"Qila, Mama mana Nak?" tanyanya dengan nada cemas.
"Mama di atas Pa," jawab Qila masih sambil menangis.Setelah mendengar jawaban putrinya, Jean pun naik ke lantai 2 di susul Nilam di belakangnya. Gadis itu sebenarnya tidak terlalu peduli dengan apa yang terjadi pada Elisha. Tapi dia harus ada di sana untuk jaga-jaga kalau seandainya Elisha sok caper di hadapan Jean."Elisha! Elisha!" Jean mengetuk pintu dengan tidak sabaran. Ia juga tidak lupa memanggil nama mantan istrinya beberapa kali supaya Elisha mau keluar. "Elisha! Kamu ngapain di dalam? Ayo keluar Sha! Ini aku, Jean!"Tidak ada jawaban. Suasana di dalam kamar yang hening membuat wajah Jean tampak pasi. Ia menatap Nilam dengan pandangan yang sulit diartikan."Elisha! Buka pintunya, Sha! Kamu kenapa Sha? Ayo cerita sama aku! Jangan diem kayak gini?"Masih hening."Sha! Kalau kamu nggak keluar, aku bakal dobrak pintunya!" ancam Jean. Tapi lagi-lagi janda cantik itu tida"Gimana? Udah tenang?" Itulah yang Jean tanyakan pada Elisha, tepat ketika mantan istrinya menyodorkan cangkir teh yang baru saja diminum olehnya.Elisha menganggukkan kepalanya. Dibanding beberapa saat lalu, perempuan itu memang lebih rileks sepertinya. "Makasih ya Mas.""Sebenarnya kamu ini kenapa? Kok bisa kamu marah-marah kayak tadi?" tanya Jean lagi. Ia sempat meletakkan cangkir yang dia terima dari Elisha dan menaruhnya ke atas meja."Kenapa kamu heran, kak? Bu Elisha itu udah sering kok marah-marah nggak jelas kalau di kantor." Nilam tadinya tidak mau terlalu ambil pusing, tapi melihat Elisha bersikap dramatis seperti beberapa waktu yang lalu, dia jadi dongkol setengah mati.Elisha melirik tajam ke arah Nilam. Yang tentu saja dibalas acuh oleh putri tunggal Bu Mala tersebut."Aku cuma sedikit kesal sama diriku sendiri Mas," jawab Elisha lirih. Mimik wajahnya dibuat sesedih mungkin agar orang lain— atau lebih tepatnya Jean, menjadi
"Kamu ini masih bocah. Anak kemarin sore. Tau apa soal hati dan perasaan orang lain?""Aku emang masih noob soal percintaan Bu Elisha," balas Nilam dengan nada penekanan. "Tapi aku tau betul gimana cara mempertahankan apa yang aku punya.""Maksud kamu apa ngomong gitu? Kamu pikir aku bakal rebut Mas Jean dari kamu?" sahut Elisha ketus.Nilam melipat kedua tangannya di depan dada. "Iya. Aku emang ngerasa gitu, Bu. Apalagi sejak Dikta nolak ibu.""Sok tau kamu.""Bukan sok tau. Tapi emang tau.""Kamu nguping?""Iya. Maklumin ya bu, kepo soalnya.""Nggak tau malu kamu!" amuk Elisha. Rasanya dia sudah benar-benar muak pada Nilam."Dikira ibu enggak?" Nilam mengangkat dagunya. Ia mendekati Elisha tanpa rasa takut sama sekali. "Sekarang apa niat ibu kayak tadi? Mau caper di depan kak Jean ya?"Elisha sudah mengangkat tangannya. Bersiap untuk menampar gadis itu."Elisha!!!" Tapi sayangnya Jea
"Jangan bilang kamu lagi topless?"["Kok tau."]"Nebak aja sih."["Mau liat nggak?"]Nilam melotot kaget. "Liat apa?"Bukannya menjawab, Jean malah menjauhkan kamera depan ponselnya hingga memperlihatkan bahu lebarnya yang sempurna. Mundur sedikit lagi— dan Nilam bisa melihat dada bidang Jean yang cocok buat dijadikan bantal buat rebahan."Emm...." Nilam menarik bed covernya hingga menutupi separuh wajahnya. Ia sedang menyembunyikan pipinya yang memerah karena ulah Jean. ["Gerah banget di sini, Nilam."]"Masa sih? Emang kakak nggak nyalain AC?"["Udah. Tapi tetep aja panas."]"Aku malah sebaliknya kak. Di sini dingin banget."["Oh ya?"]"Uhm. Nih, aku sampai selimutan."["Hah..."]Helaan nafas Jean membuat Nilam bingung. "Kenapa kak?"["Aku jadi pengen ke sana deh. Supaya bisa gantiin posisi selimut kamu."]"Seandainya Mama keluar kota, uda
Sudah hampir satu minggu Elisha tidak masuk kantor. Dia ijin tidak masuk pada Dikta dengan alasan sakit. Walaupun sebenarnya itu hanya alibinya saja. Dan hari ini dia memilih untuk masuk kerja dan bersikap seolah tidak ada apa-apa.Elisha berniat untuk fokus saja pada pekerjaannya dan tidak mau banyak tingkah. Yah, ia ingin melewati hari-harinya seperti sebelum pertengkaran itu terjadi.Seperti yang sudah-sudah, hal yang pertama di lakukan oleh Elisha adalah membuatkan kopi untuk Pradikta. Ia masuk ke dalam ruangan sang Bos dan menyiapkan semua itu untuk sang atasan.Tepat setelah ia selesai membuat kopi, di waktu yang bersamaan, Dikta masuk ke dalam ruangan. Bos tampan itu sedikit terkejut saat melihat kehadiran Elisha setelah sekian lama."Wah, akhirnya kamu masuk kerja juga." Dikta mendekati Elisha lalu memeluknya dari belakang. Sayangnya, Elisha langsung menepis lengan pria itu dan menjauh beberapa langkah.Dikta mengerutkan alisnya.
"Lagi nyariin siapa Nilam?"Gadis itu menoleh. Tak jauh dari tempatnya berdiri, ada sosok seorang pemuda yang juga teman sekelasnya sedang berjalan ke arahnya."Eh, Anton! Ini nih, gue lagi nyari seseorang nih."Pemuda 20 tahunan itu mendekati Nilam dan berhenti di depannya. "Siapa?""Ada deh," balas Nilam sekenanya."Gimana kalo lo bareng ama gue aja? Kan arah rumah kita sama? Daripada lo celingukan di sini kayak anak hilang?"Nilam menatap cowok berjaket kulit di depannya sambari menggeleng. "Enggak bisa. Kan gue udah janji ama dia.""Aduh, Nilam... Cowok tukang telat itu nggak bisa dipercaya. Mending ama gue aja baliknya, udah pasti. Daripada lo ada di tengah parkiran kayak kerupuk yang lagi di jemur ya kan?""Kurang ajar ngatain gue kayak kerupuk.""Sorry."Nilam mengerucutkan bibirnya. "Udah sana! Lo balik duluan aja!""Yakin lo nggak mau bareng ama gue?" tanya Anton agak maksa. "Gue bawa helm cadangan kok. Nanti lo bisa pake itu.""Enggak usah, Anton. Makasih!""Yakin...""I—""
"Gimana? Udah siap?"Nilam melihat ke arah Jean sebentar dan menggangguk. Rasanya dia sudah siap untuk meluncur."Pegang tanganku!" titah Jean. Setelah Nilam melakukannya, Jean pun dengan hati-hati menarik tubuh Nilam untuk ikut berseluncur pelan. Posisi keduanya sekarang saling berhadapan satu sama lain dengan saling menggenggam."Liat aku aja, Nilam! Kalau kamu liat ke bawah, kamu malah nggak bakal fokus!"Nilam mengangkat kepalanya setelah mendengar arahan Jean. Walaupun kesulitan tapi gadis itu terlihat senang."Susah..." rengek Nilam."Nggak apa. Gerakan kamu udah bagus kok. Bentar lagi juga kamu bakal terbiasa."Nilam lagi-lagi hanya mengangguk. Ia terlihat berusaha keras untuk mengimbangi Jean. Walau sering oleng dan hampir jatuh, tapi ia terlihat senang sekali.Sungguh, gadis itu tidak menyangka jika kencannya dengan Jean hari ini memberikan pengalaman baru yang cukup menyenangkannya baginya.Tapi..."Fokus Nilam!" omel Jean ketika Nilam justru sibuk melihat ke arahnya."Udah
"Pa, gimana kalo kita kasih kejutan buat Mama?" tanya Qila bersemangat.Nilam mendelik. 'Kalau ada kejutan, berarti bakal ada momen Elisha caper ke Jean dong?'"Kejutan gimana?" tanya Jean dengan sabar."Mama kan pulangnya malem Pa, nanti sebelum Mama pulang papa ke rumah aja. Nanti kita kasih kue-nya ke mama," ucap Qila memberi saran.Jean tidak langsung memberikan jawaban. Dia justru lebih dahulu melihat ke arah Nilam seolah meminta persetujuan.Paham dengan maksud tatapan sang kekasih, Nilam pun berucap, "Wah, ide bagus tuh Mbak Qila." Dia memasang wajah excited agar Qila tidak curiga padanya. "Nanti kita juga bisa kasih hadiah buat Mama kamu."Jean menghela nafas panjang, dia pikir Nilam tidak akan setuju karena nanti dia harus bertemu dengan Elisha."Tuh kan, emang ide Qila itu bagus Pa." Qila makin girang."Tapi, Mbak Nilam boleh ikut nggak?" tanya gadis itu kemudian.Qila mengerutkan keningnya. "
"Suapan pertama mau mama kasih ke Qila..." Dengan wajah sumringah ia menyuapi putrinya itu."Makasih Ma," balas Qila happy."Suapan kedua buat..." Elisha terlihat ragu-ragu untuk menyebut nama Jean. Tapi dari tatapan matanya jelas mengisyaratkan untuk siapa suapan tersebut."Buat Papa aja Ma!" Qila lebih dahulu memotong. Dan tentu saja itu bisa jadi alasan yang bagus buat Elisha."Kalau Papa kamu mau Qila," desis Elisha lirih.Jean hanya diam saja. Sementara Nilam, jangan ditanya, ekspresi wajahnya sudah tidak enak sejak tadi."Papa! Papa mau kan disuapin Mama?" tanya Qila sambil menggunvangkan lengan lelaki itu.Duda tampan itu hanya melirik ke arah Nilam. Namun kali ini, Nilam memilih untuk pura-pura tidak melihatnya."Papa..." rengek Qila.Demi Qila, Jean terpaksa membuka mulutnya dan menerima suapan dari Elisha."Yai..." Qila berseru semakin senang. "Selamat ulang tahun ya Mama.""
"Sayang... Sayaaang...""Sayaaang ayo banguuun...""Hnggg?" Tidur Jean hari itu sedikit terganggu karena panggilan lembut Nilam. "Apa Nilam sayang?" Mau tak mau, ia membuka kedua matanya dan membiasakan sinar matahari menyilaukan pandangannya."Sayang, liat deh!" Nilam memegang pipi Jean yang masih sibuk memfokuskan penglihatannya, memaksa pria yang beberapa tahun lebih tua darinya ini untuk menatap langsung ke arahnya."Nilam? Ngapain kamu pake baju gitu?" Rasa kantuk Jean seketika lenyap, matanya bahkan nyaris mendelik saat melihat istrinya hanya memakai bikini.Yup— BIKINI! Warna pink pula. Ada hiasan pita di bagian dada pula. Dan celananya— kalau ditarik sedikit saja sudah ke mana-mana itu aurotnya Nilam."Iih! Kamu gimana sih?" Nilam yang tadinya berdiri di samping ranjang dengan posisi setengah membungkuk supaya bisa melihat wajah suaminya dari dekat langsung mundur. Dia duduk dengan posisi W di atas tempat tidur sambil memasang raut cemberut. "Katanya mau ngajakin renang pagi-p
Devi menatap Elisha dengan mata berkaca-kaca. Bukan karena kasihan—tapi karena ia bisa merasakan tulusnya penyesalan itu. Rasa bersalah yang tak hanya tertahan di kepala, tapi meresap hingga ke dalam tulang. Elisha mungkin tak lagi bersama Jean, tapi luka yang ditinggalkan masih menggores.“Sha… semua orang pernah buat kesalahan,” ucap Devi lirih. “Yang membedakan kita adalah gimana kita belajar dari situ.”Elisha hanya menunduk. Tangannya kembali meremas ujung selimut. Kali ini, ia tak lagi menahan air mata. Setetes jatuh, menyusul satu lagi. Tapi tak ada isakan, tak ada tangisan keras—hanya keheningan yang menyakitkan.“Aku cuma pengen jadi ibu yang layak buat Qila,” ucap Elisha lirih. “Aku gak bisa balikin waktu, tapi aku pengen punya kesempatan kedua. Meskipun kecil… meskipun aku harus mulai dari nol.”Devi meraih bahunya, menepuk pelan. “Dan kamu akan punya kesempatan itu, Sha. Kamu udah jalanin hukumannya, kamu udah bayar semua. Yang penting sekarang, kamu harus semangat. Kamu j
Di saat begitu, tiba-tiba saja suara dari televisi kecil yang menggantung di sudut ruangan terdengar lebih jelas. Awalnya hanya sekilas suara pembawa berita yang menyebut nama-nama populer di dunia bisnis, tapi tak lama, gambar wajah Jean dan Nilam terpampang jelas di layar.Devi yang tadinya menunduk menepuk-nepuk punggung balita, refleks mendongak ke arah TV.“Eh, itu bukannya?” gumam Devi.Elisha pun spontan ikut menoleh. Pandangannya langsung tertumbuk pada tayangan berita infotainment yang menampilkan potongan-potongan video pernikahan mewah. Ada kilatan blitz kamera, dekorasi bunga warna peach dan putih, dan tentu saja—sosok Jean yang mengenakan setelan jas putih elegan, berdiri di samping seorang wanita cantik bergaun pengantin berwarna senada.“Jean, pengusaha muda sukses sekaligus duda beranak satu, hari ini resmi menikahi Ayunda Nilam Wijaya anak dari pengusaha properti Wijaya dan ibunya Bu Mala, pemilik franchise minuman terkenal di Indonesia. Pernikahan mereka digelar seca
Suara anak-anak menyanyi riang memenuhi aula kecil yang terang oleh cahaya matahari yang menyusup dari jendela. Di tengah kerumunan anak-anak itu, berdiri seorang wanita dengan senyum keibuan—rambutnya dikuncir sederhana, seragam berwarna abu-abu yang dikenakan pun tak bisa menyembunyikan aura keibuannya.Elisha...Mantan istri Jean itu kini tengah menjalani kegiatannya yang seperti biasa. Dan karena hari ini hari senin, ia dapat jadwal mengajar untuk anak-anak panti asuhan sebagai bentuk kontribusi sosialnya“Ayo, kita ulang lagi dari bagian reff-nya ya, pelan-pelan, satu-satu.”Elisha mengangkat tangannya memberi aba-aba. Tangannya menggenggam ukulele kecil, yang ia petik lembut untuk mengiringi anak-anak menyanyi. Suaranya sabar, tidak pernah meninggi, bahkan ketika beberapa anak mulai tak fokus."Bunda, aku lupa nadanyaaa,” rengek salah satu anak.Elisha tertawa kecil. “Nggak apa-apa, kita ulang bareng-bareng. Kita belajar pelan-pelan ya, sayang.”Anak-anak kembali tertawa, suasan
"Liat deh, Dikta!"Dikta yang sedang bersantai sambil bermain ponsel, dikejutkan dengan kedatangan ibunya yang heboh. Di tangan kanannya Bu Sinta membawa sebuah ponsel yang hendak ditunjukkan padanya."Liat ini deh, Nak!" Bu Sinta memberikan hapenya pada Dikta."Apa ini Ma?" tanya pria berambut sedikit panjang itu."Itu acara pernikahan Jean dan Nilam kemarin."Dikta yang tadinya tak begitu tertarik dengan kabar yang akan di sampaikan oleh Mamanya, seketika mengalihkan pandangannya ke arah ponsel pintar tersebut.Di dalamnya ada beberapa foto pernikahan Nilam yang meriah. Dari proses pengikatan janji suci hingga resepsi. Foto-foto itu di posting di akun IG bu Mala. Tentu saja caption yang menyayat hati."Akhirnya Nilam nikah juga ya," ucap Bu Sinta kagum. "Tapi sayang, suaminya itu duda. Musuh kamu pula."Dikta terdiam. Ucapan sang Mama terdengar nyelekit tapi ada benarnya. Yang dimaksud musuh di sini bukanlah musuh di persidangan, tapi rival sesama CEO perusahaan."Padahal Nilam masi
"Kayaknya, ga usah nunggu lama, aku bakal hamil deh, Yang." Jean yang sudah dilanda rasa kantuk itu seketika membuka lagi kelopak matanya, karena mendengar ucapan Nilam barusan. "Kenapa?" Ia melirik ke arah sang istri yang sedang membalut tubuhnya menggunakan bedcover hingga sebatas leher. "Gimana enggak, kamu jago banget nembaknya. Rahimku berasa penuh gara-gara kamu keluar beberapa kali tadi." Jean seketika jadi salting. Ucapan Nilam yang terdengar Nilam itu benar-benar membuatnya salah tingkah. Ia memiringkan tubuhnya dan memeluk perut Nilam. "Ya bagus dong, supaya Qila gak terlalu lama menunggu punya adiknya." Nilam meringis kecil. Ia sedikit kegelian saat Jean mengusap pelan perutnya yang rata. "Aku juga seneng banget kalau punya anak dari ibu se gemesin dan secantik kamu," lanjut Jean sambil mengecup pipi Nilam. "Kamu maunya anak laki-laki atau perempuan?" tanya Nilam kemudian. Sejujurnya dia memang sudah sangat mengantuk, ditambah aktivitas panas keduanya beberapa waktu
"Capeknya..." Kasur yang empuk adalah tempat yang paling Nilam impikan sejak beberapa jam yang lalu. Punggungnya benar-benar sudah pegel karena terus berdiri di acara resepsi. Kakinya juga. Kalau bukan Tuhan yang nyiptain, kakinya udah patah sih kayaknya. "Ganti baju dulu, Nilam sayang. Kamu juga belum bersih-bersih." Jean yang mengikuti gadis itu di belakangnya, mulai melepaskan jas pengantinnya. FYI, mereka emang langsung nyewa satu kamar hotel yang berada di gedung yang sama dengan acara resepsi karena permintaan Nilam. Maklum, kaum mager seperti Nilam ga bakal sanggup kalau setelah resepsi harus pulang dulu ke rumah atau apartemen. Apalagi jaraknya hampir 2 jam dari sini. "Mager sayang. Maunya langsung tidur." "Emang kamu ga sumpek pake gaun gitu?" Nilam membuka matanya. Ia melihat ke arah Jean yang sedang menyingsingkan lengan kemeja panjangnya. "Ya sumpek sih. Tapi beneran mager banget ini." Jean menggelengkan kepalanya. Ia tersenyum maklum sambil menarik kedua pergelanga
Setelah Nana dan Reno pamit, Jean menoleh pada Nilam yang dari tadi terus tersenyum sambil menyambut para tamu. Tapi ia tahu, senyuman itu mulai terasa dipaksakan. “Sayang, kamu kelihatan capek.” Nilam sempat menggeleng kecil, masih ramah melambai ke tamu lain. “Nggak kok. Aku gak apa-apa.” Jean tersenyum tipis, lalu mengisyaratkan pada salah satu panitia untuk membawakan segelas air putih. Tak lama, air itu datang bersamaan dengan dua kursi yang langsung diletakkan agak ke sisi, masih dekat pelaminan tapi sedikit lebih tenang. “Duduk dulu, ya!” bisik Jean seraya menggandeng tangan istrinya. Nilam sempat ragu, tapi akhirnya menurut. Sepatunya yang berhak tinggi sudah terasa menyiksa dari tadi. Ia duduk pelan-pelan sambil menarik napas dalam. “Thanks, sayang,” ucapnya tulus. Jean ikut duduk di sebelahnya, lalu meraih tangannya dan menggenggamnya erat. “Hari ini milik kita berdua. Tapi aku gak mau kamu maksain diri demi kelihatan kuat. Nikmati aja, ya?” Nilam tersenyum lembut.
Hari H pun tiba. Suasana pernikahan Nilam dan Jean dipenuhi dengan kebahagiaan dan kehangatan keluarga. Rangkaian bunga yang indah dan dekorasi yang bersinar menambah nuansa romantis di ruang pernikahan. Kedua pasangan itu berdiri di panggung resepsi dengan senyuman yang tak terus terkembang di wajah masing-masing, sama-sama siap untuk memulai babak baru dalam kehidupan mereka. "Kamu cantik banget." Nilam tersenyum malu, entah sudah berapa kali Jean mengatakan itu padanya hari ini. Dan yeah, gadis itu memang terlihat sangat cantik sekaligus anggun. Gaun pengantin warna putihnya begitu pas di tubuh ramping Nilam, rambutnya sengaja di sanggul ala modern. "Kamu juga keren banget," balas Nilam sambil memandang ke arah suaminya. Yah, beberapa saat yang lalu mereka telah mengikat janji suci pernikahan dengan di saksikan para tamu undangan. Manik gelap Nilam menatap lekat ke arah Jean yang begitu gagah dengan setelan jas warna putih, dasi hitam, dan sepatu fantofel. Terlihat sederh