"Aku ingin mencium kamu." Nilam membeku. Matanya membesar, napasnya tercekat.Jean tersenyum semakin lebar melihat ekspresi gadis itu. Tangannya masih bertumpu di dagu Nilam, sementara wajahnya tetap dekat, menunggu respons dari gadis yang kini jelas-jelas sedang panik. "Lalu?" lanjutnya pelan, suaranya seperti bisikan berbahaya. "Aku boleh kan meminta ciuman darimu?" Nilam membuka mulutnya, ingin menjawab— Tapi sebelum ia bisa mengatakan sesuatu, Jean sudah lebih dulu menutup jarak, mengecup bibirnya dengan lembut. Dan saat itu juga, dunia seolah berhenti berputar bagi Nilam.Ciuman itu dimulai dengan lembut. Bibir Jean menekan bibir Nilam dengan penuh perasaan, seolah ingin meyakinkan dirinya bahwa gadis ini benar-benar nyata—bahwa ia benar-benar ada di sini bersamanya.Nilam sempat membeku di awal, terlalu terkejut dengan keberanian Jean. Namun, seiring detik berlalu, tubuhnya mulai rileks. Jantungnya berdetak kencang, tetapi bukan karena panik. Melainkan karena sensasi y
"Mas, besok sore aku pulang agak telat ya. Soalnya ada tamu penting dari kantor. Jadi aku harus nemenin Bos buat jamu dia." Pria bernama Jean itu tak mengatakan apapun. Dia sibuk menatap layar laptopnya dalam diam. Toh dia juga bingung harus menjawab apa. Sebab ini, bukan pertama kalinya Sang istri ijin untuk pulang terlambat. Bahkan, dia tak ingat ini permohonannya yang ke berapa. Elisha yang sibuk mengoleskan Skin Care Routinenya langsung menengok ke arah sang suami yang duduk bersandar di kepala ranjang. Diamnya pria 30 tahun itu tentu saja membuatnya resah. "Mas!" Ia menatap pria itu, "Kok kamu diem aja? Kamu ngasih ijin kan?" tanya perempuan dengan gaun tidur berbahan satin itu sedikit penekanan. Jean hanya mendengus. "Terus aku harus jawab apa? Ngelarang juga mustahil kan? Toh kamu nggak akan pernah nurut." Jawaban ketus suaminya membuat Elisha jengah. Jika sudah seperti ini pasti ujung-ujungnya hanyalah pertengkaran saja. "Ya gimana pun juga, aku kan butuh restu kamu Mas.
Saat pintu rumahnya terbuka, ia malah dikejutkan oleh sosok yang cukup— cantik. "Kamu ini siapa? Sales ya? Maaf ya, aku lagi nggak pengen beli barang apapun." Perempuan cantik berkulit putih itu meremas tas ransel besar yang ia pegang. "Saya bukan sales Pak. Saya Nilam, ART yang dikirim penyalur ke sini." Jean kaget. ART? Mustahil. Mana ada seorang asisten rumah tangga, berpenampilan cantik begini? Kulitnya putih, wajahnya ayu, rambut hitam lurus, dan bertubuh sintal. Belum lagi dress selutut yang dikenakan oleh perempuan muda itu, seolah sedang memamerkan kaki jenjangnya yang indah. "Kamu bercanda ya? Dibandingkan jadi ART, penampilan kamu lebih cocok buat jadi model tau," cibir Jean tak percaya. "Tapi, saya beneran ART yang dikirim ke sini Pak. Kalau nggak percaya, Bapak bisa telfon langsung ke penyalur kok." Jean menelusuri penampilan perempuan di depannya. "Siapa nama kamu tadi?" "Ni— Nilam Pak." "Ya udah bentar." Jean masuk ke dalam. Mencoba menghubungi nomor penyalur
"Rasa kopinya kok beda ya? Ini merk-nya baru?" Nilam kaget. "E— enggak kok Pak. Kopinya sama seperti yang Bapak kasih tadi," terang perempuan cantik itu dengan wajah panik. Ia takut rasa kopi buatannya tidak enak. "Masa sih?" Jean terlihat sangsi. "Emangnya kenapa Pak?" "Soalnya, rasa kopi ini lebih enak dibandingkan sebelumnya. Aromanya juga lebih harum. Makanya aku pikir kopi ini beda merk sama yang sebelumnya." Nilam mengusap dada lega. Dia pikir, Jean tidak suka dengan kopi yang ia buat. "Duh, Bapak bikin saya kaget aja. Kirain tadi kopinya nggak enak." Melihat wajah lega Nilam, membuat senyum kecil Jean terkembang. "Sama. Aku juga kaget karena rasa kopinya lebih enak dibandingin pas buat sendiri." Nilam mengulum senyum. "Makasih Pak." "Ya udah, kamu lanjutin masaknya." "Baik Pak. Saya permisi." Pria dengan bahu kokoh itu melihat Nilam yang berjalan meninggalkan tempat kerjanya. Batinnya menggumam, 'Bahkan, Elisha aja nggak bisa bikin kopi seenak buatannya.' Jean mengge
"Keterlaluan istri gue. Masa, tiap diajak berhubungan dia nggak pernah mau. Alesan capek-lah, ngantuk-lah. Banyak bangetlah cara dia buat ngehindar." "Sumpah bro, gue sampai sakit kepala gara-gara sering ditolak. Lo bayangin, seminggu aja nggak gituan udah bikin gua stres. Lah ini, hampir tiga bulan gua nggak bisa nyentuh dia." Itulah keluhan Jean siang ini pada teman baiknya. Saka. Pria yang sudah lama jadi kawannya ini adalah tempat curhat yang paling pas untuk menampung segala uneg-unegnya. "Aneh banget istri lo itu, masa suami minta gitu nggak dikasih? Padahal kan lumrah kalau kita sebagai suami minta dilayani soal ranjang." "Nah kan? Giliran jajan di luar dia marah. Tapi pas suami butuh, dia nggak bisa." Jean terlihat kesal. Wajahnya sudah tidak enak sejak semalam. Yah maklum, itu karena dia gagal menyalurkan hasratnya. "Coba deh lo bicarain baik-baik ke Elisha. Gimana pun juga itu kan kebutuhan kita sebagai suami istri. Ya masa, cuma gara-gara capek kita dianggurin gitu aj
"Nasinya mau berapa banyak Pak?" Nilam memandangi tuannya yang tampak tertegun saat ia bertanya demikian. Dan bagi Jean, itu cukup mengejutkan baginya sebab setelah beberapa waktu terakhir ada seseorang yang mau repot-repot menuangkan nasi untuknya. Yang bahkan, Elisha saja tidak mau melakukan itu untuknya. "Pak? Bapak kenapa? Kok malah ngelamun?" "Eh— enggak. Ini lho, aku—" Jean garuk-garuk kepala seperti orang linglung. "Nasinya mau berapa banyak Pak?" ulang Nilam lagi. "Segini cukup?" tanyanya sambil menunjukkan nasi yang sudah dia tuang ke atas piring. "Udah," jawab Jean singkat. "Lauknya Pak, silahkan ambil sendiri!" Nilam menaruh piring di depan dada Jean. Sementara dia membantu majikannya tersebut untuk membuka tudung saji supaya pria itu dapat mengambil lauknya dengan sepuas hati. "Gimana Pak? Enak nggak?" Perempuan seksi dengan balutan T-shirt dan rok berbentuk A-line bermotif batik itu menatap tuannya penuh harap. Yah, berharap Jean memuji masakan yang telah di
Jean memandangi istrinya, dia agak ragu untuk mengatakan hal ini. Namun dia memberanikan diri berkata, "Sebenarnya aku..." "Aku apa Mas?" "Kamu mandi aja dulu. Nanti aku kasih tau," balas Jean sambil tersenyum. Elisha menekuk wajahnya. Suaminya ini senang sekali membuatnya penasaran. "Ya udah, aku mandi bentar ya." Sekitar 15 menit kemudian, Elisha sudah keluar dari kamar mandi dengan gaun tidurnya. Wanita itu tersenyum ke arah Jean yang masih terjaga sembari mengeringkan rambutnya. "Kirain, kamu udah tidur." "Kan aku nungguin kamu," jawab Jean sambil menutup laptopnya dan menaruhnya di atas tempat tidur. "Oh iya, kamu tadi mau ngomong apa Mas?" tanya Elisha pada sang suami. Ia tatap pria yang sudah 8 tahun itu dia nikahi melalui cermin di depannya. Meskipun lelah, wanita cantik itu tidak pernah melewatkan rutinitasnya untuk menggunakan skincare. Jean tersenyum. Ia turun dari ranjang dan menghampiri istrinya. Pria tampan tersebut berdiri di belakang Elisha sambil memijat pungg
Suara baritone Jean membuat Nilam menatap ke arah tuannya ini. "Mau saya buatin Pak?""Kamu nggak capek emangnya?""Enggak kok Pak. Orang cuma sebentar aja kok.""Oke deh. Minta tolong antar ke depan ya. Sekalian mau ngerokok!" titah Jean disertai senyum tipisnya."Baik Pak. Siap."Tanpa basa-basi, gadis berkulit putih ini langsung menyiapkan kopi sesuai dengan apa yang Jean inginkan. Dan tak kurang dari 5 menit, kopi pun siap disajikan."Silahkan di minum Pak kopinya!" Suara lembut Nilam, membuat lamunan Jean buyar. Ia pandangi gadis ayu itu sebelum melemparkan senyum manisnya."Terima kasih ya. Maaf lo, malem-malem gini masih minta tolong dibuatin kopi.""Nggak masalah Pak. Toh ini juga udah tugas saya kan?"Jean menganggukkan kepalanya. Ucapan Nilam ada benarnya. Tapi bukan berarti, dia akan seenaknya memanfaatkan perempuan itu bukan? Karena pasti Nilam juga lelah karena seharian bekerja."Kamu nggak tidur?""Iya Pak ini mau tidur.""Udah ngantuk?"Nilam bingung kenapa ditanya sepe
"Aku ingin mencium kamu." Nilam membeku. Matanya membesar, napasnya tercekat.Jean tersenyum semakin lebar melihat ekspresi gadis itu. Tangannya masih bertumpu di dagu Nilam, sementara wajahnya tetap dekat, menunggu respons dari gadis yang kini jelas-jelas sedang panik. "Lalu?" lanjutnya pelan, suaranya seperti bisikan berbahaya. "Aku boleh kan meminta ciuman darimu?" Nilam membuka mulutnya, ingin menjawab— Tapi sebelum ia bisa mengatakan sesuatu, Jean sudah lebih dulu menutup jarak, mengecup bibirnya dengan lembut. Dan saat itu juga, dunia seolah berhenti berputar bagi Nilam.Ciuman itu dimulai dengan lembut. Bibir Jean menekan bibir Nilam dengan penuh perasaan, seolah ingin meyakinkan dirinya bahwa gadis ini benar-benar nyata—bahwa ia benar-benar ada di sini bersamanya.Nilam sempat membeku di awal, terlalu terkejut dengan keberanian Jean. Namun, seiring detik berlalu, tubuhnya mulai rileks. Jantungnya berdetak kencang, tetapi bukan karena panik. Melainkan karena sensasi y
Jean menghela napas panjang sebelum akhirnya melepas jasnya dan meletakkannya di sandaran kursi. Raut wajahnya masih serius, menunjukkan bahwa sesuatu memang sedang mengganggu pikirannya. Nilam menelan ludah, sedikit canggung berdiri di depan meja Jean sambil menunggu pria itu berbicara. "Polisi bekerja terlalu lambat," gumam Jean akhirnya, nada suaranya penuh ketidakpuasan. "Sudah berhari-hari, dan mereka masih belum bisa menemukan siapa yang menyerang kamu di vila." Mata Nilam sedikit melembut. Ia tahu Jean masih menyimpan amarah karena kejadian itu. Wajar saja, pria itu hampir kehilangan kendali saat pertama kali tahu seseorang menyerangnya. Nilam melangkah mendekat dan berdiri di sisi meja, menatap Jean dengan penuh pengertian. "Pak Jean," katanya lembut, "aku tau kamu marah dan khawatir. Tapi percaya deh, polisi pasti berusaha yang terbaik. Emang butuh waktu untuk menemukan pelaku untuk menemukan pelakunya kan? Apalagi gak ada saksi di sana?"Jean mengusap wajahnya dengan
Keesokan paginya, Nilam datang ke kantor dengan wajah berseri-seri. Senyumnya mengembang sejak ia melangkah masuk ke dalam ruangan. Aura bahagia jelas terpancar darinya, seolah dunia sedang berkonspirasi untuk membuatnya terus merasa berbunga-bunga.Saat melewati meja Talita dan Rani, dua rekan kerjanya itu langsung menangkap perubahan ekspresi Nilam. Mereka saling melirik penuh arti sebelum akhirnya menyapanya dengan penuh rasa ingin tahu."Duh, ada apa nih senyum-senyum terus? Pasti lagi happy ya?" tanya Rani sambil mencondongkan tubuhnya ke meja Nilam."Iya, ih! Dari wajahnya, kamu pasti punya kabar baik. Ya kan?" Talita ikut menimpali. Matanya berbinar penasaran. "Kalau punya kabar baik, jangan disimpan sendiri dong. Bagilah sama kita!"Nilam masih mempertahankan senyumnya yang penuh rahasia. Ia menatap kedua temannya dengan tatapan jahil, menikmati rasa penasaran yang jelas terlihat di wajah mereka. "Tapi jangan sampai kaget ya!" ujarnya menggoda. "Apa-apa! Cepetan kasih tahu
Di sebuah sel sempit dan dingin, seorang wanita duduk termenung. Tubuhnya sedikit lebih kurus dari terakhir kali dunia melihatnya, tetapi matanya tetap menyala—bukan dengan kelembutan, melainkan dengan ambisi yang seperti sebelumnya.Tangan rampingnya mencengkeram kain lusuh yang membalut tubuhnya. Bibirnya bergetar, bukan karena udara yang dingin, tetapi karena emosi yang ia tahan selama ini. Mereka benar-benar berpikir bisa melupakannya begitu saja?Ia menutup matanya, mengingat kembali hari-hari sebelum semuanya berubah. Dulu, hidupnya sempurna. Ia punya segalanya—cinta, kehormatan, kehidupan yang diimpikan banyak orang. Tapi dalam sekejap, semuanya direnggut darinya. Dan kini, dari balik jeruji besi, ia hanya bisa mendengar kabar bahwa seseorang telah menggantikan posisinya. Tangannya mengepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Amarah itu masih ada, membara lebih kuat dari sebelumnya. Ia menunduk, rahangnya mengeras.Wanita itu— Elisha.Ia masih duduk diam di sudut selny
“Kita mau ngapain, Pak?” tanya Nilam dengan suara pelan begitu mereka berdua memasuki kamar Jean. Namun, alih-alih menjawab, Jean justru menyudutkan Nilam ke dinding, membuat gadis itu terjebak di antara tubuh tegapnya dan tembok yang terasa dingin di punggungnya. Tatapan pria itu begitu dalam, menusuk hingga ke lubuk hati. Jarak mereka yang begitu dekat membuat Nilam tak tahu harus berbuat apa. Rasanya ia ingin kabur, tapi kedua kakinya seakan membeku di tempat. “P— Pak?” suara Nilam bergetar, jantungnya berdebar hebat. “Tutup mata kamu dulu!” bisik Jean dengan nada lembut yang menggelitik telinganya. “Tapi…” Jean tersenyum kecil. “Ayolah, Nilam. Aku nggak akan macam-macam, janji.” Melihat tatapan penuh keyakinan itu, Nilam akhirnya menurut. Ia menarik napas dalam, lalu perlahan memejamkan mata. Jean menatap wajah polos di depannya dengan senyum penuh arti. Jari-jarinya terangkat, menyentuh pipi Nilam dengan lembut. Ia bisa merasakan tubuh gadis itu sedikit menegang,
"Jadi Mba gak mau tidur sama Qila, ya?" Qila menundukkan kepalanya dan tak berani menatap Nilam.Nilam yang memperhatikan dengan seksama dan melihat ada cairan bening yang terbendung di mata Qila pun berhenti untuk menggoda Qila.Tentu saja Nilam hanya bercanda dan ia bersedia mengikuti apa yang diinginkan gadis kecil kesayangannya itu tanpa menggerutu ataupun kesal.Nilam langsung memeluk dan berusaha untuk menghibur Qila agar ia tidak bersedih karena kejahilan Nilam."Mbak cuma bercanda, kok, Qila! Jangan sedih gitu, dong!" Nilam mengusap rambut Qila lembut.Jean yang tahu jika Nilam tak serius dengan apa yang ia lakukan tetap diam dan mengamati dari kejauhan."Dasar, anak ini!" Celetuknya mengatai Nilam.Justru Jean merasa gemas karena tingkah Nilam yang layarnya seorang bocah juga sampai-sampai ia ingin menerkamnya."Sabar, sabar, harus menunggu sampai Qila tidur! Harus bisa menahan sabar," gumam Jean menenangkan dirinya dari hasratnya yang hendak bergejolak.Qila yang tadinya tak
Akhirnya spaghetti Aglio Olio yang dibuat dengan susah payah sudah siap dihidangkan. Keduanya sampai berpeluh keringat layaknya tengah lomba memasak."Wow! Masakan kita keren banget, ya, Mbak! Qila jadi gak sabar buat nikmatinnya!" seru Qila yang bersemangat."Ya udah kalau gitu, sekarang kita hidangkan dulu! Kamu panggil Papa, ya? Biar Mbak yang siapin semuanya ke meja makan," ujar Nilam. "Tapi sebelumnya kita bersihkan diri dulu! Lihat, tuh! Kaya badut!" sambungnya menahan tawa.Qila pun memperhatikan dirinya sendiri dari yang memang dalam keadaan berantakan. Keduanya saling bertatap mata dan tiba-tiba tertawa.Jean yang sedari tadi memperhatikan gerak-gerik mereka begitu gemas dan bahagia karena keakraban yang terjalin di antara keduanya.Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dan melukiskan senyuman di wajahnya, Jean bergumam, "Dasar anak-anak!"Jean pun berlalu meninggalkan mereka berdua yang masih asyik sendiri, menunggu keduanya memanggil dirinya untuk mencicipi hidangan yang su
SLAAP!Nilam tersentak bangun dari tidurnya. Dadanya naik turun, napasnya memburu. Ia meraba keningnya yang basah oleh keringat dingin. Sekelilingnya masih sunyi, hanya suara detak jam di ruang tamu yang terdengar jelas. Matanya melirik ke arah pintu. Tidak ada siapa-siapa. Tidak ada Elisha. Tidak ada pertengkaran. Hanya dirinya sendiri yang masih duduk di sofa dengan jantung berdegup kencang. "Astaga… mimpi?!" Nilam meremas ujung bajunya, mencoba menenangkan diri. "Kenapa aku mimpi Elisha lagi sih?"Gadis itu menelan ludah, merasa tak nyaman dengan mimpi aneh barusan. Apakah ini pertanda buruk? Atau hanya sekadar mimpi karena ia terlalu khawatir dengan hubungan mereka? "Aduh, kenapa aku jadi kepikiran dia lagi, sih?" gumamnya sambil mengacak-acak rambut sendiri. Ia bersandar ke sofa, mencoba berpikir jernih. Toh, kenyataannya Jean sendiri yang bilang kalau dia sudah cerai. Dan Jean bukan tipe pria yang suka bermain-main dengan kata-katanya. "Lagian, aku juga gak mungkin j
"Kamu siapa? Ngapain di rumahku?!" bentak wanita itu dengan tatapan tajam. Nilam mengerjapkan matanya beberapa kali, mencoba memahami situasi. Wanita yang berdiri di hadapannya tampak anggun dengan balutan pakaian kantoran yang rapi. Rambut panjangnya tersisir sempurna, wajahnya terlihat cantik meski sorot matanya dipenuhi kebencian. "Maaf, tapi siapa ya?" tanya Nilam, masih bingung. Nilam seperti pernah lihat, tapi lupa di mana.Wanita itu mendengus, lalu melipat tangannya di depan dada. "Harusnya aku yang nanya! Kamu siapa? Ngapain di rumahku? Atau jangan-jangan kamu ini maling ya!" Nilam sontak membelalakkan mata. "Apa?! Maling? Aku bukan maling!" "Lalu kamu siapa?!" "Aku pacarnya Jean!" tegas Nilam, tak ingin dituduh yang bukan-bukan. Sejenak, ekspresi wanita itu berubah. Namun, detik berikutnya dia justru terkekeh sinis. "Pacar? Jangan becanda! Aku istrinya!" Deg! Nilam menelan ludah. "Tapi… bukannya kalian sudah cerai?" Elisha—wanita itu—menyipitkan matanya. "C