Selama beberapa saat, di dalam kamar hotel begitu sunyi, yang terdengar hanya suara gemerisik plastik yang terlumat dalam genggaman Howard. Pria itu menggigit pinggir burger jumbo dengan rakus. Mengambil posisi duduk tepat di samping Deu, sehingga bentuk kasur semakin tenggelam mengikuti bobot tubuhnya yang menekan.“Kau tidak mau?” tanya Howard seraya mendekatkan irisan daging bulat dan tumpukan sayur yang ditutup oleh roti setelah digoreng dengan mentega. Howard mengunyah lahap. Sementara iris gelap itu menatap tanpa selera.“Aku sudah kenyang.”“Kenyang dari mana? Aku tak melihatmu makan dari tadi,” timpal Howard jengkel. Dia menegakkan wajah sekadar mengamati lawan bicaranya lekat – lekat. Ekspresi dingin tak tersentuh rasanya ingin Howard serang dengan satu pukulan mentah. Howard menuding diliputi sorot mata menuntut jawaban.“Aku kenyang melihatmu makan. Kau menjijikkan, menyingkirlah!”Suara decakan bibir, dan gigitan basah di antara isian roti bertingkat
Tujuh jam yang melelahkan. Harger melirik ke sekitar lapangan kosong di mana beberapa mobil berjejer di sana. Ada semacam golakan mencurigakan yang akhirnya membuat dia meragukan kenyataan yang menyergap ke dalam dirinya. Ini terlalu dibuat dengan pengaturan.Jika memang sang hakim, tidak mungkin ada sekelompok orang melakukan penjagaan ketat. Setidaknya Harger cukup mengerti kalau – kalau Deu tidak akan pernah melibatkan banyak orang terhadap kasus antara mereka. Hanya berdua. Bukan dengan cara seperti ini, yang akan digunakan sang hakim sekadar menjerat Harger kembali setelah, andai, pria itu telah menyadari kesalahannya.“Apa mungkin itu mobil – mobil orang yang mencarimu?”Wajah Harger berpaling ke samping ketika Charlene bersuara. Charlene melonggok, berusaha mencari tahu lebih jelas tentang apa yang terjadi. Biasanya anak – anak akan bermain bebas di halaman, tetapi, kali ini, tidak banyak yang terlihat.“Sebaiknya kita turun.”Harger belum mengatakan apa pun, kemudian Charlene
“Dor ... dor ... dor ...!”Irama tiruan demikian jelas berasal dari seorang pria dewasa. Vokal suara, bentuk penekanan, dan hampir semuanya, mengatakan itu secara gamblang. Harger merasa nyaris terbodohi dengan apa yang dia lihat. Permainan tembak di hadapannya terangkai absurd. Beberapa anak laki – laki membentuk sebuah formasi melawan satu pria bertubuh jangkung, pria besar yang antusias, bersikap seperti seorang anak kecil bersemayam di tubuh tersebut. Tampan. Harger akui pria yang masih menunjukkan perangai tembak – menembak terlihat cukup rupawan. Sayangnya dia tak memasukkan seluruh prospek menyedihkan ke dalam hal tersebut. Berdiri di samping Direktur Oscar sudah cukup menyekat Harger untuk tak berdaya. Sorot matanya tak pernah berpindah. Terpaku begitu lamat memikirkan sesuatu yang akan membuatnya hilang. Mengapa dia harus terjebak dalam keadaan seperti ini? Atau tidak bisakah Direktur Oscar mencari seseorang yang lebih pantas daripada dirinya yang hanya seorang; bi
Pintu kamar berdebum kasar. Sedikit demi sedikit tubuh Harger merambat luruh teronggok di atas lantai. Dia memeluk kaki yang menekuk. Menenggelamkan wajah di antara lipatan lengan. Berusaha tidak terisak, tetapi kontrol emosinya terasa begitu buruk. Deu ada di sini. Beberapa perbedaan terungkap dalam diri sang hakim. Pria itu terlihat lebih membatasi diri, semakin waspada, dan tidak menutup kemungkinan dari sorot matanya yang gelap sanggup melumpuhkan ketenangan Harger. Hampir terdengar mustahil bahwa Harger sebenarnya ingin, ntah untuk alasan seperti apa, memeluk sang hakim. Merasakan kehadiran itu secara langsung. Menghirup aroma tubuh yang berusaha menenangkan. Mengambil sedikit sentuhan dari lengan yang kekar. Merasakan dekapan menghangatkan. Sayangnya nada ironi menyebar liar. Ego sedang melarang. Harger rasa dia telah mengambil keputusan tepat dengan menghindari pria seperti itu. Pria yang sembunyi – sembunyi memasang kamera pengintai. Pria yang memberinya banyak uang. Dan se
Jika kau mengusirnya; dia akan segera pergi.Harger pikir semudah itu. Ternyata dia salah menilai sang hakim. Selang dua jam Deu pergi, pria itu kembali membawa serta Howard dan beberapa karung besar kebutuhan anak – anak panti asuhan. Sebagian merupakan mainan; sementara sisanya berupa pakaian, alat tulis, dan bahan masakan mentah. Harger masih ingat saat sayup – sayup suara pria itu merambat hingga deru mobil yang berhenti di depan gedung panti asuhan, nyaris membuat jantungnya jatuh. Dia masih memberi Sofia suapan cemilan puding pepaya, dan secara terpaksa harus meninggalkan pekerjaannya demi bersembunyi di dalam kamar.Di sini Harger terdampar. Di satu ruang begitu hening, tetapi samar – samar suara dari luar berusaha menerobos. Harger berdiri di balik jendela kaca. Sengaja membiarkan tirai saling menutup supaya dia bisa mengamati apa yang dilakukan oleh seorang pria yang sedang dikerumuni anak – anak perempuan.Sang hakim tiba – tiba menjadi incaran daun muda.
Makan malam diakhiri dengan keheningan. Semua orang telah membubarkan diri, sementara Harger, dia memiliki keputusannya sendiri ketika mengumpulkan satu demi satu piring bekas yang ditumpuk bertingkat – tingkat untuk kemudian diangkut ke westafel.Dia sudah begitu siap, sebelum, tiba – tiba keberadaan tangan seseorang menghentikan kegiatannya, sehingga reaksi yang Harger tunjukkan nyaris membuat tumpukan piring tumpah, dan pria itu dengan cekatan menghentikan kemungkinan yang akan terjadi.“Biar aku saja.” Suara berat, seksi dan khas mulai mengambil andil. Setidaknya sang hakim masih di sini atas permintaan Charlene. Wanita itu tidak membiarkan tamu dari Italia ini meninggalkan panti asuhan tanpa terlibat bersama kegiatan makan malam. Beberapa waktu lalu saat mengetahui hal itu. Sejujurnya Harger merasa ingin protes, tetapi dia tidak bisa melakukan apa pun untuk membantah. Sikap keberatan yang dia tujukan hanya bisa dipendam. Sepanjang makan malam. Harger dan sang hakim duduk berha
Sayangnya, betapa pun Harger mencoba hilang di antara bayangan menyakitkan. Sesuatu dalam dirinya terus mendesak supaya dia terjaga. Nyaris tengah malam dan Harger masih, hanya menatap langit – langit kamar tidur setelah berulang kali mengubah posisi; menyamping, meringkuk, menelungkup, terakhir ... cukup lama telentang sambil – sambil memikirkan satu keinginan yang begitu tiba – tiba.Harger merasa ingin mengaliri sesuatu yang asam ke kerongkongan. Sesaat bibirnya menipis, menyadari sudah terlalu larut, sehingga memutuskan untuk berjuang melawan keinginan yang membludak. Tetapi semakin Harger berusaha keras. Kegersangan mengambil andil paling cepat.Rasa haus yang lain muncul. Menekan agar Harger segera melangkah menuju dapur. Dia mengerang, meregangkan tulang – tulang yang terasa remuk. Hati – hati bergeser, dan ranjang menderak pelan. Ujung kaki Harger menyentuh marmer dingin. Langkah pertama adalah membuka pintu kamar. Kemudian dia mengernyit, sedikit heran mendapati nya
Selangkah demi langkah kaki Harger berjinjit melewati beberapa ruang yang kembali menggurita demi menggapai jendela kaca. Jemarinya begitu pelan menyingkirkan tirai yang menjuntai. Mengintip di satu titik, di mana sang hakim duduk seorang diri di antara teras yang begitu dingin, dan menjadikan bahu pria itu sangat mendominasi di bawah siraman lampu.Setelah pembicaraan yang Harger tahu; saat hakim memintanya pergi; dia perlu mengalah untuk itu, memilih menyimpan gelas kembali ke dapur, kemudian berjalan ke arah kamar diliputi pikiran – pikiran bercabang.Mula – mula dia merasa itu keputusan yang baik. Namun, akhirnya dengan tekad penuh keberanian Harger mengambil tindakan meninggalkan kamar yang membuat perasaannya semakin menggila. Ntah mengapa tiba – tiba dia begitu ingin memastikan sang hakim.Dugaannya benar bahwa pria itu tidak kembali tidur. Tetapi sebentuk tubuh tinggi sang hakim menyisir dan membuka pintu utama, yang dengannya menarik Harger di sini. Di tempat dia berdiri, men