Bianca masih terdiam hingga Morgan bertemu dan berbincang ringan dengan relasi bisnisnya. Entah apa yang mereka bicarakan, Bianca tidak berminat mendengarnya.
Baru setelah kantung kemihnya terasa penuh, Bianca menepuk pelan lengan Morgan dan berbisik ditelinganya. “Aku butuh toilet.”
“Ya. Kau tahu tempatnya, kan?”
Bianca mengangguk dan bergegas mencari toilet. Menurut pelayan yang ia tanyai, toiletnya terletak di sudut kiri ruangan. Setelah menyelesaikan urusannya, Bianca mencuci tangannya di wastafel dan memperhatikan wajahnya sendiri lamat-lamat. Riasannya masih baik-baik saja, jadi Bianca tidak perlu memperbaikinya.
“Baiklah. Sekarang saatnya acara utama akan dimulai!”
Suara MC yang bergema dan dapat didengar Bianca di toilet. Ia bergegas keluar agar tidak ketinggalan acara utama yang menurutnya adalah tiup lilin. Ia harus segera di samping Morgan jika tidak ingin Morgan bingung mencarinya.
“Adriana, sekarang waktunya tiup lilin!”
Bianca tiba di gerombolan orang di tengah ruangan dan ia belum menemukan keberadaan Morgan. Matanya masih sibuk mencari Morgan dan akhirnya ia melewatkan acara tiup lilin Adriana. Bianca tidak perduli selama ia membutuhkan Morgan, jangan sampai pria itu diam-diam meninggalkannya sendiri.
“Sekarang waktunya potong kue. Nona Adriana, silahkan potong kuenya dan berikan kepada tiga orang yang menurutmu spesial.”
Dan akhirnya! Bianca menemukan Morgan berada di barisan paling depan. Syukurlah, setidaknya Morgan tidak meninggalkannya pulang.
“Suapan pertama untuk Mama, kedua untuk Papa, dan yang terakhir adalah orang yang spesial untukku. Dari dulu sampai sekarang, Morgan.”
Langkah Bianca untuk mendekati Morgan berhenti saat itu juga. Ia tetap di barisan belakang, tubuhnya yang mungil tidak terlihat di antara kerumunan orang-orang membuatnya seperti tidak dibutuhkan. Siapa yang menyangka bahwa Bianca adalah pacar Morgan, nama lelaki yang disebutkan oleh Adriana sebagai salah tiga orang yang spesial untuknya?
“Aku?” Morgan mengerjap bingung. Adriana hanya memberikan jawaban melalui anggukan kepala dan Morgan tidak memiliki pilihan lain selain maju dari tempatnya berdiri. Ia berdehem saat tidak sengaja bertukar pandang dengan Ayah Adriana yang pernah menjalani meeting bersama dengan beliau.
Lalu ketika mata Bianca dengan jelas melihat Adriana menyuapkan sepotong kue tart untuk Morgan dan sorakan penuh godaan bergemuruh di sekitarnya, Bianca merasakan dirinya kosong. Dirinya seolah bukan hal penting yang perlu dijaga perasaannya. Dirinya seolah pajangan mati di dinding, yang tidak dianggap sebaik manusia kepada manusia.
Perasaannya semula tidak enak dan kini ditambahkan oleh goresan perih yang lagi-lagi ditorehkan oleh orang yang sama. Morgan, sebenarnya kau manusia atau bukan?
Pita suara Bianca mendadak hilang, membuatnya hanya mampu menggigit bibir dan mengepalkan tangannya kuat. Katakan, siapa gadis yang kuat melihat kekasihnya tengah tersenyum indah untuk perempuan lain sedangkan dengan dirinya tidak melakukan itu? Meskipun hanya berlandaskan perjodohan, tidak bisakah Morgan melihat Bianca dengan mata terbuka bagaimana perasaan gadis itu terhadapnya? Sekalipun? Tidak bisakah Morgan menghargainya?
Tidak ada hentakan marah kaki bertumit high-heels Bianca.
Tidak ada teriakan kebencian Bianca yang memekakkan telinga.
Dan tidak ada rengekan cemburu yang mengusik telinga Morgan.
Bukankah seharusnya si gadis manja melakukan itu?
Morgan tidak mendengarnya. Tidak mungkin gadis itu masih di toilet sebab Morgan sempat melihat bayangan Bianca melintas menuju ke tengah ruangan. Dan tidak mungkin gadis itu tidak cemburu jika melihat kemesraan Morgan dan Adriana yang seperti sepasang kekasih barusan. Morgan harus bisa menjelaskan kepada Bianca sebelum-
Prang!
-sebelum Bianca berusaha menghancurkan pesta Adriana karena cemburunya yang kekanakan.
Dentingan gelas pecah menjadi jawaban Morgan atas pertanyaannya. Bianca disana, berdiri tegak di samping seorang pelayan sibuk memunguti beberapa gelas yang terberai di lantai dan membersihkan genangan air di sekitarnya.
Semua pandangan tertuju pada Bianca. Dan pikiran negatif Morgan memberikan pencerahan.
Bianca sengaja menjatuhkan gelas kaca untuk menghancurkan pesta Adriana. Hanya itu yang ada di pikiran Morgan dan ia tidak memiliki kesabaran untuk tidak menarik tangan Bianca menjauh dari pecahan kaca dan puluhan pasang mata.
***
Bianca tidak menolak ataupun membalas saat Morgan menariknya keluar ruangan. Pria itu langsung menghempaskan tangan Bianca begitu mereka tiba di parkiran yang sepi.“Udah puas?”
Tidak ada jawaban dari Bianca yang menundukkan wajahnya dalam.
“UDAH PUAS NGANCURIN PESTA ADRIANA KARENA SIFATMU ITU, HAH?!”
Tidak ada tanggapan lagi.
“Jawab aku Bianca!” bentak Morgan menyurutkan keberanian Bianca untuk membalasnya dengan kata-kata kasar pula.
“Iya, soalnya aku nggak suka kak Morgan dekat sama cewek itu! Apa-apaan?! Terus terang menyukai seseorang yang jelas-jelas sudah memiliki pacar. Sebenernya dia punya malu atau tidak?!”
“Kau-” Mata Morgan menyalang, menandakan emosinya sudah berada di puncaknya. “Sudah kubilang jangan ngancurin pesta Adriana karena sifat kekanakanmu! Apa kamu nggak bisa lebih dewasa, hah? Demi Tuhan, Adriana hanya teman kuliahku! Kamu nggak sepantasnya cemburu kaya gitu hanya buat urusan kecil!”
“Liat pacarku disuapi cewek yang menyukainya, jadi aku tidak boleh cemburu?!”
“Terserah!” Morgan memutuskan untuk mengakhiri perdebatan tak berujung antara ia dan Bianca. Napas Morgan terengah dan Bianca-pun sudah menangis pelan menimbulkan getaran di bahunya yang ringkih.
“Kamu jahat, kak Morgan!”
“Ya! Kubilang terserah!” Pria itu menyibukkan diri dengan ponselnya sejenak, lalu melirik Bianca sekilas. “Pulanglah. Pak Agung akan jemput kamu sebentar lagi. Aku harus balik ke dalam buat beresin kekacauanmu.”
“Kak!”
“Berhenti merengek!”
Bianca masih tergugu kendati wajahnya basah oleh air mata. Morgan tidak menaruh perhatian tentang bagaimana Bianca menangis sesenggukan di hadapannya. Morgan sudah diselimuti oleh amarah dan pertahanan diri untuk tidak membentak Bianca lebih parah. Bianca adalah gadis manja, tidak menutup kemungkinan jika Bianca akan mengadukan perlakuan kasarnya. Bukan karena Morgan ingin menjaga imej, hanya saja ia malas mendengar orangtuanya kembali memberi wejangan yang belum tentu disanggupi oleh Morgan. Harusnya orangtua Morgan tahu jika putranya sudah muak menghadapi sifat manja dan kekanakan sementara dirinya paling membenci orang yang bersifat serupa.
“Mas Morgan.”
Seseorang menghampiri Morgan dan Bianca yang masih terdiam di kaki masing-masing. Tidak ada yang berbicara saat sepuluh menit Morgan menunggu sopir pribadinya datang untuk mengantar Bianca ke rumahnya. Lelaki paruh baya yang baru datang itu tidak banyak bertanya, meskipun matanya menangkap aura tidak mengenakkan dari sepasang kekasih majikannya itu.
“Pak Agung, tolong anterin Bianca pulang. Aku harus kembali ke dalam.” Morgan berucap sementara Bianca sibuk membersihkan sisa air matanya. Pria itu sempat melirik sekilas ke arah Bianca tanpa mengeluarkan suara.
“Baik, Mas.” Pak Agung beralih pada Bianca. “Ayo Nona, saya antar.”
Bianca berbalik mengikuti Pak Agung tanpa melirikkan mata basahnya ke Morgan. Bianca terlanjur kesal setengah mati, ia ingin berteriak kesal namun ia tahu Morgan akan lebih murka setelahnya.
“Aku sangat membencimu!”
Morgan tidak peduli bagaimana hari esoknya setelah kejadian malam ini. Semoga saja ia tidak perlu tenaga besar untuk membuat Bianca memaafkannya.
***
Di dalam mobil, Bianca melanjutkan tangisnya. Perasaannya campur aduk. Antara kesal, cemburu, dan marah, semuanya berkumpul menjadi satu membentuk buliran air mata yang terus merembes membasahi wajah cantiknya. Pak Agung tidak perlu bertanya, tugasnya hanya mematuhi perintah Tuan mudanya untuk mengantar gadis itu pulang. Itu saja.
Kecuali saat Bianca tiba-tiba berbicara, “Pak Agung, bisa berhenti sebentar di Coffee Shop itu? Aku mau membeli kopi sebentar.”
“Baik Nona, akan saya belikan.”
“Nggak usah. Pak Agung nunggu di parkiran saja, aku nggak lama kok.”
“Tapi Nona, Mas Morgan memerintah saya untuk mengantar Nona pulang, bukan-”
Bianca menyela, “Nggak apa-apa. Biar aku yang ngomong langsung sama kak Morgan besok.”
Pak Agung tidak memiliki pilihan lain selain menyanggupi permintaan Bianca. Lagipula Bianca terlihat tidak dalam kondisi baik, jadi Pak Agung tidak berani untuk menolaknya.
“Sebentar, ya, Pak.” ujar Bianca sebelum keluar dari mobil. Beruntung ia membawa tas kecil berwarna hitam yang juga menemaninya di pesta. Paling tidak ia membawa dompet yang berisi kartu kredit dan ponsel kesayangannya. Oh ya, tidak lupa ia membersihkan sisa air matanya meskipun siapa saja pasti tahu ia baru saja menangis.
“Baik, Nona.”
Jadilah Pak Agung menunggu di mobil sementara Bianca memasuki Coffee Shop yang terletak di pinggiran jalanan ramai itu. Coffee Shop itu cukup luas hingga kesannya tidak terlalu ramai. Hal itulah yang membuat Bianca tertarik untuk mendatanginya, di lain alasan ia juga membutuhkan ketenangan dari segelas capucinno yang baru saja ia pesan dari seorang waiter.
“Secangkir capucinno dan bonus muffin green tea untuk cewek yang lagi patah hati.”
Pesanan Bianca sampai dan seseorang meletakannya di atas meja. Bianca mendongak malas menanggapi perkataan si waiter yang nyatanya tidak benar itu. Yeah, Bianca tidak sedang patah hati, tapi errr … di makan api cemburu, mungkin?
“Aku bukan cewek yang lagi patah hati!" balas Bianca disambut ekspresi terkejut oleh waiter muda yang membawakan pesanannya.
“Lalu? Kau keliatan sedang nggak baik, Nona.”
Bianca memutar bola matanya malas. Ia sungguh tidak berminat untuk berbincang dengan siapa pun terlebih yang mengajaknya berbicara adalah seorang waiter. Well, apakah waiter itu tidak mengerti tentang menjaga privacy pelanggannya?
“Apa ini? Perasaan aku nggak memesan muffin.” Bianca menunjuk kue berwarna hijau yang terletak di sebelah capucinno-nya.
“Ini adalah bonus yang selalu diberikan untuk seorang pelanggan yang jadi teman pemilik Coffee Shop ini.”
“Apa? Jadi aku berteman dengan pemilik tempat ini? Memangnya siapa pemiliknya?”
“Sebelum itu,” Si waiter tidak bersopan santun mengambil tempat duduk di depan Bianca. “Kamu nggak mau inget-inget wajahku dulu, nih, Nona … Audriana Putri Hardianto?”
Bianca tentu terkejut saat waiter itu mengetahui namanya. Dan yang lebih mengejutkan, Bianca seperti pernah melihat wajah lelaki di hadapannya.
“Oke. Sebenarnya aku adalah pemilik Coffee Shop ini, dan itu berarti kamu itu temanku.”
“Tunggu bentar! Kamu-” Terpujilah pada ingatan Bianca yang masih berfungsi dengan baik.
“Aku Rafael.”
“Rafael?”
“Rafael!”Bianca terlihat gembira mendapati salah satu teman sekolahnya saat tingkat dasar dulu. Sungguh ia tidak menyangka Rafael yang dulu sering di ejeknya karena memiliki tubuh gendut justru kini tidak kalah dengan bintang film yang sering Bianca tonton di televisi. Hal itulah yang membuat Bianca sulit mengenali lelaki bertubuh tinggi itu ketika pertama bertemu.“Jahat sekali, sih! Padahal aku langsung inget pas pertama kali liat wajahmu.” gerutu Rafael dengan ekspresi sebal yang di buat-buat. Hal itu sukses membuat Bianca tergelak, dan memberikan sebuah pukulan kecil di bahu lelaki itu. Well¸dilihat dari gelakan tawa yang cukup keras membuktikan bahwa Bianca sedikit lupa dengan kekesalannya pada Morgan.“Maklumlah, kamu keliatan beda banget sekarang. Dulu gendut kayak boneka teddy bear. Haha!”“Sialan. Tapi sekarang aku keliatan ganteng, kan?”“Yah, sedikit.” Rafael memberikan p
Bianca tahu hal ini akan terjadi. Menemukan Morgan berdiri bersandar di mobil mewahnya adalah salah satu hal menggembirakan. Bianca mengintip, setelah Pak Utomo -Kepala Pelayan di kediamannya- memberitahu soal Morgan yang menunggunya di bawah, Bianca tidak langsung menghampiri pria itu. Bianca sengaja membiarkan Morgan duduk diam di ruang tamu sementara ia bergembira di balik pintu kamarnya. Kejadian itu berlalu setengah jam yang lalu, kemudian Morgan mengetuk pintu kamar Bianca dan tentu saja tidak dijawab apapun oleh Bianca. Dan berikutnya pria itu menyerah, namun tidak langsung memasuki mobil dan malah berdiri di samping mobilnya.Bianca hanya tidak tahu jika Morgan menemukannya yang sedang mengintip dari jendela kamarnya. Hal itulah yang membuat Morgan mendesis malas dan menahan diri untuk tidak masuk mobil, kembali ke kantor, dan menggeluti berkas-berkas rumit yang tidak lebih rumit menghadapi perempuan berumur dua puluh tahun bernama Bianca.Morgan tidak habis pi
“Aku ... tunangannya.”Ekspresi terkejut didapatkan Bianca dari wanita itu. “Maafkan saya, Nona. Saya tidak tahu. Mari saya antar ke ruangan Direktur.”“Tidak perlu!” tolak Bianca halus. “Aku bisa kesana sendiri. Tapi, pastikan Morgan tidak tahu kedatanganku.”“Baik, Nona. Ruangan Presdir ada di lantai 6. Anda bisa menggunakan lift khusus Presdir di sebelah sana,” ucap resepsionis itu seraya memberitahu Bianca letak lift yang bisa ia gunakan.“Baiklah. Terima kasih.”Bianca berlalu menuju lift, dengan tangan kiri yang menggenggam box makanannya dan tas kecil tersampir di lengan kanannya.Tak butuh waktu lama bagi Bianca untuk sampai di lantai 15. Begitu keluar dari lift, Bianca sudah bisa menebak di mana ruangan Morgan karena satu-satunya pintu yang berada di koridor bertuliskan Ruang Presiden Direktur yang terletak di atas pintu berkaca buram, lalu sebuah meja lengkap d
Setelah di kantor Morgan, menangis di tangga darurat, dan menghabiskan beberapa menit di toilet untuk membenahi penampilannya, Bianca memutuskan untuk keluar dari kantor perusahaan keluarga Morgan. Tak ia perdulikan siapa pun yang menyapanya, termasuk wanita di meja resepsionis yang sempat ia tanyai tadi. Bianca sudah terlalu lelah, hingga rasanya membalas sapaan-pun adalah hal yang berat untuknya.Dengan langkah kaki mungilnya, Bianca berjalan menyusuri taman kota yang letaknya cukup dekat dari kantor Morgan. Ia sengaja tidak menghubungi sopir pribadinya untuk menjemput, sebab Bianca masih ingin sendiri dan tidak di ganggu. Bianca memang lelah, namun ia membutuhkan suatu hiburan untuk mengusir kemarahannya pasca ia mendengar perkataan Morgan yang -sungguh- menyakiti hatinya. Bolehkah Bianca bertanya, di mana hati seorang Morgan hingga ia setega itu?Bianca menemukan satu bangku panjang yang kosong, disekitarnya-pun cukup sepi. Maklum saja, sekarang matahari tepat di p
Bianca memasuki rumah yang tampak sepi. Orangtuanya masih belum pulang dari perjalanan bisnis di luar kota dan Adian sepertinya asyik di kamarnya. Bianca tidak berniat melihat adiknya seperti yang selalu ia lakukan setiap malam. Entah mengganggu Adian bermain game atau malah membantunya mengerjakan tugas sekolah.Bianca merasakan kelelahan disekujur tubuhnya. Ia segera menghempaskan tubuhnya di ranjang kesayangannya dan mencoba memejamkan mata. Mencoba mengusir rasa sesak yang masih bersarang di paru-parunya.Tapi tidak berhasil, selanjutnya Bianca justru mengubah posisi tubuhnya menjadi meringkuk. Tangannya memeluk tubuhnya sendiri dan tangisan mulai memenuhi ruangan kamar luas itu.“Mama … aku harus gimana? Hiks .…” gumamnya lirih.Isakan mulai terdengar dan bahunya bergetar. Bianca tidak menyukai dirinya yang lemah, tapi mau bagaimana lagi? Hal yang membuatnya lemah hanyalah keluarganya dan Morgan.Morgan … Bianc
Satu menit, dua menit. Bianca dan Morgan masih bertatapan tajam sembari di kelilingi aura menegangkan. Mendapati Morgan bungkam tanpa merespon apa pun, Bianca melepaskan cengkraman Morgan di lengannya dengan pelan. Kemudian Bianca memasuki mobil cepat-cepat untuk mencegah Morgan menahannya kembali. Dan nyatanya Morgan tidak menahan ataupun melarang, dan tidak mampu mengeluarkan sepatah kata-pun dari bibirnya. “Jalan, Pak!” Meninggalkan Morgan yang mematung dengan berbagai pikirannya sendiri. Bianca menganggap keterdiaman Morgan adalah bentuk kegembiraan Morgan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Bianca ragu apakah keputusan ini tepat atau tidak, tapi mengingat Morgan yang tidak menginginkannya, akhirnya Bianca berniat untuk mengalah. Morgan berhak bahagia dan kebahagiaan Morgan adalah hidup bebas tanpa dirisaukan oleh keberadaan Bianca sebagai pendampingnya. Bianca tidak pantas untuk menghalangi kebahagiaan Morgan itu.
Matahari bersinar sangat terik di siang ini. Jam kuliah Bianca telah berakhir, namun ia baru pergi satu jam kemudian karena harus mengerjakan tugas dan mengirimkannya langsung ke dosen melalui e-mail.Katakan jika Bianca tampak tekun menjalani pekerjaannya sebagai mahasiswa. Tapi siapa yang tahu perihal isi pikiran Bianca yang belum terlepas dari satu nama –Morgan. Bahkan Bianca masih sering melamun dalam kurun waktu satu hari.Benar saja, kini Bianca menyusuri langkah menuju gerbang utama Universitas dengan setengah melamun hingga pekikan heboh memasuki gendang telinganya.“NONA AWAS!!”BRUK!“Aduh!” keluh Bianca saat pantatnya menyentuh jalanan yang kasar.Bianca belum sempat menoleh ke belakang dan sebuah sepeda yang datang dari jalanan yang sedikit curam lebih dulu menabrak tubuhnya. Kecelakaan kecil itu akhirnya menimpa Bianca dan itu karena lelaki yang mengendarai sepedanya tanpa atu
Bianca tidak tahu bagaimana bisa takdir mempermainkannya dengan sangat pintar.Bianca tidak pernah membenci takdir Tuhan yang telah digariskan untuknya, Bianca juga tidak berusaha melawan takdir yang entah bagaimana mampu mengubah hidupnya dalam hitungan jam. Namun untuk kali ini, Bianca merasakan ketidakadilan pada kehidupannya, tentang takdir yang telah Tuhan gariskan untuk menguji dirinya secara bertubi-tubi.Jika Tuhan tidak mengizinkannya berbahagia dengan Morgan, haruskah Tuhan juga melarang Bianca bahagia dengan keluarga yang sangat dicintainya?Kini, tidak ada suasana yang paling memilukan kecuali sebuah ruangan dengan dua peti mati yang dipenuhi oleh bunga babybreath dan mawar putih. Isakan dan tangisan masih terdengar memilukan bagi siapa pun yang mendengarnya. Beberapa orang berpakaian hitam silih berganti datang memberi penghormatan terakhir bagi sepasang suami istri yang merenggang nyawa di waktu dan tempat bersamaan itu.
“Kami hanya makan siang. Astaga! Kau bahkan bisa menghabiskan waktu semalaman dengan adikku. Bertemu dia sepanjang pagi, sedangkan aku hanya bertemu saat makan siang. Come on, gorila,” sahut Gregory mulai ngedumel juga.Jawaban yang diterima Gregory hanya Ethan yang memeletkan lidahnya pada pria itu. Ethan lalu membawa Megan pergi begitu saja dan meninggalkan Gregory bersama para tamu undangan yang tidak menyadari kepergian yang punya acara ulang tahun. Gregory terpaksa menjadi tuan rumah pengganti untuk sementara sampai semua tamu itu pamit undur diri dengan sederet pesan untuk Ethan.“Kenapa aku merasa sedang jadi asisten pribadi gorila itu ya?” keluh Gregory pada Alex, setelah kesekian kalinya dia menerima titipan ucapan selamat ulang tahun dari para tamu yang berpamitan pulang.“Tuan, Yuna mendekat kesini,” bisik Alex cepat saat melihat Yuna berdiri di antara para tamu undangan yang akan berpamitan pada Gregory.“Hmm,” sahut Gregory lalu melanjutkan perannya melepas kepergian para
“Berjanjilah ini terakhir kalinya kalian melibatkan diri dalam situasi yang berbahaya seperti kemarin.”Maudy meremas lembut kedua telapak tangan dalam genggamannya. Sangat bersyukur mengetahui dirinya masih mampu menatap pemilik telapak tangan itu tanpa harus kehilangan salah satunya. “Tante percaya, Morgan ataupun Vyan, mereka pasti bisa memperbaiki kehancuran karena si keparat itu.”Bianca mengangguk. Ia mengusap pipinya yang basah. Di otaknya terlintas sosok Morgan yang tengah tersenyum menenangkan kepadanya. “Aku-pun percaya. Sangat percaya. Kita harus memperbaiki hidup kita setelah ini.”“Ya, itu benar.” Karen menanggapi. “Setelah itu aku akan hidup tanpa bayang-bayang Pak Candra. Bahkan aku nggak sudi panggil dia ayah.”“Ibu juga akan mengurus surat cerai secepatnya.”Bianca dan Karen sontak saling berpandangan dan terkejut. Keterkejutan mereka tentu beralasan kare
“T-tante Maudy ...”Suara itu terdengar, bersamaan dengan pintu yang terbuka dan memperlihatkan tiga orang di sana. Sementara itu, Maudy dan Vyan yang terkejut, lantas terpaku pada seseorang yang duduk di atas kursi roda, mengenakan baju rumah sakit yang sama seperti milik Maudy dan dengan mata berkaca-kaca.“B-Bianca ...”(Flashback)“Bolehkah aku mengunjungi Karen bersama Kak Nesha? Aku harus tau keadaan sepupuku.”Morgan sempat terkejut sebelum mengembalikan ekspresi datarnya. “Tapi.”“Maaf Bi, sepertinya belum bisa sekarang Karen perlu perawatan intensif untuklukanya dan ia belum diperbolehkan untukbanyak berbicara terlebih dahulu. Mungkin kamu bisa menemuinya besok atau lusa,” ujar Reynald menginterupsi.“Reynald benar, Bi.” Nesha menambahkan setelah ia melihat raut kecewa Bianca. Ia sangat paham dengan kekhawatiran Bianca, namun seperti yang Reynald ka
Morgan berjongkok, meraih rahang Candra dengan ujung jarinya. Candra sama sekali tidak melawan karena tengah berperang melawan rasa sakit, namun matanya menyiratkan kebencian yang hanya dibalas Morgan dengan kekehan.“Gimana rasanya disekap dalam ruangan kotor ini? Dengan tangan terikat dan ancaman di depan mata lo, hm?” tanya Morgan, mempertahankan nada rendah dalam suaranya. Terdengar menusuk dan cukup membuat Candra kehilangan sedikit demi sedikit keberaniannya.“C-cukup menyenangkan. A apa kau ingin balas dendam atas istrimu? Cih!” Tapi rupanya Candra tidak ingin terlihat lemah. Ia masih sempat memberikan decihan, sementara Morgan mulai dikuasai emosi.Sial! Kalau saja Morgan tidak ingat jika dirinya tidak boleh menjadi pembunuh mungkin Morgan akan melenyapkan nyawa pria itu dengan tangannya sendiri. Berani beraninya ia membicarakan Bianca di depan Morgan!“Sepuluh kali lipat.” Morgan mencengkeram rahang Candra deng
“Apa yang mereka omongin? Kayaknya super penting,” gumam Nesha yang mampu didengar oleh Bianca. Bedanya, Bianca sama sekali tidak ambil pusing dengan urusan dua pria itu.“Aku juga nggak tau, Kak ...”“Ah ya, Bi, gimana Karen? Aku dengar dia terluka.”Detik berikutnya, Bianca harus kembali murung, mengingat ia belum bertemu Karen kembali setelah insiden penyerangan tadi malam. Dan jujur saja, Bianca ingin menemui Karen, memastikan gadis itu baik-baik saja dan mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikannya.“Aku ... aku belum ketemu sama dia kak Morgan yang ngelarang, katanya aku harus memulihkan kondisiku dulu dan nggak perlu cemas karena Karen sudah berhasil di operasi. Tapi ... tapi tetap saja. Aku merasa bersalah udah bikin dia terluka.”“Aku setuju tentang Morgan yang ngelarang kamu.” Nesha duduk di sisi Bianca, meraih tangan kanan Bianca yang terbebas dari selang infuse dan me
“K-kamu … kamu menyembunyikannya dariku?”Bianca menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Sungguh, ia tidak bermaksud menyembunyikan kehamilannya dari Morgan. Ia ingin memberitahu Morgan, namun waktu masih belum mengizinkannya. Toh Bianca tidak memiliki satu alasanpun mengapa ia harus menyembunyikan calon buah hati mereka.“T-tidak … A-aku nggak m-menyembunyikannya … a-aku … t-tadi malam mau b-bilang-”Semuanya berjalan terlalu cepat. Bianca yang berusaha menjelaskan semuanya, lalu Morgan yang tiba-tiba mendekati Bianca dan membawa gadis itu dalam pelukan eratnya. Bianca kehilangan kemampuan bicara, tubuhnya menegang dan matanya mengerjab bingung. Semakin bingung ketika ia mendengar isakan dari samping telinganya.Apa Morgan menangis?Tangan Bianca mengambang di udara. Ia ingin membalas pelukan Morgan, tapi Morgan tiba-tiba melepas pelukannya. Membuat wajah sembabnya terlih
“A-aku ... -Ugh!” Morgan semakin bingung ketika Bianca tidak berucap dan justru menutup mulutnya dengan telapak tangan. Gadis itu tampak gelisah tanpa bisa Morgan ketahui penyebabnya.“Hey ada apa? Jangan bikin aku takut-”“Toilet!” Bianca kembali menutup mulutnya setelah menyerukan satu kata yang membuat kernyitan muncul di dahi Morgan.“A-apa?” tanya Morgan. Otaknya penuh dengan tanda tanya besar, terlebih melihat Bianca yang tiba-tiba turun dari ranjang dan melangkah menuju kamar mandi sambil membawa stand infuse-nya.Morgan terdiam bengong. Beberapa detik kemudian, ia tersentak saat mendengar suara muntah dari toilet di ujung ruangan. Morgan lantas menghampiri Bianca yang berjongkok di depan closet seraya memuntahkan isi perutnya.“Bianca,” Bianca menoleh mendengar panggilan Morgan. Wajah pucatnya terlihat jelas oleh Morgan yang langsung menghampiri Bianca dan memijat pelan tengk
Sejak awal, Vyan selalu mensugesti dirinya untuk menerima apa pun risiko yang harus ia terima setelah mendapatkan Karenina dalam dekapannya.Ia tahu, dan bahkan hafal di luar kepala, jika Karenina bukanlah sosok perempuan remaja kebanyakan yang menghabiskan waktu untuk bergossip, bersolek, merawat diri di salon, ataupun bersikap manja kepada pasangannya.Tapi, mungkin itu pula yang membuat Vyan bertekuk lutut pada sosok gadis bernama Karen itu. Vyan terlanjur terpesona dengan kepribadian Karen, dan mungkin juga kekurangan gadis itu.Tidak ada satu hal-pun yang tidak membuat Vyan terpesona dari diri Karenina. Hanya saja, Vyan juga tidak menampik jika ia merasa kesal ketika Karen selalu mementingkan orang lain dibandingkan dirinya sendiri.Jujur saja, Vyan merasa marah. Marah untuk siapa? Vyan-pun tidak tahu. Ia hanya tidak suka melihat Karen menderita karena pengorbanannya.“Janji kalo ini terakhir kalinya.” Sisa-sisa amarah
[Still FLASHBACK ...]Karen merintih kesakitan dan Bianca memekik shock. Darah segar mulai mengalir, membasahi bagian depan blouse biru muda yang dikenakan Karen, menimbulkan aroma anyir yang menyengat.“Karen! Sadarlah!”Karen ambruk dan Bianca dengan sigap membawa Wanita itu ke pangkuannya. Tangisan Bianca pecah melihat Karen meringis menahan sakit, bulir-bulir keringat di dahinya dan bibirnya yang mulai memucat. Tangannya gemetar menggenggam tangan Karen yang berlumuran darah, mencoba menguatkan Wanita itu dengan pikiran kacau tak tentu arah.Sementara itu, Eric berdecak sebal. “Lagi-lagi lo ngancurin rencana gue, Karenina!” geramnya yang mampu di dengar Bianca namun Wanita itu sama sekali tak perduli.Dan Eric lalu berlari keluar untuk kabur menyelamatkan diri sebelum seseorang menyadari teriakan Karen.Bianca terisak semakin parah. Ia ingin berteriak meminta tolong, namun suaranya hilang entah kemana. Kepalanya m