dia bicara tanpa melihat wajahku. Aku mengembangkan senyuman.Proyek? Apakah kalian berencana menambah anak setelah anak itu lahir? Dasar pembohong! Penghianat! Cabul!Aku mengangguk menanggapi ucapan pembohong ini. "Apa mbak Viona gak
POV DivaAku memandang wajahku di kaca meja rias. Mataku memerah karena kurang tidur. Terbayang olehku wajah Samira, dia berusia lebih tua dariku tapi wajahnya terawat dan sangat cantik. Aku mendengar dari Nara wanita itu sering melakukan perawatan mahal di klinik kecantikan.Dia wanita kompleks super berbahaya. Perfeksionis dan anggun.Aku memutuskan untuk pergi ke pusat perbelanjaan membeli keperluan wajahku, banyak skincare yang bagus tanpa harus ke klinik kecantikan. Aku menggunakan mobilku yang baru dibelikaan Liam."Diva!" Aku mendengar suara seorang pria memanggilku, aku kenal suara itu. Kakiku melangkah cepat untuk menghindar darinya. "Diva!""Oh, Bram. Apa kabar? Aku kira siapa yang manggil." Aku tersenyum, seharusnya aku tidak bertemu dia."Kamu menghindar dariku? Kamu gak bales chat dan gak angkat telepon dariku.""Kamu tahu kan? Kita gak harus ketemu, karena kamu akan membahas hal yang g
"Tapi Ma, Diva--""Jangan banyak bertanya dan cepat ke sini."Diva menatap layar ponselnya setelah panggilan terputus dari seberang. Kenapa tiba-tiba ibu mertuanya menyuruh dia ke rumah mereka? Diva yang baru saja selesai makan malam sendiri, terlihat bingung.Beberapa menit kemudian, Diva mendial nomor Liam. Namun tidak ada jawaban dari Liam. Banyak pertanyaan yang muncul di pikirannya. Belum pernah ibu mertuanya menyuruh ke sana.Bagaimana ini, Diva sebenarnya tidak ingin menemui ibu mertuanya. Apalagi datang sendiri, tiga hari lagi Liam baru pulang dari luar kota. Diva tidak punya alasan menolak ajakan mertuanya.Diva keluar dari rumahnya, ia memakai blouse putih berenda dan celana panjang. Dia juga telah menyiapkan hadiah spesial untuk mertuanya."Bagus. Dari mana kamu tahu aku menyukai sepatu berkilau seperti ini?" Ucap ibu Liam seraya mengambil sepatu lepes berkilau dari kotaknya.Diva tersenyum, "Aku mendapatkan itu
POV Diva.Aku sedang berpikir tentang pembicaraanku dengan orang tua Liam dua hari yang lalu, kok bisa sih mereka bicara seperti itu padaku. Bukankah sama saja artinya mereka mendukung perselingkuhan Liam dengan Samira?Siang tadi Liam baru pulang, dan aku langsung memeriksa kopernya. Harum parfum wanita di pakaian bekasnya, aku juga menemukan kwitansi pembelian mobil.Entah sampai kapan aku harus diam saja seperti ini. Aku bergegas masuk kamar mandi dan menguncinya, mengambil nafas dan ya aku menangis lagi. Liam tidak boleh tahu aku sudah mengetahui perselingkuhan mereka."Sayang? Kamu sudah lama banget lho di kamar mandi." Suara Liam dari balik pintu, "Ada apa? Kamu sakit?""Gak apa-apa. Perut aku sakit aja." Balasku seraya membuka pintu. Aku mencoba tenang dan seakan tidak pernah tahu kehamilan Samira dan hubungan gelapnya."Kamu sakit? Salah makan?" Tanyanya dengan nada penuh perhatian. Brengsek!
POV Diva.Amarah tidak sama sekali membuatku lebih baik. Saat pertama kali melihat mereka berciuman aku langsung pergi membiarkan mereka melanjutkan aktivitas mereka. Seharusnya aku mengambil kamera dan mendokumentasikan adegan itu untuk kujadikan bukti.Aku bergegas menuju mobil dan membawanya ke rumah Samira. Aku yakin Liam ada di sana. Aku tidak akan menerjang mereka dan menjambak Samira seperti apa yang dia lakukan padaku.Saat sampai aku melihat Liam dan Samira berpelukan dari tempatku berdiri. Apa aku harus berterimakasih karena jendela kaca besar itu membuatku bisa melihat jelas apa yang mereka lakukan.Aku mengambil kamera yang tadi kuambil dari ruang kerja Liam. Kamera ini biasa digunakan untuk memotret acara kumpul-kumpul keluarga. Dan sekarang aku gunakan untuk memotret Liam dan Samira. Menunggu mereka melakukan adegan-adegan yang aku yakin mereka sangat menikmati.Dulu Samira menuntut cerai dan Liam memberikan segalanya untuk Sami
Diva PoVTiga hari. Sudah tiga hari aku memata-matai apartemen Samira untuk mengetahui apakah Liam di sana. Apa saja yang mereka lakukan? Aku bodoh, harusnya aku mendobrak pintu rumahnya dan mencari suamiku. Aku benar-benar akan gila!! Hatiku terasa tidak pernah tenang setelah tahu semua kebenaran itu. Walau aku masih berstatus istri Liam, tetapi hati dan pikiran Liam sekarang hanya untuk Samira dan juga anaknya. Beberapa kali aku melihat tetangga berbisik-bisik sambil melihatku dengan wajah sinis, tapi ada juga yang bersimpati padaku. Entah apa yang mereka pikirkan.Liam, apa kamu tahu kondisi lingkungan kita sekarang? Semua orang tengah bergosip tentang kita dan Samira. Nanti, setelah sembilan bulan anaknya lahir. Apakah kamu akan menjadi sosok ayah yang akan selalu berada di sampingnya ?Tuhan, hatiku hancur membayangkan itu."Diva." Suara di belakang membuatku kaget, saat aku menoleh wanita itu tersenyum. Tetangga lantai atas. Kami sering berpapasan di lift. "Wajahmu pucat sekali
POV: DivaWaktu masih kecil aku tidak punya alasan untuk merenungi kehidupanku yang tidak mempunyai saudara kandung. Aku anak tunggal yang tidak kekurangan kasih sayang ibu dan ayahku.Tetapi semua berbeda ketika Ayahku berselingkuh dan ibuku menjadi depresi. Aku tidak punya siapa pun untuk diajak berbagi.Setelah kepergian ibuku, tidak ada siapapun yang memperingatkanku tentang pesta dan laki-laki, hingga aku kehilangan arah. Sampai aku bertemu si tampan Liam dan ternyata dia sudah mempunyai istri. Segala terjadi begitu cepat---akhirnya aku dan Liam menikah. Tapi aku belum juga hamil."Aku membencimu, Liam," ucapku, sambil berusaha membuat suaraku tidak gemetar. "Kamu pria brengsek yang pernah aku temui.""Tenang, Diva." Jawab Liam mendekat. "Kasih aku kesempatan untuk memperbaiki keadaan kita.""Gak. Kamu mempermainkan aku!" Teriakku melemparnya dengan bantal di atas ranjang. Kamar ini menjadi ruang neraka yang kutinggali.Kamar ini tempat kami saling berbagi cerita dan perasaan, t
POV : Diva"Kalian lucu sekali. Diva hanya mempertanyakan apa yang menjadi hakknya."Tangan Rayhard yang sedang memegang sendok dan hampir memasukkan makanan ke mulutnya berhenti. Lalu ia menatapku. Kakak Liam itu belum pernah membelaku, yang aku tahu dia membenciku. Wajah marah ibu mertuaku terpampang di sana. Mereka semua terlihat tidak nafsu lagi menikmati makanan, kecuali Samira."Bilang saja kamu iri dengan Samira, kan? Kamu belum bisa hamil anak Liam sedangkan Samira telah mengandung." Ucap Ibu mertuaku penuh kedengkian. "Maaf Mam, aku sama sekali gak iri. Dan lagi, Liam ini suamiku. Jelas aku gak terima dia hamil anak Liam." Aku memberanikan diri menatap mata wanita tua itu. Bisa-bisanya dia bilang aku iri. "Sudahlah Diva, kamu jangan menyudutkan Samira terus. Kasihan kan anak di perutnya." Ucapnya lagi, aku tidak mengerti bagaimana jalan pikiran ibu mertua hingga terus membela Samira. "Jawab pertanyaan Diva, Liam. Tunjukkan kalau kamu laki-laki." Terdengar suara Rayhard pe
Di sebuah rumah besar mewah, terdapat seorang wanita yang sedang berjalan tergesa-gesa sambil menenteng dua kresek plastik hitam berisi belanjaan. Terdengar suara gelak tawa di ruang tengah. Seorang pelayan hanya melewati wanita itu tanpa berniat membantunya mengambil dua plastik besar itu dari tangannya."Kenapa kamu lama sekali belanjanya? Kamu kan tahu ini jam makan malam dan semua belanjaan yang kamu beli akan dimasak sekarang," ucap seorang wanita tua memarahinya. Ia meletakkan belanjaannya di atas meja bersiap untuk membereskannya. "Maaf Mam, jalanan tadi macet.""Astaga. Apa yang kamu katakan? Aku tadi menelponmu menjelang sore. Apa sejauh itu mall dari rumahmu hingga berjam-jam kamu menghabiskan waktu?""Maafkan aku, Mam." Ucap wanita yang berkuncir kuda itu. "Aku akan memasak SOP buntut spesial untuk makan malam nanti.""Sop buntut katamu? Kami lihat jam, kamu pikir perut kami masih bisa menunggu masakan kamu itu?" Cecarnya. "Kalau kamu gak ada niat masak untuk makan malam
POV DivaBerhari-hari aku menghabiskan waktuku di kamar sambil memegang ponselku. Menunggu Liam mengabariku, aku masih berharap dia menanyakan keadaanku.Ya, penantian yang tidak ada ujungnya dan terlalu berharap akan membawa seseorang menuju keterpurukan. Begitu saja tanganku membanting ponsel yang tidak pernah kulepaskan dari tadi."Kamu lebih memilih Samira daripada aku istrimu, Liam!""Dia yang mulai perkara denganku, tapi kamu memihak dia?" Dia membuatku kesal. Aku tidak tahu harus bagaimana.Samira, aku benar-benar tersentuh dengan semua caramu menghancurkan hidupku. Aku tidak menyangka kita akan sejauh ini. Aku pikir semua telah berakhir dan Liam menjadi milikku seutuhnya. Tapi, apa yang kamu lakukan? Kamu membuat Liam kembali sukses. Kamu mengacak-acak rumah tanggaku dan mengandung anak Liam.Apa yang harus aku lakukan?Liam, aku ingin kita kembali seperti dulu. Aku ingin kita tetap bersama sebagai pasangan suami-istri. Apakah takdir kita hanya sampai di sini. Katakan padaku b
POV : DivaAku sempat terpaku melihat wanita bergaun kimono masuk ke dalam lift yang sama denganku. Wanita jalang yang sedang mencoba menghancurkan pernikahanku sekarang berada di ruang yang sama denganku. Dia memakai gaun kimono yang aku tebak untuk menutupi perutnya yang mulai buncit."Kenapa kaget? Kamu kira kawasan apartemen ini milik pribadimu. Dasar bodoh." Cemoohnya padaku. Aku memperbaiki raut wajahku agar terlihat tetap tenang. "Siapa yang bodoh?" Aku menggelengkan kepalaky. "Kamu tinggal di sini? Bukankah itu berarti kita akan sering bertemu dan kamu akan melihat aku dan suamiku yang sering bergandengan tangan di kawasan ini."Aku melihat dia menekan tombol satu lantai di atasku. Seketika aku sadar melihat senyum tipisnya. Dia memang sengaja tinggal di sini."Seseorang membelikanku apartemen di sini. Tentu saja aku gak akan menolaknya. Benar, kan?" Dia seperti menikmati wajah tegangku. Jangan bilang Liam yang membeli apartemen di atas untuk Samira. Aku harus sabar dan jang
POV: DivaSelama beberapa hari aku merasa gelisah. Liam belum pernah pulang setelah berita pria itu di semua media. Apakah sekarang Liam telah tinggal bersama Samira? Banyak pertanyaan di kepalaku.Jika terjadi sesuatu pada pernikahanku, aku juga akan kehilangan semangat hidupku lagi. Aku tidak mengira Samira akan kembali pada kehidupan Liam.Jadi selama ini Samira hanya berpura-pura menjauh dari Liam, tapi kenyataannya wanita sialan itu sedang berputar-putar disekeliling suamiku. Dia hanya sedang mempermainkan waktu untuk menghancurkan hidupku perlahan-lahan. Dan keluarga Liam membantunya.Mereka tau semenjak Liam bersamaku, dia mendapatkan banyak tekanan dari keluargaku dan ekonomi kami yang buruk.Aku duduk di sofa putih menghadap jendela kaca yang tertutup tirai putih. Cahaya matahari membuat ruangan ini tidak gelap. Ya, aku sengaja mematikan semua lampu di rumah ini. Agar aku tau jika Liam datang, biasanya dia akan menghidupkan lampu meski siang hari.Samira adalah wanita yang p
"Saya berjanji akan melakukan tugas saya sebagai pemimpin perusahaan dengan baik. Berkontribusi meningkatkan perekonomian perusahaan." Liam mengakhiri pidatonya lalu tersenyum kecil.Nama Liam Kavindra menjadi pembicaraan di manapun. Bahkan sebuah tabloid membuat artikel tentang rumah tangganya juga."Maaf Pak ada artikel yang mengatakan anda telah menikah dengan wanita selingkuhan anda. Apa komentar bapak atas artikel itu?""Pak Liam...""Pak Liam..."Liam tetap berjalan meninggalkan pers dan mengacuhkan pertanyaan wartawan itu.Hari ini adalah hari kemenangan bagi Liam setelah membuat Rayhard turun tahta. Dia sudah menunggu bertahun-tahun untuk menerima kemenangan ini.Salah siapa Rayhard telah menghancurkan hidupnya dulu dengan perselingkuhan yang dilakukannya dengan Diva. Sekarang perusahaan ini menjadi miliknya.Liam masih ingat Rayhard menghina Diva dengan sebutan penggoda pria kaya. Setahun lalu Liam pernah melihat Rayhard sedang makan di restoran mewah bersama wanita muda. Dan
Pagi hari Liam membantu Samira memindahkan barang ke apartemen yang baru ia beli. Lokasinya sangat dekat dengan apartemen miliknya. Dan apartemen itu kelihatan lebih mewah dari pada yang ditempati Diva. Tentu saja hal itu membuat Samira sangat senang, balas dendamnya tercapai. Jika Diva tahu pasti wanita itu akan sakit hati dan menderita.Samira ingin sekali memberitahu Diva tentang ayah anak yang ia kandung. Seharian ini Liam menghabiskan waktunya bersama Samira di apartemen mewah itu, bahkan ia tidak mengangkat panggilan dari Diva."Kamu anterin aku ya belanja kebutuhan bayi." Kata Samira yang sedang menikmati makan siangnya."Kamu kan tau Sa, di luar banyak orang. Apa kata mereka kalau saya jalan sama kamu beli peralatan bayi." "Peduli apa kata orang? Kalau kamu takut, untuk apa memindahkan aku ke apartemen ini? Hanya beberapa langkah dari tempat kamu."Liam meminum air putihnya di gelas, tanda makannya telah selesai. "Saya hanya berjaga-jaga dengan keselamatan kamu. Kalau kamu