Pagi – pagi sekali suara tembakan menggelegar ke udara. Hal paling sering mengingatkan Harger; kali pertama dia pernah berada di sini. Diam – diam Harger menyikap tirai yang menjuntai, diam – diam mengintip lewat jendela kamar. Lamat Harger mengamati sebentuk tubuh Deu, yang mantap mengacungkan senjata di depan papan. Tirai jendela begitu tipis sehingga Harger bisa mengamati beberapa titik, papan, telah berlubang. Dan samar – samar pula dia mendapati kepulan asap melewati biasan cahaya matahari.Harger mulai tertarik. Menunggu waktu yang tepat sampai dia menyadari separuh wajah sang hakim perlahan – lahan seperti akan berpaling. Dia segera menutup tirai. Tidak ingin kedapatan sedang mengamati sang hakim, atau pria itu mungkin akan memikirkan sesuatu yang tidak diinginkan.Harger memutuskan untuk melangkahkan kaki keluar kamar. Rambut hitam panjangnya tergerai. Barangkali menyusul keberadaan sang hakim bukan sesuatu yang buruk. Harger ingin, sekali lagi berlatih menembak
“Aku ke sini lewat depan. Dari luar kau dan Harger kupanggil sampai tenggorokanku kering sendiri, masih tidak ada respons. Kupikir kau memang sedang berlatih, dan suara tembakan membuatmu tidak mendengar, itu sebabnya aku pergi mencari jalan alternatif. Tapi ternyata ....”Howard mengedikkan bahu tak acuh, seakan – akan sengaja menggantung lanjutan kalimat supaya menyebarkan beberapa bagian tertentu untuk menjadi canggung. Pria itu memang telah melakukannya. Beberapa kali Harger tidak tahu akan mengatakan apa, tetapi secara pasti dia mengakui; tidak sedikitpun suara terdengar, meski Howard menceritakan hal tersebut dengan serius. Barangkali suara tembakan adalah pemicunya.“Sekarang katakan ada kebutuhan apa kau datang kemari, pagi – pagi begini?”Potongan pertanyaan Deu sangat mewakili rasa ingin tahu yang memuncak di benak Harger. Dia masih menatap Howard lekat – lekat.“Tugasku sudah selesai. Nanti sore sudah harus melapor ke kantor pusat. Kupikir sebelum ke sana, aku ingin singgah
Harger akhirnya memutuskan untuk keluar kamar setelah lewat dua jam Howard berpamitan pergi. Separuh pekerjaan rumah belum selesai; dia hanya menyelesaikan kegiatan mencuci piring dan menyapu. Merasa penting untuk melanjutkan sisanya. Ternyata dia memang sepakat terhadap rasa malas. Namun, Harger akan memulai dari menggepel lantai. Perlahan dia melangkah nyaris tanpa suara menuruni undakan tangga. Sekilas sudut pandang Harger pas menyerbu ke arah ruang tamu. Dia sudah tahu akan secara tidak sengaja menemukan keberadaan Deu di sana. Pria itu fokus membaca buku diliputi beberapa tumpukan kertas di atas meja. Wajah serius yang benar – benar tampan, tetapi terkadang Harger akan mendapati ujung jari sang hakim memijit pelipis, bahkan kening itu tampak samar – samar berkerut.“Deu, kau mau minum?” Dia bertanya dari sekian jengkal jarak. Menunggu sang hakim sedikit mendongak; diam untuk beberapa saat sebelum mengangguk dan kembali menjatuhkan perhatian mematut di atas ketebalan k
Harger tidak tidur setelah beberapa saat lalu berada di antara gulungan yang memabukkan. Perasaannya benar – benar tergerus dalam buaian. Sekarang hanya diam, memosisikan tubuh menyamping menghadap seorang pria dewasa sedang terlelap dalam. Bibir sang hakim terkatup rapat. Tampan. Harger sedikit terpaku ketika dia menyadari betapa bulu mata pria itu begitu hitam dan panjang. Berjejer banyak, seakan tidak rela jika mata gelap sang hakim tidak disembunyikan di antara mereka. Harger mulai tertarik memindahkan iris amber-nya melewati kelopak bergaris berkilau di bawah siraman sinar sore yang merangkak lurus lewat kaca jendela. Dia penasaran bagaimana sang hakim memiliki perpaduan tidak adil. Alis, tulang rahang yang tegas, hidung, semuanya, sempurna. Rasanya hampir tak percaya jika pria ini pernah memiliki keluarga, mula – mula utuh, lalu kemudian terberai oleh pengkhianatan. Harger tak menapik sedang bertanya – tanya apa alasan yang mungkin bisa dituturkan Laea ketika wanita itu harus
Harger menatap ganggang pintu lamat sambil – sambil memegangi ujung handuk yang melilit di tubuhnya. Telapak kaki setengah lembab betah berdiam diri di tempat. Antara ragu dan tak ingin terlalu lama terpaku. Dia menunggu lewat waktu yang lama sampai suara dari kamarnya menjadi hening; beberapa saat lalu sempat terdengar seperti mur yang ditancapkan ke dinding menggunakan bor.Dengan satu tarikan napas Harger melangkah keluar. Sedikit termangu saat menemukan sang hakim sedang menuruni tangga. Pria itu tidak mengenakan atasan. Hanya celana kain panjang sehingga bahu lebar sang hakim terekspos; samar – samar garis kemerahan memanjang membayang di sana, adalah bekas cakaran kuku Harger.Harger berusaha menahan wajahnya tidak kembali memanas. Akhirnya sang hakim sadar dia sedang berdiri mengamati. Tidak banyak yang pria itu katakan, meski sorot mata yang gelap sesaat bertahan lama memandingi tubuh dilingkupi sehelai kain putih. Baru kemudian sang hakim membungkuk, memungut satu d
Dengan keadaan setengah mengantuk. Harger berjalan pelan menuju jendela. Satu tarikan pada tali menggantung untuk kali pertama setidaknya membuat Harger cukup terkejut sehingga kelopak matanya melentik cantik mengamati tirai yang tergulung ke atas setelah dia menariknya.Menyelesaikan makan malam, tidur, adalah peristiwa paling menyenangkan yang dilakukan semalam. Harger bahkan tak ingin untuk membereskan sisa kekacauan di kamar, memastikan hari inilah dia benar – benar akan menyusun semua perlengkapan yang terbengkalai, berserak sampai di bawah ranjang. Dalaman tipis berenda miliknya. Wajah Harger sedikit memanas saat membungkuk dan menjulurkan lengan untuk meraih kain tipis itu. Hanya ada satu orang pelaku mengapa benda tersebut terdampar di sana. Ujung jari Harger masih berusaha menggapai, begitu serius, sampai dia dikejutkan oleh suara ketukan di luar. Buru – buru Harger bergegas, tanpa sadar mengangkat separuh tubuh. Dan secara mengejutkan dia tak sengaja menghantam batang besi
Sepanjang jalan menjorok ke arah hutan. Deu hanya bisa menghadapi kegelapan dengan memanfaatkan satu – satunya siraman cahaya lewat sorot lampu mobil. Cukup aneh baginya ketika Harger selama ini, sedikitpun, tidak pernah lupa menyalakan lampu jalanan yang tersambung dari listrik utama di rumah, tetapi bahkan keseluruhan bangunan yang menjulang kokoh di antara perpohonan itu, saat ini, luar biasa menggurita; seperti sebuah kehidupan yang hilang dan Harger tenggelam di tengah – tengah kehidupan tersebut. Deu mengerjap berusaha mengenyahkan pikiran buruk, barangkali Harger kelelahan, kemudian tertidur hingga larut malam. Dia masih tenang memastikan mobilnya terparkir di halaman rumah. Segera mengeluarkan ponsel untuk memancarkan penerangan sebelum menggapai saklar. Seketika satu demi satu lampu menderang. Deu menyipitkan mata sesaat setelah pantulan – pantulan cahaya terbiasa membias di iris gelapnya. Dapur menjadi ruang paling pertama tempat Deu melangkahkan kaki. Keanehan m
Setelah melakukan perjalanan dengan perasaan bergemuruh liar. Harger tidak begitu banyak bicara, dan bahkan sama sekali tak akan pernah mengatakan kebenaran kepada ibu panti asuhan, yang sudah dianggap seperti ibu kandung sendiri. Wanita itu tetap menyambutnya hangat. Memberi sebuah pelukan yang begitu Harger butuhkan. Tetapi saat ini, Harger hanya ingin momentum paling hening untuk mengembalikan separuh ketenangan dalam dirinya. Rasanya dia begitu terenggut. Hati, kepercayaan, semua seolah telah hilang di waktu ketika dia tahu sedang menghadapi gencatan bahaya.Harger bertanya – tanya sudah seberapa sering sang hakim menyaksikan dia yang ada di dalam kamar itu, dalam keadaan apa pun, ntah bertelanjang atau tidak, atau saat dia berada di suatu kondisi tertentu, yang tidak seharusnya diketahui siapa pun. Harger sering melamun untuk kesedihannya. Dan dia yakin Deu telah melihat yang lainnya. Diliputi perasaan masih bergolak tidak tenang, Harger mengembuskan napas dari sela – sela bibir