Soal menghangatkan tubuh adalah keputusan sang hakim. Harger hanya menawarkan diri membuat teh hangat untuk melengkapi kebersamaan mereka di dekat api yang menyala riang di perapian. Dia perlahan, dengan hati – hati menyerahkan cangkir gelas kepada Deu, lalu mengambil posisi duduk berdampingan.
Harger memindahkan sorot matanya menatap cahaya lembut yang terasa menenangkan, walau harus diakui, batu berlian itu masih menjadi satu – satunya masalah yang menggeroti kegelisahan Harger sampai detik ini. Rob menolak menerima tuduhan, bahkan secara responsif membantah tegas.Harger tidak mengerti, tetapi dia masih meyakini Rob pelaku sesungguhnya. Bajingan itu sangat pandai memainkan peran. Mengatur sedemikian rinci setiap pasang rencana yang ingin digunakan terhadap kasus tertentu.Mungkin, tidak apa – apa dengan kehilangan batu berlian. Yang Harger tak berdaya untuk memikirkannya, jika dan jika Ketua Senator Amerika akan mengetahui keaslian dari batu berlian yang ditempatkanSekali lagi, ntah akan menjadi kali ke berapa Harger terbangun di samping pria yang sama. Dia membelakangi sang hakim, sementara lengan pria itu memeluk tubuhnya begitu intim. Harger ingin sedikit berpindah, sedikit saja, tetapi satu sofa berdua membatasi ruang geraknya. Apa yang mereka pikirkan untuk tidak menyisir ke kamar sendiri – sendiri setelah semalam? Sehingga sofa seolah lebih nyaman dibandingkan ranjang mana pun.Harger mengatur ketenangannya sejenak. Pelan – pelan berniat menyingkirkan lengan sang hakim. Gerakan kecil darinya justru memberi efek pelukan yang terasa mengetat. Harger langsung tercekat saat sayup – sayup suara Deu terdengar seperti erangan dari tidur yang nyenyak. Mulai cemas memikirkan bagaimana cara menghilang secara tepat. Seingat Harger, dia harus berurusan dengan koper basah, tas yang mengantongi heels miliknya dan sepatu sang hakim, maupun beberapa urusan rumah lainnya. Benda – benda itu tidak akan berjalan sendiri.“Kau mau ke mana?”Sebuah bisikan sera
Mencuci dan menjemur pakaian di halaman belakang merupakan kegiatan yang baru saja selesai Harger kerjakan. Panas terik membuat langkahnya terdesak cepat meninggalkan rerumputan. Dia mengenyakkan diri duduk bersandar di pilar menjulang. Menatap lurus – lurus ke arah pemandangan hijau. Hanya sulur – sulur suara dersik daun bersentuhan ketika angin berembus. Hutan terasa begitu asri, tetapi di sini Harger sendiri. Tanpa teman bicara; dia perlu menunggu sang hakim dan kesibukan pria itu; supaya bisa merendam kebosanan. Sayangnya butuh waktu tidak sebentar sampai Deu akan kembali dari kegiatan di luar.Harger mendesah samar. Ini akhirnya. Beberapa jam terakhir dengan sebagian peristiwa menjadi sesuatu yang besar merayap ke dalam dirinya. Sekelebat bayangan tentang percintaan bersama sang hakim terasa nyata – nyata menggerogoti perasaan Harger. Dia tidak ingat ada batasan yang melebihi apa pun; semuanya, yang mana terasa melegakan, seolah sebuah pembuktian yang benar. Salah satu pali
Sambil – sambil membiarkan api kompor mengecil di bawah masakannya. Harger melangkah sesekali hanya untuk melonggokkan kepala di antara sekat dinding dapur. Mencari tahu, paling tidak sebuah perubahan dari salah satu pintu kamar di lantai dua; letaknya tidak jauh dari kamar yang dia tempati; masih tertutup begitu rapat. Mula – mula Harger pikir tidak apa – apa jika Deu masih ingin beristirahat. Menjelang sore, dia mulai berpikiran sedikit buruk. Tetapi tidak berusaha menunjukkan sesuatu di luar batas. Dan setelah jam makan malam tiba, Harger menduga; sudah terlalu lama sang hakim mendekam di satu ruang tersebut.Tidak tahu apakah pria itu sedang tertidur, atau justru sibuk berurusan dengan tumpukan berkas – berkas penting. Harger ragu untuk mengunjunginya, Ragu untuk benar – benar ada di depan pintu kamar sang hakim.Dia mengerjap. Segera pergi, mengaduk bubur yang meletup – letup di dalam panci. Gerakannya terhenti ketika merasa makanan kental dan lembek itu matang sesuai takaran. A
Pagi – pagi sekali suara tembakan menggelegar ke udara. Hal paling sering mengingatkan Harger; kali pertama dia pernah berada di sini. Diam – diam Harger menyikap tirai yang menjuntai, diam – diam mengintip lewat jendela kamar. Lamat Harger mengamati sebentuk tubuh Deu, yang mantap mengacungkan senjata di depan papan. Tirai jendela begitu tipis sehingga Harger bisa mengamati beberapa titik, papan, telah berlubang. Dan samar – samar pula dia mendapati kepulan asap melewati biasan cahaya matahari.Harger mulai tertarik. Menunggu waktu yang tepat sampai dia menyadari separuh wajah sang hakim perlahan – lahan seperti akan berpaling. Dia segera menutup tirai. Tidak ingin kedapatan sedang mengamati sang hakim, atau pria itu mungkin akan memikirkan sesuatu yang tidak diinginkan.Harger memutuskan untuk melangkahkan kaki keluar kamar. Rambut hitam panjangnya tergerai. Barangkali menyusul keberadaan sang hakim bukan sesuatu yang buruk. Harger ingin, sekali lagi berlatih menembak
“Aku ke sini lewat depan. Dari luar kau dan Harger kupanggil sampai tenggorokanku kering sendiri, masih tidak ada respons. Kupikir kau memang sedang berlatih, dan suara tembakan membuatmu tidak mendengar, itu sebabnya aku pergi mencari jalan alternatif. Tapi ternyata ....”Howard mengedikkan bahu tak acuh, seakan – akan sengaja menggantung lanjutan kalimat supaya menyebarkan beberapa bagian tertentu untuk menjadi canggung. Pria itu memang telah melakukannya. Beberapa kali Harger tidak tahu akan mengatakan apa, tetapi secara pasti dia mengakui; tidak sedikitpun suara terdengar, meski Howard menceritakan hal tersebut dengan serius. Barangkali suara tembakan adalah pemicunya.“Sekarang katakan ada kebutuhan apa kau datang kemari, pagi – pagi begini?”Potongan pertanyaan Deu sangat mewakili rasa ingin tahu yang memuncak di benak Harger. Dia masih menatap Howard lekat – lekat.“Tugasku sudah selesai. Nanti sore sudah harus melapor ke kantor pusat. Kupikir sebelum ke sana, aku ingin singgah
Harger akhirnya memutuskan untuk keluar kamar setelah lewat dua jam Howard berpamitan pergi. Separuh pekerjaan rumah belum selesai; dia hanya menyelesaikan kegiatan mencuci piring dan menyapu. Merasa penting untuk melanjutkan sisanya. Ternyata dia memang sepakat terhadap rasa malas. Namun, Harger akan memulai dari menggepel lantai. Perlahan dia melangkah nyaris tanpa suara menuruni undakan tangga. Sekilas sudut pandang Harger pas menyerbu ke arah ruang tamu. Dia sudah tahu akan secara tidak sengaja menemukan keberadaan Deu di sana. Pria itu fokus membaca buku diliputi beberapa tumpukan kertas di atas meja. Wajah serius yang benar – benar tampan, tetapi terkadang Harger akan mendapati ujung jari sang hakim memijit pelipis, bahkan kening itu tampak samar – samar berkerut.“Deu, kau mau minum?” Dia bertanya dari sekian jengkal jarak. Menunggu sang hakim sedikit mendongak; diam untuk beberapa saat sebelum mengangguk dan kembali menjatuhkan perhatian mematut di atas ketebalan k
Harger tidak tidur setelah beberapa saat lalu berada di antara gulungan yang memabukkan. Perasaannya benar – benar tergerus dalam buaian. Sekarang hanya diam, memosisikan tubuh menyamping menghadap seorang pria dewasa sedang terlelap dalam. Bibir sang hakim terkatup rapat. Tampan. Harger sedikit terpaku ketika dia menyadari betapa bulu mata pria itu begitu hitam dan panjang. Berjejer banyak, seakan tidak rela jika mata gelap sang hakim tidak disembunyikan di antara mereka. Harger mulai tertarik memindahkan iris amber-nya melewati kelopak bergaris berkilau di bawah siraman sinar sore yang merangkak lurus lewat kaca jendela. Dia penasaran bagaimana sang hakim memiliki perpaduan tidak adil. Alis, tulang rahang yang tegas, hidung, semuanya, sempurna. Rasanya hampir tak percaya jika pria ini pernah memiliki keluarga, mula – mula utuh, lalu kemudian terberai oleh pengkhianatan. Harger tak menapik sedang bertanya – tanya apa alasan yang mungkin bisa dituturkan Laea ketika wanita itu harus
Harger menatap ganggang pintu lamat sambil – sambil memegangi ujung handuk yang melilit di tubuhnya. Telapak kaki setengah lembab betah berdiam diri di tempat. Antara ragu dan tak ingin terlalu lama terpaku. Dia menunggu lewat waktu yang lama sampai suara dari kamarnya menjadi hening; beberapa saat lalu sempat terdengar seperti mur yang ditancapkan ke dinding menggunakan bor.Dengan satu tarikan napas Harger melangkah keluar. Sedikit termangu saat menemukan sang hakim sedang menuruni tangga. Pria itu tidak mengenakan atasan. Hanya celana kain panjang sehingga bahu lebar sang hakim terekspos; samar – samar garis kemerahan memanjang membayang di sana, adalah bekas cakaran kuku Harger.Harger berusaha menahan wajahnya tidak kembali memanas. Akhirnya sang hakim sadar dia sedang berdiri mengamati. Tidak banyak yang pria itu katakan, meski sorot mata yang gelap sesaat bertahan lama memandingi tubuh dilingkupi sehelai kain putih. Baru kemudian sang hakim membungkuk, memungut satu d
Tidak. Harger tidak ingin mengambil risiko tersebut dengan mengabaikan kebutuhan sekarang. Langsung menerobos masuk hingga sebuah pemandangan tak terduga, sungguh, seolah ingin menyeretnya melangkah mundur. Dia menyaksikan sendiri sebentuk tubuh sang hakim sedang menduduki tubuh seseorang. Tangan pria itu membentuk kepala mantap, yang berulang kali dilayangkan ke wajah pria malang—terkapar—dengan keseluruhan dilimuri darah. “Deu.” Harger tidak mungkin membiarkan suaminya terlarut lama ke dalam angkara murka yang mengerikan. Berlari secepatnya hanya untuk menghentikan pria itu lewat tindakan membabi buka. Deu tidak bisa mengambil tindakan tersebut di saat – saat seperti ini, meskipun bukan hal mudah memisahkan pria yang sungguh telah meledakkan seluruh hal terpendam dalam emosi yang selama ini tertunda. “Sudah, Deu, hentikan.” Napas Harger tak kalah menggebu saat dia harus benar – benar menarik tubuh sang hakim. Untunglah setelah melewati pelbagai kesulitan, dia perlahan men
Harger mungkin menikmati masakan dari suaminya yang telah bersedia meluangkan waktu berkutat lama di dapur, tetapi dia tetap merasa ganjil ketika pria itu menolak ajakan makan bersama. Alih – alih setuju, justru Harger mendapati sang hakim berpamitan pergi—ntah akan ke mana. Dia mencoba menemukan petunjuk. Tanpa sepengetahuan sang hakim, Harger telah melakukan sesuatu tepat saat di mana pria itu beranjak ke kamar. Dia tidak bisa membiarkan rasa ingin tahu yang membludak, terus membara seperti benar – benar ingin membakarnya. Tidak akan sanggup bertahan lebih lama. Itu benar. Secara naluriah tangan Harger meletakkan garpu untuk bersinggungan di atas piring. Bisa menikmati lasagna belakangan waktu. Sekarang dia harus melakukan satu hal pas. Merogoh ponsel di saku celana. Howard. Ya, saat – saat seperti ini Harger akan sangat membutuhkan kemampuan Howard. [Ada apa menghubungiku, Lil’H?] Suara pria itu mencu
“Apa yang kau lihat, Deu?” Mereka sedang berbelanja, tetapi baru saja sang hakim membuatnya seperti bicara kepada patung. Harger tidak mengerti apa terjadi dan mengapa dia harus mendapati Deu terlihat berbeda dari mula – mula mereka memasuki pusat pembelanjaan. Ditambah kenyataan harus menatap cengkeraman tangan yang mengetat di troli bayi, itu makin meninggalkan perasaan ganjil tak tertahan. Nyaris lima bulan setelah masa – masa indah menjadi orang tua, Harger tidak pernah menyaksikan sang hakim menunjukkan sikap tak terbantahkan. Mata gelap itu mendelik tajam. Seperti sembunyi – sembunyi menyimpan sesuatu. Namun, dia sama sekali tak sanggup menggapai satu pun terhadap apa yang sedang suaminya pikirkan. Hanya sekelebat menatap ke mana arah pandang pria itu. Pun ... Harger tidak menemukan sesuatu secara spesifik, selain bahu seseorang yang telah meninggalkan tempat di mana beberapa orang berjalan keluar masuk. Tak tahan. Dia memutuskan untuk menyentuh lengan sang hakim. Pria itu
Harger meletakkan bayi kecil yang baru saja dimandikan ke keranjang. Di rumah sedang kedatangan banyak tamu. Pak Sekretaris bersama seluruh keluarga. Ada Daisy dan Mr. Thamlin. Benar – benar ramai mengagumkan. Harger tidak tahu harus berkata seperti apa bahwa dia sungguh diterima dengan sangat baik. Ada ibu mertua, saudari ipar, dan hal – hal yang sering sekali mereka perhatikan. Rasanya dia nyaris tidak diperbolehkan melakukan apa pun, bahkan meski hanya mengerjakan sesuatu di dapur, yang lagipula sang hakim akan mengajukan diri—menyelesaikan semua, kemudian mereka akan berbincang – bincang, hampir seperti berbisik agar bayi tidak terbangun. Satu hal yang tidak Harger lupakan. Charlene dan Deminti juga sudah mendatanginya, mereka tiba di Italia tanpa sepengetahuan Harger, kecuali sang hakim. Ajaibnya pria itu setuju untuk merahasiakan kenyataan tersebut sesuai permintaan Charlene, bahkan menyiapkan kejutan untuknya. Harger bahagia bahwa semua orang yang dia kenal sangat dekat,
Hari ini .... Tiba pada momen yang menegangkan. Harger tidak tahu bagaimana dia akan menghadapi proses melahirkan yang sudah berada di depan mata. Dimintai untuk berjalan – jalan lebih sering dan melakukan apa pun supaya menghadapi persalinan dengan mudah. Tetapi Harger merasa beruntung memiliki suami seperti sang hakim. Pria itu dengan sabar menemani dia berjalan ke mana pun di taman rumah sakit. Mengerjakan apa saja yang Harger sudah tak bisa lakukan setelah menghadapi perutnya yang membesar. Seperti sekarang terjadi. Harger menahan napas ketika tanpa sengaja menjatuhkan sapu tangan, kemudian sang hakim segera membungkuk, meraih benda tersebut dan menyerahkannya kembali. “Terima kasih, Yang Mulia. Aku mencintaimu.” Saat – saat seperti ini memang dibutuhkan keromantisan. Harger berpengangan erat di lengan suaminya. Mereka berjalan sangat pelan menyusuri jalan yang dibeton, tetapi Harger sedang bertelanjang kaki. Pada beberapa momen tertentu sang hakim
Senyum Harger lagi – lagi melebar saat mengamati sesuatu yang terasa indah.Garis dua ....Tadi pagi hampir tanpa sadar dia melompat girang. Melakukan tes, lalu mendapati bahwa dirinya positif hamil, itu merupakan momen tak terlupakan setelah harus menghadapi pelbagai desakan tidak nyaman belakangan ini. Keinginan untuk muntah, golakan mual, dan semua yang menghantam Harger sebagai satu kesatuan paling mengerikan—sebuah alasan serius mengapa kebutuhan – kebutuhan tersebut akhirnya meninggalkan perasaan curiga. Dia telah mengambil keputusan yang tepat dengan mengetahui kebenaran terlalu dini.Langkah Harger tentatif mendekat ke lemari pakaian. Ada sesuatu yang perlu dia lakukan sebelum memberitahu informasi ini kepada suaminya. Ya, meletakkan benda pipih di tanganya ke dalam kotak persegi panjang, lalu pelan – pelan membongkar lipatan kain di dalam rak demi mengambil sesuatu di sana. Pakaian rajut bayi buatan tangan Daisy, yang masih tersimpan utuh di sana, untuk kemudian
“Jika kau tidak pernah siap, kita tidak akan turun, Harger.”Harger mengerjap setelah beberapa saat jatuh ke dalam pemikiran usang di benaknya. Semua sudah saling memaafkan. Sesuatu yang mengikuti di belakang bahunya kan selalu mengingatkan bahwa Laea sudah tenang di mana pun wanita itu berada. Tidak ada yang akan Harger katakan. Dia menatap sang hakim dengan sudut bibir melekuk tipis. Mereka memang memutuskan untuk berziarah ke makam Laea. Banyak yang ingin Harger curahkan, meski dia mungkin tak mengeluarkan suara ke permukaan sementara sang hakim ada di sampingnya. Hanya menatap setengah kosong pada undakan tanah yang indah—terawat begitu baik, dengan rumput – rumput terpotong begitu rapi merata.Ujung tangan Harger terulur meletakkan buket mawar, kemudian menyentuh nisan atas nama saudari perempuannya. Sedikit rasa sesak seperti berusaha menumbuk jantung Harger. Berulang kali dia berusaha menarik napas pelan, dan mengembuskan ke udara, tetapi kadang – kadang matanya
“Apa yang kau pikirkan, Deu?” Harger bertanya sarat nada lambat. Hati – hati dia menyentuh punggung tangan sang hakim. Perlahan menautkan jari – jari tangan mereka, lalu meremasnya lembut. “Kau kepikiran soal adikmu? Apa yang benar – benar sudah kalian bicarakan? Aku hanya dengar beberapa, tapi yakin kau tidak akan seperti ini jika bukan karena sesuatu. Sekarang ceritakan padaku?'" Tadinya, Harger memang tak berniat mencampuri lebih banyak. Merasa tidak berhak. Namun, jika pada akhirnya Deu akan terus – terusan terpengaruh, dia tidak akan bisa menahan diri. Tidak tahu kapan sang hakim akan selesai dengan perselisihan batin yang terlihat luar biasa mencolok. Harger akan menunggu. Semenit, dua menit, hingga waktu yang berjalan seperkian saat. Cukup lama ... lalu embusan napas sang hakim terdengar kasar. “Astoria menolak perintahku untuk meninggalkan bajingan itu.” “Dengan mengakui bahwa Orion tidak pernah tahu dia hamil, aku rasa bukan
“Aku bingung bagaimana alat peledak bisa berada di kepala Orion. Memangnya seberapa kecil ukuran alat peledak itu?”Harger bicara sayup – sayup di dapur sambil memegangi senter untuk menerangi pemandangan di sekitar suaminya. Sang hakim sibuk menyiapkan lasagna menjadi potongan sama rata setelah tadi ... menyalakan kembali ke api oven, dan mereka menunggu beberapa saat.Wajah tampan itu benar – benar begitu serius. Harger mengembuskan napas cukup kasar ... ntah kapan sang hakim akan menjawab pertanyaannya.“Deu.”Harger tidak akan tahan ketika sang hakim hanya diam. Masing – masing potongan lasagna diletakkan di atas piring, yang kemudian disusun di atas nampan—akan siap dibawa ke ruang tamu. Tetapi sebelum itu, iris gelap sang hakim mendadak fokus menatap lurus ke depan, seolah sedang memikirkan sesuatu, atau mungkin telah berniat memberi Harger tanggapan.“Ukurannya sebesar kapsul obat, yang dimasukkan melalui rongga hidung dengan cara ditembak.”Seharusnya