Ini pertama kalinya bagi Karen mendatangi perusahaan Morgan. Duduk di lobby, dengan tangan yang saling meremas, memperhatikan karyawan yang berlalu lalang dan berharap Morgan cepat-cepat datang.
“Akh!” Dan sesekali Karen meringis ketika gelombang rasa sakit menghampiri punggungnya. Itu sangat menyakitkan, tapi Karen berusaha menahannya. Ia tidak boleh mengeluh di saat genting seperti ini.
“Karen!”
Tidak perlu waktu lama untuk menunggu, Morgan datang dengan langkah lebar dan nafas terengah-engah. Karen berdiri perlahan dan bermaksud mengutarakan apa yang membuatnya nekat datang langsung pada Morgan.
“Lebih baik kita tidak bicara di sini.” –tetapi Morgan lebih dulu menginterupsi dan Karen mengangguk. Tentu, mereka tidak mungkin membicarakan hal ini diantara banyaknya orang yang mungkin bisa mendengar.
Tanpa tahu bahwa alasan Morgan yang sebenarnya adalah-
“Karen?”
Karen tidak bisa tidur. Seberapa keraspun ia mencoba, ia tetap tidak bisa tertidur dan melupakan segala kekhawatirannya. Tubuhnya lelah, tetapi otaknya berbanding terbalik, mereka tidak bisa berhenti berpikir dan terus memutar hal yang sama.Nyonya Maudy. di mana ia sekarang?Apa Candra kembali memukulinya? Kembali menorehkan bekas luka yang bahkan baru sembuh beberapa hari yang lalu?Pemikiran negatif itu tidak lepas dari kepala Karen. Ia tidak mampu berpikir positif, karena pada nyatanya, apa pun tentang Candra dan Eric tidak pernah baik di mata Karen.Karen telah menutup dirinya dengan selimut kebencian.Kebencian karena ia masih mengingat jelas perlakuan buruk Candra kepada ibu kandungnya.Dan kebenciannya yang bertambah karena kemungkinan besar Maudy menjadi sasaran perlakuan buruk pria itu.Tanpa sadar jemari Karen mengepal. Menyimpan segala amarahnya di dalam kepalan tangannya.Cklek!“Kak Morgan-”
Bianca tidak tahu mengapa langkah kakinya bisa berhenti di sini. Ujung sepatu pantofel setinggi empat sentinya beradu dengan lantai ubin menciptakan suara yang menggema dalam bangunan sepi dan kotor itu. Keringat dingin mengalir hingga tungkai kakinya yang kini bergetar.Cukup merasa takut, namun mencoba menegarkan hatinya yang mulai goyah untuk berlari kembali ke mobilnya.Bianca meninggalkan mobil kantornya di luar, cukup jauh dari tempatnya sekarang. Ia melakukannya bukan tanpa alasan. Eric-lah yang memberikan perintah itu, dan Bianca tidak bisa mengingkari karena nyawa Maudy bergantung pada dirinya.Awal mula, Eric memang memberinya pilihan. Namun setelah pria itu mengirim alamat yang harus Bianca datangi, membuat Bianca tidak memiliki pilihan lain selain datang sendiri tanpa memberitahu Morgan, Pak Anwar, ataupun polisi yang paling bisa melindunginya. Ya, karena selain alamat, Eric juga mengirimkan sebuah foto yang langsung membuat Bianca sesak melihatnya.
Drrt drrt …Morgan tersentak dari lamunan saat tiba-tiba ponselnya bergetar. Ia menegakkan tubuhnya sebelum menerima panggilan yang berasal dari anak buahnya itu.“Halo, ada apa?”“Saya hanya ingin memberi informasi, Bos. Nona Bianca baru saja pergi menggunakan mobil kantor dengan tergesa-gesa.”“Pergi? Kalian tidak membuntutinya?” Morgan merasakan detak jantungnya berpacu dengan cepat. Firasat buruk kembali menggelayuti dadanya hingga membuatnya sedikit sesak. Ia tahu ada hal yang disembunyikan Bianca, tapi bodohnya Morgan tidak berusaha mencari tahu. Dan bukan tidak mungkin jika firasat buruk Morgan disebabkan karena ada sesuatu yang akan terjadi pada Bianca.“Kami sudah membuntuti Nona Bianca, tapi …”“Tapi?”“Tapi kami kehilangan jejak. Jalanan terlalu ramai karena telah memasuki waktu makan siang. Kami sekarang sedang berusaha mengejar mobil nona Bian
Tak diduga, tiba-tiba Morgan berdiri, lalu menyambar kunci mobil di atas meja kaca dan membuat Reynald dan Vyan terkejut.“Lo mau kemana?” tanya Reynald. Meski tanpa bertanya-pun, Reynald dan Vyan sudah tahu apa yang akan dilakukan Morgan dengan kunci mobilnya.“Jangan gegabah, Morgan. Lo nggak boleh menyetir dengan keadaan yang-”“LALU APA GUE HARUS DUDUK DIAM di sini SEMENTARA GUE NGGAK TAU APA YANG DILAKUKAN SI KURANG AJAR ITU KE BIANCA?!”Ucapan Vyan langsung terpotong oleh teriakan Morgan yang penuh emosi. Sudah cukup lama Morgan menahan diri untuk tidak tersulut namun berakhir gagal. Ia tidak menemukan cara yang tepat untuk menenangkan hatinya sementara pikiran mengenai keselamatan Bianca terus terbayang di otaknya.“Elo-” Vyan, yang memiliki tingkat temperamen tinggi seperti Morgan, berniat untuk membalas teriakan Morgan dengan emosi yang tercetak jelas di wajahnya yang memerah. Sedetik sebelum
Reynald memelankan laju mobilnya saat mobil di depannya berhenti di tepi laut. Ia tidak berniat keluar dari mobil, meskipun ia melihat dari temaram lampu, Morgan keluar dari mobilnya dengan wajah dan pakaian sama-sama kusut. Ia membiarkan Morgan dengan dunianya sendiri, sibuk dengan ponsel ataupun putus asa yang menguasainya hingga ia berulang kali berteriak.Bukannya Reynald tidak perduli. Lebih tepatnya, Reynald tidak ingin mengganggu Morgan. Mungkin dengan bertindak seperti itu, Morgan mampu menumpahkan emosinya dan bisa lebih tenang.Sudah nyaris satu jam, namun tidak ada petunjuk yang berarti. Tidak untuk anak buah Morgan, ataupun Morgan sendiri yang mengemudikan mobilnya di seluruh penjuru kota. Tapi nihil. Eric dan Candra sangat rapi menyimpan Bianca dan mungkin Maudy di suatu tempat yang tidak terendus. Dan juga, nomor ponselnya yang tidak terdaftar sangat sulit untuk di lacak.Pengamatan Reynald terhadap Morgan harus berakhir tatkala ponselnya berdering
Ketakutan kembali menyergap dada Bianca. Hal yang jauh lebih menakutkan daripada terkurung di ruangan gelap selama beberapa jam adalah ketakutan bahwa Morgan kembali tidak memedulikannya, mengabaikannya, dan mungkin berniat meninggalkannya.Hal yang membuat Bianca mendapat setitik kekuatan untuk berdiri di atas tungkai kakinya yang masih bergetar dan lemah, mencoba berdiri dan menggapai punggung Morgan yang sudah berlalu.“K-kak Morgan ... Morgan ...”Pria itu hilang tertelan pintu, bersamaan dengan suara Bianca yang tercekat di tenggorokannya.Bahkan Morgan tidak berbalik meskipun Bianca yakin suaranya cukup terdengar di telinga Morgan.Detik itu pula, Bianca kembali terjatuh. Rasa sakit di perutnya kembali menyiksa, menjadikan kesakitan Bianca bertambah ribuan kali lipat. Kesakitan yang melibatkan fisik dan hatinya. “Akh ...”“Bianca!”***“Ini gawat, Ayah!”“Apa ya
Saat Bianca sibuk dengan tangisannya di dalam, maka tidak jauh berbeda dengan Morgan yang baru saja menutup pintu. Langkah kaki pria itu terasa berat, ia mengacak rambutnya hingga berantakan dan mengerang tertahan.Morgan terlalu kecewa, namun ia tidak memiliki ide bagaimana caranya agar ia bisa menghilangkan rasa kecewa itu.Padahal di sisi lain, Morgan juga amat khawatir oleh keadaan Bianca.“Apa Kak Bianca masih belum sadar?” –bahkan pertanyaan Adian tidak ia hiraukan. Morgan terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri.Adian memang memutuskan untuk tidak menengok Bianca sebelum Kakak-nya itu terbangun. Adian tidak ingin mengganggu ketenangan Bianca, karena ia sudah hafal jika Kakak-nya itu akan terus gelisah jika berada di Rumah Sakit.Dan ia-pun tidak sakit hati oleh sikap Morgan yang mengabaikannya. Sejak awal Adian sudah memaklumi kakak iparnya itu pasti sangat terpukul, jauh lebih banyak daripada yang Adian rasakan.Jik
Vyan pernah merasakannya. Merasakan dirinya tidak dipercayai oleh gadis yang ia cintai. Merasakan dirinya seolah tidak berguna dan tidak tampak di mata gadis itu.Karenina. Tidak perlu dijelaskan betapa tertutupnya Karen atas semua masalahnya, tanpa membiarkan Vyan menengok ataupun mengulurkan tangan untuk membantu sedikitpun. Gadis itu terlampau tegar, meski kenyataannya ia tidak lebih dari gadis lemah yang berpura-pura tegar.Dan apa yang dihadapi Morgan saat ini, sangat mirip dengan apa yang Vyan hadapi beberapa waktu yang lalu.Sama-sama sakit hati, sama-sama emosi, dan sama-sama menutup diri dengan kabut kekecewaan.Tapi Vyan berharap, Morgan tidak menyesal seperti yang ia rasakan tadi pagi. Melihat Karen-nya menderita telah mengubah kekecewaan Vyan menjadi abu. Terbakar habis dan digantikan oleh perasaan sesal yang teramat karena telah membiarkan orang yang ia cintai menderita sendirian.Dan Vyan tidak ingin kekecewaan
“Kami hanya makan siang. Astaga! Kau bahkan bisa menghabiskan waktu semalaman dengan adikku. Bertemu dia sepanjang pagi, sedangkan aku hanya bertemu saat makan siang. Come on, gorila,” sahut Gregory mulai ngedumel juga.Jawaban yang diterima Gregory hanya Ethan yang memeletkan lidahnya pada pria itu. Ethan lalu membawa Megan pergi begitu saja dan meninggalkan Gregory bersama para tamu undangan yang tidak menyadari kepergian yang punya acara ulang tahun. Gregory terpaksa menjadi tuan rumah pengganti untuk sementara sampai semua tamu itu pamit undur diri dengan sederet pesan untuk Ethan.“Kenapa aku merasa sedang jadi asisten pribadi gorila itu ya?” keluh Gregory pada Alex, setelah kesekian kalinya dia menerima titipan ucapan selamat ulang tahun dari para tamu yang berpamitan pulang.“Tuan, Yuna mendekat kesini,” bisik Alex cepat saat melihat Yuna berdiri di antara para tamu undangan yang akan berpamitan pada Gregory.“Hmm,” sahut Gregory lalu melanjutkan perannya melepas kepergian para
“Berjanjilah ini terakhir kalinya kalian melibatkan diri dalam situasi yang berbahaya seperti kemarin.”Maudy meremas lembut kedua telapak tangan dalam genggamannya. Sangat bersyukur mengetahui dirinya masih mampu menatap pemilik telapak tangan itu tanpa harus kehilangan salah satunya. “Tante percaya, Morgan ataupun Vyan, mereka pasti bisa memperbaiki kehancuran karena si keparat itu.”Bianca mengangguk. Ia mengusap pipinya yang basah. Di otaknya terlintas sosok Morgan yang tengah tersenyum menenangkan kepadanya. “Aku-pun percaya. Sangat percaya. Kita harus memperbaiki hidup kita setelah ini.”“Ya, itu benar.” Karen menanggapi. “Setelah itu aku akan hidup tanpa bayang-bayang Pak Candra. Bahkan aku nggak sudi panggil dia ayah.”“Ibu juga akan mengurus surat cerai secepatnya.”Bianca dan Karen sontak saling berpandangan dan terkejut. Keterkejutan mereka tentu beralasan kare
“T-tante Maudy ...”Suara itu terdengar, bersamaan dengan pintu yang terbuka dan memperlihatkan tiga orang di sana. Sementara itu, Maudy dan Vyan yang terkejut, lantas terpaku pada seseorang yang duduk di atas kursi roda, mengenakan baju rumah sakit yang sama seperti milik Maudy dan dengan mata berkaca-kaca.“B-Bianca ...”(Flashback)“Bolehkah aku mengunjungi Karen bersama Kak Nesha? Aku harus tau keadaan sepupuku.”Morgan sempat terkejut sebelum mengembalikan ekspresi datarnya. “Tapi.”“Maaf Bi, sepertinya belum bisa sekarang Karen perlu perawatan intensif untuklukanya dan ia belum diperbolehkan untukbanyak berbicara terlebih dahulu. Mungkin kamu bisa menemuinya besok atau lusa,” ujar Reynald menginterupsi.“Reynald benar, Bi.” Nesha menambahkan setelah ia melihat raut kecewa Bianca. Ia sangat paham dengan kekhawatiran Bianca, namun seperti yang Reynald ka
Morgan berjongkok, meraih rahang Candra dengan ujung jarinya. Candra sama sekali tidak melawan karena tengah berperang melawan rasa sakit, namun matanya menyiratkan kebencian yang hanya dibalas Morgan dengan kekehan.“Gimana rasanya disekap dalam ruangan kotor ini? Dengan tangan terikat dan ancaman di depan mata lo, hm?” tanya Morgan, mempertahankan nada rendah dalam suaranya. Terdengar menusuk dan cukup membuat Candra kehilangan sedikit demi sedikit keberaniannya.“C-cukup menyenangkan. A apa kau ingin balas dendam atas istrimu? Cih!” Tapi rupanya Candra tidak ingin terlihat lemah. Ia masih sempat memberikan decihan, sementara Morgan mulai dikuasai emosi.Sial! Kalau saja Morgan tidak ingat jika dirinya tidak boleh menjadi pembunuh mungkin Morgan akan melenyapkan nyawa pria itu dengan tangannya sendiri. Berani beraninya ia membicarakan Bianca di depan Morgan!“Sepuluh kali lipat.” Morgan mencengkeram rahang Candra deng
“Apa yang mereka omongin? Kayaknya super penting,” gumam Nesha yang mampu didengar oleh Bianca. Bedanya, Bianca sama sekali tidak ambil pusing dengan urusan dua pria itu.“Aku juga nggak tau, Kak ...”“Ah ya, Bi, gimana Karen? Aku dengar dia terluka.”Detik berikutnya, Bianca harus kembali murung, mengingat ia belum bertemu Karen kembali setelah insiden penyerangan tadi malam. Dan jujur saja, Bianca ingin menemui Karen, memastikan gadis itu baik-baik saja dan mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikannya.“Aku ... aku belum ketemu sama dia kak Morgan yang ngelarang, katanya aku harus memulihkan kondisiku dulu dan nggak perlu cemas karena Karen sudah berhasil di operasi. Tapi ... tapi tetap saja. Aku merasa bersalah udah bikin dia terluka.”“Aku setuju tentang Morgan yang ngelarang kamu.” Nesha duduk di sisi Bianca, meraih tangan kanan Bianca yang terbebas dari selang infuse dan me
“K-kamu … kamu menyembunyikannya dariku?”Bianca menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Sungguh, ia tidak bermaksud menyembunyikan kehamilannya dari Morgan. Ia ingin memberitahu Morgan, namun waktu masih belum mengizinkannya. Toh Bianca tidak memiliki satu alasanpun mengapa ia harus menyembunyikan calon buah hati mereka.“T-tidak … A-aku nggak m-menyembunyikannya … a-aku … t-tadi malam mau b-bilang-”Semuanya berjalan terlalu cepat. Bianca yang berusaha menjelaskan semuanya, lalu Morgan yang tiba-tiba mendekati Bianca dan membawa gadis itu dalam pelukan eratnya. Bianca kehilangan kemampuan bicara, tubuhnya menegang dan matanya mengerjab bingung. Semakin bingung ketika ia mendengar isakan dari samping telinganya.Apa Morgan menangis?Tangan Bianca mengambang di udara. Ia ingin membalas pelukan Morgan, tapi Morgan tiba-tiba melepas pelukannya. Membuat wajah sembabnya terlih
“A-aku ... -Ugh!” Morgan semakin bingung ketika Bianca tidak berucap dan justru menutup mulutnya dengan telapak tangan. Gadis itu tampak gelisah tanpa bisa Morgan ketahui penyebabnya.“Hey ada apa? Jangan bikin aku takut-”“Toilet!” Bianca kembali menutup mulutnya setelah menyerukan satu kata yang membuat kernyitan muncul di dahi Morgan.“A-apa?” tanya Morgan. Otaknya penuh dengan tanda tanya besar, terlebih melihat Bianca yang tiba-tiba turun dari ranjang dan melangkah menuju kamar mandi sambil membawa stand infuse-nya.Morgan terdiam bengong. Beberapa detik kemudian, ia tersentak saat mendengar suara muntah dari toilet di ujung ruangan. Morgan lantas menghampiri Bianca yang berjongkok di depan closet seraya memuntahkan isi perutnya.“Bianca,” Bianca menoleh mendengar panggilan Morgan. Wajah pucatnya terlihat jelas oleh Morgan yang langsung menghampiri Bianca dan memijat pelan tengk
Sejak awal, Vyan selalu mensugesti dirinya untuk menerima apa pun risiko yang harus ia terima setelah mendapatkan Karenina dalam dekapannya.Ia tahu, dan bahkan hafal di luar kepala, jika Karenina bukanlah sosok perempuan remaja kebanyakan yang menghabiskan waktu untuk bergossip, bersolek, merawat diri di salon, ataupun bersikap manja kepada pasangannya.Tapi, mungkin itu pula yang membuat Vyan bertekuk lutut pada sosok gadis bernama Karen itu. Vyan terlanjur terpesona dengan kepribadian Karen, dan mungkin juga kekurangan gadis itu.Tidak ada satu hal-pun yang tidak membuat Vyan terpesona dari diri Karenina. Hanya saja, Vyan juga tidak menampik jika ia merasa kesal ketika Karen selalu mementingkan orang lain dibandingkan dirinya sendiri.Jujur saja, Vyan merasa marah. Marah untuk siapa? Vyan-pun tidak tahu. Ia hanya tidak suka melihat Karen menderita karena pengorbanannya.“Janji kalo ini terakhir kalinya.” Sisa-sisa amarah
[Still FLASHBACK ...]Karen merintih kesakitan dan Bianca memekik shock. Darah segar mulai mengalir, membasahi bagian depan blouse biru muda yang dikenakan Karen, menimbulkan aroma anyir yang menyengat.“Karen! Sadarlah!”Karen ambruk dan Bianca dengan sigap membawa Wanita itu ke pangkuannya. Tangisan Bianca pecah melihat Karen meringis menahan sakit, bulir-bulir keringat di dahinya dan bibirnya yang mulai memucat. Tangannya gemetar menggenggam tangan Karen yang berlumuran darah, mencoba menguatkan Wanita itu dengan pikiran kacau tak tentu arah.Sementara itu, Eric berdecak sebal. “Lagi-lagi lo ngancurin rencana gue, Karenina!” geramnya yang mampu di dengar Bianca namun Wanita itu sama sekali tak perduli.Dan Eric lalu berlari keluar untuk kabur menyelamatkan diri sebelum seseorang menyadari teriakan Karen.Bianca terisak semakin parah. Ia ingin berteriak meminta tolong, namun suaranya hilang entah kemana. Kepalanya m