Akhirnya spaghetti Aglio Olio yang dibuat dengan susah payah sudah siap dihidangkan. Keduanya sampai berpeluh keringat layaknya tengah lomba memasak."Wow! Masakan kita keren banget, ya, Mbak! Qila jadi gak sabar buat nikmatinnya!" seru Qila yang bersemangat."Ya udah kalau gitu, sekarang kita hidangkan dulu! Kamu panggil Papa, ya? Biar Mbak yang siapin semuanya ke meja makan," ujar Nilam. "Tapi sebelumnya kita bersihkan diri dulu! Lihat, tuh! Kaya badut!" sambungnya menahan tawa.Qila pun memperhatikan dirinya sendiri dari yang memang dalam keadaan berantakan. Keduanya saling bertatap mata dan tiba-tiba tertawa.Jean yang sedari tadi memperhatikan gerak-gerik mereka begitu gemas dan bahagia karena keakraban yang terjalin di antara keduanya.Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dan melukiskan senyuman di wajahnya, Jean bergumam, "Dasar anak-anak!"Jean pun berlalu meninggalkan mereka berdua yang masih asyik sendiri, menunggu keduanya memanggil dirinya untuk mencicipi hidangan yang su
"Jadi Mba gak mau tidur sama Qila, ya?" Qila menundukkan kepalanya dan tak berani menatap Nilam.Nilam yang memperhatikan dengan seksama dan melihat ada cairan bening yang terbendung di mata Qila pun berhenti untuk menggoda Qila.Tentu saja Nilam hanya bercanda dan ia bersedia mengikuti apa yang diinginkan gadis kecil kesayangannya itu tanpa menggerutu ataupun kesal.Nilam langsung memeluk dan berusaha untuk menghibur Qila agar ia tidak bersedih karena kejahilan Nilam."Mbak cuma bercanda, kok, Qila! Jangan sedih gitu, dong!" Nilam mengusap rambut Qila lembut.Jean yang tahu jika Nilam tak serius dengan apa yang ia lakukan tetap diam dan mengamati dari kejauhan."Dasar, anak ini!" Celetuknya mengatai Nilam.Justru Jean merasa gemas karena tingkah Nilam yang layarnya seorang bocah juga sampai-sampai ia ingin menerkamnya."Sabar, sabar, harus menunggu sampai Qila tidur! Harus bisa menahan sabar," gumam Jean menenangkan dirinya dari hasratnya yang hendak bergejolak.Qila yang tadinya tak
"Mas, besok sore aku pulang agak telat ya. Soalnya ada tamu penting dari kantor. Jadi aku harus nemenin Bos buat jamu dia." Pria bernama Jean itu tak mengatakan apapun. Dia sibuk menatap layar laptopnya dalam diam. Toh dia juga bingung harus menjawab apa. Sebab ini, bukan pertama kalinya Sang istri ijin untuk pulang terlambat. Bahkan, dia tak ingat ini permohonannya yang ke berapa. Elisha yang sibuk mengoleskan Skin Care Routinenya langsung menengok ke arah sang suami yang duduk bersandar di kepala ranjang. Diamnya pria 30 tahun itu tentu saja membuatnya resah. "Mas!" Ia menatap pria itu, "Kok kamu diem aja? Kamu ngasih ijin kan?" tanya perempuan dengan gaun tidur berbahan satin itu sedikit penekanan. Jean hanya mendengus. "Terus aku harus jawab apa? Ngelarang juga mustahil kan? Toh kamu nggak akan pernah nurut." Jawaban ketus suaminya membuat Elisha jengah. Jika sudah seperti ini pasti ujung-ujungnya hanyalah pertengkaran saja. "Ya gimana pun juga, aku kan butuh restu kamu Mas.
Saat pintu rumahnya terbuka, ia malah dikejutkan oleh sosok yang cukup— cantik. "Kamu ini siapa? Sales ya? Maaf ya, aku lagi nggak pengen beli barang apapun." Perempuan cantik berkulit putih itu meremas tas ransel besar yang ia pegang. "Saya bukan sales Pak. Saya Nilam, ART yang dikirim penyalur ke sini." Jean kaget. ART? Mustahil. Mana ada seorang asisten rumah tangga, berpenampilan cantik begini? Kulitnya putih, wajahnya ayu, rambut hitam lurus, dan bertubuh sintal. Belum lagi dress selutut yang dikenakan oleh perempuan muda itu, seolah sedang memamerkan kaki jenjangnya yang indah. "Kamu bercanda ya? Dibandingkan jadi ART, penampilan kamu lebih cocok buat jadi model tau," cibir Jean tak percaya. "Tapi, saya beneran ART yang dikirim ke sini Pak. Kalau nggak percaya, Bapak bisa telfon langsung ke penyalur kok." Jean menelusuri penampilan perempuan di depannya. "Siapa nama kamu tadi?" "Ni— Nilam Pak." "Ya udah bentar." Jean masuk ke dalam. Mencoba menghubungi nomor penyalur
"Rasa kopinya kok beda ya? Ini merk-nya baru?" Nilam kaget. "E— enggak kok Pak. Kopinya sama seperti yang Bapak kasih tadi," terang perempuan cantik itu dengan wajah panik. Ia takut rasa kopi buatannya tidak enak. "Masa sih?" Jean terlihat sangsi. "Emangnya kenapa Pak?" "Soalnya, rasa kopi ini lebih enak dibandingkan sebelumnya. Aromanya juga lebih harum. Makanya aku pikir kopi ini beda merk sama yang sebelumnya." Nilam mengusap dada lega. Dia pikir, Jean tidak suka dengan kopi yang ia buat. "Duh, Bapak bikin saya kaget aja. Kirain tadi kopinya nggak enak." Melihat wajah lega Nilam, membuat senyum kecil Jean terkembang. "Sama. Aku juga kaget karena rasa kopinya lebih enak dibandingin pas buat sendiri." Nilam mengulum senyum. "Makasih Pak." "Ya udah, kamu lanjutin masaknya." "Baik Pak. Saya permisi." Pria dengan bahu kokoh itu melihat Nilam yang berjalan meninggalkan tempat kerjanya. Batinnya menggumam, 'Bahkan, Elisha aja nggak bisa bikin kopi seenak buatannya.' Jean mengge
"Keterlaluan istri gue. Masa, tiap diajak berhubungan dia nggak pernah mau. Alesan capek-lah, ngantuk-lah. Banyak bangetlah cara dia buat ngehindar." "Sumpah bro, gue sampai sakit kepala gara-gara sering ditolak. Lo bayangin, seminggu aja nggak gituan udah bikin gua stres. Lah ini, hampir tiga bulan gua nggak bisa nyentuh dia." Itulah keluhan Jean siang ini pada teman baiknya. Saka. Pria yang sudah lama jadi kawannya ini adalah tempat curhat yang paling pas untuk menampung segala uneg-unegnya. "Aneh banget istri lo itu, masa suami minta gitu nggak dikasih? Padahal kan lumrah kalau kita sebagai suami minta dilayani soal ranjang." "Nah kan? Giliran jajan di luar dia marah. Tapi pas suami butuh, dia nggak bisa." Jean terlihat kesal. Wajahnya sudah tidak enak sejak semalam. Yah maklum, itu karena dia gagal menyalurkan hasratnya. "Coba deh lo bicarain baik-baik ke Elisha. Gimana pun juga itu kan kebutuhan kita sebagai suami istri. Ya masa, cuma gara-gara capek kita dianggurin gitu aj
"Nasinya mau berapa banyak Pak?" Nilam memandangi tuannya yang tampak tertegun saat ia bertanya demikian. Dan bagi Jean, itu cukup mengejutkan baginya sebab setelah beberapa waktu terakhir ada seseorang yang mau repot-repot menuangkan nasi untuknya. Yang bahkan, Elisha saja tidak mau melakukan itu untuknya. "Pak? Bapak kenapa? Kok malah ngelamun?" "Eh— enggak. Ini lho, aku—" Jean garuk-garuk kepala seperti orang linglung. "Nasinya mau berapa banyak Pak?" ulang Nilam lagi. "Segini cukup?" tanyanya sambil menunjukkan nasi yang sudah dia tuang ke atas piring. "Udah," jawab Jean singkat. "Lauknya Pak, silahkan ambil sendiri!" Nilam menaruh piring di depan dada Jean. Sementara dia membantu majikannya tersebut untuk membuka tudung saji supaya pria itu dapat mengambil lauknya dengan sepuas hati. "Gimana Pak? Enak nggak?" Perempuan seksi dengan balutan T-shirt dan rok berbentuk A-line bermotif batik itu menatap tuannya penuh harap. Yah, berharap Jean memuji masakan yang telah di
Jean memandangi istrinya, dia agak ragu untuk mengatakan hal ini. Namun dia memberanikan diri berkata, "Sebenarnya aku..." "Aku apa Mas?" "Kamu mandi aja dulu. Nanti aku kasih tau," balas Jean sambil tersenyum. Elisha menekuk wajahnya. Suaminya ini senang sekali membuatnya penasaran. "Ya udah, aku mandi bentar ya." Sekitar 15 menit kemudian, Elisha sudah keluar dari kamar mandi dengan gaun tidurnya. Wanita itu tersenyum ke arah Jean yang masih terjaga sembari mengeringkan rambutnya. "Kirain, kamu udah tidur." "Kan aku nungguin kamu," jawab Jean sambil menutup laptopnya dan menaruhnya di atas tempat tidur. "Oh iya, kamu tadi mau ngomong apa Mas?" tanya Elisha pada sang suami. Ia tatap pria yang sudah 8 tahun itu dia nikahi melalui cermin di depannya. Meskipun lelah, wanita cantik itu tidak pernah melewatkan rutinitasnya untuk menggunakan skincare. Jean tersenyum. Ia turun dari ranjang dan menghampiri istrinya. Pria tampan tersebut berdiri di belakang Elisha sambil memijat pungg
"Jadi Mba gak mau tidur sama Qila, ya?" Qila menundukkan kepalanya dan tak berani menatap Nilam.Nilam yang memperhatikan dengan seksama dan melihat ada cairan bening yang terbendung di mata Qila pun berhenti untuk menggoda Qila.Tentu saja Nilam hanya bercanda dan ia bersedia mengikuti apa yang diinginkan gadis kecil kesayangannya itu tanpa menggerutu ataupun kesal.Nilam langsung memeluk dan berusaha untuk menghibur Qila agar ia tidak bersedih karena kejahilan Nilam."Mbak cuma bercanda, kok, Qila! Jangan sedih gitu, dong!" Nilam mengusap rambut Qila lembut.Jean yang tahu jika Nilam tak serius dengan apa yang ia lakukan tetap diam dan mengamati dari kejauhan."Dasar, anak ini!" Celetuknya mengatai Nilam.Justru Jean merasa gemas karena tingkah Nilam yang layarnya seorang bocah juga sampai-sampai ia ingin menerkamnya."Sabar, sabar, harus menunggu sampai Qila tidur! Harus bisa menahan sabar," gumam Jean menenangkan dirinya dari hasratnya yang hendak bergejolak.Qila yang tadinya tak
Akhirnya spaghetti Aglio Olio yang dibuat dengan susah payah sudah siap dihidangkan. Keduanya sampai berpeluh keringat layaknya tengah lomba memasak."Wow! Masakan kita keren banget, ya, Mbak! Qila jadi gak sabar buat nikmatinnya!" seru Qila yang bersemangat."Ya udah kalau gitu, sekarang kita hidangkan dulu! Kamu panggil Papa, ya? Biar Mbak yang siapin semuanya ke meja makan," ujar Nilam. "Tapi sebelumnya kita bersihkan diri dulu! Lihat, tuh! Kaya badut!" sambungnya menahan tawa.Qila pun memperhatikan dirinya sendiri dari yang memang dalam keadaan berantakan. Keduanya saling bertatap mata dan tiba-tiba tertawa.Jean yang sedari tadi memperhatikan gerak-gerik mereka begitu gemas dan bahagia karena keakraban yang terjalin di antara keduanya.Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dan melukiskan senyuman di wajahnya, Jean bergumam, "Dasar anak-anak!"Jean pun berlalu meninggalkan mereka berdua yang masih asyik sendiri, menunggu keduanya memanggil dirinya untuk mencicipi hidangan yang su
SLAAP!Nilam tersentak bangun dari tidurnya. Dadanya naik turun, napasnya memburu. Ia meraba keningnya yang basah oleh keringat dingin. Sekelilingnya masih sunyi, hanya suara detak jam di ruang tamu yang terdengar jelas. Matanya melirik ke arah pintu. Tidak ada siapa-siapa. Tidak ada Elisha. Tidak ada pertengkaran. Hanya dirinya sendiri yang masih duduk di sofa dengan jantung berdegup kencang. "Astaga… mimpi?!" Nilam meremas ujung bajunya, mencoba menenangkan diri. "Kenapa aku mimpi Elisha lagi sih?"Gadis itu menelan ludah, merasa tak nyaman dengan mimpi aneh barusan. Apakah ini pertanda buruk? Atau hanya sekadar mimpi karena ia terlalu khawatir dengan hubungan mereka? "Aduh, kenapa aku jadi kepikiran dia lagi, sih?" gumamnya sambil mengacak-acak rambut sendiri. Ia bersandar ke sofa, mencoba berpikir jernih. Toh, kenyataannya Jean sendiri yang bilang kalau dia sudah cerai. Dan Jean bukan tipe pria yang suka bermain-main dengan kata-katanya. "Lagian, aku juga gak mungkin j
"Kamu siapa? Ngapain di rumahku?!" bentak wanita itu dengan tatapan tajam. Nilam mengerjapkan matanya beberapa kali, mencoba memahami situasi. Wanita yang berdiri di hadapannya tampak anggun dengan balutan pakaian kantoran yang rapi. Rambut panjangnya tersisir sempurna, wajahnya terlihat cantik meski sorot matanya dipenuhi kebencian. "Maaf, tapi siapa ya?" tanya Nilam, masih bingung. Nilam seperti pernah lihat, tapi lupa di mana.Wanita itu mendengus, lalu melipat tangannya di depan dada. "Harusnya aku yang nanya! Kamu siapa? Ngapain di rumahku? Atau jangan-jangan kamu ini maling ya!" Nilam sontak membelalakkan mata. "Apa?! Maling? Aku bukan maling!" "Lalu kamu siapa?!" "Aku pacarnya Jean!" tegas Nilam, tak ingin dituduh yang bukan-bukan. Sejenak, ekspresi wanita itu berubah. Namun, detik berikutnya dia justru terkekeh sinis. "Pacar? Jangan becanda! Aku istrinya!" Deg! Nilam menelan ludah. "Tapi… bukannya kalian sudah cerai?" Elisha—wanita itu—menyipitkan matanya. "C
Nilam mengangguk, kali ini ekspresinya berubah sedikit lebih serius. "Iya, aku yakin. Aku gak tahu kenapa dia ngikutin aku terus, tapi rasanya aneh aja."Jean menggenggam tangan Nilam erat. "Mulai sekarang, kamu hati-hati, ya. Kalau ada yang aneh, langsung kasih tahu aku. HARUS!" tekan Jean."Aku juga akan minta pihak kepolisian buat cari tau siapa dia. Karena gak mungkin kalian bisa kebetulan bertemu sampai beberapa kali."Nilam mengangguk paham dan patuh pada perintah Jean. Tangannya menggenggam erat lengan pria itu, merasa sedikit lebih tenang dengan kehadirannya. "Aku ngerti, Pak. Aku bakal lebih hati-hati," ujar Nilam dengan suara pelan. Jean masih terlihat tegang. Ia mengusap punggung tangan Nilam dengan ibu jarinya, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja."Dan satu lagi!" Jean menatap Nilam dengan ekspresi serius. "Jangan mudah terkecoh hanya karena penampilan cowok itu ganteng. Paham?"Nilam mencebikkan bibirnya dan mengangguk. "Kalau itu ak
"Hai Nilam."Si empunya nama semakin kebingungan. Terlebih ketika lelaki itu mengetahui siapa namanya."K- kamu siapa ya?" tanya Nilam pada cowok berhoodie hitam, memakai masker, dan celana panjang warna senada. Dari suaranya, memang terdengar tidak asing. Tapi wajahnya— wajah itu tidak pernah ia lihat sebelumnya.Penampilan misterius seperti itu tentu saja membuat Nilam menjadi sedikit was-was sehingga mundur beberapa langkah."Kamu lupa ama aku?""Hn?"Gimana dia bisa tau siapa cowok di depannya, jika penampilan orang itu aja sangat mencurigakan."Aku beneran ga inget."Cowok itu menurunkan maskernya. Membuat wajahnya terlihat jelas sekarang.Tapi— lagi-lagi Nilam hanya bisa menggelengkan kepalanya karena tidak bisa mengingat wajahmu udah di depannya.Bahkan meskipun pemuda itu sudah memperlihatkan wajahnya, tapi Nilam masih belum mengingat apapun."Nilam..."Saat pemuda itu akan mengatakan sesuatu, terdengar suara teriakan Jean dari kejauhan."Kalau gitu aku permisi dulu ya. Semog
"Nanti, di kamar ini, kita bakal produksi baby Je-Ni." Sambil mengecupi pelipis Nilam, Jean mengungkap apa yang dia pikirkan."B-baby Jeni?" Nilam mengerutkan keningnya."Iya, Jean Nilam junior maksudnya."Pipi Nilam kian memanas. Ia hampir meledak karena kata-kata pria itu."Karena sebelah langsung kamarnya Qila, jadi aku sengaja bikin ruangan ini kedap suara. Biar nanti pas kamu jerit keenakan ga kedengeran Qila," goda Jean makin menjadi-jadi.Nilam langsung berbalik. Ia menatap Jean dan langsung menjewer kupingnya sampai duda ganteng itu kesakitan."Jangan mancing-mancing ya!""Mancing gimana? Aku bicara sesuai fakta.""Fakta apanya! Kamu ngomongnya ngaco, Pak!" tukas Nilam dengan nada tegas.Jean meringis. Ia mengusap pipi Nilam lembut, sementara matanya tak pernah lepas dari wajah ayu sang kekasih. "Apa kamu perlu bukti?"Nilam makin syok."Kalau mau bukti, aku bisa kok nunjukin itu sekarang." Jean semakin intens menggoda perempuan itu.Nilam mendelik. Ia dorong wajah Jean hingga
Hari ini, Nilam benar-benar tak tahu akan dibawa ke mana oleh Jean. Pria itu hanya mengatakan bahwa ia ingin menunjukkan sesuatu yang istimewa. Dari raut wajahnya, Jean tampak begitu bersemangat, seakan-akan telah menunggu momen ini sejak lama. Mobil mereka akhirnya berhenti di depan sebuah gedung pencakar langit di pusat kota. Bangunan apartemen mewah itu menjulang tinggi, mencerminkan kemegahan dan eksklusivitas. Fasade bangunan yang berlapis kaca tampak berkilauan, memantulkan sinar matahari pagi yang cerah. "Selamat datang," ucap Jean dengan senyum penuh arti. Nilam menatapnya dengan bingung sekaligus penasaran. "Kita ke sini ngapain, Pak?" Jean tak langsung menjawab. Ia justru menggandeng tangan Nilam, membawanya masuk ke dalam lobi yang sangat luas dan elegan. Lantai marmernya mengilap, langit-langit tinggi dengan lampu kristal yang menggantung menambah kesan mewah. Resepsionis menyambut mereka dengan ramah, sementara beberapa penghuni yang terlihat lewat berpakaian rapi
Nilam sudah siap sejak pagi, dia duduk di ruang tamu dengan kaki bersilang, mengenakan gaun selutut krem dengan motif bunga yang membuatnya terlihat santai namun tetap rapi. Rambutnya yang sebahu dibiarkan terurai, membuat wajahnya terlihat lebih lembut. Pandangannya sesekali mengarah ke layar ponsel, namun ia menahan diri untuk tidak menghubungi Jean.Sesuai janji pria itu semalam, mereka akan pergi ke suatu tempat—meski Jean tak menyebutkan di mana. Nilam sebenarnya penasaran, tapi di sisi lain ia juga menikmati sensasi kejutan yang pria itu siapkan.Suara langkah kaki terdengar mendekat. Ibunya, Bu Mala, muncul dari arah dapur dengan secangkir teh di tangan. Wanita paruh baya itu mengenakan daster batik favoritnya, rambutnya disanggul seadanya. Ia lalu duduk di sebelah Nilam dengan santai.“Masih belum datang ya si Jean?” tanyanya, menyesap teh melati yang aromanya begitu khas. “Belum, Ma. Kayaknya masih di jalan.” “Coba chat aja?” Nilam menggeleng. “Nggak deh. Takutnya dia l