Berbeda dengan Nilam dan Jean justru nge-date di bengkel. Elisha dan Dikta sendiri dalam perjalanan menuju ke Jakarta. Keduanya duduk berdampingan di pesawat. Selama hampir satu jam perjalanan kedua orang itu sama sekali tidak banyak bicara. Terlebih lagi Elisha, dia sibuk melamun sambil sesekali menyeka air matanya karena nasib buruk yang sedang menimpa dirinya.
Elisha begitu frustasi. Bagaimana tidak, dalam sehari ia harus mengalami banyak tekanan dari sana sini. Pertama, masalah dengan Jean yang sedang marah kepadanya. Keduanya, ungkapan cinta Dikta yang membuatnya syok beberapa saat yang lalu. Dan tweakhir, ancaman sang CEO yang membuatnya batal resign dari perusahaan tersebut.Jujur saja, memikirkan semua itu membuat otaknya panas.Dikta yang menyadari jika sekretarisnya itu masih marah padanya, sengaja mengarahkan tangan kanannya di atas paha Elisha dan mengelusnya dengan lembut. Tapi tentu tindakannya itu langsung ditepis begitu saja oleh Elisha. Se"Mas! Tolong jangan marah dulu! Aku bisa jelasin semuanya.""Memangnya apa yang mau kamu katakan Sha? Dari pesan yang kamu kirim itu aja udah menjelaskan semuanya, kalau kamu lebih mementingkan bos kamu itu daripada acara penting kita.""Enggak Mas. Enggak kayak gitu ceritanya..." desah Elisha sambil menahan tangisnya. "I- itu cuma salah paham aja.""Coba jelasin!" titah Jean pada akhirnya.Namun sayangnya, bukannya langsung memberikan alasan yang terjadi sebenarnya, Elisha malah diam saja dan hanya bisa menggigit bibir bawahnya dengan resah.Mana mungkin Elisha mengatakan pada Jean jika ini semua ulah si Bos yang merasa cemburu karena mereka berdua akan makan malam romantis. Mana mungkin Elisha memberitahu Jean, jika hari itu Dikta sengaja mencampurkan obat tidur pada minumannya agar dia tidak sadarkan diri."Kok kamu diem? Lagi nyusun kalimat yang tepat ya?" tukas Jean dengan wajah tidak bersahabat. Sungguh dia muak dengan ulah
Semua berjalan normal keesokan harinya. Bahkan hari ini Elisha sengaja membolos kerja karena ingin metime dengan keluarganya. Untung saja Dikta mengijinkan dirinya untuk libur hari ini walaupun harus melewati perdebatan sana sini. Bahkan dia memutuskan untuk pergi belanja karena ingin memasak makanan spesial untuk anak dan suaminya."Hai Jeng Lisha! Apa kabar?"Elisha sedang memilih sayuran yang hendak ia beli pagi itu, ketika salah seorang ibu menegurnya."Eh— ibu Ningsih. Kabar saya baik banget kok, Bu.""Wah, alhamdulillah kalo sehat. Seneng saya dengernya."Elisha tersenyum tipis. Sementara mata dan tangannya masih sibuk memilah bahan makanan apa yang harus dibeli hari ini."Kok tumben sih belanja sendiri? Biasanya kan yang belanja si Nilam?" Tetangga Elisha yang kebetulan datang bersama Bu Ningsih ikut buka suara."Si Nilam, ada di rumah kok Bu. Saya nyuruh dia nyuci tadi," jawab Elisha apa adanya.
Setibanya di rumah, Elisha langsung masuk ke dapur. Di sana ia mendapati Nilam yang baru selesai mengeluarkan pakaian-pakaian yang sudah di cuci dari dalam mesin."Udah selesai nyucinya Nilam?"Mendengar suara Elisha, si empunya nama pun menoleh ke arah sumber suara. "Iya Bu, baru aja selesai."Elisha menghampiri Nilam, niatnya sih ingin mengecek apakah baju-baju miliknya memang sudah dicuci semua. Tapi— matanya justru tidak sengaja melihat pemandangan yang membuatnya curiga."Nilam?""Iya?""Itu— leher kamu kenapa ya? Kok merah-merah gitu?"Nilam tersentak kaget. Ia langsung memegangi bekas cupang di lehernya yang bisa-bisanya lupa ia tutup dengan foundation."I- ini, gatal Bu," jawab Nilam sekenanya. Dia tidak punya jawaban lain soalnya."Gatal?" Elisha memicingkan pandangannya. "Emang ada gatal yang bentuknya kayak cupang gitu?"Nilam mengerutkan keningnya. "Cupang? Cupang itu apa ya, Bu?" S
"Sebenarnya saya dan Pak Jean sempat di kamar berdua, Bu."Deg!Pengakuan Nilam itu membuat Elisha tercekat. Ia juga nyaris lupa bagaimana caranya bernafas karena terlalu syok."Se- sekamar berdua? Kalian ngapain?" tanya Elisha dengan nada terbata-bata. Lututnya terasa lemas ketika mendengar pengakuan Nilam barusan."Ibu jangan salah paham dulu!" Nilam mengibaskan kedua tangannya di depan dada. "Saya masuk ke kamar sama Pak Jean, bukan buat ngelakuin hal yang aneh-aneh kok.""Terus?""Saya bantuin Pak Jean ke dalam buat istirahat aja. Soalnya Bapak kelihatan lemes banget gara-gara mabuk."Jantung Elisha masih berdebar-debar. Iya memandang pembantunya dengan sinis dan agak sangsi. Apa benar kata-kata Nilam bisa dia percaya?"Malam itu, Pak Jean pulang dalam kondisi mabuk berat, Bu. Dia juga keliatan sedih banget karena ibu nggak jadi pulang," ucap Nilam dengan nada lembutnya. "Nggak mungkin dong, saya tega biarin
Menurut Jean, menghindari perdebatan apalagi di depan Qila adalah keputusan yang tepat. Dia tidak mau anaknya sedih karena pertengkaran kedua orang tuanya."Kalau gitu, dua hari lagi kamu jangan lupa interview calon pembantu baru kita ya!" ucap Elisha dengan nada memerintah seperti biasanya. "Semoga aja, pembantu baru kita nanti kerjanya sebagus Nilam."***Nilam terlihat happy kali ini. Alasannya karena Elisha sudah menemukan penggantinya. Dia tak sabar ingin pulang ke rumah. Tidak sabar main dengan teman-temannya. Ke club malam, cari mangsa, ke salon."Akhh! Aku nggak sabar buat ngelakuin itu semua," jerit Nilam kegirangan. Ia mulai mengeluarkan semua bajunya di lemari dan memindahkannya ke dalam tas besar miliknya. Tas yang dulu dia bawa waktu pertama kali datang ke rumah ini."Pokoknya, kalau udah sampai rumah aku mau langsung tiduran di kasur ku yang nyaman. Makan masakan buatan Ibu, terus rebahan sampai sore.""Ngebayangin
"Pak Jean... Saya boleh minta sesuatu nggak?""Apa?" tanya Jean penasaran."Boleh saya lanjut beres-beres nggak? Biar saya cepat pulang ke rumah."Jean yang mendengar kata-kata Nilam itu langsung melepaskan pelukannya dan sedikit menjauh."Mau aku bantuin?""Enggak usah Pak. Tinggal dikit kok."Jean memandangi Nilam tanpa bersuara. Rasa hati ingin sekali mencegah gadis itu untuk tetap bersamanya lebih lama. Tapi apa daya, itu juga sudah menjadi keputusan Nilam.Kadang Jean bertanya-tanya dalam hati, kalau memang jatuh cinta yang kedua kalinya itu ada, kenapa hal itu bisa terjadi saat ia sudah memiliki keluarga yang harmonis? Dia merasa tidak adil karena hal tersebut.Dia ingin terus bersama Nilam.Tapi takdir dan keadaan tak mengijinkan."Eh? Bapak! Bapak ngapain?"Nilam lagi-lagi dipeluk dari belakang oleh Jean. Tapi berbeda dengan pagi tadi, kini Jean tidak hanya memeluk pinggangnya
"Mbak bohong!" tepis Qila tak percaya."Beneran Mbak Qila sayaang... Ngapain Mbak bohong?""Kemarin aja Mbak janji mau kerja lama di sini, tapi baru beberapa bulan Mbak malah resign. Kan Mbak pembohong!" Qila buang muka. Ngambeknya makin menjadi-jadi saja."Ehm..." Nilam melirik ke arah Jean. Meminta bantuan agar bisa membujuk Qila. Kalau Qila ngambkek begini saat ia angkat kaki dari rumah ini, ia bakal kepikiran dan nggak akan bisa tenang.Paham dengan maksud lirikan si pembantu, Jean pun mendekati Qila yang sedang cemberut dan memeluknya. Berusaha memberikan pengertian pada anak tunggalnya itu agar berhenti merajuk."Qila! Kamu jangan kayak gitu dong! Harusnya kamu do'a-in Mbak Nilam supaya dapat tempat kerja yang lebih baik di luar sana! Bukannya malah ngambek kayak gini sayang..." Jean mengusap usap punggung anaknya. Mencoba memberikan pengertian pada bocah berparas cantik tersebut."Tapi Mbak Nilam jahat Pa.""Qilaa
"Ohh, jadi ini sifat asli kamu?" "Ibu dulu kan tadi yang mulai? Saya juga nggak bakal tinggal diem kalau ada yang ngerendahin saya Bu!" "Ckckck. Padahal aku pikir kamu gadis lugu dan baik hati, taunya sama aja. Munafik!" "Bu, orang diem nggak selamanya rela kalau direndahin kayak gini! Daripada nuduh orang munafik! Kenapa ibu nggak bercermin aja!" "Apa maksud kamu? Kenapa harus aku yang ngaca! Kenapa enggak kamu aja!" "Ya biar ibu bisa sadar kalau yang munafik selama ini itu siapa! Yang sok baik itu siapa! Saya— atau ibu!" "Hei! Maksud kamu apa bicara kayak gitu!" Elisha semakin murka. Hasrat ingin menjambak dan mencakar wajah Nilam semakin menjadi-jadi saja. "Udah miskin! Belagu! Sok tau pula!" "Sha! Jangan ngomong kayak gitu! Kan Nilam udah mau resign! Kenapa kalian malah berantem?" sela Jean sambil menahan istrinya. "Malu kalau sampai tetangga denger Sha!" "Ck!"
Nilam melihat ke arah Mamanya, pun Jean. Mereka penasaran dengan apa yang akan wanita paruh baya itu katakan. "Tante suka tipe yang sat-set dan nggak banyak bicara. Yang lebih suka action tanpa banyak basa-basi, kayak Jean ini." "Hahahaha..." Dikta tertawa sumbang. "Padahal Tante baru beberapa kali ketemu dia, tapi kenapa Tante udah segitu yakinnya dia bisa buat anak Tante bahagia." Jean menelan ludah. Kerongkongannya mendadak kering karena terus menerus dipuji oleh Bu Mala. "Dikta..." Bu Mala menepuk-nepuk pundak Dikta sebelum berkata, "Yang namanya feeling orang tua itu nggak akan salah. Apalagi feeling ibu." Habis sudah! Dikta semakin geram saja. Dia seperti sedang diinjak-injak oleh Bu Mala. Ia merasa kalah telak dari Jean. Dan itu membuatnya sangat kesal. "Ka- kalau gitu saya permisi dulu ya Tante. Nanti kita ngobrol lagi." Akhirnya Dikta pamit undur diri hadapan Bu Mala. Di
"Eh— bener gitu kan? Bapak kan juga pernah ngerasain dia juga?" tanya Dikta sambil tertawa mencemooh. Jean bisa saja menonjok Dikta saat ini juga. Jean juga bisa saja menghajar pria itu hingga babak belur. Tapi dia juga harus ingat, jika sekarang ini Dikta mencoba untuk memancingnya. Agar ia kesal sehingga orang-orang akan menilai buruk tentangnya. "Pak Dikta..." panggil Jean. "Di sini banyak makanan lezat. Kenapa Anda nggak coba cicipin makanan-makanan ini daripada banyak bicara. Seperti bukan laki-laki saja." Dikta terperangah ketika mendengar ucapan rivalnya tersebut. Tapi belum sempat ia memberikan balasan, Jean lebih dahulu pergi dari hadapannya. "Shit!" umpat Dikta sambil mengepalkan tangannya. Si Jean itu semakin membuatnya muak saja. "Awas aja lo Jean! Gue nggak akan ngebiarin hidup lo tentram. Apapun yang jadi milik lo, harus jadi milik gue juga. Termasuk Nilam." * Jean
"Nilam!""Iya Bu? Kenapa?" "Kenapa? Coba jelasin padaku, kenapa bisa ada Jean di sini?" Nilam mengerutkan keningnya karena merasa aneh dengan pertanyaan Elisha tersebut. "Kan tadi dia udah bilang kalau hadir sebagai CEO Indojaya grup?" "Tapi di daftar tamu nggak ada nama dia, Nilam! Karena yang harusnya datang itu Pak Wijaya langsung! Bukan dia!" Nilam mengendikkan bahunya. "Kalau itu aku nggak tau Bu. Kenapa ibu nggak tanya langsung aja ke dia?" "Pak Wijaya sakit. Makanya dia mengirim Jean sebagai perwakilannya." Dikta yang baru selesai menelpon seseorang, muncul di antara Elisha dan Nilam hanya untuk menengahi pertengkaran mereka. "Apa? Tapi kok nggak ada konfirmasi sebelumnya?" tukas Elisha balik. "Ya mana aku tau? Aku kan bukan bagian dari perusahaan mereka," balas Dikta lagi. Sama seperti Elisha yang kesal karena kemunculan Jean, Dikta pun juga merasa demikian. Apal
"Selamat siang. Saya Mala, founder sekaligus CEO dari NM Group yang operasionalnya di bidang food and drink. Jadi...""Nilam! Itu nyokap lo kan?"Nilam yang sedang memperhatikan sang Mama yang berdiri di depan sebagai salah satu pembicara, langsung menoleh ke arah rekannya."Ehehehe. Iya." Nilam tersenyum canggung sambil memegangi belakang kepalanya."Wah, nyokap lo keren banget.""Iya nih. Ilmunya nggak main-main.""Bener. Walaupun single parent tapi perjuangannya nggak main-main, Nilam."Pujian-pujian yang disampaikan oleh rekan-rekannya itu tentu saja membuat Nilam makin kagum pada sang Mama. "Nyokap gue emang paling the best di dunia.""Gue jadi iri, pengen banget punya nyokap sekeren itu."Nilam terkekeh saat mendengar penuturan temannya itu. "Kalau lo mau nyokap sekeren nyokap gue, minimal lo harus rela nggak punya bokap sih.""Ish!" Perempuan itu langsung menepuk bahu Nilam. "Jokes lo se
"Jean..." Pak Wijaya memanggil nama duda satu anak itu sekali lagi. "Iya?" "Seandainya bapak masih diberi umur panjang, bapak sangat berharap, Ayu bisa berjodoh sama kamu." Lagi-lagi ucapan Pak Wijaya membuat Jean terpekur. "A- apa Pak?" "Kamu orang yang bertanggungjawab dan baik. Kamu juga pekerja keras, jadi— rasanya bapak akan sangat tenang jika Ayunda punya suami seperti kamu." Jean tak bisa berkata apapun lagi. Ucapan Pak Wijaya sungguh di luar prediksinya. Melihat ekpresi wajah Jean yang tidak nyaman, Pak Wijaya pun berucap, "Jangan terlalu dipikirkan Jean! Bapak cuma berandai-andai aja kok." Jean menganggukkan kepalanya dengan pelan. "Iya Pak." *** Hari H pun tiba. Semua CEO dari Jakarta dan beberapa kota besar lainnya berkumpul di acara gathering yang nyaris sebulan dipersiapkan. Salah satu ballroom hotel bintang 5 menjadi pilihan dari perusahaan milik Dikta untuk menerima tamu dari berbagai kalangan. Dengan layar proyektor berukuran besar di tengah, mimbar di sisi sa
"Bantuin Sha! Dikta Junior udah nggak tahan pengen dipuasin." Elisha masih mengedipkan kedua matanya ketika pria itu menyuruhnya untuk duduk bersimpuh tepat di depan rudalnya. Bahkan wanita itu sedikit syok ketika menyaksikan dengan mata kepalannya sendiri, betapa gagahnya rudal sang bos. "Puasin aku, Sha!" pinta Dikta sambil menyodorkan miliknya di mulut sang sekertaris. Walaupun sempat kaget, tapi pada akhirnya Elisha pasrah dan mau-mau saja saat Dikta memaksanya untuk mengulum miliknya yang besar itu. Dikta menggeram puas saat ronggs hangat sekertarisnya berhasil membuat nikmat rudalnya yang perkasa. Elisha juga terlihat senang saat melihat ekspresi kenikmatan yang Dikta tampilkan. 'Ahh... Enak... Enak banget Nilam... Ayo puasin aku! Puasin aku pakai lidah kamu! Ahh...' Dikta memejamkan mata. Membayangkan jika yang melakukan ini semua adalah Nilam— gadis incarannya. 'Ahhh... Enaknya... Nilaaam... Kamu bener-bener bikin aku gila... Ugh..." "Mmmpphh..." Elisha langsung menjauhk
"Sekarang, ayo kita fokus di dunia masing-masing." Nilam benar-benar tidak bisa berkata-kata. "Kalau pada akhirnya kita hanya ketemu buat putus, mending kita nggak usah ketemu aja hari ini. Lebih baik aku Berkhayal jadi pacar kamu dan bahagia, daripada aku harus ngerasain kecewa karena pisah sama kamu, kak." "Maafin aku, Nilam." Gadis itu mendorong Jean menjauh dari hadapannya. Ia membuka pintu mobil dengan agak kasar dan turun dari kendaraan tersebut dengan serampangan. Ia sama sekali tidak menengok ke arah Jean saking kesalnya. Ia begitu terluka dengan keputusan sepihak lelaki itu terhadap dirinya. Nilam tidak tau saja, jika yang sakit hati bukan hanya dia. Tapi Jean juga sama saja. Pria itu terlihat beberapa kali mengusap wajahnya dengan gusar. Jean menempelkan kambingnya di roda kemudi sambil merapalkan kata maaf berapa kali untuk Nilam. Yang tentu saja tidak bisa didengar langsung oleh gadis itu. "Maafin aku Nilam... Maafin aku..." * "Kamu kenapa? Kesambet? Daritad
Nilam yang sedang mengusap air matanya dengan telapak tangan, dibuat membeku ketika Jean berkata begitu padanya. Apa maksud pria ini? Apa Jean sengaja berkata demikian agar mereka bisa putus? "Kamu kan masih bisa cari pria yang mapan, single, nggak punya masa lalu buruk sepertiku. Di luar sana, banyak lho pemuda-pemuda yang lebih cocok buat dampingin kamu. Seha—" "Tapi hatiku cuma milih kamu, kak! Terus aku harus gimana kalau kayak gitu?" Jean menahan nafas ketika kalimatnya di potong oleh Nilam. Ia jujur agak tertohok dengan kalimat yang di lontarkan oleh perempuan di sebelahnya. "Aku bisa aja cari cowok seperti yang kakak maksud. Tapi aku nggak yakin bisa bahagia jika nggak sama kakak." "Aku duda, Nilam. Dan Elisha bakal terus jadi bayang-bayang saat kita bersama nanti. Emang kamu nggak ngerasa cemburu kalau seandainya Elisha datang dan berusaha menggodaku dengan dalih demi kebaikan Qila?" Ia melihat ke arah Nilam dengan skor matanya. "Aku tau kakak nggak akan tergoda ama
Nilam berjalan mondar-mandir di area pintu keluar mall. Bukannya dia caper atau kurang kerjaan, tapi dia sengaja berdiri di sana karena sedang menunggu Jean. Yup, kali ini mereka harus bicara. Dia tidak mau digantung dengan ketidakpastian seperti sekarang. "Kak Je—" Nilam menutup mulutnya. Dia bisa saja meneruskan panggilannya. Tapi sayangnya, saat melihat Qila, dia reflek merungkan niatnya. 'Enggak Nilam! Lo nggak boleh egois. Kalau lo buat keributan di sini, kasian nanti sama Qila.' 'Tahan Nilam! Tahan!' Gadis dengan rambut di ikat di belakang tengkuk itu memilih untuk menjauh dan mengawasi Jean dengan sembunyi-sembunyi. Gadis itu memperhatikan ketiga orang tersebut yang sibuk menata barang yang mereka beli dan memasukkannya ke bagasi. Ia mengintip Jean dari kejauhan dengan gaya lucu karena beberapa kali hampir ketahuan. "Kali ini, lo nggak akan gue lepasin kak," gumam Nilam pada dirinya sendiri. * Nilam itu super nekat kalau sudah ada kemauan. Apa yang jadi tujuannya,