“Kak!” Satu panggilan yang berhasil menghentikan langkah Morgan. Lelaki itu menghembuskan napas kasar sekali sebelum membalikan tubuhnya berhadapan dengan gadis yang barusan memanggilnya. “Kak Morgan nggak ngangkat telponku dan balas sms-ku. Sebenarnya kak Morgan kemana saja?” Gadis itu bergelanyut manja di lengan Morgan. Morgan tidak tertarik memandang kekasihnya yang bertubuh tinggi sepundaknya itu, bahkan ia berusaha melepaskan pegangan tangan ranting gadis yang cerewetnya melebihi Mama itu di lengannya. Pantaskah Morgan mengklaim gadis bernama Bianca itu sebagai gadisnya sementara sikapnya tidak pernah menunjukkan rasa cintanya kepada Bianca? Morgan terkenal dengan sikapnya yang dingin, cuek dan tidak suka keramaian, berbanding terbalik dengan Bianca yang periang dan lebih sering terlihat manja kepada orang terdekatnya. Terkadang orang-orang tidak yakin bagaimana hubungan keduanya, Bianca terlihat seperti mengejar Morgan meskipun tak jarang Morgan berada di kampus untuk menemui
Bianca belum pernah sebahagia ini semenjak dua bulan menjadi kekasih Morgan. Tadi sore Morgan mengirimkan pesan untuk bersiap-siap menghadiri pesta ulangtahun putri relasi bisnis pria itu. Pria itu akan menjemputnya pukul tujuh malam, dan itu berarti dua jam dari sekarang. Selama ini Morgan tidak pernah mengajaknya ke acara penting seperti itu, karena Morgan tidak memiliki banyak waktu untuk acara selain bekerja di kantor. Jadi saat Morgan mengiriminya pesan, Bianca bahagia bukan main.Bianca harus tampil special untuk acara perdananya dengan Morgan, berharap tidak ada cela kesalahan sedikitpun pada tampilannya malam ini.Saat sedang disibukkan dengan memilih aksesoris yang cocok, tiba-tiba ponselnya berdering dan Bianca langsung mengangkatnya begitu tahu siapa subyeknya.“Mama!”'Ugh, ada apa, Sayang? Apa ada berita bagus?'Bianca tersenyum lebar sebelum menjawab. “Morgan ngajak Bianca ke pesta ulang tahun relasi bisnisnya, Ma.&r
Bianca masih terdiam hingga Morgan bertemu dan berbincang ringan dengan relasi bisnisnya. Entah apa yang mereka bicarakan, Bianca tidak berminat mendengarnya.Baru setelah kantung kemihnya terasa penuh, Bianca menepuk pelan lengan Morgan dan berbisik ditelinganya. “Aku butuh toilet.”“Ya. Kau tahu tempatnya, kan?”Bianca mengangguk dan bergegas mencari toilet. Menurut pelayan yang ia tanyai, toiletnya terletak di sudut kiri ruangan. Setelah menyelesaikan urusannya, Bianca mencuci tangannya di wastafel dan memperhatikan wajahnya sendiri lamat-lamat. Riasannya masih baik-baik saja, jadi Bianca tidak perlu memperbaikinya.“Baiklah. Sekarang saatnya acara utama akan dimulai!”Suara MC yang bergema dan dapat didengar Bianca di toilet. Ia bergegas keluar agar tidak ketinggalan acara utama yang menurutnya adalah tiup lilin. Ia harus segera di samping Morgan jika tidak ingin Morgan bingung mencarinya.“Adria
“Rafael!”Bianca terlihat gembira mendapati salah satu teman sekolahnya saat tingkat dasar dulu. Sungguh ia tidak menyangka Rafael yang dulu sering di ejeknya karena memiliki tubuh gendut justru kini tidak kalah dengan bintang film yang sering Bianca tonton di televisi. Hal itulah yang membuat Bianca sulit mengenali lelaki bertubuh tinggi itu ketika pertama bertemu.“Jahat sekali, sih! Padahal aku langsung inget pas pertama kali liat wajahmu.” gerutu Rafael dengan ekspresi sebal yang di buat-buat. Hal itu sukses membuat Bianca tergelak, dan memberikan sebuah pukulan kecil di bahu lelaki itu. Well¸dilihat dari gelakan tawa yang cukup keras membuktikan bahwa Bianca sedikit lupa dengan kekesalannya pada Morgan.“Maklumlah, kamu keliatan beda banget sekarang. Dulu gendut kayak boneka teddy bear. Haha!”“Sialan. Tapi sekarang aku keliatan ganteng, kan?”“Yah, sedikit.” Rafael memberikan p
Bianca tahu hal ini akan terjadi. Menemukan Morgan berdiri bersandar di mobil mewahnya adalah salah satu hal menggembirakan. Bianca mengintip, setelah Pak Utomo -Kepala Pelayan di kediamannya- memberitahu soal Morgan yang menunggunya di bawah, Bianca tidak langsung menghampiri pria itu. Bianca sengaja membiarkan Morgan duduk diam di ruang tamu sementara ia bergembira di balik pintu kamarnya. Kejadian itu berlalu setengah jam yang lalu, kemudian Morgan mengetuk pintu kamar Bianca dan tentu saja tidak dijawab apapun oleh Bianca. Dan berikutnya pria itu menyerah, namun tidak langsung memasuki mobil dan malah berdiri di samping mobilnya.Bianca hanya tidak tahu jika Morgan menemukannya yang sedang mengintip dari jendela kamarnya. Hal itulah yang membuat Morgan mendesis malas dan menahan diri untuk tidak masuk mobil, kembali ke kantor, dan menggeluti berkas-berkas rumit yang tidak lebih rumit menghadapi perempuan berumur dua puluh tahun bernama Bianca.Morgan tidak habis pi
“Aku ... tunangannya.”Ekspresi terkejut didapatkan Bianca dari wanita itu. “Maafkan saya, Nona. Saya tidak tahu. Mari saya antar ke ruangan Direktur.”“Tidak perlu!” tolak Bianca halus. “Aku bisa kesana sendiri. Tapi, pastikan Morgan tidak tahu kedatanganku.”“Baik, Nona. Ruangan Presdir ada di lantai 6. Anda bisa menggunakan lift khusus Presdir di sebelah sana,” ucap resepsionis itu seraya memberitahu Bianca letak lift yang bisa ia gunakan.“Baiklah. Terima kasih.”Bianca berlalu menuju lift, dengan tangan kiri yang menggenggam box makanannya dan tas kecil tersampir di lengan kanannya.Tak butuh waktu lama bagi Bianca untuk sampai di lantai 15. Begitu keluar dari lift, Bianca sudah bisa menebak di mana ruangan Morgan karena satu-satunya pintu yang berada di koridor bertuliskan Ruang Presiden Direktur yang terletak di atas pintu berkaca buram, lalu sebuah meja lengkap d
Setelah di kantor Morgan, menangis di tangga darurat, dan menghabiskan beberapa menit di toilet untuk membenahi penampilannya, Bianca memutuskan untuk keluar dari kantor perusahaan keluarga Morgan. Tak ia perdulikan siapa pun yang menyapanya, termasuk wanita di meja resepsionis yang sempat ia tanyai tadi. Bianca sudah terlalu lelah, hingga rasanya membalas sapaan-pun adalah hal yang berat untuknya.Dengan langkah kaki mungilnya, Bianca berjalan menyusuri taman kota yang letaknya cukup dekat dari kantor Morgan. Ia sengaja tidak menghubungi sopir pribadinya untuk menjemput, sebab Bianca masih ingin sendiri dan tidak di ganggu. Bianca memang lelah, namun ia membutuhkan suatu hiburan untuk mengusir kemarahannya pasca ia mendengar perkataan Morgan yang -sungguh- menyakiti hatinya. Bolehkah Bianca bertanya, di mana hati seorang Morgan hingga ia setega itu?Bianca menemukan satu bangku panjang yang kosong, disekitarnya-pun cukup sepi. Maklum saja, sekarang matahari tepat di p
Bianca memasuki rumah yang tampak sepi. Orangtuanya masih belum pulang dari perjalanan bisnis di luar kota dan Adian sepertinya asyik di kamarnya. Bianca tidak berniat melihat adiknya seperti yang selalu ia lakukan setiap malam. Entah mengganggu Adian bermain game atau malah membantunya mengerjakan tugas sekolah.Bianca merasakan kelelahan disekujur tubuhnya. Ia segera menghempaskan tubuhnya di ranjang kesayangannya dan mencoba memejamkan mata. Mencoba mengusir rasa sesak yang masih bersarang di paru-parunya.Tapi tidak berhasil, selanjutnya Bianca justru mengubah posisi tubuhnya menjadi meringkuk. Tangannya memeluk tubuhnya sendiri dan tangisan mulai memenuhi ruangan kamar luas itu.“Mama … aku harus gimana? Hiks .…” gumamnya lirih.Isakan mulai terdengar dan bahunya bergetar. Bianca tidak menyukai dirinya yang lemah, tapi mau bagaimana lagi? Hal yang membuatnya lemah hanyalah keluarganya dan Morgan.Morgan … Bianc
“Kami hanya makan siang. Astaga! Kau bahkan bisa menghabiskan waktu semalaman dengan adikku. Bertemu dia sepanjang pagi, sedangkan aku hanya bertemu saat makan siang. Come on, gorila,” sahut Gregory mulai ngedumel juga.Jawaban yang diterima Gregory hanya Ethan yang memeletkan lidahnya pada pria itu. Ethan lalu membawa Megan pergi begitu saja dan meninggalkan Gregory bersama para tamu undangan yang tidak menyadari kepergian yang punya acara ulang tahun. Gregory terpaksa menjadi tuan rumah pengganti untuk sementara sampai semua tamu itu pamit undur diri dengan sederet pesan untuk Ethan.“Kenapa aku merasa sedang jadi asisten pribadi gorila itu ya?” keluh Gregory pada Alex, setelah kesekian kalinya dia menerima titipan ucapan selamat ulang tahun dari para tamu yang berpamitan pulang.“Tuan, Yuna mendekat kesini,” bisik Alex cepat saat melihat Yuna berdiri di antara para tamu undangan yang akan berpamitan pada Gregory.“Hmm,” sahut Gregory lalu melanjutkan perannya melepas kepergian para
“Berjanjilah ini terakhir kalinya kalian melibatkan diri dalam situasi yang berbahaya seperti kemarin.”Maudy meremas lembut kedua telapak tangan dalam genggamannya. Sangat bersyukur mengetahui dirinya masih mampu menatap pemilik telapak tangan itu tanpa harus kehilangan salah satunya. “Tante percaya, Morgan ataupun Vyan, mereka pasti bisa memperbaiki kehancuran karena si keparat itu.”Bianca mengangguk. Ia mengusap pipinya yang basah. Di otaknya terlintas sosok Morgan yang tengah tersenyum menenangkan kepadanya. “Aku-pun percaya. Sangat percaya. Kita harus memperbaiki hidup kita setelah ini.”“Ya, itu benar.” Karen menanggapi. “Setelah itu aku akan hidup tanpa bayang-bayang Pak Candra. Bahkan aku nggak sudi panggil dia ayah.”“Ibu juga akan mengurus surat cerai secepatnya.”Bianca dan Karen sontak saling berpandangan dan terkejut. Keterkejutan mereka tentu beralasan kare
“T-tante Maudy ...”Suara itu terdengar, bersamaan dengan pintu yang terbuka dan memperlihatkan tiga orang di sana. Sementara itu, Maudy dan Vyan yang terkejut, lantas terpaku pada seseorang yang duduk di atas kursi roda, mengenakan baju rumah sakit yang sama seperti milik Maudy dan dengan mata berkaca-kaca.“B-Bianca ...”(Flashback)“Bolehkah aku mengunjungi Karen bersama Kak Nesha? Aku harus tau keadaan sepupuku.”Morgan sempat terkejut sebelum mengembalikan ekspresi datarnya. “Tapi.”“Maaf Bi, sepertinya belum bisa sekarang Karen perlu perawatan intensif untuklukanya dan ia belum diperbolehkan untukbanyak berbicara terlebih dahulu. Mungkin kamu bisa menemuinya besok atau lusa,” ujar Reynald menginterupsi.“Reynald benar, Bi.” Nesha menambahkan setelah ia melihat raut kecewa Bianca. Ia sangat paham dengan kekhawatiran Bianca, namun seperti yang Reynald ka
Morgan berjongkok, meraih rahang Candra dengan ujung jarinya. Candra sama sekali tidak melawan karena tengah berperang melawan rasa sakit, namun matanya menyiratkan kebencian yang hanya dibalas Morgan dengan kekehan.“Gimana rasanya disekap dalam ruangan kotor ini? Dengan tangan terikat dan ancaman di depan mata lo, hm?” tanya Morgan, mempertahankan nada rendah dalam suaranya. Terdengar menusuk dan cukup membuat Candra kehilangan sedikit demi sedikit keberaniannya.“C-cukup menyenangkan. A apa kau ingin balas dendam atas istrimu? Cih!” Tapi rupanya Candra tidak ingin terlihat lemah. Ia masih sempat memberikan decihan, sementara Morgan mulai dikuasai emosi.Sial! Kalau saja Morgan tidak ingat jika dirinya tidak boleh menjadi pembunuh mungkin Morgan akan melenyapkan nyawa pria itu dengan tangannya sendiri. Berani beraninya ia membicarakan Bianca di depan Morgan!“Sepuluh kali lipat.” Morgan mencengkeram rahang Candra deng
“Apa yang mereka omongin? Kayaknya super penting,” gumam Nesha yang mampu didengar oleh Bianca. Bedanya, Bianca sama sekali tidak ambil pusing dengan urusan dua pria itu.“Aku juga nggak tau, Kak ...”“Ah ya, Bi, gimana Karen? Aku dengar dia terluka.”Detik berikutnya, Bianca harus kembali murung, mengingat ia belum bertemu Karen kembali setelah insiden penyerangan tadi malam. Dan jujur saja, Bianca ingin menemui Karen, memastikan gadis itu baik-baik saja dan mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikannya.“Aku ... aku belum ketemu sama dia kak Morgan yang ngelarang, katanya aku harus memulihkan kondisiku dulu dan nggak perlu cemas karena Karen sudah berhasil di operasi. Tapi ... tapi tetap saja. Aku merasa bersalah udah bikin dia terluka.”“Aku setuju tentang Morgan yang ngelarang kamu.” Nesha duduk di sisi Bianca, meraih tangan kanan Bianca yang terbebas dari selang infuse dan me
“K-kamu … kamu menyembunyikannya dariku?”Bianca menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Sungguh, ia tidak bermaksud menyembunyikan kehamilannya dari Morgan. Ia ingin memberitahu Morgan, namun waktu masih belum mengizinkannya. Toh Bianca tidak memiliki satu alasanpun mengapa ia harus menyembunyikan calon buah hati mereka.“T-tidak … A-aku nggak m-menyembunyikannya … a-aku … t-tadi malam mau b-bilang-”Semuanya berjalan terlalu cepat. Bianca yang berusaha menjelaskan semuanya, lalu Morgan yang tiba-tiba mendekati Bianca dan membawa gadis itu dalam pelukan eratnya. Bianca kehilangan kemampuan bicara, tubuhnya menegang dan matanya mengerjab bingung. Semakin bingung ketika ia mendengar isakan dari samping telinganya.Apa Morgan menangis?Tangan Bianca mengambang di udara. Ia ingin membalas pelukan Morgan, tapi Morgan tiba-tiba melepas pelukannya. Membuat wajah sembabnya terlih
“A-aku ... -Ugh!” Morgan semakin bingung ketika Bianca tidak berucap dan justru menutup mulutnya dengan telapak tangan. Gadis itu tampak gelisah tanpa bisa Morgan ketahui penyebabnya.“Hey ada apa? Jangan bikin aku takut-”“Toilet!” Bianca kembali menutup mulutnya setelah menyerukan satu kata yang membuat kernyitan muncul di dahi Morgan.“A-apa?” tanya Morgan. Otaknya penuh dengan tanda tanya besar, terlebih melihat Bianca yang tiba-tiba turun dari ranjang dan melangkah menuju kamar mandi sambil membawa stand infuse-nya.Morgan terdiam bengong. Beberapa detik kemudian, ia tersentak saat mendengar suara muntah dari toilet di ujung ruangan. Morgan lantas menghampiri Bianca yang berjongkok di depan closet seraya memuntahkan isi perutnya.“Bianca,” Bianca menoleh mendengar panggilan Morgan. Wajah pucatnya terlihat jelas oleh Morgan yang langsung menghampiri Bianca dan memijat pelan tengk
Sejak awal, Vyan selalu mensugesti dirinya untuk menerima apa pun risiko yang harus ia terima setelah mendapatkan Karenina dalam dekapannya.Ia tahu, dan bahkan hafal di luar kepala, jika Karenina bukanlah sosok perempuan remaja kebanyakan yang menghabiskan waktu untuk bergossip, bersolek, merawat diri di salon, ataupun bersikap manja kepada pasangannya.Tapi, mungkin itu pula yang membuat Vyan bertekuk lutut pada sosok gadis bernama Karen itu. Vyan terlanjur terpesona dengan kepribadian Karen, dan mungkin juga kekurangan gadis itu.Tidak ada satu hal-pun yang tidak membuat Vyan terpesona dari diri Karenina. Hanya saja, Vyan juga tidak menampik jika ia merasa kesal ketika Karen selalu mementingkan orang lain dibandingkan dirinya sendiri.Jujur saja, Vyan merasa marah. Marah untuk siapa? Vyan-pun tidak tahu. Ia hanya tidak suka melihat Karen menderita karena pengorbanannya.“Janji kalo ini terakhir kalinya.” Sisa-sisa amarah
[Still FLASHBACK ...]Karen merintih kesakitan dan Bianca memekik shock. Darah segar mulai mengalir, membasahi bagian depan blouse biru muda yang dikenakan Karen, menimbulkan aroma anyir yang menyengat.“Karen! Sadarlah!”Karen ambruk dan Bianca dengan sigap membawa Wanita itu ke pangkuannya. Tangisan Bianca pecah melihat Karen meringis menahan sakit, bulir-bulir keringat di dahinya dan bibirnya yang mulai memucat. Tangannya gemetar menggenggam tangan Karen yang berlumuran darah, mencoba menguatkan Wanita itu dengan pikiran kacau tak tentu arah.Sementara itu, Eric berdecak sebal. “Lagi-lagi lo ngancurin rencana gue, Karenina!” geramnya yang mampu di dengar Bianca namun Wanita itu sama sekali tak perduli.Dan Eric lalu berlari keluar untuk kabur menyelamatkan diri sebelum seseorang menyadari teriakan Karen.Bianca terisak semakin parah. Ia ingin berteriak meminta tolong, namun suaranya hilang entah kemana. Kepalanya m