"Enghhh?" Nilam mengerang kecil. Sebelum mengerjapkan kedua matanya dan mulai mengedarkan pandangannya. "Kita udah sampai Nilam," ulang Jean yang melihat si pembantu tampak kebingungan.Nilam tersentak kaget. Ia langsung duduk dengan tegap hingga membuat kepalanya pusing. Dia kaget karena tau-tau sudah tiba di rumah."Maaf ya Pak, saya ketiduran," pinta Nilam sendu." Nggak apa, Nilam. Ayo turun!"Nilam menganggukkan kepalanya. Menyusul Jean yang lebih dahulu keluar dari mobilnya. Baru juga turun dari mobil, dan berdiri selama beberapa detik, Nilam merasa kepalanya mendadak pening. Hingga membuat kakinya goyah dan tubuhnya oleng. Untung saja Jean langsung menangkap lengan Nilam hingga perempuan itu tidak jatuh."Kamu nggak apa Nilam?" tanya Jean khawatir."E- enggak Pak. Cuma pusing dikit." Nilam berusaha untuk kembali berdiri tegap. Bagaimana pun juga, ia takut kalau ada tetangga yang melihat dan berprasangka buruk terhadap mereka berdua."Kamu bisa jalan nggak? Apa mau di gendong a
"I— umpphhh..." Jean sudah tak waras. Dengan tiba-tiba ia maju dan membingkai pipi Nilam supaya ia dengan mudah meraup bibir ranum tersebut dan menciumnya.Bahkan tanpa ragu, lidah Jean merangsek ke dalam rongga hangat Nilam dan mengajak indra pengecap sang ART bergulat dengan lidahnya.Nilam melepaskan selimut yang tadi dia pegang hingga tubuh berbalut tank top hitam tersebut kembali terpampang. Nilam beralih meremas bagian baju yang Jean kenakan sambil memejamkan matanya. Menikmati ciuman Jean yang tak beraturan. Membiarkan saliva keduanya berrukar satu sama lain."Enggak pahit tuh obatnya, malah manis banget." Jean menatap lekat ke arah Nilam yang sibuk mengatur nafasnya."Ba- bapak bisa aja. Pasti bapak modus kan pengen cium saya?""Ya emang kenapa kalau betul begitu?""Kan nggak boleh Pak! Bapak kan udah punya Bu Elisha.""Tapi Elisha kan nggak ada di sini. Di rumah ini sekarang cuma ada kamu sayaang." Jean menelus
Elisha melotot kaget saat Dikta menyodorkan tote bag itu untuk dirinya. "Tas mahal ini buatku, Pak?" tanyanya tak percaya."Iya. Buat hadiah karena rapat bulan lalu yang cukup suskes." Dikta membalas sambil tersenyum bangga."Tapi Pak, ini harganya mahal banget.""Itu pantas buat kamu Elisha."Elisha sedikit gemetaran saat membuka seharga 3 motor ini. Benda termahal yang pernah Dikta berikan padanya secara cuma-cuma."Ini berlebihan nggak sih Pak?" cicit Elisha dengan ragu. Ia bukannya tidak suka dengan hadiah dari Dikta. Memang wanita mana yang bisa menolak hadiah tas sebagus ini? Hanya saja—"Kenapa? Kamu nggak suka?" Dikta bertanya balik."Bukannya nggak suka Pak. Pegawai di sini kan sudah banyak yang curiga sama hubungan kita. Dan kalau tiba-tiba aku punya barang semahal ini, pasti mereka bakal makin curiga," terang Elisha. Mencoba memberi pengertian agar Dikta tak merasa tersinggung.Dikta bangun dari duduk
"Kurang ajar si Dita! Padahal aku udah nahan diri buat sabar sama kelakuannya. Tapi makin lama dia malah makin menjadi-jadi."Elisha masuk ke dalam mobilnya dengan ekspresi marah. Dia terus mengumpati Dita yang kian lama membuat yang lain ikut terpengaruh oleh hasutannya."Dari kemarin aku biarin dia terus cari gara-gara karena iba, tapi kali ini dia udah kelewatan karena bikin aku malu di hadapan yang lainnya."["Kalau orang itu udah kelewatan, kamu bilang aja sama aku. Biar aku pecat dia supaya nggak terus ngusik kamu."]Ia seketika teringat dengan kalimat yang diucapkan oleh Dikta. Rasanya ia ingin sekali menggunakan kesempatan itu untuk menyingkirkan Dita. Tapi Elisha sudah berjanji tidak akan membuat perempuan itu keluar dari perusahaan ini, kecuali Dita berani menyebarkan rumor itu di depan suaminya."Kamu harus tenang Elisha. Pokoknya kamu nggak perlu gegabah," ucap perempuan itu sembari menenangkan diri. "Okey, mending aku fokus b
"Nilam belum sembuh juga ya Mas? Padahal ini udah hari ke empat dia sakit.""Kemarin sih pas periksa dokter bilang dia kena gejala tipes. Tapi yang namanya sakit kayak gitu kan nggak bisa langsung aktifitas."Elisha menghela nafas panjang. Padabal hari minggu ini ia berniat santai tanpa harus ribet membuat makan malam, tapi karena ART-nya sakit, dia juga yang terpaksa turun tangan."Apa Nilam nggak betah ya Mas kerja ama kita?" tanya Elisha pada sang suami. "Makanya dia sampai sakit kayak gitu?"Jean yang mendengar ucapan istrinya langsung melongo. "Apa hubungannya nggak betah ama sakit Sha?""Ya mungkin aja dia kangen kumpul ama keluarga atau temen-temennya, terus nahan kangen sampai sakit," jawab Elisha. Apalagi Nilam itu kan masih muda, Mas. Mungkin dia merasa bosan karena 24 jam harus standby di rumah ini.""Enggak lah. Nilam kelihatan oke-oke aja kok ini selama ada di rumah ini. Ya Mungkin emang kondisi tubuhnya aja yang lag
Nilam menghela nafas pelan. Pria ini keras kepala sekali."Udah-udah, biar aku aja yang lanjut cuci piringnya. Kamu istirahat aja sana!" Jean mengambil alih piring yang Nilam pegang dan membawanya ke wastafel."Jangan Pak! Ini kan udah tugas saya." Nilam menghampiri bosnya. Mana bisa dia santai-santai sementara Jean mengerjakan itu semua."Udah, nggak apa! Kamu balik aja ke kamar. Timbang cuci piring doang, aku juga bisa."Nilam mengerutkan keningnya. Ia menggigit bibir bawahnya karena Jean memaksanya untuk kembali ke kamar."Udah nggak apa Nilam. Santai aja kamu kalau ama aku.""Tapi saya nggak enak ama Bu Elisha.""Aduh, udah deh! Kamu fokus aja ama ke—""Apa ada Mas? Kok dari tadi aku dengar kalian ribut banget?"Nilam maupun Jean langsung menjaga jarak ketika Elisha datang ke dapur."Ini Bu, Pak Jean. Masa saya mau beres ini semua nggak dibolehin," jawab Nilam cepat."Ya soalnya ka
Elisha reflek menelan ludah. Dia menatap suaminya dengan perasaan tak menentu. "Nggak mungkinlah aku selingkuh ama atasan," elaknya."Tapi kamu kan punya bos ganteng. Apalagi gosip di luar sana sering menyebut kalau sekertaris itu juga bisa jadi selingkuhan si Bos.""Mas ngomong apa sih? Kan nggak mungkin aku ngelakuin hal kayak gitu," ujarnya dengan nada merajuk."Nah sama! Aku juga nggak mungkin ngelakuin hal aneh-aneh, Sha." Jean menatap tajam ke arah istrinya. "Jadi please ya Sha! Kita jangan saling tuduh lagi kayak gitu. Mending kita fokus ama pekerjaan dan saling percaya aja. Yang kayak-kayak gini cuma bikin kita berantem doang."Elisha menganggukkan kepalanya. Ia langsung memeluk suaminya sambil meminta maaf. Perempuan itu berjanji untuk tidak lagi menuduh Jean sembarangan.'Aku lega kalau kamu masih mau percaya sama aku, Mas. Tapi maaf, aku udah melanggar kepercayaan kita, aku selingkuh sama Bos kita Mas. Aku yang jahat di sini.'
Keesokan harinya, suasana di rumah Jean terasa sepi. Dan itu wajar, karena si penghuni rumah sudah sibuk di kantor. Dan Qila juga sedang berada di sekolah. Lalu Jean?Seperti biasanya, Jean sibuk di depan laptop untuk melakukan pekerjaanya. Di temani secangkir kopi dan biskuit untuk cemilan.Saat sedang asik menggarap novelnya, tiba-tiba seorang kurir paket datang."Permisi, paket Pak."Jean berdiri lalu menghampiri kurir tersebut. "Buat siapa?" tanyanya."Mbak Nilam."Alis Jean berkerut. "Nilam? Kapan dia pesennya.""Ini Pak, paketnya. Saya permisi dulu."Bapak satu anak itu hanya mengganggukan kepalanya, sambil memperhatikan paket yang sepertinya berisi pakaian. Tanpa banyak berpikir, Jean pun masuk ke dalam dan menyerahkan benda tersebut kepada sang pembantu.Nilam tampak girang ketika menerima paket tersebut dari si Bos. "Makasih ya Pak, udah bawa masuk paketnya.""Isinya apa?" Iseng Jean b