Morgan tidak memiliki banyak waktu untuk berpikir. Tubuhnya segera bangun tanpa diperintah, turun dari ranjang dan mengambil kunci mobil yang terletak sembarangan di atas meja.
“Argh! Sial!” keluhnya saat tiba-tiba pandangannya terganggu dan kepalanya berputar. Morgan harus menyangga tubuhnya di sisi tembok jika tidak ingin tubuhnya merosot. Kondisinya yang sudah buruk semakin diperburuk dengan kekalutan yang tampak jelas di wajahnya.
Reynald benar, Morgan-lah yang mengalami kekhawatiran lebih besar dibandingkan mamanya sendiri. Sebuah kemustahilan mengingat perilaku Morgan selama ini terhadap Bianca dan kini justru dirinya-lah yang tersiksa oleh perilakunya sendiri. Karma, huh?
Morgan tidak tahu apakah karma sedang menjalankan tugasnya saat ini. Yang jelas, ini pertama kalinya Morgan merasakan suatu kekhawatiran menyesakkan yang menyusup hingga ke paru-parunya terlebih karena seorang gadis yang tidak pernah terpikir akan berpe
“Apa yang kamu lakukan di Jakarta pagi-pagi?”Sekaleng cola tersaji secara kasar di hadapan pria yang tengah membuka bungkus rokoknya tanpa perlu menjawab pertanyaan gadis mungil di hadapannya.Sementara si gadis mendengus dan langsung membuka jendela flat-nya lebar-lebar sebelum tercemar oleh asap rokok dari pria yang sangat tidak beruntung menjadi kakak kandungnya.“Ada urusan.” jawab si pria dan meneguk cola di hadapannya.“Kalau maksud kamu urusan untuk minta uang adikmu, maka kamu nggak akan dapat sepeserpun.”“Tenang, dek. Mulai hari ini aku nggak akan minta uangmu buat beli minumanku lagi.” Si pria tertawa seolah gadis di sebelahnya sedang melucu. “Lagian kupikir wanita tua itu belum ngirim uang bulan ini. Apa warungnya udah bangkrut?”“Jaga bicaramu, gila!”“Apa kamu juga diajarin mengumpat sama wanita tua itu? Menyedihkan!&rdq
“Kak Morgan! Bangun!”Bianca masih mengguncangkan bahu Morgan berharap pria itu akan membuka matanya yang tertutup rapat. Tidak berguna, Bianca beralih membangunkan pria itu dengan cara menepuk pelan pipi yang terasa hangat di tangan Bianca.Bianca mengedarkan pandangannya, berharap ada seseorang yang bisa membantunya untuk membawa tubuh lemah Morgan ke dalam mobil. Namun sayangnya kawasan pemakaman itu sangat sepi dan tidak ada seorangpun yang melintas.“Ya Tuhan!” Bianca menggumam gusar. Ia menggigit bibirnya kuat, merasakan kecemasan yang memenuhi rongga dadanya. Seharusnya Bianca sadar dari awal jika Morgan bukan sekedar tidak enak badan seperti yang pria itu katakan.Drrttt drrtt!Bianca merasakan ada getaran samar di kulitnya. Ia-pun segera memastikan dan menemukan getaran itu berasal dari saku celana Morgan. Meski awalnya ragu, pada akhirnya Bianca mengambil ponsel yang menyebabkan getaran itu d
Morgan sontak terbangun dari tidur panjangnya. Dahinya dipenuhi oleh peluh dan napasnya tersengal seolah ia baru menyelesaikan lari marathon.Mimpi itu benar-benar jelas. Suara merdu, bisikan angin, dan cahaya menyilaukan itu, Morgan seolah mengalami itu di dunia nyata. Dan diantara semua itu, yang paling diingat Morgan adalah saat ia menyadari suatu hal penting yang tidak perlu diragukan lagi.Rasa cintanya, terhadap Bianca.Mencari sesuatu, Morgan mengedarkan pandangannya diseluruh penjuru kamarnya. Tidak ada tanda-tanda Bianca berada di sana, ataupun benda milik Bianca yang menandakan Bianca masih di tempat yang sama dengannya.“Bianca!”Morgan menyingkap selimutnya, menarik selang infuse yang menancap di punggung tangannya dengan kasar, sedikitpun tidak perduli dengan luka dan tetesan darah yang ditimbulkan olehnya. Yang ada di pikirannya hanyalah satu. Bianca. Jangan sampai Bianca pergi sebelum Morgan mengung
“Kamu bisa ngerasain, kan?” Bianca mengangguk pelan. “Aku mau detakan gila ini masih bisa kamu rasakan di jantung kamu juga. Karenaku …”Bianca lantas mengangguk, tidak mampu mengeluarkan suara dari tenggorokannya. Semua terlalu tiba-tiba, tapi sangat melegakan hingga rasanya Bianca ingin mengingat hari ini sebagai hari paling indah untuknya.Morgan menarik Bianca dalam dekapannya. Erat, seolah tidak ingin Bianca menjauh satu jengkalpun darinya. Mengetahui Bianca masih menyimpan perasaan cinta untuknya, Morgan tidak tahu hal apa lagi yang membuatnya bisa sebahagia ini. Bianca membalas tidak kalah eratnya. Membuktikan bahwa ia menginginkan hal ini sejak lama. Mendapati Morgan membalas cintanya.“Makasih untuk tetap cinta sama pria bodoh sepertiku.”Morgan melepas pelukannya, beralih menarik tengkuk Bianca untuk menyatukan kening mereka. Saling berpandangan dalam jarak dekat, tidak peduli den
Morgan bergerak kecil sebelum matanya terbuka untuk bangun. Diliriknya jendela besar di sisi kiri, memperlihatkan langit yang sudah menggelap. Jam digital di meja nakasnya menunjukkan angka 19.02.Morgan mendudukkan tubuhnya. Tubuhnya sudah luar biasa baik, peningnya tak lagi tersisa, dan tenaganya terasa pulih setelah melewati masa penuh haru saat ia mengungkapkan perasaannya terhadap Bianca dan meluruhkan semuanya dengan tangisan bersama gadis yang kini resmi menjadi miliknya.Tadi, setelah saling menumpahkan tangisan di atas lantai dingin dapur, Bianca menarik Morgan untuk memakan makan siangnya berupa bubur ayam. Hanya 3 suapan, Morgan menyerah untuk lidahnya yang pahit. Selanjutnya gantian Morgan yang menarik Bianca untuk ke kamarnya. Membawa Bianca berbaring dan memasuki dekapannya, dengan dalih ia membutuhkan Bianca untuk menemaninya istirahat meski sejujurnya ia hanya ingin menikmati lagi detakan indah yang tercipta di jantungnya karena B
Jam silver di dinding ruangan menunjukkan pukul delapan pagi. Jika hari biasanya Morgan masih sibuk dengan kancing kemeja dan tautan dasi sebelum berangkat ke kantor demi mengumpulkan pundi-pundi uangnya, maka hari ini ia tidak melakukan hal serupa. Sosok Presiden Direktur itu nampak berbeda dari kesehariannya, terlihat dari penampilan khas bangun tidur lengkap dengan piyama dan wajah sembab. Jauh berbeda dari kesan angkuh dan maskulin yang seolah merekat kuat dalam dirinya.Oh, jangan lupakan senyuman cerahnya. Alasannya? Yang pertama, karena ia menikmati jadwal cuti paksa seperti yang sempat sekertarisnya katakan tadi malam.Awalnya Morgan berniat ke kantor karena kondisi tubuhnya memang tidak separah yang orang bayangkan karena jika ditilik lebih lanjut, sakitnya bukan dari fisik melainkan tekanan batin. Namun memiliki teman baik seorang dokter tidak selamanya menyenangkan. Terbukti dari perintah Reynald yang meminta Doni mengosongkan jadwal M
“Kak, aku mau beli kopi bentar.”“Kopi nggak baik buat kesehatan kamu, Bi.”Morgan –sok— bernasehat, meski beberapa hari belakangan kopi seolah menjadi temannya. Bianca yang tentunya masih ingat dengan penjelasan Jongin tentang kebiasaan Morgan selama ia pergi, hanya memutar bola matanya malas.“Aku tau. Tapi setidaknya aku nggak minum kopi berlebihan sampai pingsan di depan tempat pemakaman.” sindir Bianca dan menyebabkan sosok lain dalam mobil menoleh cepat kearahnya. Dengan segera mobil itu berhenti di depan sebuah café, di mana Morgan sering menemukan Bianca pergi ke sana atau mungkin sudah menjadi pelanggan tetap di sana.“Cepat ke sana, cuma lima menit.”Kontan saja Bianca bersorak dalam hati. “Kamu nggak mau?” tanyanya.“Nggak. Aku nggak mau pingsan saat menyetir.” Bianca terkekeh pelan, lalu mengecup singkat pipi kiri Mor
“Bee …” Suara Vyan melunak, namun Karen justru beringsut masuk ke pelukan Vyan. Memeluk pria itu seerat mungkin demi meredam emosinya.Satu-satunya sosok yang masih terdiam adalah ibu Vyan. Wanita itu lagi-lagi terhenyak dengan reaksi Karen yang di luar ekspektasinya. Ia kira Karen akan menangis ketakutan, ataupun berlutut agar ia tidak melanjutkan ancamannya. Tapi, apa yang terjadi? Karen justru melawannya tanpa rasa takut dan kini berusaha meredam emosi putranya agar tidak meledak.“Mama liat, kan?” Vyan kembali berucap dan semakin mengerat pula pelukan Karen ditubuhnya. “Mama udah bikin gadis yang aku cintai menangis ketakutan. Bukan takut karena Mama akan bikin hidupnya berantakan, tapi takut kalau Vyan akan benci Mama setelah ini.”“Aku nggak tau ini keberuntungan atau bukan. Yang jelas, secara nggak sengaja melihat Mama kembali maksa Karen buat putus sama aku, udah cukup nambahin kekec
“Kami hanya makan siang. Astaga! Kau bahkan bisa menghabiskan waktu semalaman dengan adikku. Bertemu dia sepanjang pagi, sedangkan aku hanya bertemu saat makan siang. Come on, gorila,” sahut Gregory mulai ngedumel juga.Jawaban yang diterima Gregory hanya Ethan yang memeletkan lidahnya pada pria itu. Ethan lalu membawa Megan pergi begitu saja dan meninggalkan Gregory bersama para tamu undangan yang tidak menyadari kepergian yang punya acara ulang tahun. Gregory terpaksa menjadi tuan rumah pengganti untuk sementara sampai semua tamu itu pamit undur diri dengan sederet pesan untuk Ethan.“Kenapa aku merasa sedang jadi asisten pribadi gorila itu ya?” keluh Gregory pada Alex, setelah kesekian kalinya dia menerima titipan ucapan selamat ulang tahun dari para tamu yang berpamitan pulang.“Tuan, Yuna mendekat kesini,” bisik Alex cepat saat melihat Yuna berdiri di antara para tamu undangan yang akan berpamitan pada Gregory.“Hmm,” sahut Gregory lalu melanjutkan perannya melepas kepergian para
“Berjanjilah ini terakhir kalinya kalian melibatkan diri dalam situasi yang berbahaya seperti kemarin.”Maudy meremas lembut kedua telapak tangan dalam genggamannya. Sangat bersyukur mengetahui dirinya masih mampu menatap pemilik telapak tangan itu tanpa harus kehilangan salah satunya. “Tante percaya, Morgan ataupun Vyan, mereka pasti bisa memperbaiki kehancuran karena si keparat itu.”Bianca mengangguk. Ia mengusap pipinya yang basah. Di otaknya terlintas sosok Morgan yang tengah tersenyum menenangkan kepadanya. “Aku-pun percaya. Sangat percaya. Kita harus memperbaiki hidup kita setelah ini.”“Ya, itu benar.” Karen menanggapi. “Setelah itu aku akan hidup tanpa bayang-bayang Pak Candra. Bahkan aku nggak sudi panggil dia ayah.”“Ibu juga akan mengurus surat cerai secepatnya.”Bianca dan Karen sontak saling berpandangan dan terkejut. Keterkejutan mereka tentu beralasan kare
“T-tante Maudy ...”Suara itu terdengar, bersamaan dengan pintu yang terbuka dan memperlihatkan tiga orang di sana. Sementara itu, Maudy dan Vyan yang terkejut, lantas terpaku pada seseorang yang duduk di atas kursi roda, mengenakan baju rumah sakit yang sama seperti milik Maudy dan dengan mata berkaca-kaca.“B-Bianca ...”(Flashback)“Bolehkah aku mengunjungi Karen bersama Kak Nesha? Aku harus tau keadaan sepupuku.”Morgan sempat terkejut sebelum mengembalikan ekspresi datarnya. “Tapi.”“Maaf Bi, sepertinya belum bisa sekarang Karen perlu perawatan intensif untuklukanya dan ia belum diperbolehkan untukbanyak berbicara terlebih dahulu. Mungkin kamu bisa menemuinya besok atau lusa,” ujar Reynald menginterupsi.“Reynald benar, Bi.” Nesha menambahkan setelah ia melihat raut kecewa Bianca. Ia sangat paham dengan kekhawatiran Bianca, namun seperti yang Reynald ka
Morgan berjongkok, meraih rahang Candra dengan ujung jarinya. Candra sama sekali tidak melawan karena tengah berperang melawan rasa sakit, namun matanya menyiratkan kebencian yang hanya dibalas Morgan dengan kekehan.“Gimana rasanya disekap dalam ruangan kotor ini? Dengan tangan terikat dan ancaman di depan mata lo, hm?” tanya Morgan, mempertahankan nada rendah dalam suaranya. Terdengar menusuk dan cukup membuat Candra kehilangan sedikit demi sedikit keberaniannya.“C-cukup menyenangkan. A apa kau ingin balas dendam atas istrimu? Cih!” Tapi rupanya Candra tidak ingin terlihat lemah. Ia masih sempat memberikan decihan, sementara Morgan mulai dikuasai emosi.Sial! Kalau saja Morgan tidak ingat jika dirinya tidak boleh menjadi pembunuh mungkin Morgan akan melenyapkan nyawa pria itu dengan tangannya sendiri. Berani beraninya ia membicarakan Bianca di depan Morgan!“Sepuluh kali lipat.” Morgan mencengkeram rahang Candra deng
“Apa yang mereka omongin? Kayaknya super penting,” gumam Nesha yang mampu didengar oleh Bianca. Bedanya, Bianca sama sekali tidak ambil pusing dengan urusan dua pria itu.“Aku juga nggak tau, Kak ...”“Ah ya, Bi, gimana Karen? Aku dengar dia terluka.”Detik berikutnya, Bianca harus kembali murung, mengingat ia belum bertemu Karen kembali setelah insiden penyerangan tadi malam. Dan jujur saja, Bianca ingin menemui Karen, memastikan gadis itu baik-baik saja dan mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikannya.“Aku ... aku belum ketemu sama dia kak Morgan yang ngelarang, katanya aku harus memulihkan kondisiku dulu dan nggak perlu cemas karena Karen sudah berhasil di operasi. Tapi ... tapi tetap saja. Aku merasa bersalah udah bikin dia terluka.”“Aku setuju tentang Morgan yang ngelarang kamu.” Nesha duduk di sisi Bianca, meraih tangan kanan Bianca yang terbebas dari selang infuse dan me
“K-kamu … kamu menyembunyikannya dariku?”Bianca menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Sungguh, ia tidak bermaksud menyembunyikan kehamilannya dari Morgan. Ia ingin memberitahu Morgan, namun waktu masih belum mengizinkannya. Toh Bianca tidak memiliki satu alasanpun mengapa ia harus menyembunyikan calon buah hati mereka.“T-tidak … A-aku nggak m-menyembunyikannya … a-aku … t-tadi malam mau b-bilang-”Semuanya berjalan terlalu cepat. Bianca yang berusaha menjelaskan semuanya, lalu Morgan yang tiba-tiba mendekati Bianca dan membawa gadis itu dalam pelukan eratnya. Bianca kehilangan kemampuan bicara, tubuhnya menegang dan matanya mengerjab bingung. Semakin bingung ketika ia mendengar isakan dari samping telinganya.Apa Morgan menangis?Tangan Bianca mengambang di udara. Ia ingin membalas pelukan Morgan, tapi Morgan tiba-tiba melepas pelukannya. Membuat wajah sembabnya terlih
“A-aku ... -Ugh!” Morgan semakin bingung ketika Bianca tidak berucap dan justru menutup mulutnya dengan telapak tangan. Gadis itu tampak gelisah tanpa bisa Morgan ketahui penyebabnya.“Hey ada apa? Jangan bikin aku takut-”“Toilet!” Bianca kembali menutup mulutnya setelah menyerukan satu kata yang membuat kernyitan muncul di dahi Morgan.“A-apa?” tanya Morgan. Otaknya penuh dengan tanda tanya besar, terlebih melihat Bianca yang tiba-tiba turun dari ranjang dan melangkah menuju kamar mandi sambil membawa stand infuse-nya.Morgan terdiam bengong. Beberapa detik kemudian, ia tersentak saat mendengar suara muntah dari toilet di ujung ruangan. Morgan lantas menghampiri Bianca yang berjongkok di depan closet seraya memuntahkan isi perutnya.“Bianca,” Bianca menoleh mendengar panggilan Morgan. Wajah pucatnya terlihat jelas oleh Morgan yang langsung menghampiri Bianca dan memijat pelan tengk
Sejak awal, Vyan selalu mensugesti dirinya untuk menerima apa pun risiko yang harus ia terima setelah mendapatkan Karenina dalam dekapannya.Ia tahu, dan bahkan hafal di luar kepala, jika Karenina bukanlah sosok perempuan remaja kebanyakan yang menghabiskan waktu untuk bergossip, bersolek, merawat diri di salon, ataupun bersikap manja kepada pasangannya.Tapi, mungkin itu pula yang membuat Vyan bertekuk lutut pada sosok gadis bernama Karen itu. Vyan terlanjur terpesona dengan kepribadian Karen, dan mungkin juga kekurangan gadis itu.Tidak ada satu hal-pun yang tidak membuat Vyan terpesona dari diri Karenina. Hanya saja, Vyan juga tidak menampik jika ia merasa kesal ketika Karen selalu mementingkan orang lain dibandingkan dirinya sendiri.Jujur saja, Vyan merasa marah. Marah untuk siapa? Vyan-pun tidak tahu. Ia hanya tidak suka melihat Karen menderita karena pengorbanannya.“Janji kalo ini terakhir kalinya.” Sisa-sisa amarah
[Still FLASHBACK ...]Karen merintih kesakitan dan Bianca memekik shock. Darah segar mulai mengalir, membasahi bagian depan blouse biru muda yang dikenakan Karen, menimbulkan aroma anyir yang menyengat.“Karen! Sadarlah!”Karen ambruk dan Bianca dengan sigap membawa Wanita itu ke pangkuannya. Tangisan Bianca pecah melihat Karen meringis menahan sakit, bulir-bulir keringat di dahinya dan bibirnya yang mulai memucat. Tangannya gemetar menggenggam tangan Karen yang berlumuran darah, mencoba menguatkan Wanita itu dengan pikiran kacau tak tentu arah.Sementara itu, Eric berdecak sebal. “Lagi-lagi lo ngancurin rencana gue, Karenina!” geramnya yang mampu di dengar Bianca namun Wanita itu sama sekali tak perduli.Dan Eric lalu berlari keluar untuk kabur menyelamatkan diri sebelum seseorang menyadari teriakan Karen.Bianca terisak semakin parah. Ia ingin berteriak meminta tolong, namun suaranya hilang entah kemana. Kepalanya m