Teriakan para penonton riuh menumpas satu gerakan serius dari seorang pemain bisball yang memukul bola. Suara benturan keras merambat nyaring di udara. Harger terus mengamati si pemukul yang berusaha mencetak angka; berlari cepat ke arah base; menyentuh semua base secara berurutan untuk kembali ke home plate.Nyaris.Semua upaya itu nyaris berhasil digagalkan, tetapi tekad yang dimiliki sang pemain telah membawanya pada permainan yang sulit dikalahkan. Harger merasa puas ketika dia sengaja melirik sang hakim. Mereka berdua memilih dua tim berbeda. Wajah sang hakim begitu datar mendapati ... baru saja tim yang Harger jagokan telah mencetak angka.Ini permainan yang rumit. Harger membayangkan bagaimana jika dia yang sedang bertanding, menjadi pelempar maupun pemukul bola, atau saat dia harus berlari di lapangan yang berbentuk bujur sangkar. Mungkin akan membutuhkan begitu banyak butir – butir keringat bermunculan di keningnya.“Ingat, Yang Mulia ... jika tim pilihan-mu kalah. Kau harus
“Jangan banyak gerak, Yang Mulia! Aku tidak bisa fokus.”Harger berdecak beberapa kali menghadapi gerakan samar – samar yang dilakukan sang hakim. Setelah melewati pertimbangan absolut; dia yakin tidak apa – apa memanggil suaminya dengan sebutan terhormat itu. Mereka sedang berdua di kamar; sang hakim duduk mengenyakkan punggung di bawah kaki ranjang dengan wajah menengadah tinggi, menuruti semua perintah yang keluar dari bibir Harger. Sementara posisi Harger persis duduk membiarkan tubuh sang hakim terapit di antara kakinya.Kegiatan mereka kali ini nyaris hanya dilakukan sepihak. Sesaat lalu memang sulit memaksa sang hakim melakukan perawatan wajah. Akan tetapi Harger tak gentar. Dia telah bicara panjang; menyatakan semua perlengkapan yang dibeli di pusat pembelanjaan adalah selalu dengan satu tujuan utuh.Bubuk masker yang diambil dari salah satu rak hasilnya sudah terlumat menjadi adonan siap pakai. Dengan kuas di tangan, Harger berusaha memoles setiap bagian di wajah sang hakim,
Beberapa kali kelopak mata Harger mengerjap saat sayup – sayup mendapati suara yang begitu familiar. Dia mengusap wajah pelan. Mencoba mencari bunyi gemerisik; keripik yang terpecah – pecah di rongga mulut seseorang.Harger sedikit tersentak saat tiba – tiba menemukan sang hakim sedang duduk tenang di pinggir ranjang. Ujung telunjuk dan ibu jari pria itu begitu santai meronggoh ke dalam plastik cemilan, lalu memasukkan sesuatu yang terapit di sana untuk dimakan. Semacam sebuah pemandangan manis, tetapi di waktu bersamaan membuat sesuatu dalam diri Harger mendesak cepat.“Kau makan cemilanku lagi?” tanyanya diliputi suara mengantuk. Harger kembali memejam, kemudian mengatur posisi duduk dengan bahu merosot malas. Dugaannya salah; dia pikir Deu akan sulit dimintai bangun. Namun, sekarang justru pria itu berpenampilan luar biasa rapi. Sisiran rambut ke belakang menambah kesan matang dan menantang.Harger mendesah sebentar. Tanpa bisa mencegah tindakan sendiri, secara naluri dia memiringk
Akhirnya ... setelah perjalanan jauh, Harger bisa menginjakkan kaki di rumah hutan bersama sang hakim. Udara menyenangkan menyerbu ke dalam ruangan ketika kaca jendela dibuka, rasanya benar – benar memberi pengaruh paling melegakan.Harger segera menjatuhkan diri di atas sofa. Mengatur posisi tubuh tidur menyamping sambil – sambil memeluk bantal yang terasa lembut; salah satu dijadikan sebagai penyangga kepala. Tanpa menatap ke arah sang hakim, dia memejam, membiarkan pria itu berjalan membawa tas berisi pakaian ganti mereka. Beberapa saat, sayup – sayup Harger mendapati langkah kaki seseorang mendekat, hanya sebentar saja, kemudian sulur – sulur suara itu menjauh. Dia lebih yakin jika hal yang dilakukan sang hakim adalah berjalan ke arah dapur. Sisa cemilan dari Paris, yang Harger pikir telah sang hakim habiskan, justru ternyata Deu membeli lebih banyak. Menyimpan secara khusus ke dalam tas belanjaan lainnya. Sekarang mungkin, tengah pria itu susun ke dalam ruang kosong dari rak – r
Gara – gara tindakan di atas sofa dan Harger yang menghindar sepanjang hari setelah berhasil melarikan diri ke kamar. Mendadak situasi terasa sangat buruk. Sang hakim benar – benar terlihat akan memburunya. Detil dari iris gelap itu tidak pernah meninggalkan Harger. Termasuk saat dia sedang mencuci piring. Makan malam selesai.Besok pagi mereka sepakat melanjutkan kegiatan tertunda. Mungkin pergi membeli cincin lebih dulu, kemudian sama – sama mengecat kamar, ataupun sebaliknya. Harger tidak masalah, asal apa pun yang akan mereka butuhkan segera terpenuhi.Hanya saat ini ....Dia merasa ingin lari secepatnya. Membiarkan tangan bergerak cepat menyusun piring – piring basah ke atas rak. Bunyi gemerisik dari benturan keramik nyata – nyata memberi Harger peringatan. Dia sesekali berpaling, dan menemukan sang hakim masih mengintainya bagai predator sedang menunggu mangsa-nya lengah.Harger segera mendengkus kasar.“Tidak bisakah kau berhenti menatapku seperti itu, Deu?” Dia bertanya tida
“Mengapa kau senang sekali menggodaku, Mrs. Keroppi?” Bisikan serak menyusup ke dalam naluri Harger. Dia merasa geli, bahkan saat sang hakim membiarkan telapak tangan yang kasar mengusap bagian dalam kakinya. Harger hampir menutup diri, tetapi kemudian tangan sang hakim yang lainnya mencari kesempatan meremas dada yang hanya terbalut kain berbahan jaring.”Siapa yang menggoda-mu? Aku tidak merasa seperti itu.”Harger mulai gelisah saat ujung telunjuk sang hakim memancing puncak dada-nya dengan tentatif. Dia tak mau pria dewasa ini sanggup meluluhkan pertahanan yang telah dibangun. Sang hakim ingin mendapatkan dirinya, maka perlu usaha tidak main – main.Lewat tindakan menepis masing – masing tangan sang hskim. Harger cekatan mencari drama yang pas untuk ditonton bersama. Beberapa platform terhubung dengan saluran tv, dia memilih dengan serius, tetapi akan mengabaikan genre horror seperti kata – kata sang hakim.“Judul yang tadi bagus, Mrs. Keroppi. Kita bisa menontonnya,” ucap sang ha
Panjang jika ingin menceritakan bagian tersembunyi dari kegiatan semalam. Harger merasakan tubuhnya begitu kaku dan pegal saat kali pertama membuka mata. Dia memalingkan wajah, menatap sang hakim masih tertidur lelap. Tampan. Biarkan saja seperti itu. Harger berusaha bangun. Merenggut selimut lebih tinggi untuk menutup tubuh telanjangnya. Dia segera bangun, membuat kain tebal di bagian sang hakim terseret ikut bersamanya. Harger ingat, semalam, selesai melanjutkan aktivitas panjang di atas ranjang, pria itu pergi ke dapur dengan mengenakan celana kain panjang yang saat ini utuh melekat di sana. Memang sang hakim mengaku sangat lapar, sementara Harger sudah tak memikirkan apa pun selain tidur. Sekarang dia terbangun lebih dulu. Bersiap ke kamar mandi untuk kemudian menyiapkan segala kebutuhan. Apa pun itu. Dan di sini Harger berakhir. Di dapur sambil – sambil mengulir layar ponsel; mencari resep masakan khas Italia, hingga ketertarikannya tertuju pada satu gambar menggiurkan.Lasagn
Panjang jika ingin menceritakan bagian tersembunyi dari kegiatan semalam. Harger merasakan tubuhnya begitu kaku dan pegal saat kali pertama membuka mata. Dia memalingkan wajah, menatap sang hakim masih tertidur lelap. Tampan. Biarkan saja seperti itu. Harger berusaha bangun. Merenggut selimut lebih tinggi untuk menutup tubuh telanjangnya. Dia segera bangun, membuat kain tebal di bagian sang hakim terseret ikut bersamanya. Harger ingat, semalam, selesai melanjutkan aktivitas panjang di atas ranjang, pria itu pergi ke dapur dengan mengenakan celana kain panjang yang saat ini utuh melekat di sana. Memang sang hakim mengaku sangat lapar, sementara Harger sudah tak memikirkan apa pun selain tidur. Sekarang dia terbangun lebih dulu. Bersiap ke kamar mandi untuk kemudian menyiapkan segala kebutuhan. Apa pun itu. Dan di sini Harger berakhir. Di dapur sambil – sambil mengulir layar ponsel; mencari resep masakan khas Italia, hingga ketertarikannya tertuju pada satu gambar menggiurkan.Lasagn