Sepanjang jalan menjorok ke arah hutan. Deu hanya bisa menghadapi kegelapan dengan memanfaatkan satu – satunya siraman cahaya lewat sorot lampu mobil. Cukup aneh baginya ketika Harger selama ini, sedikitpun, tidak pernah lupa menyalakan lampu jalanan yang tersambung dari listrik utama di rumah, tetapi bahkan keseluruhan bangunan yang menjulang kokoh di antara perpohonan itu, saat ini, luar biasa menggurita; seperti sebuah kehidupan yang hilang dan Harger tenggelam di tengah – tengah kehidupan tersebut. Deu mengerjap berusaha mengenyahkan pikiran buruk, barangkali Harger kelelahan, kemudian tertidur hingga larut malam. Dia masih tenang memastikan mobilnya terparkir di halaman rumah. Segera mengeluarkan ponsel untuk memancarkan penerangan sebelum menggapai saklar. Seketika satu demi satu lampu menderang. Deu menyipitkan mata sesaat setelah pantulan – pantulan cahaya terbiasa membias di iris gelapnya. Dapur menjadi ruang paling pertama tempat Deu melangkahkan kaki. Keanehan m
Setelah melakukan perjalanan dengan perasaan bergemuruh liar. Harger tidak begitu banyak bicara, dan bahkan sama sekali tak akan pernah mengatakan kebenaran kepada ibu panti asuhan, yang sudah dianggap seperti ibu kandung sendiri. Wanita itu tetap menyambutnya hangat. Memberi sebuah pelukan yang begitu Harger butuhkan. Tetapi saat ini, Harger hanya ingin momentum paling hening untuk mengembalikan separuh ketenangan dalam dirinya. Rasanya dia begitu terenggut. Hati, kepercayaan, semua seolah telah hilang di waktu ketika dia tahu sedang menghadapi gencatan bahaya.Harger bertanya – tanya sudah seberapa sering sang hakim menyaksikan dia yang ada di dalam kamar itu, dalam keadaan apa pun, ntah bertelanjang atau tidak, atau saat dia berada di suatu kondisi tertentu, yang tidak seharusnya diketahui siapa pun. Harger sering melamun untuk kesedihannya. Dan dia yakin Deu telah melihat yang lainnya. Diliputi perasaan masih bergolak tidak tenang, Harger mengembuskan napas dari sela – sela bibir
Harger menikmati kegiatan menyiapkan sarapan di dapur bersama Charlene dan Deminti, wanita paruh baya yang turut mengabdikan hidup untuk kesejahteraan anak – anak di panti asuhan. Mereka memasak dalam porsi yang besar. Setiap harinya harus selalu cukup, tidak dengan makanan mewah, tetapi setidaknya bergizi.Drop Scone untuk sarapan pagi ini. Makanan sejenis pancake yang dibuat dengan menjatuhkan sesendok adonan ke wajan panas. Hidangan sederhana ini akan diberi tambahan; toping madu, selai dengan pelbagai rasa, dan krim kocok—Harger sedang membuatnya, hampir selesai, hanya perlu memadukan butter cream dan whipped cream ke dalam satu wadah bersama. Mengocok dengan mixer hingga tercampur merata. “Sudah jadi, Demi.”Harger tersenyum kepada Deminti. Wanita dengan kesibukkan menyusun Drop Scone di tiap – tiap meja baris di atas meja makan. Anak – anak akan segera berkumpul. Drop Scone memang seharusnya dimakan saat sedang hangat – hangatnya.Harger menuang madu ke atas D
Harger menyelesaikan kegiatan berkemas, pagi – pagi buta, tepat setelah Charlene muncul di depan pintu kamarnya. Tatapan teduh dan senyum tipis dari wanita itu tidak pernah berubah, meskipun Harger telah menyadari satu langkah Charlene semakin mendekat.“Kau yakin bisa menggantikan Deminti untuk menemaniku pergi? Tujuh jam dengan mobil. Ini perjalanan yang jauh, Harger. Kau sendiri belakangan ini kelihatan lelah.”Sekali lagi. Charlene selalu memastikan bagaimana Harger dengan keputusan yang tidak pernah berubah seharusnya mengurungkan niat. Tetapi Harger tidak pernah, sedikitpun, merasa ragu untuk melakukan perjalanan ke Bristol. Mereka memiliki sedikit urusan terkait surat hak kepengurusan yang akan dikeluarkan oleh lembaga tinggi rumah sakit di Bristol. Harger tidak tega membiarkan Charlene menyelesaikan semuanya seorang diri selama dalam perjalanan. Sementara Deminti dua hari belakangan mengeluh sakit. Harger sendiri yang mengajukan diri untuk menggantikan posisi wanita itu, sek
“Kau lelah?” tanya Charlene. Kurang lebih delapan jam perjalanan jauh dari Skotlandia ke Bristol, Inggris. Terasa benar – benar menegangkan tulang punggung mereka. Pemberhentian terkadang hanya dimanfaatkan untuk mengisi perut yang kosong. Tetapi sekarang, di depan halaman parkir rumah sakit mereka bisa merasakan sedikit kelegaan. Charlene terus memandangi Harger, lalu mendesah. “Wajahmu pucat, Harger. Aku sudah bilang, kau seharusnya tidak ikut,” ucap Charlene menyesal. Di tangan Harger yang cakap, bayi delapan bulan masih tidur begitu lelap. Charlene merasa semakin bersalah ketika gadis di sampingnya hanya tersenyum, dan berusaha untuk bangun dari sandaran kursi.“Tidak perlu khawatir padaku, Charlene. Aku baik – baik saja. Paling, hanya sedikit pegal karena kepala Sofia miring di lenganku.”Sekali lagi Charlene menatap Harger dengan tatapan teduh. Tersenyum. “Kalau begitu berikan Sofia kepadaku. Dia sekaligus akan diperiksa. Barang – barang bawaan biarkan saja ada di
“Sir, bisakah kau hentikan mobilnya sebentar?” Harger segera memindahkan Sofia ke pangkuan Charlene. Telapak tangannya dengan cepat membekap bibir, berusaha menahan golakan yang bergumul di dalam perut. Ya, sebuah desakan untuk muntah. Harger merasakan pusing, beberapa hari belakangan ini seolah tertombak secara beruntun. Dia berusaha tidak berpikiran buruk, meski selalu saja dihantui rasa takut yang besar. Harger takut kalau – kalau dugaannya selama ini benar. Tidak. Dia sungguh berharap tidak. Segera membuka pintu mobil, dan menepi di pinggir jalan berumput. Harger berusaha mengeluarkan apa pun dari kerongkongan saat otot – otot perutnya berkontraksi. Hanya sedikit cairan yang terasa panas. Begitu lelah. Seharian. Pikiran Harger semakin kacau. Dia mengerjap, berjuang mengembalikan satu pandangan buram menjadi utuh. Naluri Harger langsung meraih pegangan ketika Charlene menyusulnya turun. Wanita itu khawatir, sesekali memijit punggung leher Harger dengan napas terdengar kasar.“Ka
Selama beberapa saat, di dalam kamar hotel begitu sunyi, yang terdengar hanya suara gemerisik plastik yang terlumat dalam genggaman Howard. Pria itu menggigit pinggir burger jumbo dengan rakus. Mengambil posisi duduk tepat di samping Deu, sehingga bentuk kasur semakin tenggelam mengikuti bobot tubuhnya yang menekan.“Kau tidak mau?” tanya Howard seraya mendekatkan irisan daging bulat dan tumpukan sayur yang ditutup oleh roti setelah digoreng dengan mentega. Howard mengunyah lahap. Sementara iris gelap itu menatap tanpa selera.“Aku sudah kenyang.”“Kenyang dari mana? Aku tak melihatmu makan dari tadi,” timpal Howard jengkel. Dia menegakkan wajah sekadar mengamati lawan bicaranya lekat – lekat. Ekspresi dingin tak tersentuh rasanya ingin Howard serang dengan satu pukulan mentah. Howard menuding diliputi sorot mata menuntut jawaban.“Aku kenyang melihatmu makan. Kau menjijikkan, menyingkirlah!”Suara decakan bibir, dan gigitan basah di antara isian roti bertingkat
Tujuh jam yang melelahkan. Harger melirik ke sekitar lapangan kosong di mana beberapa mobil berjejer di sana. Ada semacam golakan mencurigakan yang akhirnya membuat dia meragukan kenyataan yang menyergap ke dalam dirinya. Ini terlalu dibuat dengan pengaturan.Jika memang sang hakim, tidak mungkin ada sekelompok orang melakukan penjagaan ketat. Setidaknya Harger cukup mengerti kalau – kalau Deu tidak akan pernah melibatkan banyak orang terhadap kasus antara mereka. Hanya berdua. Bukan dengan cara seperti ini, yang akan digunakan sang hakim sekadar menjerat Harger kembali setelah, andai, pria itu telah menyadari kesalahannya.“Apa mungkin itu mobil – mobil orang yang mencarimu?”Wajah Harger berpaling ke samping ketika Charlene bersuara. Charlene melonggok, berusaha mencari tahu lebih jelas tentang apa yang terjadi. Biasanya anak – anak akan bermain bebas di halaman, tetapi, kali ini, tidak banyak yang terlihat.“Sebaiknya kita turun.”Harger belum mengatakan apa pun, kemudian Charlene