Bukan ide buruk memikirkan es krim sebagai makanan penutup. Harger merasa puas saat sang hakim tidak mengatakan apa pun sekadar menolak ajakan singgah di kedai es krim. Beberapa percakapan telah dilalui. Sekarang Harger duduk tidak jauh dari tempat bersantai; begitu banyak orang sedang mengantre, dan dia mendapat pilihan duduk di bawah pohon besar; menunggu sang hakim memesan satu es krim crone untuknya. Sesekali Harger akan melonggokkan wajah sekadar memastikan. Dia menemukan sang hakim sedang bicara langsung kepada penjaga kedai. Memesan dan bayar di tempat, itu sudah termasuk ke dalam kebutuhan toko. Sang hakim pula yang akan membawakan es krim secara langsung.Harger memindahkan perhatian ke sisi lain. Mungkin tidak akan terlalu lama. Dia mengayunkan kaki sambil – sambil menunduk menatap sepatu baru dari pria itu. Sepatu bagus dan nyaman di kaki, meski warna pink dengan campuran putih menurut Harger terlalu feminim untuknya yang terkadang pecicilan, terutama ketika hanya berdua b
Harger menahan erangan saat sang hakim menggerakkan pinggulnya; naik turun berayun dalam dekapan pria itu. Dada mereka saling bersentuhan diliputi iris mata saling memerangkap; menawarkan kehangatan dan cinta yang begitu besar. Apa yang bisa Harger katakan? Dia menyukai sang hakim, meski tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkan. Mendadak bibirnya lebih sering mengeluarkan suara mendesah, alih – alih membicarakan sesuatu secara serius.Harger segera menjatuhkan wajah di garis bahu sang hakim. Berpegangan erat. Menyesap kulit tubuh pria itu sebagai upaya merendam lenguhannya, sekaligus meninggalkan jejak kemerahan yang benar – benar membentuk satu bekas percintaan; sayang darinya.Napas Harger menggebu. Demikian hal yang sama ditunjukkan sang hakim. Tubuh mereka seolah telah disiram begitu banyak oleh air. Titik embun meleleh, membuat keduanya sama – sama licin. Sangat basah melebihi saat melakukan beberapa putaran di taman.Harger akhirnya mengangkat wajah untuk meraup pasokan uda
Selama berjam – jam berada di antara momen indah di Paris. Rasanya Harger tak akan pernah melupakan semua yang telah dilakukan bersama sang hakim di sini. Dia menatap lurus – lurus ke arah Menara Eiffel dengan kedua lengan terlipat di pagar balkon. Keheningan berselimut di antara embusan angin di langit malam; begitu sayup. Sulur – sulur nada itu terasa membelai kulit di pipinya.Sesekali Harger akan menatap ke layar ponsel. Menunggu sang hakim kembali dari luar setelah pria itu berpamitan pergi. Mereka baru saja menyelesaikan makan malam bersama. Tidak tahu apa yang akan sang hakim lakukan, atau berangkali urusan yang ntah seperti apa pentingnya; Harger belum sempat bertanya. Tetapi berusaha mengerti saat sang hakim terlihat diburu oleh sesuatu.Senyum Harger tipis mengamati tampilan baru dari ponsel di tangannya. Foto yang diambil beberapa saat lalu sudah berkamuflase sebagai tampilan yang cantik di layar kunci maupun wallpaper utuh.Kendati, Harger sedikit merasa bahwa dia perlu me
Saling mendekap di atas ranjang menjadi satu kebutuhan paling penting yang Harger anggap adalah peristiwa menyenangkan. Dia meletakkan lengan di dada liat sang hakim, kemudian dagu untuk bersangga di sana. Sambil menatap iris gelap yang sembunyi – sembunyi di bawah bulu mata hitam dan panjang, Harger mendadak menyimpan satu keinginan menunjukkan sesuatu kepada sang hakim. Sesuatu yang baru saja dia dapat. Akan sangat disayangkan jika tak berbagi bersama suaminya. Ini mungkin akan melibatkan nama Howard, tetapi dia merasa; berusaha mencoba bukanlah hal buruk.“Kau ingin lihat video pernikahan kita?” tanya Harger nyaris mendengar suaranya seperti sedang berbisik. Kernyitan sang hakim sangat dalam menanggapi satu pernyataan yang dimulai tanpa basa – basi.Jari tangan Harger cekatan mengulik ponsel di tangan. Tidak perlu menunggu sampai sang hakim menyetujui, dia langsung memperlihatkan sebuah rekaman berdurasi lumayan singkat dengan begitu fokus menangkap ekspresi wajah sang hakim.Pria
Teriakan para penonton riuh menumpas satu gerakan serius dari seorang pemain bisball yang memukul bola. Suara benturan keras merambat nyaring di udara. Harger terus mengamati si pemukul yang berusaha mencetak angka; berlari cepat ke arah base; menyentuh semua base secara berurutan untuk kembali ke home plate.Nyaris.Semua upaya itu nyaris berhasil digagalkan, tetapi tekad yang dimiliki sang pemain telah membawanya pada permainan yang sulit dikalahkan. Harger merasa puas ketika dia sengaja melirik sang hakim. Mereka berdua memilih dua tim berbeda. Wajah sang hakim begitu datar mendapati ... baru saja tim yang Harger jagokan telah mencetak angka.Ini permainan yang rumit. Harger membayangkan bagaimana jika dia yang sedang bertanding, menjadi pelempar maupun pemukul bola, atau saat dia harus berlari di lapangan yang berbentuk bujur sangkar. Mungkin akan membutuhkan begitu banyak butir – butir keringat bermunculan di keningnya.“Ingat, Yang Mulia ... jika tim pilihan-mu kalah. Kau harus
“Jangan banyak gerak, Yang Mulia! Aku tidak bisa fokus.”Harger berdecak beberapa kali menghadapi gerakan samar – samar yang dilakukan sang hakim. Setelah melewati pertimbangan absolut; dia yakin tidak apa – apa memanggil suaminya dengan sebutan terhormat itu. Mereka sedang berdua di kamar; sang hakim duduk mengenyakkan punggung di bawah kaki ranjang dengan wajah menengadah tinggi, menuruti semua perintah yang keluar dari bibir Harger. Sementara posisi Harger persis duduk membiarkan tubuh sang hakim terapit di antara kakinya.Kegiatan mereka kali ini nyaris hanya dilakukan sepihak. Sesaat lalu memang sulit memaksa sang hakim melakukan perawatan wajah. Akan tetapi Harger tak gentar. Dia telah bicara panjang; menyatakan semua perlengkapan yang dibeli di pusat pembelanjaan adalah selalu dengan satu tujuan utuh.Bubuk masker yang diambil dari salah satu rak hasilnya sudah terlumat menjadi adonan siap pakai. Dengan kuas di tangan, Harger berusaha memoles setiap bagian di wajah sang hakim,
Beberapa kali kelopak mata Harger mengerjap saat sayup – sayup mendapati suara yang begitu familiar. Dia mengusap wajah pelan. Mencoba mencari bunyi gemerisik; keripik yang terpecah – pecah di rongga mulut seseorang.Harger sedikit tersentak saat tiba – tiba menemukan sang hakim sedang duduk tenang di pinggir ranjang. Ujung telunjuk dan ibu jari pria itu begitu santai meronggoh ke dalam plastik cemilan, lalu memasukkan sesuatu yang terapit di sana untuk dimakan. Semacam sebuah pemandangan manis, tetapi di waktu bersamaan membuat sesuatu dalam diri Harger mendesak cepat.“Kau makan cemilanku lagi?” tanyanya diliputi suara mengantuk. Harger kembali memejam, kemudian mengatur posisi duduk dengan bahu merosot malas. Dugaannya salah; dia pikir Deu akan sulit dimintai bangun. Namun, sekarang justru pria itu berpenampilan luar biasa rapi. Sisiran rambut ke belakang menambah kesan matang dan menantang.Harger mendesah sebentar. Tanpa bisa mencegah tindakan sendiri, secara naluri dia memiringk
Akhirnya ... setelah perjalanan jauh, Harger bisa menginjakkan kaki di rumah hutan bersama sang hakim. Udara menyenangkan menyerbu ke dalam ruangan ketika kaca jendela dibuka, rasanya benar – benar memberi pengaruh paling melegakan.Harger segera menjatuhkan diri di atas sofa. Mengatur posisi tubuh tidur menyamping sambil – sambil memeluk bantal yang terasa lembut; salah satu dijadikan sebagai penyangga kepala. Tanpa menatap ke arah sang hakim, dia memejam, membiarkan pria itu berjalan membawa tas berisi pakaian ganti mereka. Beberapa saat, sayup – sayup Harger mendapati langkah kaki seseorang mendekat, hanya sebentar saja, kemudian sulur – sulur suara itu menjauh. Dia lebih yakin jika hal yang dilakukan sang hakim adalah berjalan ke arah dapur. Sisa cemilan dari Paris, yang Harger pikir telah sang hakim habiskan, justru ternyata Deu membeli lebih banyak. Menyimpan secara khusus ke dalam tas belanjaan lainnya. Sekarang mungkin, tengah pria itu susun ke dalam ruang kosong dari rak – r
Tidak. Harger tidak ingin mengambil risiko tersebut dengan mengabaikan kebutuhan sekarang. Langsung menerobos masuk hingga sebuah pemandangan tak terduga, sungguh, seolah ingin menyeretnya melangkah mundur. Dia menyaksikan sendiri sebentuk tubuh sang hakim sedang menduduki tubuh seseorang. Tangan pria itu membentuk kepala mantap, yang berulang kali dilayangkan ke wajah pria malang—terkapar—dengan keseluruhan dilimuri darah. “Deu.” Harger tidak mungkin membiarkan suaminya terlarut lama ke dalam angkara murka yang mengerikan. Berlari secepatnya hanya untuk menghentikan pria itu lewat tindakan membabi buka. Deu tidak bisa mengambil tindakan tersebut di saat – saat seperti ini, meskipun bukan hal mudah memisahkan pria yang sungguh telah meledakkan seluruh hal terpendam dalam emosi yang selama ini tertunda. “Sudah, Deu, hentikan.” Napas Harger tak kalah menggebu saat dia harus benar – benar menarik tubuh sang hakim. Untunglah setelah melewati pelbagai kesulitan, dia perlahan men
Harger mungkin menikmati masakan dari suaminya yang telah bersedia meluangkan waktu berkutat lama di dapur, tetapi dia tetap merasa ganjil ketika pria itu menolak ajakan makan bersama. Alih – alih setuju, justru Harger mendapati sang hakim berpamitan pergi—ntah akan ke mana. Dia mencoba menemukan petunjuk. Tanpa sepengetahuan sang hakim, Harger telah melakukan sesuatu tepat saat di mana pria itu beranjak ke kamar. Dia tidak bisa membiarkan rasa ingin tahu yang membludak, terus membara seperti benar – benar ingin membakarnya. Tidak akan sanggup bertahan lebih lama. Itu benar. Secara naluriah tangan Harger meletakkan garpu untuk bersinggungan di atas piring. Bisa menikmati lasagna belakangan waktu. Sekarang dia harus melakukan satu hal pas. Merogoh ponsel di saku celana. Howard. Ya, saat – saat seperti ini Harger akan sangat membutuhkan kemampuan Howard. [Ada apa menghubungiku, Lil’H?] Suara pria itu mencu
“Apa yang kau lihat, Deu?” Mereka sedang berbelanja, tetapi baru saja sang hakim membuatnya seperti bicara kepada patung. Harger tidak mengerti apa terjadi dan mengapa dia harus mendapati Deu terlihat berbeda dari mula – mula mereka memasuki pusat pembelanjaan. Ditambah kenyataan harus menatap cengkeraman tangan yang mengetat di troli bayi, itu makin meninggalkan perasaan ganjil tak tertahan. Nyaris lima bulan setelah masa – masa indah menjadi orang tua, Harger tidak pernah menyaksikan sang hakim menunjukkan sikap tak terbantahkan. Mata gelap itu mendelik tajam. Seperti sembunyi – sembunyi menyimpan sesuatu. Namun, dia sama sekali tak sanggup menggapai satu pun terhadap apa yang sedang suaminya pikirkan. Hanya sekelebat menatap ke mana arah pandang pria itu. Pun ... Harger tidak menemukan sesuatu secara spesifik, selain bahu seseorang yang telah meninggalkan tempat di mana beberapa orang berjalan keluar masuk. Tak tahan. Dia memutuskan untuk menyentuh lengan sang hakim. Pria itu
Harger meletakkan bayi kecil yang baru saja dimandikan ke keranjang. Di rumah sedang kedatangan banyak tamu. Pak Sekretaris bersama seluruh keluarga. Ada Daisy dan Mr. Thamlin. Benar – benar ramai mengagumkan. Harger tidak tahu harus berkata seperti apa bahwa dia sungguh diterima dengan sangat baik. Ada ibu mertua, saudari ipar, dan hal – hal yang sering sekali mereka perhatikan. Rasanya dia nyaris tidak diperbolehkan melakukan apa pun, bahkan meski hanya mengerjakan sesuatu di dapur, yang lagipula sang hakim akan mengajukan diri—menyelesaikan semua, kemudian mereka akan berbincang – bincang, hampir seperti berbisik agar bayi tidak terbangun. Satu hal yang tidak Harger lupakan. Charlene dan Deminti juga sudah mendatanginya, mereka tiba di Italia tanpa sepengetahuan Harger, kecuali sang hakim. Ajaibnya pria itu setuju untuk merahasiakan kenyataan tersebut sesuai permintaan Charlene, bahkan menyiapkan kejutan untuknya. Harger bahagia bahwa semua orang yang dia kenal sangat dekat,
Hari ini .... Tiba pada momen yang menegangkan. Harger tidak tahu bagaimana dia akan menghadapi proses melahirkan yang sudah berada di depan mata. Dimintai untuk berjalan – jalan lebih sering dan melakukan apa pun supaya menghadapi persalinan dengan mudah. Tetapi Harger merasa beruntung memiliki suami seperti sang hakim. Pria itu dengan sabar menemani dia berjalan ke mana pun di taman rumah sakit. Mengerjakan apa saja yang Harger sudah tak bisa lakukan setelah menghadapi perutnya yang membesar. Seperti sekarang terjadi. Harger menahan napas ketika tanpa sengaja menjatuhkan sapu tangan, kemudian sang hakim segera membungkuk, meraih benda tersebut dan menyerahkannya kembali. “Terima kasih, Yang Mulia. Aku mencintaimu.” Saat – saat seperti ini memang dibutuhkan keromantisan. Harger berpengangan erat di lengan suaminya. Mereka berjalan sangat pelan menyusuri jalan yang dibeton, tetapi Harger sedang bertelanjang kaki. Pada beberapa momen tertentu sang hakim
Senyum Harger lagi – lagi melebar saat mengamati sesuatu yang terasa indah.Garis dua ....Tadi pagi hampir tanpa sadar dia melompat girang. Melakukan tes, lalu mendapati bahwa dirinya positif hamil, itu merupakan momen tak terlupakan setelah harus menghadapi pelbagai desakan tidak nyaman belakangan ini. Keinginan untuk muntah, golakan mual, dan semua yang menghantam Harger sebagai satu kesatuan paling mengerikan—sebuah alasan serius mengapa kebutuhan – kebutuhan tersebut akhirnya meninggalkan perasaan curiga. Dia telah mengambil keputusan yang tepat dengan mengetahui kebenaran terlalu dini.Langkah Harger tentatif mendekat ke lemari pakaian. Ada sesuatu yang perlu dia lakukan sebelum memberitahu informasi ini kepada suaminya. Ya, meletakkan benda pipih di tanganya ke dalam kotak persegi panjang, lalu pelan – pelan membongkar lipatan kain di dalam rak demi mengambil sesuatu di sana. Pakaian rajut bayi buatan tangan Daisy, yang masih tersimpan utuh di sana, untuk kemudian
“Jika kau tidak pernah siap, kita tidak akan turun, Harger.”Harger mengerjap setelah beberapa saat jatuh ke dalam pemikiran usang di benaknya. Semua sudah saling memaafkan. Sesuatu yang mengikuti di belakang bahunya kan selalu mengingatkan bahwa Laea sudah tenang di mana pun wanita itu berada. Tidak ada yang akan Harger katakan. Dia menatap sang hakim dengan sudut bibir melekuk tipis. Mereka memang memutuskan untuk berziarah ke makam Laea. Banyak yang ingin Harger curahkan, meski dia mungkin tak mengeluarkan suara ke permukaan sementara sang hakim ada di sampingnya. Hanya menatap setengah kosong pada undakan tanah yang indah—terawat begitu baik, dengan rumput – rumput terpotong begitu rapi merata.Ujung tangan Harger terulur meletakkan buket mawar, kemudian menyentuh nisan atas nama saudari perempuannya. Sedikit rasa sesak seperti berusaha menumbuk jantung Harger. Berulang kali dia berusaha menarik napas pelan, dan mengembuskan ke udara, tetapi kadang – kadang matanya
“Apa yang kau pikirkan, Deu?” Harger bertanya sarat nada lambat. Hati – hati dia menyentuh punggung tangan sang hakim. Perlahan menautkan jari – jari tangan mereka, lalu meremasnya lembut. “Kau kepikiran soal adikmu? Apa yang benar – benar sudah kalian bicarakan? Aku hanya dengar beberapa, tapi yakin kau tidak akan seperti ini jika bukan karena sesuatu. Sekarang ceritakan padaku?'" Tadinya, Harger memang tak berniat mencampuri lebih banyak. Merasa tidak berhak. Namun, jika pada akhirnya Deu akan terus – terusan terpengaruh, dia tidak akan bisa menahan diri. Tidak tahu kapan sang hakim akan selesai dengan perselisihan batin yang terlihat luar biasa mencolok. Harger akan menunggu. Semenit, dua menit, hingga waktu yang berjalan seperkian saat. Cukup lama ... lalu embusan napas sang hakim terdengar kasar. “Astoria menolak perintahku untuk meninggalkan bajingan itu.” “Dengan mengakui bahwa Orion tidak pernah tahu dia hamil, aku rasa bukan
“Aku bingung bagaimana alat peledak bisa berada di kepala Orion. Memangnya seberapa kecil ukuran alat peledak itu?”Harger bicara sayup – sayup di dapur sambil memegangi senter untuk menerangi pemandangan di sekitar suaminya. Sang hakim sibuk menyiapkan lasagna menjadi potongan sama rata setelah tadi ... menyalakan kembali ke api oven, dan mereka menunggu beberapa saat.Wajah tampan itu benar – benar begitu serius. Harger mengembuskan napas cukup kasar ... ntah kapan sang hakim akan menjawab pertanyaannya.“Deu.”Harger tidak akan tahan ketika sang hakim hanya diam. Masing – masing potongan lasagna diletakkan di atas piring, yang kemudian disusun di atas nampan—akan siap dibawa ke ruang tamu. Tetapi sebelum itu, iris gelap sang hakim mendadak fokus menatap lurus ke depan, seolah sedang memikirkan sesuatu, atau mungkin telah berniat memberi Harger tanggapan.“Ukurannya sebesar kapsul obat, yang dimasukkan melalui rongga hidung dengan cara ditembak.”Seharusnya