"Saudari Samira Basagita, silahkan masuk." Seorang wanita di dampingi pria berjas hitam rapih masuk untuk melakukan pemeriksaan setelah menunggu dua puluh menit lamanya.
Diva yang mematung dari kejauhan langsung berjalan ke arah pintu yang telah tertutup itu. Membaca tulisan di depan pintu 'Dokter spesialis kandungan' wajahnya yang cantik berubah 180 derajat kaget, sedih, bercampur aduk membuatnya hancur.
Tadi pagi Diva langsung mengikuti Liam dengan taxi, bersamaan dengan kedatangan Liam, Samira muncul di rumah sakit itu membuat Diva menunggu apa yang sedang kedua orang itu lakukan di rumah sakit. Kecurigaannya ternyata benar, Samira hamil. Tapi Diva tidak bisa membuktikan itu, ia harus masuk dan langsung menanyakan pada mereka yang sudah tertangkap basah. Tapi Diva tidak cukup keberanian untuk masuk menemui Liam.
"Maaf Mbak, itu yang tadi masuk pasangan suami-istri?" Tanya Diva kepada wanita yang tadi memanggil Samira.
"Maksudnya Bu Samira,
POV : Diva"Diva?" Suara Liam terdengar di belakangku, dia sedang memasuki dapur melihatku yang duduk di ruang makan dengan dahi berkerut, "Apa kamu sakit? Akhir-akhir ini kamu banyak melamun, sayang?"Liam membuat sendiri kopi pahitnya lalu duduk di depanku membawa secangkir kopi. Aku menyerup tehku yang sudah dingin. Sudah hampir dua jam aku duduk di sini dengan pikiran campur aduk."Aku gak apa-apa. Bagaimana dengan pekerjaanmu apa semua berjalan lancar?" Tanyaku."Proyek yang kemarin ada masalah dengan investor? Oh, itu Mas Ray nyuruh saya mengambil alih dan menyelesaikannya." Jawab Liam lalu menyerup kopinya, "Sebenarnya saya gak mau menerima itu, mas Ray itu hanya baik kalau ada maunya aja." Tambahnya mendumel.Aku memperhatikan wajahnya yang datar tanpa eksepresi. Entah mengapa aku terus dibayangi rasa takut kehilangan karena kata-kata Nara. Aku butuh mendengar kebenaran dari mulut Liam."Kamu sama Samira kembali dekat kan
"Saya akan bicara dengan mas Ray tentang kamu berhenti bekerja." Ujarnya. Beberapa saat kemudian ponselnya berdering, sedetik kami saling berpandangan. Liam tampak terkejut dan gugup setelah melihat layar ponselnya. Siapa yang menelponnya?"Kenapa gak diangkat?""O-oh." Suaranya pelan, "orang yang gak penting," jawabnya. Suara ponsel masih berdering dan sikap Liam semakin gugup. Dia seperti menutupi sesuatu."Angkat mungkin itu penting."Akhirnya dia mengangkat panggilan itu, setelah itu Liam mengambil langkah menjauh dariku. Dia tidak ingin aku mendengar pembicaraan mereka.Itu pasti dari Samira. Mungkin ada keluhan dengan kandungannya dan orang yang Samira telepon adalah Liam. Setelah Liam selesai dengan panggilannya, wajah Liam menjadi berubah. Dia terlihat shock dan serba salah menatapku. Kenapa? Apa tebakanku benar, yang menelpon adalah Samira?"Ada panggilan mendesak saya harus pergi."Kamu kan tahu Liam, aku tidak bisa hidup ta
"Diva?" Seseorang menyapanya, "maaf aku telat."Diva tersenyum, setelah dia amati wajah Bram ternyata tampan juga. Patutlah Samira ingin bertunangan dengan Bram."Gak apa kok, lagian kalau gak macet bukan Jakarta, bukan?" Jawab Diva dengan elegan. Seberat apa pun yang dia jalani Diva tidak mau orang lain merasa kasihan dengan keadaannya.Saatnya seseorang mengungkapkan kebenaran pada Diva dan menunjukkan kenyataan yang pahit itu padanya. Bram tahu hubungannya dengan Samira telah berakhir, maka dia tidak ada hak untuk ikut campur dalam permasalahan ini.Diva sengaja telah memesan minuman untuk Liam sebelum pria itu datang. Ia mulai mengaduk gula ke dalam tehnya. Bram bisa melihat tangan Diva gemetar memegang sebatang sendok."Aku ingin menanyakan hubungan kamu dengan Samira, Bram? Kapan kalian akan menggelar pesta?" Teramat berat suara Diva bertanya. Sulit baginya membicarakan urusan rumah tangga kepada orang luar. Dan Bram termasu
POV : DivaIris mataku menangkap sosok Samira berjalan ke arah toko pakaian anak. Setelah pulang dari rumah Renata aku memutuskan menghabiskan waktuku di pusat perbelanjaan mencuci mata. Tidak kusangka aku bertemu wanita itu di sini. Kakiku melangkah di belakangnya untuk melihat apa yang ia lakukan di toko pakaian anak.Kulihat dia sedang memilah pakaian mungil seraya tersenyum, sakit. Rasanya hatiku terasa seperti tertusuk pisau berulang kali.Dia akan menjadi seorang ibu. Ada sedikit keirian saat tahu kenyataan itu. Dan mengapa harus Liam ayah anak itu. Aku benci dengan kenyataan ini.Karena penasaran aku mengikuti Samira di belakang tanpa ia ketahui. Dia berpindah-pindah tempat dari stand pakaian bayi hingga ke tempat perlengkapan bayi. Bukankah terlalu cepat jika membelinya sekarang? Melihat perut Samira belum terlihat besar.Sampai kapan aku harus mengikuti dia? Lebih baik aku menyapanya, dan mengorek informasi."Bu, lagi be
Yang kutakutkan Liam akan meninggalkan aku seperti dia meninggalkan Samira. Karena jelas sebenarnya yang diinginkan Liam dan keluarganya adalah keturunan.Aku mendengar sendiri ibu mertuaku menanyakan kondisiku kepada Liam, lewat telepon. Liam tidak menuntut padaku, dia juga memberikan pengertian kepada ibunya, tapi wajah tampan yang terlihat tenang itu ternyata pria yang sama sekali tidak punya hati.Aku mencintai suamiku, itu tidak bisa kupungkiri. Aku bahagia mempunyai Liam sebagai suamiku, meskipun dia punya masa lalu dengan wanita lain. Kebutuhanku dipenuhi seperti yang ia lakukan pada Samira. Uang bulanan. Semua yang aku minta dia penuhi.Tapi sekarang aku sadar, Liam menghianati Samira karena kecewa belum mempunyai keturunan. Dan sekarang apakah hal itu juga terjadi padaku."Mama nanya apa lagi tadi? Aku denger kamu telponan dengan mama," aku bertanya setelah naik ke atas tempat tidur. "Pasti soal a
"Apa yang kamu lakukan di sini?" Ucap seorang laki-laki tua dengan dahi berkerut melihat Diva duduk di sofa yang berada di ruang tamu."Kemana lagi aku harus pulang?" Diva bertanya balik kepada ayahnya. Seperdetik kemudian wajah pria itu terlihat sendu dan muram. Sepertinya dia mempunyai firasat jelek pada anaknya."Kenapa datang sendiri? Dimana suami sombongmu itu?""Aku datang sendiri, Liam sedang sibuk," ucap Diva datar."Melihat wajahmu seperti itu, biar papa tebak. Dia mempunyai wanita lain, benarkan?" Suara pria itu gemetar, dia menyembunyikan tangannya yang mengepal di dalam saku."Sesama pria pecinta wanita kalian memang sangat peka.""Diva, jaga bicaramu--""Aku ingin menanyakan, bagaimana perasaan Papa saat meninggalkan mama untuk wanita lain? Apakah sedikit saja ada niat Papa kembali kepada mama dan aku?" Tanya Diva menatapnya lurus dengan ekspresi tak terbaca."Bagaimana perasaan Papa melihat mama sekarat di r
Pagi ini Diva kembali pada ritual setiap paginya sebelum dulu ia bekerja. Pergi ke pasar tradisional, belanja kebutuhan dapur dan juga kue-kue yang di jual pasar. Diva pulang membawa plastik yang berisi sayuran, buah-buahan, dan beberapa butir telur.Ia menyusun belanjaannya ke dalam kulkas setelah itu terdiam sejenak memandangi isi kulkasnya yang sudah penuh, tersenyum sendiri.Setelah selesai memasak, Diva menyibukkan diri membersihkan rumah. Menyapu, mengepel, dan menyingkirkan barang-barang yang tidak terpakai ke gudang.Pukul 12 lewat pekerjaan rumahnya selesai semua, ia duduk di bangku ruang makan menikmati makan siangnya seorang diri. Pagi tadi ia melewatkan sarapan makanya Diva sangat lahap menyantap makan siangnya. Sambil meneguk susu hangatnya, ia memandang ponselnya yang tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Mengapa rasa sepi itu terasa begitu kuat, padahal ia sudah meyakinkan bahwa dirinya tidak akan kesepian.Tiba-tiba dari pintu tam
POV : DivaAku masih tidak percaya Papa telah pergi meninggalkan aku. Kenapa bukan aku saja yang pergi, kenapa aku ditinggalkan lagi? Maaf Pah, jika perkataanku banyak menyakitimu."Bagaimana perasaanmu?" Tanya Renata sambil mengelus bahuku lembut. Kami duduk di bangku panjang di tengah-tengah mobil yang berparkir."Aku--aku gak punya siapa-siapa lagi, Re. Papa sudah pergi dan sebentar lagi Liam akan kembali dengan Samira." Ucapku. Kudengar helaan nafas Renata pelan."Jangan berpikir semua akan meninggalkanmu, Va. Bahkan kalaupun kamu bercerai, kamu gak sendiri," ujarnya memandang wajahku. Dia memakai baju serba hitam dan syal hitam yang melilit di lehernya. Mengingatkanku bahwa kami memang sedang berkabung. Ini bukan mimpi.Aku sendiri, ya... Aku sebatang kara.Kalau saja ceritanya lain, aku sangat yakin anak dalam kandungan Samira adalah anak Liam. Dan mereka sedang sibuk mempersiapkan masa depan untuk anak mereka. Liam juga memikirkan mas
Diva PoVTiga hari. Sudah tiga hari aku memata-matai apartemen Samira untuk mengetahui apakah Liam di sana. Apa saja yang mereka lakukan? Aku bodoh, harusnya aku mendobrak pintu rumahnya dan mencari suamiku. Aku benar-benar akan gila!! Hatiku terasa tidak pernah tenang setelah tahu semua kebenaran itu. Walau aku masih berstatus istri Liam, tetapi hati dan pikiran Liam sekarang hanya untuk Samira dan juga anaknya. Beberapa kali aku melihat tetangga berbisik-bisik sambil melihatku dengan wajah sinis, tapi ada juga yang bersimpati padaku. Entah apa yang mereka pikirkan.Liam, apa kamu tahu kondisi lingkungan kita sekarang? Semua orang tengah bergosip tentang kita dan Samira. Nanti, setelah sembilan bulan anaknya lahir. Apakah kamu akan menjadi sosok ayah yang akan selalu berada di sampingnya ?Tuhan, hatiku hancur membayangkan itu."Diva." Suara di belakang membuatku kaget, saat aku menoleh wanita itu tersenyum. Tetangga lantai atas. Kami sering berpapasan di lift. "Wajahmu pucat sekali
POV: DivaWaktu masih kecil aku tidak punya alasan untuk merenungi kehidupanku yang tidak mempunyai saudara kandung. Aku anak tunggal yang tidak kekurangan kasih sayang ibu dan ayahku.Tetapi semua berbeda ketika Ayahku berselingkuh dan ibuku menjadi depresi. Aku tidak punya siapa pun untuk diajak berbagi.Setelah kepergian ibuku, tidak ada siapapun yang memperingatkanku tentang pesta dan laki-laki, hingga aku kehilangan arah. Sampai aku bertemu si tampan Liam dan ternyata dia sudah mempunyai istri. Segala terjadi begitu cepat---akhirnya aku dan Liam menikah. Tapi aku belum juga hamil."Aku membencimu, Liam," ucapku, sambil berusaha membuat suaraku tidak gemetar. "Kamu pria brengsek yang pernah aku temui.""Tenang, Diva." Jawab Liam mendekat. "Kasih aku kesempatan untuk memperbaiki keadaan kita.""Gak. Kamu mempermainkan aku!" Teriakku melemparnya dengan bantal di atas ranjang. Kamar ini menjadi ruang neraka yang kutinggali.Kamar ini tempat kami saling berbagi cerita dan perasaan, t
POV : Diva"Kalian lucu sekali. Diva hanya mempertanyakan apa yang menjadi hakknya."Tangan Rayhard yang sedang memegang sendok dan hampir memasukkan makanan ke mulutnya berhenti. Lalu ia menatapku. Kakak Liam itu belum pernah membelaku, yang aku tahu dia membenciku. Wajah marah ibu mertuaku terpampang di sana. Mereka semua terlihat tidak nafsu lagi menikmati makanan, kecuali Samira."Bilang saja kamu iri dengan Samira, kan? Kamu belum bisa hamil anak Liam sedangkan Samira telah mengandung." Ucap Ibu mertuaku penuh kedengkian. "Maaf Mam, aku sama sekali gak iri. Dan lagi, Liam ini suamiku. Jelas aku gak terima dia hamil anak Liam." Aku memberanikan diri menatap mata wanita tua itu. Bisa-bisanya dia bilang aku iri. "Sudahlah Diva, kamu jangan menyudutkan Samira terus. Kasihan kan anak di perutnya." Ucapnya lagi, aku tidak mengerti bagaimana jalan pikiran ibu mertua hingga terus membela Samira. "Jawab pertanyaan Diva, Liam. Tunjukkan kalau kamu laki-laki." Terdengar suara Rayhard pe
Di sebuah rumah besar mewah, terdapat seorang wanita yang sedang berjalan tergesa-gesa sambil menenteng dua kresek plastik hitam berisi belanjaan. Terdengar suara gelak tawa di ruang tengah. Seorang pelayan hanya melewati wanita itu tanpa berniat membantunya mengambil dua plastik besar itu dari tangannya."Kenapa kamu lama sekali belanjanya? Kamu kan tahu ini jam makan malam dan semua belanjaan yang kamu beli akan dimasak sekarang," ucap seorang wanita tua memarahinya. Ia meletakkan belanjaannya di atas meja bersiap untuk membereskannya. "Maaf Mam, jalanan tadi macet.""Astaga. Apa yang kamu katakan? Aku tadi menelponmu menjelang sore. Apa sejauh itu mall dari rumahmu hingga berjam-jam kamu menghabiskan waktu?""Maafkan aku, Mam." Ucap wanita yang berkuncir kuda itu. "Aku akan memasak SOP buntut spesial untuk makan malam nanti.""Sop buntut katamu? Kami lihat jam, kamu pikir perut kami masih bisa menunggu masakan kamu itu?" Cecarnya. "Kalau kamu gak ada niat masak untuk makan malam
POV DivaBerhari-hari aku menghabiskan waktuku di kamar sambil memegang ponselku. Menunggu Liam mengabariku, aku masih berharap dia menanyakan keadaanku.Ya, penantian yang tidak ada ujungnya dan terlalu berharap akan membawa seseorang menuju keterpurukan. Begitu saja tanganku membanting ponsel yang tidak pernah kulepaskan dari tadi."Kamu lebih memilih Samira daripada aku istrimu, Liam!""Dia yang mulai perkara denganku, tapi kamu memihak dia?" Dia membuatku kesal. Aku tidak tahu harus bagaimana.Samira, aku benar-benar tersentuh dengan semua caramu menghancurkan hidupku. Aku tidak menyangka kita akan sejauh ini. Aku pikir semua telah berakhir dan Liam menjadi milikku seutuhnya. Tapi, apa yang kamu lakukan? Kamu membuat Liam kembali sukses. Kamu mengacak-acak rumah tanggaku dan mengandung anak Liam.Apa yang harus aku lakukan?Liam, aku ingin kita kembali seperti dulu. Aku ingin kita tetap bersama sebagai pasangan suami-istri. Apakah takdir kita hanya sampai di sini. Katakan padaku b
POV : DivaAku sempat terpaku melihat wanita bergaun kimono masuk ke dalam lift yang sama denganku. Wanita jalang yang sedang mencoba menghancurkan pernikahanku sekarang berada di ruang yang sama denganku. Dia memakai gaun kimono yang aku tebak untuk menutupi perutnya yang mulai buncit."Kenapa kaget? Kamu kira kawasan apartemen ini milik pribadimu. Dasar bodoh." Cemoohnya padaku. Aku memperbaiki raut wajahku agar terlihat tetap tenang. "Siapa yang bodoh?" Aku menggelengkan kepalaky. "Kamu tinggal di sini? Bukankah itu berarti kita akan sering bertemu dan kamu akan melihat aku dan suamiku yang sering bergandengan tangan di kawasan ini."Aku melihat dia menekan tombol satu lantai di atasku. Seketika aku sadar melihat senyum tipisnya. Dia memang sengaja tinggal di sini."Seseorang membelikanku apartemen di sini. Tentu saja aku gak akan menolaknya. Benar, kan?" Dia seperti menikmati wajah tegangku. Jangan bilang Liam yang membeli apartemen di atas untuk Samira. Aku harus sabar dan jang
POV: DivaSelama beberapa hari aku merasa gelisah. Liam belum pernah pulang setelah berita pria itu di semua media. Apakah sekarang Liam telah tinggal bersama Samira? Banyak pertanyaan di kepalaku.Jika terjadi sesuatu pada pernikahanku, aku juga akan kehilangan semangat hidupku lagi. Aku tidak mengira Samira akan kembali pada kehidupan Liam.Jadi selama ini Samira hanya berpura-pura menjauh dari Liam, tapi kenyataannya wanita sialan itu sedang berputar-putar disekeliling suamiku. Dia hanya sedang mempermainkan waktu untuk menghancurkan hidupku perlahan-lahan. Dan keluarga Liam membantunya.Mereka tau semenjak Liam bersamaku, dia mendapatkan banyak tekanan dari keluargaku dan ekonomi kami yang buruk.Aku duduk di sofa putih menghadap jendela kaca yang tertutup tirai putih. Cahaya matahari membuat ruangan ini tidak gelap. Ya, aku sengaja mematikan semua lampu di rumah ini. Agar aku tau jika Liam datang, biasanya dia akan menghidupkan lampu meski siang hari.Samira adalah wanita yang p
"Saya berjanji akan melakukan tugas saya sebagai pemimpin perusahaan dengan baik. Berkontribusi meningkatkan perekonomian perusahaan." Liam mengakhiri pidatonya lalu tersenyum kecil.Nama Liam Kavindra menjadi pembicaraan di manapun. Bahkan sebuah tabloid membuat artikel tentang rumah tangganya juga."Maaf Pak ada artikel yang mengatakan anda telah menikah dengan wanita selingkuhan anda. Apa komentar bapak atas artikel itu?""Pak Liam...""Pak Liam..."Liam tetap berjalan meninggalkan pers dan mengacuhkan pertanyaan wartawan itu.Hari ini adalah hari kemenangan bagi Liam setelah membuat Rayhard turun tahta. Dia sudah menunggu bertahun-tahun untuk menerima kemenangan ini.Salah siapa Rayhard telah menghancurkan hidupnya dulu dengan perselingkuhan yang dilakukannya dengan Diva. Sekarang perusahaan ini menjadi miliknya.Liam masih ingat Rayhard menghina Diva dengan sebutan penggoda pria kaya. Setahun lalu Liam pernah melihat Rayhard sedang makan di restoran mewah bersama wanita muda. Dan
Pagi hari Liam membantu Samira memindahkan barang ke apartemen yang baru ia beli. Lokasinya sangat dekat dengan apartemen miliknya. Dan apartemen itu kelihatan lebih mewah dari pada yang ditempati Diva. Tentu saja hal itu membuat Samira sangat senang, balas dendamnya tercapai. Jika Diva tahu pasti wanita itu akan sakit hati dan menderita.Samira ingin sekali memberitahu Diva tentang ayah anak yang ia kandung. Seharian ini Liam menghabiskan waktunya bersama Samira di apartemen mewah itu, bahkan ia tidak mengangkat panggilan dari Diva."Kamu anterin aku ya belanja kebutuhan bayi." Kata Samira yang sedang menikmati makan siangnya."Kamu kan tau Sa, di luar banyak orang. Apa kata mereka kalau saya jalan sama kamu beli peralatan bayi." "Peduli apa kata orang? Kalau kamu takut, untuk apa memindahkan aku ke apartemen ini? Hanya beberapa langkah dari tempat kamu."Liam meminum air putihnya di gelas, tanda makannya telah selesai. "Saya hanya berjaga-jaga dengan keselamatan kamu. Kalau kamu