Yang kutakutkan Liam akan meninggalkan aku seperti dia meninggalkan Samira. Karena jelas sebenarnya yang diinginkan Liam dan keluarganya adalah keturunan.
Aku mendengar sendiri ibu mertuaku menanyakan kondisiku kepada Liam, lewat telepon. Liam tidak menuntut padaku, dia juga memberikan pengertian kepada ibunya, tapi wajah tampan yang terlihat tenang itu ternyata pria yang sama sekali tidak punya hati.
Aku mencintai suamiku, itu tidak bisa kupungkiri. Aku bahagia mempunyai Liam sebagai suamiku, meskipun dia punya masa lalu dengan wanita lain. Kebutuhanku dipenuhi seperti yang ia lakukan pada Samira. Uang bulanan. Semua yang aku minta dia penuhi.
Tapi sekarang aku sadar, Liam menghianati Samira karena kecewa belum mempunyai keturunan. Dan sekarang apakah hal itu juga terjadi padaku.
"Mama nanya apa lagi tadi? Aku denger kamu telponan dengan mama," aku bertanya setelah naik ke atas tempat tidur. "Pasti soal a
"Apa yang kamu lakukan di sini?" Ucap seorang laki-laki tua dengan dahi berkerut melihat Diva duduk di sofa yang berada di ruang tamu."Kemana lagi aku harus pulang?" Diva bertanya balik kepada ayahnya. Seperdetik kemudian wajah pria itu terlihat sendu dan muram. Sepertinya dia mempunyai firasat jelek pada anaknya."Kenapa datang sendiri? Dimana suami sombongmu itu?""Aku datang sendiri, Liam sedang sibuk," ucap Diva datar."Melihat wajahmu seperti itu, biar papa tebak. Dia mempunyai wanita lain, benarkan?" Suara pria itu gemetar, dia menyembunyikan tangannya yang mengepal di dalam saku."Sesama pria pecinta wanita kalian memang sangat peka.""Diva, jaga bicaramu--""Aku ingin menanyakan, bagaimana perasaan Papa saat meninggalkan mama untuk wanita lain? Apakah sedikit saja ada niat Papa kembali kepada mama dan aku?" Tanya Diva menatapnya lurus dengan ekspresi tak terbaca."Bagaimana perasaan Papa melihat mama sekarat di r
Pagi ini Diva kembali pada ritual setiap paginya sebelum dulu ia bekerja. Pergi ke pasar tradisional, belanja kebutuhan dapur dan juga kue-kue yang di jual pasar. Diva pulang membawa plastik yang berisi sayuran, buah-buahan, dan beberapa butir telur.Ia menyusun belanjaannya ke dalam kulkas setelah itu terdiam sejenak memandangi isi kulkasnya yang sudah penuh, tersenyum sendiri.Setelah selesai memasak, Diva menyibukkan diri membersihkan rumah. Menyapu, mengepel, dan menyingkirkan barang-barang yang tidak terpakai ke gudang.Pukul 12 lewat pekerjaan rumahnya selesai semua, ia duduk di bangku ruang makan menikmati makan siangnya seorang diri. Pagi tadi ia melewatkan sarapan makanya Diva sangat lahap menyantap makan siangnya. Sambil meneguk susu hangatnya, ia memandang ponselnya yang tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Mengapa rasa sepi itu terasa begitu kuat, padahal ia sudah meyakinkan bahwa dirinya tidak akan kesepian.Tiba-tiba dari pintu tam
POV : DivaAku masih tidak percaya Papa telah pergi meninggalkan aku. Kenapa bukan aku saja yang pergi, kenapa aku ditinggalkan lagi? Maaf Pah, jika perkataanku banyak menyakitimu."Bagaimana perasaanmu?" Tanya Renata sambil mengelus bahuku lembut. Kami duduk di bangku panjang di tengah-tengah mobil yang berparkir."Aku--aku gak punya siapa-siapa lagi, Re. Papa sudah pergi dan sebentar lagi Liam akan kembali dengan Samira." Ucapku. Kudengar helaan nafas Renata pelan."Jangan berpikir semua akan meninggalkanmu, Va. Bahkan kalaupun kamu bercerai, kamu gak sendiri," ujarnya memandang wajahku. Dia memakai baju serba hitam dan syal hitam yang melilit di lehernya. Mengingatkanku bahwa kami memang sedang berkabung. Ini bukan mimpi.Aku sendiri, ya... Aku sebatang kara.Kalau saja ceritanya lain, aku sangat yakin anak dalam kandungan Samira adalah anak Liam. Dan mereka sedang sibuk mempersiapkan masa depan untuk anak mereka. Liam juga memikirkan mas
Liam mengerang mendengar jawaban dan suara perempuan berkata, "Liam? Kamu denger gak aku bicara apa? Hari ini kamu harus anter aku cek up."Liam menghela nafas dan perlahan menarik diri dari tempat duduknya untuk menghadap jendela."Gak harus hari ini, kan?""Hari ini jadwalnya." Jawab diseberang.Dia menarik nafas. Mata hitamnya tertunduk, sedang berpikir. Lalu ia berkata lagi, "Saya harus nemenin istri saya sekarang. Dia masih berduka. Tolong kamu mengerti keadaan saya.""Menurutku dia harus diberitahu. Dia harus tau kamu sekarang adalah seorang calon ayah!""Samira--""Kamu jangan ngulur-ngulur waktu. Aku yakin dia sudah curiga sewaktu dia mengikuti kamu ke rumah sakit siang itu." Ucap Samira, Liam terdiam, "kamu pikir dia bodoh?""Saya minta maaf, Sa. Mungkin saya terlihat kejam sama kamu, tapi saya benar-benar gak mau diganggu hari ini. Saya harus jaga perasaan Diva, dia istri saya. Saya tau kamu orang seperti apa, S
"Aku bilang, aku akan membawa anak ini ke luar negeri. Kamu gak akan bisa bertemu dengan anakmu! Puas! Sekarang kamu pergi dari sini!""Keluar!"Samira kehilangan kesabaran. Ia merasa lebih dipermainkan dengan sikap Liam yang tidak memikirkan perasaannya.Liam masih berdiri tepat di depan jendela yang terbuat dari kaca itu. Ia menarik nafas kasar, geram mendengar ancaman Samira."Kamu memang wanita gak punya perasaan." Liam bersuara pelan dan tajam."Aku belajar darimu. Kalau kamu datang ke sini untuk mengatakan omong kosong itu! Lebih baik pergi dari sini dan lupakan bayi dalam perutku.""Ini bukan semudah itu, Samira. Tapi ada hati Diva yang akan tersakiti."Liam menatap intens pada Samira yang tengah mengambil vas bunga lalu melemparnya ke arah Liam. Untuk pria itu dengan sigap menghindar dengan cepat."Tolong jangan jauhkan saya dari anak saya. Dia keturunan saya."Samira mendelik sejenak pada Liam, lalu kembali meng
BabJalan itu terasa licin pada kakinya yang memakai sendal jepit, tapi Diva berhasil menahan kakinya tepat di mobil Liam yang terparkir di depan gedung apartemen. Segera matanya menelusuri keadaan di gedung berlantai dua itu. Dia berharap tidak melihat sesuatu yang menyakiti hatinya.Diva yakin dengan apa yang dia lakukan sekarang ini. Jika ia menemukan Liam bersama Samira sedang membahas tentang hal pribadi mereka, ia akan menghampiri mereka dan bicara kepada Liam akan menerima anak mereka.Walaupun ia tidak ingin merawat anak dari Samira tapi Diva bukan tipe wanita yang membenci bayi kecil mungil yang tak berdosa.Akhirnya dari tempatnya berdiri ia bisa melihat Liam dan Samira sedang berdiri berhadapan, dan tampak Samira sedang mengamuk. Diva menunggu sampai beberapa menit, memberikan waktu mereka bicara setelah itu Diva berniat untuk mendatangi mereka.Diva mendongak. Di balik jendela kaca itu, dia bisa melihat dengan je
POV Diva"Jam berapa pulang semalam?" tanyaku melihat Liam baru saja turun dari tangga. Ia duduk dengan santainya di ruang makan, seakan kelakuan bajingannya semalam bukanlah dosa. "Mukanya kelihatan sumringah. Apa terjadi sesuatu?" Tanyaku.Aku mencengkram kuat cangkir kopi, berusaha melawan rasa marah dan sakit hati di dalam hatiku. Aku melihat Liam yang duduk di depanku dengan wajah sumringah.Aku memberikan kopi di depannya dan roti bakar kepadanya dengan wajah seperti biasa. Aku sudah malas mendengar alasannya, tapi aku ingin tahu apa yang akan ia katakan."Subuh. Aku begadang di rumah Mas Ray karena mengerjakan proyek yang baru kami terima. Banyak hal yang harus kami bicarakan." Dia bicara tanpa melihat wajahku. Aku mengembangkan senyuman.Proyek? Apakah kalian berencana menambah anak setelah anak itu lahir? Dasar pembohong! Penghianat! Cabul!Aku mengangguk menanggapi ucapan pembohong ini. "Apa mbak Viona gak
POV DivaAku memandang wajahku di kaca meja rias. Mataku memerah karena kurang tidur. Terbayang olehku wajah Samira, dia berusia lebih tua dariku tapi wajahnya terawat dan sangat cantik. Aku mendengar dari Nara wanita itu sering melakukan perawatan mahal di klinik kecantikan.Dia wanita kompleks super berbahaya. Perfeksionis dan anggun.Aku memutuskan untuk pergi ke pusat perbelanjaan membeli keperluan wajahku, banyak skincare yang bagus tanpa harus ke klinik kecantikan. Aku menggunakan mobilku yang baru dibelikaan Liam."Diva!" Aku mendengar suara seorang pria memanggilku, aku kenal suara itu. Kakiku melangkah cepat untuk menghindar darinya. "Diva!""Oh, Bram. Apa kabar? Aku kira siapa yang manggil." Aku tersenyum, seharusnya aku tidak bertemu dia."Kamu menghindar dariku? Kamu gak bales chat dan gak angkat telepon dariku.""Kamu tahu kan? Kita gak harus ketemu, karena kamu akan membahas hal yang g