Harger menatap ganggang pintu lamat sambil – sambil memegangi ujung handuk yang melilit di tubuhnya. Telapak kaki setengah lembab betah berdiam diri di tempat. Antara ragu dan tak ingin terlalu lama terpaku. Dia menunggu lewat waktu yang lama sampai suara dari kamarnya menjadi hening; beberapa saat lalu sempat terdengar seperti mur yang ditancapkan ke dinding menggunakan bor.Dengan satu tarikan napas Harger melangkah keluar. Sedikit termangu saat menemukan sang hakim sedang menuruni tangga. Pria itu tidak mengenakan atasan. Hanya celana kain panjang sehingga bahu lebar sang hakim terekspos; samar – samar garis kemerahan memanjang membayang di sana, adalah bekas cakaran kuku Harger.Harger berusaha menahan wajahnya tidak kembali memanas. Akhirnya sang hakim sadar dia sedang berdiri mengamati. Tidak banyak yang pria itu katakan, meski sorot mata yang gelap sesaat bertahan lama memandingi tubuh dilingkupi sehelai kain putih. Baru kemudian sang hakim membungkuk, memungut satu d
Dengan keadaan setengah mengantuk. Harger berjalan pelan menuju jendela. Satu tarikan pada tali menggantung untuk kali pertama setidaknya membuat Harger cukup terkejut sehingga kelopak matanya melentik cantik mengamati tirai yang tergulung ke atas setelah dia menariknya.Menyelesaikan makan malam, tidur, adalah peristiwa paling menyenangkan yang dilakukan semalam. Harger bahkan tak ingin untuk membereskan sisa kekacauan di kamar, memastikan hari inilah dia benar – benar akan menyusun semua perlengkapan yang terbengkalai, berserak sampai di bawah ranjang. Dalaman tipis berenda miliknya. Wajah Harger sedikit memanas saat membungkuk dan menjulurkan lengan untuk meraih kain tipis itu. Hanya ada satu orang pelaku mengapa benda tersebut terdampar di sana. Ujung jari Harger masih berusaha menggapai, begitu serius, sampai dia dikejutkan oleh suara ketukan di luar. Buru – buru Harger bergegas, tanpa sadar mengangkat separuh tubuh. Dan secara mengejutkan dia tak sengaja menghantam batang besi
Sepanjang jalan menjorok ke arah hutan. Deu hanya bisa menghadapi kegelapan dengan memanfaatkan satu – satunya siraman cahaya lewat sorot lampu mobil. Cukup aneh baginya ketika Harger selama ini, sedikitpun, tidak pernah lupa menyalakan lampu jalanan yang tersambung dari listrik utama di rumah, tetapi bahkan keseluruhan bangunan yang menjulang kokoh di antara perpohonan itu, saat ini, luar biasa menggurita; seperti sebuah kehidupan yang hilang dan Harger tenggelam di tengah – tengah kehidupan tersebut. Deu mengerjap berusaha mengenyahkan pikiran buruk, barangkali Harger kelelahan, kemudian tertidur hingga larut malam. Dia masih tenang memastikan mobilnya terparkir di halaman rumah. Segera mengeluarkan ponsel untuk memancarkan penerangan sebelum menggapai saklar. Seketika satu demi satu lampu menderang. Deu menyipitkan mata sesaat setelah pantulan – pantulan cahaya terbiasa membias di iris gelapnya. Dapur menjadi ruang paling pertama tempat Deu melangkahkan kaki. Keanehan m
Setelah melakukan perjalanan dengan perasaan bergemuruh liar. Harger tidak begitu banyak bicara, dan bahkan sama sekali tak akan pernah mengatakan kebenaran kepada ibu panti asuhan, yang sudah dianggap seperti ibu kandung sendiri. Wanita itu tetap menyambutnya hangat. Memberi sebuah pelukan yang begitu Harger butuhkan. Tetapi saat ini, Harger hanya ingin momentum paling hening untuk mengembalikan separuh ketenangan dalam dirinya. Rasanya dia begitu terenggut. Hati, kepercayaan, semua seolah telah hilang di waktu ketika dia tahu sedang menghadapi gencatan bahaya.Harger bertanya – tanya sudah seberapa sering sang hakim menyaksikan dia yang ada di dalam kamar itu, dalam keadaan apa pun, ntah bertelanjang atau tidak, atau saat dia berada di suatu kondisi tertentu, yang tidak seharusnya diketahui siapa pun. Harger sering melamun untuk kesedihannya. Dan dia yakin Deu telah melihat yang lainnya. Diliputi perasaan masih bergolak tidak tenang, Harger mengembuskan napas dari sela – sela bibir
Harger menikmati kegiatan menyiapkan sarapan di dapur bersama Charlene dan Deminti, wanita paruh baya yang turut mengabdikan hidup untuk kesejahteraan anak – anak di panti asuhan. Mereka memasak dalam porsi yang besar. Setiap harinya harus selalu cukup, tidak dengan makanan mewah, tetapi setidaknya bergizi.Drop Scone untuk sarapan pagi ini. Makanan sejenis pancake yang dibuat dengan menjatuhkan sesendok adonan ke wajan panas. Hidangan sederhana ini akan diberi tambahan; toping madu, selai dengan pelbagai rasa, dan krim kocok—Harger sedang membuatnya, hampir selesai, hanya perlu memadukan butter cream dan whipped cream ke dalam satu wadah bersama. Mengocok dengan mixer hingga tercampur merata. “Sudah jadi, Demi.”Harger tersenyum kepada Deminti. Wanita dengan kesibukkan menyusun Drop Scone di tiap – tiap meja baris di atas meja makan. Anak – anak akan segera berkumpul. Drop Scone memang seharusnya dimakan saat sedang hangat – hangatnya.Harger menuang madu ke atas D
Harger menyelesaikan kegiatan berkemas, pagi – pagi buta, tepat setelah Charlene muncul di depan pintu kamarnya. Tatapan teduh dan senyum tipis dari wanita itu tidak pernah berubah, meskipun Harger telah menyadari satu langkah Charlene semakin mendekat.“Kau yakin bisa menggantikan Deminti untuk menemaniku pergi? Tujuh jam dengan mobil. Ini perjalanan yang jauh, Harger. Kau sendiri belakangan ini kelihatan lelah.”Sekali lagi. Charlene selalu memastikan bagaimana Harger dengan keputusan yang tidak pernah berubah seharusnya mengurungkan niat. Tetapi Harger tidak pernah, sedikitpun, merasa ragu untuk melakukan perjalanan ke Bristol. Mereka memiliki sedikit urusan terkait surat hak kepengurusan yang akan dikeluarkan oleh lembaga tinggi rumah sakit di Bristol. Harger tidak tega membiarkan Charlene menyelesaikan semuanya seorang diri selama dalam perjalanan. Sementara Deminti dua hari belakangan mengeluh sakit. Harger sendiri yang mengajukan diri untuk menggantikan posisi wanita itu, sek
“Kau lelah?” tanya Charlene. Kurang lebih delapan jam perjalanan jauh dari Skotlandia ke Bristol, Inggris. Terasa benar – benar menegangkan tulang punggung mereka. Pemberhentian terkadang hanya dimanfaatkan untuk mengisi perut yang kosong. Tetapi sekarang, di depan halaman parkir rumah sakit mereka bisa merasakan sedikit kelegaan. Charlene terus memandangi Harger, lalu mendesah. “Wajahmu pucat, Harger. Aku sudah bilang, kau seharusnya tidak ikut,” ucap Charlene menyesal. Di tangan Harger yang cakap, bayi delapan bulan masih tidur begitu lelap. Charlene merasa semakin bersalah ketika gadis di sampingnya hanya tersenyum, dan berusaha untuk bangun dari sandaran kursi.“Tidak perlu khawatir padaku, Charlene. Aku baik – baik saja. Paling, hanya sedikit pegal karena kepala Sofia miring di lenganku.”Sekali lagi Charlene menatap Harger dengan tatapan teduh. Tersenyum. “Kalau begitu berikan Sofia kepadaku. Dia sekaligus akan diperiksa. Barang – barang bawaan biarkan saja ada di
“Sir, bisakah kau hentikan mobilnya sebentar?” Harger segera memindahkan Sofia ke pangkuan Charlene. Telapak tangannya dengan cepat membekap bibir, berusaha menahan golakan yang bergumul di dalam perut. Ya, sebuah desakan untuk muntah. Harger merasakan pusing, beberapa hari belakangan ini seolah tertombak secara beruntun. Dia berusaha tidak berpikiran buruk, meski selalu saja dihantui rasa takut yang besar. Harger takut kalau – kalau dugaannya selama ini benar. Tidak. Dia sungguh berharap tidak. Segera membuka pintu mobil, dan menepi di pinggir jalan berumput. Harger berusaha mengeluarkan apa pun dari kerongkongan saat otot – otot perutnya berkontraksi. Hanya sedikit cairan yang terasa panas. Begitu lelah. Seharian. Pikiran Harger semakin kacau. Dia mengerjap, berjuang mengembalikan satu pandangan buram menjadi utuh. Naluri Harger langsung meraih pegangan ketika Charlene menyusulnya turun. Wanita itu khawatir, sesekali memijit punggung leher Harger dengan napas terdengar kasar.“Ka
Tidak. Harger tidak ingin mengambil risiko tersebut dengan mengabaikan kebutuhan sekarang. Langsung menerobos masuk hingga sebuah pemandangan tak terduga, sungguh, seolah ingin menyeretnya melangkah mundur. Dia menyaksikan sendiri sebentuk tubuh sang hakim sedang menduduki tubuh seseorang. Tangan pria itu membentuk kepala mantap, yang berulang kali dilayangkan ke wajah pria malang—terkapar—dengan keseluruhan dilimuri darah. “Deu.” Harger tidak mungkin membiarkan suaminya terlarut lama ke dalam angkara murka yang mengerikan. Berlari secepatnya hanya untuk menghentikan pria itu lewat tindakan membabi buka. Deu tidak bisa mengambil tindakan tersebut di saat – saat seperti ini, meskipun bukan hal mudah memisahkan pria yang sungguh telah meledakkan seluruh hal terpendam dalam emosi yang selama ini tertunda. “Sudah, Deu, hentikan.” Napas Harger tak kalah menggebu saat dia harus benar – benar menarik tubuh sang hakim. Untunglah setelah melewati pelbagai kesulitan, dia perlahan men
Harger mungkin menikmati masakan dari suaminya yang telah bersedia meluangkan waktu berkutat lama di dapur, tetapi dia tetap merasa ganjil ketika pria itu menolak ajakan makan bersama. Alih – alih setuju, justru Harger mendapati sang hakim berpamitan pergi—ntah akan ke mana. Dia mencoba menemukan petunjuk. Tanpa sepengetahuan sang hakim, Harger telah melakukan sesuatu tepat saat di mana pria itu beranjak ke kamar. Dia tidak bisa membiarkan rasa ingin tahu yang membludak, terus membara seperti benar – benar ingin membakarnya. Tidak akan sanggup bertahan lebih lama. Itu benar. Secara naluriah tangan Harger meletakkan garpu untuk bersinggungan di atas piring. Bisa menikmati lasagna belakangan waktu. Sekarang dia harus melakukan satu hal pas. Merogoh ponsel di saku celana. Howard. Ya, saat – saat seperti ini Harger akan sangat membutuhkan kemampuan Howard. [Ada apa menghubungiku, Lil’H?] Suara pria itu mencu
“Apa yang kau lihat, Deu?” Mereka sedang berbelanja, tetapi baru saja sang hakim membuatnya seperti bicara kepada patung. Harger tidak mengerti apa terjadi dan mengapa dia harus mendapati Deu terlihat berbeda dari mula – mula mereka memasuki pusat pembelanjaan. Ditambah kenyataan harus menatap cengkeraman tangan yang mengetat di troli bayi, itu makin meninggalkan perasaan ganjil tak tertahan. Nyaris lima bulan setelah masa – masa indah menjadi orang tua, Harger tidak pernah menyaksikan sang hakim menunjukkan sikap tak terbantahkan. Mata gelap itu mendelik tajam. Seperti sembunyi – sembunyi menyimpan sesuatu. Namun, dia sama sekali tak sanggup menggapai satu pun terhadap apa yang sedang suaminya pikirkan. Hanya sekelebat menatap ke mana arah pandang pria itu. Pun ... Harger tidak menemukan sesuatu secara spesifik, selain bahu seseorang yang telah meninggalkan tempat di mana beberapa orang berjalan keluar masuk. Tak tahan. Dia memutuskan untuk menyentuh lengan sang hakim. Pria itu
Harger meletakkan bayi kecil yang baru saja dimandikan ke keranjang. Di rumah sedang kedatangan banyak tamu. Pak Sekretaris bersama seluruh keluarga. Ada Daisy dan Mr. Thamlin. Benar – benar ramai mengagumkan. Harger tidak tahu harus berkata seperti apa bahwa dia sungguh diterima dengan sangat baik. Ada ibu mertua, saudari ipar, dan hal – hal yang sering sekali mereka perhatikan. Rasanya dia nyaris tidak diperbolehkan melakukan apa pun, bahkan meski hanya mengerjakan sesuatu di dapur, yang lagipula sang hakim akan mengajukan diri—menyelesaikan semua, kemudian mereka akan berbincang – bincang, hampir seperti berbisik agar bayi tidak terbangun. Satu hal yang tidak Harger lupakan. Charlene dan Deminti juga sudah mendatanginya, mereka tiba di Italia tanpa sepengetahuan Harger, kecuali sang hakim. Ajaibnya pria itu setuju untuk merahasiakan kenyataan tersebut sesuai permintaan Charlene, bahkan menyiapkan kejutan untuknya. Harger bahagia bahwa semua orang yang dia kenal sangat dekat,
Hari ini .... Tiba pada momen yang menegangkan. Harger tidak tahu bagaimana dia akan menghadapi proses melahirkan yang sudah berada di depan mata. Dimintai untuk berjalan – jalan lebih sering dan melakukan apa pun supaya menghadapi persalinan dengan mudah. Tetapi Harger merasa beruntung memiliki suami seperti sang hakim. Pria itu dengan sabar menemani dia berjalan ke mana pun di taman rumah sakit. Mengerjakan apa saja yang Harger sudah tak bisa lakukan setelah menghadapi perutnya yang membesar. Seperti sekarang terjadi. Harger menahan napas ketika tanpa sengaja menjatuhkan sapu tangan, kemudian sang hakim segera membungkuk, meraih benda tersebut dan menyerahkannya kembali. “Terima kasih, Yang Mulia. Aku mencintaimu.” Saat – saat seperti ini memang dibutuhkan keromantisan. Harger berpengangan erat di lengan suaminya. Mereka berjalan sangat pelan menyusuri jalan yang dibeton, tetapi Harger sedang bertelanjang kaki. Pada beberapa momen tertentu sang hakim
Senyum Harger lagi – lagi melebar saat mengamati sesuatu yang terasa indah.Garis dua ....Tadi pagi hampir tanpa sadar dia melompat girang. Melakukan tes, lalu mendapati bahwa dirinya positif hamil, itu merupakan momen tak terlupakan setelah harus menghadapi pelbagai desakan tidak nyaman belakangan ini. Keinginan untuk muntah, golakan mual, dan semua yang menghantam Harger sebagai satu kesatuan paling mengerikan—sebuah alasan serius mengapa kebutuhan – kebutuhan tersebut akhirnya meninggalkan perasaan curiga. Dia telah mengambil keputusan yang tepat dengan mengetahui kebenaran terlalu dini.Langkah Harger tentatif mendekat ke lemari pakaian. Ada sesuatu yang perlu dia lakukan sebelum memberitahu informasi ini kepada suaminya. Ya, meletakkan benda pipih di tanganya ke dalam kotak persegi panjang, lalu pelan – pelan membongkar lipatan kain di dalam rak demi mengambil sesuatu di sana. Pakaian rajut bayi buatan tangan Daisy, yang masih tersimpan utuh di sana, untuk kemudian
“Jika kau tidak pernah siap, kita tidak akan turun, Harger.”Harger mengerjap setelah beberapa saat jatuh ke dalam pemikiran usang di benaknya. Semua sudah saling memaafkan. Sesuatu yang mengikuti di belakang bahunya kan selalu mengingatkan bahwa Laea sudah tenang di mana pun wanita itu berada. Tidak ada yang akan Harger katakan. Dia menatap sang hakim dengan sudut bibir melekuk tipis. Mereka memang memutuskan untuk berziarah ke makam Laea. Banyak yang ingin Harger curahkan, meski dia mungkin tak mengeluarkan suara ke permukaan sementara sang hakim ada di sampingnya. Hanya menatap setengah kosong pada undakan tanah yang indah—terawat begitu baik, dengan rumput – rumput terpotong begitu rapi merata.Ujung tangan Harger terulur meletakkan buket mawar, kemudian menyentuh nisan atas nama saudari perempuannya. Sedikit rasa sesak seperti berusaha menumbuk jantung Harger. Berulang kali dia berusaha menarik napas pelan, dan mengembuskan ke udara, tetapi kadang – kadang matanya
“Apa yang kau pikirkan, Deu?” Harger bertanya sarat nada lambat. Hati – hati dia menyentuh punggung tangan sang hakim. Perlahan menautkan jari – jari tangan mereka, lalu meremasnya lembut. “Kau kepikiran soal adikmu? Apa yang benar – benar sudah kalian bicarakan? Aku hanya dengar beberapa, tapi yakin kau tidak akan seperti ini jika bukan karena sesuatu. Sekarang ceritakan padaku?'" Tadinya, Harger memang tak berniat mencampuri lebih banyak. Merasa tidak berhak. Namun, jika pada akhirnya Deu akan terus – terusan terpengaruh, dia tidak akan bisa menahan diri. Tidak tahu kapan sang hakim akan selesai dengan perselisihan batin yang terlihat luar biasa mencolok. Harger akan menunggu. Semenit, dua menit, hingga waktu yang berjalan seperkian saat. Cukup lama ... lalu embusan napas sang hakim terdengar kasar. “Astoria menolak perintahku untuk meninggalkan bajingan itu.” “Dengan mengakui bahwa Orion tidak pernah tahu dia hamil, aku rasa bukan
“Aku bingung bagaimana alat peledak bisa berada di kepala Orion. Memangnya seberapa kecil ukuran alat peledak itu?”Harger bicara sayup – sayup di dapur sambil memegangi senter untuk menerangi pemandangan di sekitar suaminya. Sang hakim sibuk menyiapkan lasagna menjadi potongan sama rata setelah tadi ... menyalakan kembali ke api oven, dan mereka menunggu beberapa saat.Wajah tampan itu benar – benar begitu serius. Harger mengembuskan napas cukup kasar ... ntah kapan sang hakim akan menjawab pertanyaannya.“Deu.”Harger tidak akan tahan ketika sang hakim hanya diam. Masing – masing potongan lasagna diletakkan di atas piring, yang kemudian disusun di atas nampan—akan siap dibawa ke ruang tamu. Tetapi sebelum itu, iris gelap sang hakim mendadak fokus menatap lurus ke depan, seolah sedang memikirkan sesuatu, atau mungkin telah berniat memberi Harger tanggapan.“Ukurannya sebesar kapsul obat, yang dimasukkan melalui rongga hidung dengan cara ditembak.”Seharusnya