“Harger, bangun. Sudah pagi. Kemarin apa yang kau bilang? Latihan. Kita latihan ringan pagi ini.”Sayup – sayup suara berat sang hakim memberitahu Harger hal – hal mengusik. Dia merasa masih begitu ngantuk. Masih ingin tidur di atas ranjang, bergelut dengan selimut tebal, menggapai mimpi-nya yang terbuyarkan saat pelan – pelan kelopak matanya bergerak ragu, kemudian kembali menutup saat menyadari penampilan sang hakim begitu santai dengan kaos hitam polos membalut di tubuh.“Harger, cepat bangun dan siapkan dirimu.”Sekali lagi suara sang hakim menembus di pendengaran Harger. Dia mengerang malas, lalu membalikkan tubuh membelakangi pria yang akhirnya duduk di pinggir ranjang. Sentuhan ringan sang hakim di lengannya terasa begitu lembut. Harger bergerak untuk menyingkirkan telapak tangan yang terasa dingin membekukan.“Lima menit lagi,” ucap Harger sarat nada bicara serak. Dia tak mungkin beraktivitas dengan keadaan terkantuk – kantuk.“Kau sendiri bilang ingin aku jadi pelatihmu. Cepa
Akan tetapi rasa tidak sabar Harger telah membayar sesuatu yang membuatnya berpikir beberapa kali; harusnya dia benar – benar mengajak sang hakim terdampar di atas ranjang, alih – alih melakukan gerakan pemanasan dengan malas.Sekarang pria itu masih terus menghitung. Harger tidak bisa menghindari perintah yang dia terima. Sang hakim mendadak dalam penyamaran sebagai guru olahraga. Tiupan peluit akan membuat Harger kembali menegakkan tubuh. Mengerakkan seluruh tangan dan kaki dengan hitungan sekian kali sekian.Harger perlu menjaga keseimbangan saat dia mengangkat satu kaki, sementara sang hakim mulai menghitung dengan hitungan lamban. Ini masih terduga pemanasan statis. Tidak tahu jika nanti dia akan dituntut melakukan pemanasan dinamis.“Apa kita tidak bisa langsung memulai saja, Deu?” tanya Harger setengah mengaduh. Sang hakim begitu serius memastikan dirinya tidak melakukan sedikit kecurangan. Keseimbangan Harger nyaris hilang, tetapi, sekali lagi dia berpegangan pada satu kakiny
Bukan ide buruk memikirkan es krim sebagai makanan penutup. Harger merasa puas saat sang hakim tidak mengatakan apa pun sekadar menolak ajakan singgah di kedai es krim. Beberapa percakapan telah dilalui. Sekarang Harger duduk tidak jauh dari tempat bersantai; begitu banyak orang sedang mengantre, dan dia mendapat pilihan duduk di bawah pohon besar; menunggu sang hakim memesan satu es krim crone untuknya. Sesekali Harger akan melonggokkan wajah sekadar memastikan. Dia menemukan sang hakim sedang bicara langsung kepada penjaga kedai. Memesan dan bayar di tempat, itu sudah termasuk ke dalam kebutuhan toko. Sang hakim pula yang akan membawakan es krim secara langsung.Harger memindahkan perhatian ke sisi lain. Mungkin tidak akan terlalu lama. Dia mengayunkan kaki sambil – sambil menunduk menatap sepatu baru dari pria itu. Sepatu bagus dan nyaman di kaki, meski warna pink dengan campuran putih menurut Harger terlalu feminim untuknya yang terkadang pecicilan, terutama ketika hanya berdua b
Harger menahan erangan saat sang hakim menggerakkan pinggulnya; naik turun berayun dalam dekapan pria itu. Dada mereka saling bersentuhan diliputi iris mata saling memerangkap; menawarkan kehangatan dan cinta yang begitu besar. Apa yang bisa Harger katakan? Dia menyukai sang hakim, meski tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkan. Mendadak bibirnya lebih sering mengeluarkan suara mendesah, alih – alih membicarakan sesuatu secara serius.Harger segera menjatuhkan wajah di garis bahu sang hakim. Berpegangan erat. Menyesap kulit tubuh pria itu sebagai upaya merendam lenguhannya, sekaligus meninggalkan jejak kemerahan yang benar – benar membentuk satu bekas percintaan; sayang darinya.Napas Harger menggebu. Demikian hal yang sama ditunjukkan sang hakim. Tubuh mereka seolah telah disiram begitu banyak oleh air. Titik embun meleleh, membuat keduanya sama – sama licin. Sangat basah melebihi saat melakukan beberapa putaran di taman.Harger akhirnya mengangkat wajah untuk meraup pasokan uda
Selama berjam – jam berada di antara momen indah di Paris. Rasanya Harger tak akan pernah melupakan semua yang telah dilakukan bersama sang hakim di sini. Dia menatap lurus – lurus ke arah Menara Eiffel dengan kedua lengan terlipat di pagar balkon. Keheningan berselimut di antara embusan angin di langit malam; begitu sayup. Sulur – sulur nada itu terasa membelai kulit di pipinya.Sesekali Harger akan menatap ke layar ponsel. Menunggu sang hakim kembali dari luar setelah pria itu berpamitan pergi. Mereka baru saja menyelesaikan makan malam bersama. Tidak tahu apa yang akan sang hakim lakukan, atau berangkali urusan yang ntah seperti apa pentingnya; Harger belum sempat bertanya. Tetapi berusaha mengerti saat sang hakim terlihat diburu oleh sesuatu.Senyum Harger tipis mengamati tampilan baru dari ponsel di tangannya. Foto yang diambil beberapa saat lalu sudah berkamuflase sebagai tampilan yang cantik di layar kunci maupun wallpaper utuh.Kendati, Harger sedikit merasa bahwa dia perlu me
Saling mendekap di atas ranjang menjadi satu kebutuhan paling penting yang Harger anggap adalah peristiwa menyenangkan. Dia meletakkan lengan di dada liat sang hakim, kemudian dagu untuk bersangga di sana. Sambil menatap iris gelap yang sembunyi – sembunyi di bawah bulu mata hitam dan panjang, Harger mendadak menyimpan satu keinginan menunjukkan sesuatu kepada sang hakim. Sesuatu yang baru saja dia dapat. Akan sangat disayangkan jika tak berbagi bersama suaminya. Ini mungkin akan melibatkan nama Howard, tetapi dia merasa; berusaha mencoba bukanlah hal buruk.“Kau ingin lihat video pernikahan kita?” tanya Harger nyaris mendengar suaranya seperti sedang berbisik. Kernyitan sang hakim sangat dalam menanggapi satu pernyataan yang dimulai tanpa basa – basi.Jari tangan Harger cekatan mengulik ponsel di tangan. Tidak perlu menunggu sampai sang hakim menyetujui, dia langsung memperlihatkan sebuah rekaman berdurasi lumayan singkat dengan begitu fokus menangkap ekspresi wajah sang hakim.Pria
Teriakan para penonton riuh menumpas satu gerakan serius dari seorang pemain bisball yang memukul bola. Suara benturan keras merambat nyaring di udara. Harger terus mengamati si pemukul yang berusaha mencetak angka; berlari cepat ke arah base; menyentuh semua base secara berurutan untuk kembali ke home plate.Nyaris.Semua upaya itu nyaris berhasil digagalkan, tetapi tekad yang dimiliki sang pemain telah membawanya pada permainan yang sulit dikalahkan. Harger merasa puas ketika dia sengaja melirik sang hakim. Mereka berdua memilih dua tim berbeda. Wajah sang hakim begitu datar mendapati ... baru saja tim yang Harger jagokan telah mencetak angka.Ini permainan yang rumit. Harger membayangkan bagaimana jika dia yang sedang bertanding, menjadi pelempar maupun pemukul bola, atau saat dia harus berlari di lapangan yang berbentuk bujur sangkar. Mungkin akan membutuhkan begitu banyak butir – butir keringat bermunculan di keningnya.“Ingat, Yang Mulia ... jika tim pilihan-mu kalah. Kau harus
“Jangan banyak gerak, Yang Mulia! Aku tidak bisa fokus.”Harger berdecak beberapa kali menghadapi gerakan samar – samar yang dilakukan sang hakim. Setelah melewati pertimbangan absolut; dia yakin tidak apa – apa memanggil suaminya dengan sebutan terhormat itu. Mereka sedang berdua di kamar; sang hakim duduk mengenyakkan punggung di bawah kaki ranjang dengan wajah menengadah tinggi, menuruti semua perintah yang keluar dari bibir Harger. Sementara posisi Harger persis duduk membiarkan tubuh sang hakim terapit di antara kakinya.Kegiatan mereka kali ini nyaris hanya dilakukan sepihak. Sesaat lalu memang sulit memaksa sang hakim melakukan perawatan wajah. Akan tetapi Harger tak gentar. Dia telah bicara panjang; menyatakan semua perlengkapan yang dibeli di pusat pembelanjaan adalah selalu dengan satu tujuan utuh.Bubuk masker yang diambil dari salah satu rak hasilnya sudah terlumat menjadi adonan siap pakai. Dengan kuas di tangan, Harger berusaha memoles setiap bagian di wajah sang hakim,