Bianca tidak tahu bagaimana bisa takdir mempermainkannya dengan sangat pintar.
Bianca tidak pernah membenci takdir Tuhan yang telah digariskan untuknya, Bianca juga tidak berusaha melawan takdir yang entah bagaimana mampu mengubah hidupnya dalam hitungan jam. Namun untuk kali ini, Bianca merasakan ketidakadilan pada kehidupannya, tentang takdir yang telah Tuhan gariskan untuk menguji dirinya secara bertubi-tubi.
Jika Tuhan tidak mengizinkannya berbahagia dengan Morgan, haruskah Tuhan juga melarang Bianca bahagia dengan keluarga yang sangat dicintainya?
Kini, tidak ada suasana yang paling memilukan kecuali sebuah ruangan dengan dua peti mati yang dipenuhi oleh bunga babybreath dan mawar putih. Isakan dan tangisan masih terdengar memilukan bagi siapa pun yang mendengarnya. Beberapa orang berpakaian hitam silih berganti datang memberi penghormatan terakhir bagi sepasang suami istri yang merenggang nyawa di waktu dan tempat bersamaan itu.
“Kamu egois! Kamu nggak pikirkan perasaan orangtuamu dan orangtuaku!” Morgan menaikkan nada suaranya. Membuat Bianca tersenyum remeh.“Lalu bagaimana dengan perasaanku?”Morgan kontan terdiam. Dan ... demi Tuhan! Morgan lebih memilih Bianca menangis keras daripada menunjukkan ekspresi datar seperti sekarang.Morgan benar-benar tidak mengenal Bianca akhir-akhir ini. Kemana perginya Bianca yang selama ini nampak di mata Morgan? Kenapa yang Morgan lihat hanyalah sosok gadis dingin yang terlihat menyembunyikan sesuatu dibalik mata beningnya. Gadis itu tidak lagi banyak bicara seperi dulu, setidaknya untuk beberapa hari ini.Morgan tahu kesalahannya yang telah mencaci Bianca di belakang gadis itu. Morgan juga sadar bahwa tidak seharusnya ia mengatakan hinaan pada orangtua Bianca kala itu, dan ia sudah berusaha meminta maaf dengan tulus. Tapi apa mungkin Bianca berubah terbalik hanya karena hal itu?“I
“Aku selesai.”Bianca menyingkirkan piring bekas makannya yang tetap utuh dari hadapannya. Bianca sama sekali tidak tertarik dengan makanan apa pun sejak tiga hari belakangan. Nafsu makannya hilang, dan ia memasok energy dari minuman berkafein yang sangat tidak baik untuk tubuhnya. Itulah yang membuat tubuhnya sedikit lebih kurusan dalam waktu beberapa hari.“Sayang, kenapa nggak habis? Makanan Mama nggak enak ya?” tanya Mama Morgan setelah melihat di atas piring calon menantunya masih banyak makanan yang tertinggal.Bianca sontak menggeleng. “Enak banget kok, Ma! Bianca cuma em ... nggak nafsu makan.”Bianca mencoba menjelaskan dan syukurlah Mama Morgan tidak tersinggung. Lalu Bianca menunggu kedua orang tua di hadapannya itu menyelesaikan makan mereka sembari memikirkan kalimat paling tepat yang bisa ia ungkapkan.Setelah selesai makan siang, ketiganya beranjak ke depan ruang keluarga. Bi
Bianca terbangun saat merasakan tubuhnya lelah bukan main. Tubuhnya lemas, bahkan ia perlu bersusah payah untuk bangun dari kursi yang menjadi alasnya. Hal pertama yang ia lihat di sekelilingnya adalah cahaya bulan yang menembus jendela kaca, dan ia mulai menyadari ada di mana dirinya sekarang. Ia ingat tadi ia sempat meminta Adian dan yang lain untuk istirahat terlebih dahulu, menyakinkan bahwa dirinya masih ingin berada di dekat mendiang Ayah dan Ibunya yang akan dimakamkan besok pagi.Semula Bianca hanya bermonolog, menumpahkan segala yang ada di pikirannya dan yakin kedua orang berharganya akan mendengarnya. Mendengar segala hal yang ia alami termasuk keputusannya untuk membatalkan perjodohannya dengan Morgan. Bianca tahu Papa dan Mama di sana tidak menghendaki keputusan itu, apalagi Bianca belum sempat membicarakan alasan sebenarnya mengapa ia sampai hati memutuskan hal itu.Hingga Bianca tidak bisa menanggung kesedihan yang lama-kelamaan me
Satu minggu telah berlalu. Semuanya perlahan berjalan normal kembali seperti sedia kala. Tidak ada yang berusaha membahas kecelakaan tragis ataupun kematian dua orang yang berharga bagi seluruh penghuni rumah mewah itu. Semuanya selesai, tepat ketika prosesi pemakaman berlangsung dan berakhir khidmat dengan dua gundukan tanah basah. Segala kesedihan dan tangisan sudah ditumpahkan di sana, mengiringi pemakaman hingga berakhir dengan kelopak bunga mawar putih yang bertebaran di sekitar dua makam yang berdampingan.Adian sudah mulai masuk sekolah kembali dan Pak Utomo juga kembali bertugas untuk memberi instruksi kepada pelayan-pelayan lainnya seperti hari biasanya. Hampir semuanya berjalan normal, kecuali sesosok gadis bertubuh mungil yang keluar dari kamar dengan penampilan yang siap pergi tapi dihiasi dengan kantung mata tebal dan wajah mendung dari kamarnya dan menduduki kursi makan. Mengambil setangkup roti gandum dan segelas susu putih. Dua hari ini
“Apa dia tidur?”Pintu berwarna cokelat gelap itu terbuka lebar, memperlihatkan sosok pria bertubuh jangkung yang bersedekap bersandar di daun pintu. Tatapannya masih tertuju pada satu point di mana seorang pria lain tengah tertidur pulas di atas ranjang kamar pribadinya sendiri.“Gue maksa dia tidur. Morgan bener-bener butuh waktu tidur beberapa menit.” Reynald membereskan peralatan dokternya ke dalam tas. Sebuah keberuntungan bahwa dirinya tidak pernah absen membawa peralatan dokter bahkan sewaktu memberikan vitamin untuk sahabatnya. “Gue masih harus tau berapa banyak obat tidur, kopi, dan rokok yang dia konsumsi selama ini.”Reynald menutup pintu, membiarkan Morgan terlelap setelah mengkonsumsi suplemen darinya. Reynald tahu betul yang Morgan perlukan adalah istirahat secara alami, dan bukan hal yang mudah dilakukan oleh Reynald untuk memaksa Morgan istirahat di hari yang masih pagi, terlebih Morgan m
Morgan tidak memiliki banyak waktu untuk berpikir. Tubuhnya segera bangun tanpa diperintah, turun dari ranjang dan mengambil kunci mobil yang terletak sembarangan di atas meja.“Argh! Sial!” keluhnya saat tiba-tiba pandangannya terganggu dan kepalanya berputar. Morgan harus menyangga tubuhnya di sisi tembok jika tidak ingin tubuhnya merosot. Kondisinya yang sudah buruk semakin diperburuk dengan kekalutan yang tampak jelas di wajahnya.Reynald benar, Morgan-lah yang mengalami kekhawatiran lebih besar dibandingkan mamanya sendiri. Sebuah kemustahilan mengingat perilaku Morgan selama ini terhadap Bianca dan kini justru dirinya-lah yang tersiksa oleh perilakunya sendiri. Karma, huh?Morgan tidak tahu apakah karma sedang menjalankan tugasnya saat ini. Yang jelas, ini pertama kalinya Morgan merasakan suatu kekhawatiran menyesakkan yang menyusup hingga ke paru-parunya terlebih karena seorang gadis yang tidak pernah terpikir akan berpe
“Apa yang kamu lakukan di Jakarta pagi-pagi?”Sekaleng cola tersaji secara kasar di hadapan pria yang tengah membuka bungkus rokoknya tanpa perlu menjawab pertanyaan gadis mungil di hadapannya.Sementara si gadis mendengus dan langsung membuka jendela flat-nya lebar-lebar sebelum tercemar oleh asap rokok dari pria yang sangat tidak beruntung menjadi kakak kandungnya.“Ada urusan.” jawab si pria dan meneguk cola di hadapannya.“Kalau maksud kamu urusan untuk minta uang adikmu, maka kamu nggak akan dapat sepeserpun.”“Tenang, dek. Mulai hari ini aku nggak akan minta uangmu buat beli minumanku lagi.” Si pria tertawa seolah gadis di sebelahnya sedang melucu. “Lagian kupikir wanita tua itu belum ngirim uang bulan ini. Apa warungnya udah bangkrut?”“Jaga bicaramu, gila!”“Apa kamu juga diajarin mengumpat sama wanita tua itu? Menyedihkan!&rdq
“Kak Morgan! Bangun!”Bianca masih mengguncangkan bahu Morgan berharap pria itu akan membuka matanya yang tertutup rapat. Tidak berguna, Bianca beralih membangunkan pria itu dengan cara menepuk pelan pipi yang terasa hangat di tangan Bianca.Bianca mengedarkan pandangannya, berharap ada seseorang yang bisa membantunya untuk membawa tubuh lemah Morgan ke dalam mobil. Namun sayangnya kawasan pemakaman itu sangat sepi dan tidak ada seorangpun yang melintas.“Ya Tuhan!” Bianca menggumam gusar. Ia menggigit bibirnya kuat, merasakan kecemasan yang memenuhi rongga dadanya. Seharusnya Bianca sadar dari awal jika Morgan bukan sekedar tidak enak badan seperti yang pria itu katakan.Drrttt drrtt!Bianca merasakan ada getaran samar di kulitnya. Ia-pun segera memastikan dan menemukan getaran itu berasal dari saku celana Morgan. Meski awalnya ragu, pada akhirnya Bianca mengambil ponsel yang menyebabkan getaran itu d
“Kami hanya makan siang. Astaga! Kau bahkan bisa menghabiskan waktu semalaman dengan adikku. Bertemu dia sepanjang pagi, sedangkan aku hanya bertemu saat makan siang. Come on, gorila,” sahut Gregory mulai ngedumel juga.Jawaban yang diterima Gregory hanya Ethan yang memeletkan lidahnya pada pria itu. Ethan lalu membawa Megan pergi begitu saja dan meninggalkan Gregory bersama para tamu undangan yang tidak menyadari kepergian yang punya acara ulang tahun. Gregory terpaksa menjadi tuan rumah pengganti untuk sementara sampai semua tamu itu pamit undur diri dengan sederet pesan untuk Ethan.“Kenapa aku merasa sedang jadi asisten pribadi gorila itu ya?” keluh Gregory pada Alex, setelah kesekian kalinya dia menerima titipan ucapan selamat ulang tahun dari para tamu yang berpamitan pulang.“Tuan, Yuna mendekat kesini,” bisik Alex cepat saat melihat Yuna berdiri di antara para tamu undangan yang akan berpamitan pada Gregory.“Hmm,” sahut Gregory lalu melanjutkan perannya melepas kepergian para
“Berjanjilah ini terakhir kalinya kalian melibatkan diri dalam situasi yang berbahaya seperti kemarin.”Maudy meremas lembut kedua telapak tangan dalam genggamannya. Sangat bersyukur mengetahui dirinya masih mampu menatap pemilik telapak tangan itu tanpa harus kehilangan salah satunya. “Tante percaya, Morgan ataupun Vyan, mereka pasti bisa memperbaiki kehancuran karena si keparat itu.”Bianca mengangguk. Ia mengusap pipinya yang basah. Di otaknya terlintas sosok Morgan yang tengah tersenyum menenangkan kepadanya. “Aku-pun percaya. Sangat percaya. Kita harus memperbaiki hidup kita setelah ini.”“Ya, itu benar.” Karen menanggapi. “Setelah itu aku akan hidup tanpa bayang-bayang Pak Candra. Bahkan aku nggak sudi panggil dia ayah.”“Ibu juga akan mengurus surat cerai secepatnya.”Bianca dan Karen sontak saling berpandangan dan terkejut. Keterkejutan mereka tentu beralasan kare
“T-tante Maudy ...”Suara itu terdengar, bersamaan dengan pintu yang terbuka dan memperlihatkan tiga orang di sana. Sementara itu, Maudy dan Vyan yang terkejut, lantas terpaku pada seseorang yang duduk di atas kursi roda, mengenakan baju rumah sakit yang sama seperti milik Maudy dan dengan mata berkaca-kaca.“B-Bianca ...”(Flashback)“Bolehkah aku mengunjungi Karen bersama Kak Nesha? Aku harus tau keadaan sepupuku.”Morgan sempat terkejut sebelum mengembalikan ekspresi datarnya. “Tapi.”“Maaf Bi, sepertinya belum bisa sekarang Karen perlu perawatan intensif untuklukanya dan ia belum diperbolehkan untukbanyak berbicara terlebih dahulu. Mungkin kamu bisa menemuinya besok atau lusa,” ujar Reynald menginterupsi.“Reynald benar, Bi.” Nesha menambahkan setelah ia melihat raut kecewa Bianca. Ia sangat paham dengan kekhawatiran Bianca, namun seperti yang Reynald ka
Morgan berjongkok, meraih rahang Candra dengan ujung jarinya. Candra sama sekali tidak melawan karena tengah berperang melawan rasa sakit, namun matanya menyiratkan kebencian yang hanya dibalas Morgan dengan kekehan.“Gimana rasanya disekap dalam ruangan kotor ini? Dengan tangan terikat dan ancaman di depan mata lo, hm?” tanya Morgan, mempertahankan nada rendah dalam suaranya. Terdengar menusuk dan cukup membuat Candra kehilangan sedikit demi sedikit keberaniannya.“C-cukup menyenangkan. A apa kau ingin balas dendam atas istrimu? Cih!” Tapi rupanya Candra tidak ingin terlihat lemah. Ia masih sempat memberikan decihan, sementara Morgan mulai dikuasai emosi.Sial! Kalau saja Morgan tidak ingat jika dirinya tidak boleh menjadi pembunuh mungkin Morgan akan melenyapkan nyawa pria itu dengan tangannya sendiri. Berani beraninya ia membicarakan Bianca di depan Morgan!“Sepuluh kali lipat.” Morgan mencengkeram rahang Candra deng
“Apa yang mereka omongin? Kayaknya super penting,” gumam Nesha yang mampu didengar oleh Bianca. Bedanya, Bianca sama sekali tidak ambil pusing dengan urusan dua pria itu.“Aku juga nggak tau, Kak ...”“Ah ya, Bi, gimana Karen? Aku dengar dia terluka.”Detik berikutnya, Bianca harus kembali murung, mengingat ia belum bertemu Karen kembali setelah insiden penyerangan tadi malam. Dan jujur saja, Bianca ingin menemui Karen, memastikan gadis itu baik-baik saja dan mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikannya.“Aku ... aku belum ketemu sama dia kak Morgan yang ngelarang, katanya aku harus memulihkan kondisiku dulu dan nggak perlu cemas karena Karen sudah berhasil di operasi. Tapi ... tapi tetap saja. Aku merasa bersalah udah bikin dia terluka.”“Aku setuju tentang Morgan yang ngelarang kamu.” Nesha duduk di sisi Bianca, meraih tangan kanan Bianca yang terbebas dari selang infuse dan me
“K-kamu … kamu menyembunyikannya dariku?”Bianca menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Sungguh, ia tidak bermaksud menyembunyikan kehamilannya dari Morgan. Ia ingin memberitahu Morgan, namun waktu masih belum mengizinkannya. Toh Bianca tidak memiliki satu alasanpun mengapa ia harus menyembunyikan calon buah hati mereka.“T-tidak … A-aku nggak m-menyembunyikannya … a-aku … t-tadi malam mau b-bilang-”Semuanya berjalan terlalu cepat. Bianca yang berusaha menjelaskan semuanya, lalu Morgan yang tiba-tiba mendekati Bianca dan membawa gadis itu dalam pelukan eratnya. Bianca kehilangan kemampuan bicara, tubuhnya menegang dan matanya mengerjab bingung. Semakin bingung ketika ia mendengar isakan dari samping telinganya.Apa Morgan menangis?Tangan Bianca mengambang di udara. Ia ingin membalas pelukan Morgan, tapi Morgan tiba-tiba melepas pelukannya. Membuat wajah sembabnya terlih
“A-aku ... -Ugh!” Morgan semakin bingung ketika Bianca tidak berucap dan justru menutup mulutnya dengan telapak tangan. Gadis itu tampak gelisah tanpa bisa Morgan ketahui penyebabnya.“Hey ada apa? Jangan bikin aku takut-”“Toilet!” Bianca kembali menutup mulutnya setelah menyerukan satu kata yang membuat kernyitan muncul di dahi Morgan.“A-apa?” tanya Morgan. Otaknya penuh dengan tanda tanya besar, terlebih melihat Bianca yang tiba-tiba turun dari ranjang dan melangkah menuju kamar mandi sambil membawa stand infuse-nya.Morgan terdiam bengong. Beberapa detik kemudian, ia tersentak saat mendengar suara muntah dari toilet di ujung ruangan. Morgan lantas menghampiri Bianca yang berjongkok di depan closet seraya memuntahkan isi perutnya.“Bianca,” Bianca menoleh mendengar panggilan Morgan. Wajah pucatnya terlihat jelas oleh Morgan yang langsung menghampiri Bianca dan memijat pelan tengk
Sejak awal, Vyan selalu mensugesti dirinya untuk menerima apa pun risiko yang harus ia terima setelah mendapatkan Karenina dalam dekapannya.Ia tahu, dan bahkan hafal di luar kepala, jika Karenina bukanlah sosok perempuan remaja kebanyakan yang menghabiskan waktu untuk bergossip, bersolek, merawat diri di salon, ataupun bersikap manja kepada pasangannya.Tapi, mungkin itu pula yang membuat Vyan bertekuk lutut pada sosok gadis bernama Karen itu. Vyan terlanjur terpesona dengan kepribadian Karen, dan mungkin juga kekurangan gadis itu.Tidak ada satu hal-pun yang tidak membuat Vyan terpesona dari diri Karenina. Hanya saja, Vyan juga tidak menampik jika ia merasa kesal ketika Karen selalu mementingkan orang lain dibandingkan dirinya sendiri.Jujur saja, Vyan merasa marah. Marah untuk siapa? Vyan-pun tidak tahu. Ia hanya tidak suka melihat Karen menderita karena pengorbanannya.“Janji kalo ini terakhir kalinya.” Sisa-sisa amarah
[Still FLASHBACK ...]Karen merintih kesakitan dan Bianca memekik shock. Darah segar mulai mengalir, membasahi bagian depan blouse biru muda yang dikenakan Karen, menimbulkan aroma anyir yang menyengat.“Karen! Sadarlah!”Karen ambruk dan Bianca dengan sigap membawa Wanita itu ke pangkuannya. Tangisan Bianca pecah melihat Karen meringis menahan sakit, bulir-bulir keringat di dahinya dan bibirnya yang mulai memucat. Tangannya gemetar menggenggam tangan Karen yang berlumuran darah, mencoba menguatkan Wanita itu dengan pikiran kacau tak tentu arah.Sementara itu, Eric berdecak sebal. “Lagi-lagi lo ngancurin rencana gue, Karenina!” geramnya yang mampu di dengar Bianca namun Wanita itu sama sekali tak perduli.Dan Eric lalu berlari keluar untuk kabur menyelamatkan diri sebelum seseorang menyadari teriakan Karen.Bianca terisak semakin parah. Ia ingin berteriak meminta tolong, namun suaranya hilang entah kemana. Kepalanya m