"Kamu siapa? Ngapain di rumahku?!" bentak wanita itu dengan tatapan tajam. Nilam mengerjapkan matanya beberapa kali, mencoba memahami situasi. Wanita yang berdiri di hadapannya tampak anggun dengan balutan pakaian kantoran yang rapi. Rambut panjangnya tersisir sempurna, wajahnya terlihat cantik meski sorot matanya dipenuhi kebencian. "Maaf, tapi siapa ya?" tanya Nilam, masih bingung. Nilam seperti pernah lihat, tapi lupa di mana.Wanita itu mendengus, lalu melipat tangannya di depan dada. "Harusnya aku yang nanya! Kamu siapa? Ngapain di rumahku? Atau jangan-jangan kamu ini maling ya!" Nilam sontak membelalakkan mata. "Apa?! Maling? Aku bukan maling!" "Lalu kamu siapa?!" "Aku pacarnya Jean!" tegas Nilam, tak ingin dituduh yang bukan-bukan. Sejenak, ekspresi wanita itu berubah. Namun, detik berikutnya dia justru terkekeh sinis. "Pacar? Jangan becanda! Aku istrinya!" Deg! Nilam menelan ludah. "Tapi… bukannya kalian sudah cerai?" Elisha—wanita itu—menyipitkan matanya. "C
SLAAP!Nilam tersentak bangun dari tidurnya. Dadanya naik turun, napasnya memburu. Ia meraba keningnya yang basah oleh keringat dingin. Sekelilingnya masih sunyi, hanya suara detak jam di ruang tamu yang terdengar jelas. Matanya melirik ke arah pintu. Tidak ada siapa-siapa. Tidak ada Elisha. Tidak ada pertengkaran. Hanya dirinya sendiri yang masih duduk di sofa dengan jantung berdegup kencang. "Astaga… mimpi?!" Nilam meremas ujung bajunya, mencoba menenangkan diri. "Kenapa aku mimpi Elisha lagi sih?"Gadis itu menelan ludah, merasa tak nyaman dengan mimpi aneh barusan. Apakah ini pertanda buruk? Atau hanya sekadar mimpi karena ia terlalu khawatir dengan hubungan mereka? "Aduh, kenapa aku jadi kepikiran dia lagi, sih?" gumamnya sambil mengacak-acak rambut sendiri. Ia bersandar ke sofa, mencoba berpikir jernih. Toh, kenyataannya Jean sendiri yang bilang kalau dia sudah cerai. Dan Jean bukan tipe pria yang suka bermain-main dengan kata-katanya. "Lagian, aku juga gak mungkin j
Akhirnya spaghetti Aglio Olio yang dibuat dengan susah payah sudah siap dihidangkan. Keduanya sampai berpeluh keringat layaknya tengah lomba memasak."Wow! Masakan kita keren banget, ya, Mbak! Qila jadi gak sabar buat nikmatinnya!" seru Qila yang bersemangat."Ya udah kalau gitu, sekarang kita hidangkan dulu! Kamu panggil Papa, ya? Biar Mbak yang siapin semuanya ke meja makan," ujar Nilam. "Tapi sebelumnya kita bersihkan diri dulu! Lihat, tuh! Kaya badut!" sambungnya menahan tawa.Qila pun memperhatikan dirinya sendiri dari yang memang dalam keadaan berantakan. Keduanya saling bertatap mata dan tiba-tiba tertawa.Jean yang sedari tadi memperhatikan gerak-gerik mereka begitu gemas dan bahagia karena keakraban yang terjalin di antara keduanya.Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dan melukiskan senyuman di wajahnya, Jean bergumam, "Dasar anak-anak!"Jean pun berlalu meninggalkan mereka berdua yang masih asyik sendiri, menunggu keduanya memanggil dirinya untuk mencicipi hidangan yang su
"Jadi Mba gak mau tidur sama Qila, ya?" Qila menundukkan kepalanya dan tak berani menatap Nilam.Nilam yang memperhatikan dengan seksama dan melihat ada cairan bening yang terbendung di mata Qila pun berhenti untuk menggoda Qila.Tentu saja Nilam hanya bercanda dan ia bersedia mengikuti apa yang diinginkan gadis kecil kesayangannya itu tanpa menggerutu ataupun kesal.Nilam langsung memeluk dan berusaha untuk menghibur Qila agar ia tidak bersedih karena kejahilan Nilam."Mbak cuma bercanda, kok, Qila! Jangan sedih gitu, dong!" Nilam mengusap rambut Qila lembut.Jean yang tahu jika Nilam tak serius dengan apa yang ia lakukan tetap diam dan mengamati dari kejauhan."Dasar, anak ini!" Celetuknya mengatai Nilam.Justru Jean merasa gemas karena tingkah Nilam yang layarnya seorang bocah juga sampai-sampai ia ingin menerkamnya."Sabar, sabar, harus menunggu sampai Qila tidur! Harus bisa menahan sabar," gumam Jean menenangkan dirinya dari hasratnya yang hendak bergejolak.Qila yang tadinya tak
“Kita mau ngapain, Pak?” tanya Nilam dengan suara pelan begitu mereka berdua memasuki kamar Jean. Namun, alih-alih menjawab, Jean justru menyudutkan Nilam ke dinding, membuat gadis itu terjebak di antara tubuh tegapnya dan tembok yang terasa dingin di punggungnya. Tatapan pria itu begitu dalam, menusuk hingga ke lubuk hati. Jarak mereka yang begitu dekat membuat Nilam tak tahu harus berbuat apa. Rasanya ia ingin kabur, tapi kedua kakinya seakan membeku di tempat. “P— Pak?” suara Nilam bergetar, jantungnya berdebar hebat. “Tutup mata kamu dulu!” bisik Jean dengan nada lembut yang menggelitik telinganya. “Tapi…” Jean tersenyum kecil. “Ayolah, Nilam. Aku nggak akan macam-macam, janji.” Melihat tatapan penuh keyakinan itu, Nilam akhirnya menurut. Ia menarik napas dalam, lalu perlahan memejamkan mata. Jean menatap wajah polos di depannya dengan senyum penuh arti. Jari-jarinya terangkat, menyentuh pipi Nilam dengan lembut. Ia bisa merasakan tubuh gadis itu sedikit menegang,
Di sebuah sel sempit dan dingin, seorang wanita duduk termenung. Tubuhnya sedikit lebih kurus dari terakhir kali dunia melihatnya, tetapi matanya tetap menyala—bukan dengan kelembutan, melainkan dengan ambisi yang seperti sebelumnya.Tangan rampingnya mencengkeram kain lusuh yang membalut tubuhnya. Bibirnya bergetar, bukan karena udara yang dingin, tetapi karena emosi yang ia tahan selama ini. Mereka benar-benar berpikir bisa melupakannya begitu saja?Ia menutup matanya, mengingat kembali hari-hari sebelum semuanya berubah. Dulu, hidupnya sempurna. Ia punya segalanya—cinta, kehormatan, kehidupan yang diimpikan banyak orang. Tapi dalam sekejap, semuanya direnggut darinya. Dan kini, dari balik jeruji besi, ia hanya bisa mendengar kabar bahwa seseorang telah menggantikan posisinya. Tangannya mengepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Amarah itu masih ada, membara lebih kuat dari sebelumnya. Ia menunduk, rahangnya mengeras.Wanita itu— Elisha.Ia masih duduk diam di sudut selny
Keesokan paginya, Nilam datang ke kantor dengan wajah berseri-seri. Senyumnya mengembang sejak ia melangkah masuk ke dalam ruangan. Aura bahagia jelas terpancar darinya, seolah dunia sedang berkonspirasi untuk membuatnya terus merasa berbunga-bunga.Saat melewati meja Talita dan Rani, dua rekan kerjanya itu langsung menangkap perubahan ekspresi Nilam. Mereka saling melirik penuh arti sebelum akhirnya menyapanya dengan penuh rasa ingin tahu."Duh, ada apa nih senyum-senyum terus? Pasti lagi happy ya?" tanya Rani sambil mencondongkan tubuhnya ke meja Nilam."Iya, ih! Dari wajahnya, kamu pasti punya kabar baik. Ya kan?" Talita ikut menimpali. Matanya berbinar penasaran. "Kalau punya kabar baik, jangan disimpan sendiri dong. Bagilah sama kita!"Nilam masih mempertahankan senyumnya yang penuh rahasia. Ia menatap kedua temannya dengan tatapan jahil, menikmati rasa penasaran yang jelas terlihat di wajah mereka. "Tapi jangan sampai kaget ya!" ujarnya menggoda. "Apa-apa! Cepetan kasih tahu
Jean menghela napas panjang sebelum akhirnya melepas jasnya dan meletakkannya di sandaran kursi. Raut wajahnya masih serius, menunjukkan bahwa sesuatu memang sedang mengganggu pikirannya. Nilam menelan ludah, sedikit canggung berdiri di depan meja Jean sambil menunggu pria itu berbicara. "Polisi bekerja terlalu lambat," gumam Jean akhirnya, nada suaranya penuh ketidakpuasan. "Sudah berhari-hari, dan mereka masih belum bisa menemukan siapa yang menyerang kamu di vila." Mata Nilam sedikit melembut. Ia tahu Jean masih menyimpan amarah karena kejadian itu. Wajar saja, pria itu hampir kehilangan kendali saat pertama kali tahu seseorang menyerangnya. Nilam melangkah mendekat dan berdiri di sisi meja, menatap Jean dengan penuh pengertian. "Pak Jean," katanya lembut, "aku tau kamu marah dan khawatir. Tapi percaya deh, polisi pasti berusaha yang terbaik. Emang butuh waktu untuk menemukan pelaku untuk menemukan pelakunya kan? Apalagi gak ada saksi di sana?"Jean mengusap wajahnya dengan
Jean ngakak. “Ilegal tapi kamu yang teriak-teriak keenakan."Nilam nyaris keselek. “Kak Jean!”“Oke-oke, aku diem.” Jean mengangkat tangan sambil senyum geli. Tapi dia terus mencuri pandang ke arah istrinya yang sedang makan lahap, rambutnya masih basah, kulitnya bersinar habis kena matahari dan air kolam, dan senyumnya—ah, senyumnya bikin Jean jatuh cinta lagi untuk kesekian kalinya.Selesai makan, Nilam menyender santai di kursi, perut kenyang dan hati senang.“Gila, enak banget. Aku bisa bobo sekarang juga.”Jean nyender di sebelahnya. “Kalo gitu ayo balik kamar. Aku gendong lagi deh.”Nilam melirik malas. “Gak. Makasih. Sekarang aku udah punya banyak cadangan energi. Lagian kalau aku jatuh pas kamu gendong gimana?"“Gak mungkin. Kamu tuh kayak nyawa kedua aku. Harus dijaga.”Nilam diam sebentar, lalu tersenyum lebar. “Aw... co cweeeet.”Jean berdiri dan mengulurkan tangan. “Yuk, Tuan putri aku gandeng aja ke kamarnya."Nilam menggenggam tangannya dan berdiri. “Semoga kali ini kamu
Nilam berjalan sempoyongan di samping Jean, seperti habis nabrak tiang listrik dua kali. Kakinya lemas, betisnya pegal, dan wajahnya sedikit manyun karena satu alasan: renang yang ditunda hampir tiga jam cuma gara-gara suami over semangat.“Sayang, kamu keliatan capek banget. Gimana kalau renangnya di tunda aja. Jadi kamu bisa istirahat di kamar?” tawar Jean dengan raut penuh sesal."Ya itu kan gara-gara kamu! Bilangnya cuma satu ronde tapi lebih! Kan sialan..." gerutu Nilam dengan bibir manyun-manyun lucu. "Liburan kita tinggal dua hari lagi dan kita masih belum melakukan aktifitas seru di Bali. Kan rugi."Jean menahan tawa sambil menuntun istrinya yang sekarang jalannya lebih mirip orang mabuk. "Tapi aku khawatir kamu pingsan di kolam."Nilam mendelik. “Ya siapa suruh kamu seganas itu? Badan aku masih pegal semua ini.” Suara Nilam agak serak. Wajar sih, habis teriak-teriak keenakan dalam waktu cukup lama, meskipun bukan karena marah. “Dan parahnya lagi, aku belum makan dari tad
"Sayang... Sayaaang...""Sayaaang ayo banguuun...""Hnggg?" Tidur Jean hari itu sedikit terganggu karena panggilan lembut Nilam. "Apa Nilam sayang?" Mau tak mau, ia membuka kedua matanya dan membiasakan sinar matahari menyilaukan pandangannya."Sayang, liat deh!" Nilam memegang pipi Jean yang masih sibuk memfokuskan penglihatannya, memaksa pria yang beberapa tahun lebih tua darinya ini untuk menatap langsung ke arahnya."Nilam? Ngapain kamu pake baju gitu?" Rasa kantuk Jean seketika lenyap, matanya bahkan nyaris mendelik saat melihat istrinya hanya memakai bikini.Yup— BIKINI! Warna pink pula. Ada hiasan pita di bagian dada pula. Dan celananya— kalau ditarik sedikit saja sudah ke mana-mana itu aurotnya Nilam."Iih! Kamu gimana sih?" Nilam yang tadinya berdiri di samping ranjang dengan posisi setengah membungkuk supaya bisa melihat wajah suaminya dari dekat langsung mundur. Dia duduk dengan posisi W di atas tempat tidur sambil memasang raut cemberut. "Katanya mau ngajakin renang pagi-p
Devi menatap Elisha dengan mata berkaca-kaca. Bukan karena kasihan—tapi karena ia bisa merasakan tulusnya penyesalan itu. Rasa bersalah yang tak hanya tertahan di kepala, tapi meresap hingga ke dalam tulang. Elisha mungkin tak lagi bersama Jean, tapi luka yang ditinggalkan masih menggores.“Sha… semua orang pernah buat kesalahan,” ucap Devi lirih. “Yang membedakan kita adalah gimana kita belajar dari situ.”Elisha hanya menunduk. Tangannya kembali meremas ujung selimut. Kali ini, ia tak lagi menahan air mata. Setetes jatuh, menyusul satu lagi. Tapi tak ada isakan, tak ada tangisan keras—hanya keheningan yang menyakitkan.“Aku cuma pengen jadi ibu yang layak buat Qila,” ucap Elisha lirih. “Aku gak bisa balikin waktu, tapi aku pengen punya kesempatan kedua. Meskipun kecil… meskipun aku harus mulai dari nol.”Devi meraih bahunya, menepuk pelan. “Dan kamu akan punya kesempatan itu, Sha. Kamu udah jalanin hukumannya, kamu udah bayar semua. Yang penting sekarang, kamu harus semangat. Kamu j
Di saat begitu, tiba-tiba saja suara dari televisi kecil yang menggantung di sudut ruangan terdengar lebih jelas. Awalnya hanya sekilas suara pembawa berita yang menyebut nama-nama populer di dunia bisnis, tapi tak lama, gambar wajah Jean dan Nilam terpampang jelas di layar.Devi yang tadinya menunduk menepuk-nepuk punggung balita, refleks mendongak ke arah TV.“Eh, itu bukannya?” gumam Devi.Elisha pun spontan ikut menoleh. Pandangannya langsung tertumbuk pada tayangan berita infotainment yang menampilkan potongan-potongan video pernikahan mewah. Ada kilatan blitz kamera, dekorasi bunga warna peach dan putih, dan tentu saja—sosok Jean yang mengenakan setelan jas putih elegan, berdiri di samping seorang wanita cantik bergaun pengantin berwarna senada.“Jean, pengusaha muda sukses sekaligus duda beranak satu, hari ini resmi menikahi Ayunda Nilam Wijaya anak dari pengusaha properti Wijaya dan ibunya Bu Mala, pemilik franchise minuman terkenal di Indonesia. Pernikahan mereka digelar seca
Suara anak-anak menyanyi riang memenuhi aula kecil yang terang oleh cahaya matahari yang menyusup dari jendela. Di tengah kerumunan anak-anak itu, berdiri seorang wanita dengan senyum keibuan—rambutnya dikuncir sederhana, seragam berwarna abu-abu yang dikenakan pun tak bisa menyembunyikan aura keibuannya.Elisha...Mantan istri Jean itu kini tengah menjalani kegiatannya yang seperti biasa. Dan karena hari ini hari senin, ia dapat jadwal mengajar untuk anak-anak panti asuhan sebagai bentuk kontribusi sosialnya“Ayo, kita ulang lagi dari bagian reff-nya ya, pelan-pelan, satu-satu.”Elisha mengangkat tangannya memberi aba-aba. Tangannya menggenggam ukulele kecil, yang ia petik lembut untuk mengiringi anak-anak menyanyi. Suaranya sabar, tidak pernah meninggi, bahkan ketika beberapa anak mulai tak fokus."Bunda, aku lupa nadanyaaa,” rengek salah satu anak.Elisha tertawa kecil. “Nggak apa-apa, kita ulang bareng-bareng. Kita belajar pelan-pelan ya, sayang.”Anak-anak kembali tertawa, suasan
"Liat deh, Dikta!"Dikta yang sedang bersantai sambil bermain ponsel, dikejutkan dengan kedatangan ibunya yang heboh. Di tangan kanannya Bu Sinta membawa sebuah ponsel yang hendak ditunjukkan padanya."Liat ini deh, Nak!" Bu Sinta memberikan hapenya pada Dikta."Apa ini Ma?" tanya pria berambut sedikit panjang itu."Itu acara pernikahan Jean dan Nilam kemarin."Dikta yang tadinya tak begitu tertarik dengan kabar yang akan di sampaikan oleh Mamanya, seketika mengalihkan pandangannya ke arah ponsel pintar tersebut.Di dalamnya ada beberapa foto pernikahan Nilam yang meriah. Dari proses pengikatan janji suci hingga resepsi. Foto-foto itu di posting di akun IG bu Mala. Tentu saja caption yang menyayat hati."Akhirnya Nilam nikah juga ya," ucap Bu Sinta kagum. "Tapi sayang, suaminya itu duda. Musuh kamu pula."Dikta terdiam. Ucapan sang Mama terdengar nyelekit tapi ada benarnya. Yang dimaksud musuh di sini bukanlah musuh di persidangan, tapi rival sesama CEO perusahaan."Padahal Nilam masi
"Kayaknya, ga usah nunggu lama, aku bakal hamil deh, Yang." Jean yang sudah dilanda rasa kantuk itu seketika membuka lagi kelopak matanya, karena mendengar ucapan Nilam barusan. "Kenapa?" Ia melirik ke arah sang istri yang sedang membalut tubuhnya menggunakan bedcover hingga sebatas leher. "Gimana enggak, kamu jago banget nembaknya. Rahimku berasa penuh gara-gara kamu keluar beberapa kali tadi." Jean seketika jadi salting. Ucapan Nilam yang terdengar Nilam itu benar-benar membuatnya salah tingkah. Ia memiringkan tubuhnya dan memeluk perut Nilam. "Ya bagus dong, supaya Qila gak terlalu lama menunggu punya adiknya." Nilam meringis kecil. Ia sedikit kegelian saat Jean mengusap pelan perutnya yang rata. "Aku juga seneng banget kalau punya anak dari ibu se gemesin dan secantik kamu," lanjut Jean sambil mengecup pipi Nilam. "Kamu maunya anak laki-laki atau perempuan?" tanya Nilam kemudian. Sejujurnya dia memang sudah sangat mengantuk, ditambah aktivitas panas keduanya beberapa waktu
"Capeknya..." Kasur yang empuk adalah tempat yang paling Nilam impikan sejak beberapa jam yang lalu. Punggungnya benar-benar sudah pegel karena terus berdiri di acara resepsi. Kakinya juga. Kalau bukan Tuhan yang nyiptain, kakinya udah patah sih kayaknya. "Ganti baju dulu, Nilam sayang. Kamu juga belum bersih-bersih." Jean yang mengikuti gadis itu di belakangnya, mulai melepaskan jas pengantinnya. FYI, mereka emang langsung nyewa satu kamar hotel yang berada di gedung yang sama dengan acara resepsi karena permintaan Nilam. Maklum, kaum mager seperti Nilam ga bakal sanggup kalau setelah resepsi harus pulang dulu ke rumah atau apartemen. Apalagi jaraknya hampir 2 jam dari sini. "Mager sayang. Maunya langsung tidur." "Emang kamu ga sumpek pake gaun gitu?" Nilam membuka matanya. Ia melihat ke arah Jean yang sedang menyingsingkan lengan kemeja panjangnya. "Ya sumpek sih. Tapi beneran mager banget ini." Jean menggelengkan kepalanya. Ia tersenyum maklum sambil menarik kedua pergelanga