Jam silver di dinding ruangan menunjukkan pukul delapan pagi. Jika hari biasanya Morgan masih sibuk dengan kancing kemeja dan tautan dasi sebelum berangkat ke kantor demi mengumpulkan pundi-pundi uangnya, maka hari ini ia tidak melakukan hal serupa. Sosok Presiden Direktur itu nampak berbeda dari kesehariannya, terlihat dari penampilan khas bangun tidur lengkap dengan piyama dan wajah sembab. Jauh berbeda dari kesan angkuh dan maskulin yang seolah merekat kuat dalam dirinya.
Oh, jangan lupakan senyuman cerahnya. Alasannya? Yang pertama, karena ia menikmati jadwal cuti paksa seperti yang sempat sekertarisnya katakan tadi malam.
Awalnya Morgan berniat ke kantor karena kondisi tubuhnya memang tidak separah yang orang bayangkan karena jika ditilik lebih lanjut, sakitnya bukan dari fisik melainkan tekanan batin. Namun memiliki teman baik seorang dokter tidak selamanya menyenangkan. Terbukti dari perintah Reynald yang meminta Doni mengosongkan jadwal M
“Kak, aku mau beli kopi bentar.”“Kopi nggak baik buat kesehatan kamu, Bi.”Morgan –sok— bernasehat, meski beberapa hari belakangan kopi seolah menjadi temannya. Bianca yang tentunya masih ingat dengan penjelasan Jongin tentang kebiasaan Morgan selama ia pergi, hanya memutar bola matanya malas.“Aku tau. Tapi setidaknya aku nggak minum kopi berlebihan sampai pingsan di depan tempat pemakaman.” sindir Bianca dan menyebabkan sosok lain dalam mobil menoleh cepat kearahnya. Dengan segera mobil itu berhenti di depan sebuah café, di mana Morgan sering menemukan Bianca pergi ke sana atau mungkin sudah menjadi pelanggan tetap di sana.“Cepat ke sana, cuma lima menit.”Kontan saja Bianca bersorak dalam hati. “Kamu nggak mau?” tanyanya.“Nggak. Aku nggak mau pingsan saat menyetir.” Bianca terkekeh pelan, lalu mengecup singkat pipi kiri Mor
“Bee …” Suara Vyan melunak, namun Karen justru beringsut masuk ke pelukan Vyan. Memeluk pria itu seerat mungkin demi meredam emosinya.Satu-satunya sosok yang masih terdiam adalah ibu Vyan. Wanita itu lagi-lagi terhenyak dengan reaksi Karen yang di luar ekspektasinya. Ia kira Karen akan menangis ketakutan, ataupun berlutut agar ia tidak melanjutkan ancamannya. Tapi, apa yang terjadi? Karen justru melawannya tanpa rasa takut dan kini berusaha meredam emosi putranya agar tidak meledak.“Mama liat, kan?” Vyan kembali berucap dan semakin mengerat pula pelukan Karen ditubuhnya. “Mama udah bikin gadis yang aku cintai menangis ketakutan. Bukan takut karena Mama akan bikin hidupnya berantakan, tapi takut kalau Vyan akan benci Mama setelah ini.”“Aku nggak tau ini keberuntungan atau bukan. Yang jelas, secara nggak sengaja melihat Mama kembali maksa Karen buat putus sama aku, udah cukup nambahin kekec
“Semuanya udah berakhir. Gue dan Bianca sepakat lupain masa lalu kita.” Morgan tersenyum tulus ke sahabatnya. “Semua berkat bantuan lo juga, Rey. Thanks!”Reynald balik tersenyum lalu meraih tas kerjanya. “Bianca emang gadis paling baik kedua yang pernah gue temui setelah Nesha. Jangan pernah sia-siain dia lagi karena gue nggak mau liat lo sekarat lagi kayak kemaren. Ngomong-ngomong, gue harus pergi ke RS sekarang.”“Jadi lo kesini cuma buat lihat kondisi gue?”“Hm. Walaupun alasan utamanya adalah gue mau tau gimana perkembangan hubungan lo sama Bianca. Lo tau, mikirin lo dan Bianca buat gue ngerasa kayak berselingkuh di belakang Nesha.”Morgan tertawa kecil dan ikut berdiri. “Thanks, bro! Gue nggak tau gimana jadinya kalo kemarin nggak ada lo.”“Ck! Gue tau. Well, selamat ngobrolin bisnis yang nggak gue ngerti sama Sekretaris lo.” Reynald ber
Bianca menghela napas kecil saat dinginnya jus dalam kaleng menyentuh kerongkongannya. Siang ini terasa lebih panas dari biasanya.Bianca berdiri di depan halte bis, memutuskan untuk pulang menaiki bis alih-alih menelepon Morgan atau sopirnya untuk menjemputnya. Ia hanya mengirimkan pesan pada Morgan atas kepulangannya. Entah kenapa hari ini Bianca ingin merasakan naik bis kembali, setelah cukup lama ia tidak menaiki transportasi umum itu.Sebuah bus berhenti di depannya. Dengan semangat Bianca melangkah masuk dan bernapas lega melihat kondisi bus yang cukup sepi. Ia memutuskan untuk duduk di kursi belakang dan di dekat jendela, sembari mendengarkan lagu dari earphone putih kesayangannya.Suasana hati Bianca sangat bagus hari ini. Hal itu dikarenakan oleh keberadaan Morgan yang kembali melingkupi hari-harinya. Dan berbeda, tidak ada lagi goresan perih saat menemukan Morgan di dekatnya. Morgan benar-benar memiliki penawar untuk menyembuhkan
Pukul lima sore yang sudah gelap. Mendung menggantung di langit namun rintikan hujan belum terlihat.Sebuah mobil berhenti di pekarangan rumah Keluarga Bianca yang luas. Sepuluh detik kemudian, seseorang muncul dari dalam mobil seraya menggenggam ponselnya. Morgan, yang menganggap dirinya bukan tamu yang harus menekan bel rumah demi dibukakan pintu utama, langsung memasuki rumah besar itu.Sudah lama Morgan tidak datang kemari, mungkin dua atau tingga minggu yang lalu? Yang jelas sebelum hubungannya dan Bianca membaik seperti sekarang.Morgan sudah melewatkan waktu bertemu Bianca, bahkan tidak sempat menjemput Bianca dari kampusnya. Lebih tepat, Morgan tidak tahu kapan urusan Bianca akan berakhir sedangkan saat Morgan bertanya, ternyata Bianca sudah di rumahnya dan pulang menaiki bus.Morgan sedikit kesal, bagaimanapun ia berjanji untuk menjemput Bianca sementara gadis itu menyelesaikan urusannya. Namun ternyata, Bianca malah pulang
Morgan menuruni tangga seraya sibuk dengan ponselnya. Besok ia sudah mulai bekerja dan sekretarisnya –Doni- sudah membawa beberapa file dan laptop kerjanya tadi, saat Morgan menyuruhnya mengambil pakaian ganti.“Lo masih di apartment gue?”Morgan berbicara di telepon, dan pria tinggi bernama Vyan adalah lawan bicaranya.“ ...”“Lo bisa nginep di sana. Gue nggak bisa pulang malam ini.”“ ...”“Hm. Bianca sakit. Gue nggak tega ninggalin dia sendirian. Well, walaupun ada pelayan tapi mereka nggak mungkin jagain Bianca sepanjang malam.”“ ...”“Ya. Gue yang minta tolong Doni buat ngambil pakaian termasuk setelan kantor.”“ ...”“Oke. Gue tutup.”Klik!Morgan meletakkan ponsel ke dalam saku celananya. Kini ia tengah duduk di sofa, menghampiri laptop dan beberapa file yan
“Ayo kita menikah!”Bianca membeku dalam sekejab. Mata rusanya yang masih memerah akibat demam, berpendar lurus di mata tajam Morgan. Mencari celah canda di sana dan -sayangnya- ia tidak menemukannya di paras tampan itu.Apa Morgan sedang dalam mode serius?Atau, Bianca yang salah dengar? Ia sedang sakit dan kemungkinan besar inderanya tidak berfungsi dengan baik untuk mencerna ucapan Morgan. Mungkin Morgan mengajak Bianca untuk 'tidur' bukan 'menikah' seperti yang Bianca dengar. Ya, mungkin seperti itu.“S-sepertinya aku salah dengar.”“Aku serius, Bi. Aku mau menikah denganmu. Dan kamu nggak salah dengar.”Dan di saat Bianca tengah bingung dengan isi pikirannya, maka Morgan seolah menyiram bensin dalam bara api. Pria itu memperjelas lagi, menunjukkan bahwa dirinya tidak salah minum obat ataupun mabuk atau Bianca yang salah dengar.Nyatanya Bianca sama sekali tidak salah deng
Bianca kembali tenang dan tidak menggigil separah tadi, setidaknya dalam waktu dua puluh menit. Tepat ketika Morgan memutuskan untuk kembali terlelap, Bianca kembali bergerak dan menggulung tubuhnya lebih parah. Detik itu juga Morgan tidak merasakan kantuk ataupun keinginan untuk istirahat sama sekali.“Bianca ... katakan padaku mana yang sakit?” tanya Morgan dalam keadaan cemas bukan main. Sungguh, kalau saja Bianca tidak memohon dan memelas dengan wajah sayunya untuk tidak membawanya ke Rumah Sakit, mungkin Morgan akan nekat mengendarai mobil ke Rumah Sakit sendiri dan membiarkan Bianca mendapatkan perawatan intensif di sana.“D-dingin ...”Morgan mendekatkan tubuh Bianca padanya lebih dekat, bahkan nyaris menempel. Mencoba mengalirkan kalor tubuhnya ke tubuh Bianca yang masih mengeluh kedinginan. Tak lama Bianca kembali tenang. Morgan mengelus lembut punggung gadis itu dan memastikan jika Bianca mendapatkan tidur
“Kami hanya makan siang. Astaga! Kau bahkan bisa menghabiskan waktu semalaman dengan adikku. Bertemu dia sepanjang pagi, sedangkan aku hanya bertemu saat makan siang. Come on, gorila,” sahut Gregory mulai ngedumel juga.Jawaban yang diterima Gregory hanya Ethan yang memeletkan lidahnya pada pria itu. Ethan lalu membawa Megan pergi begitu saja dan meninggalkan Gregory bersama para tamu undangan yang tidak menyadari kepergian yang punya acara ulang tahun. Gregory terpaksa menjadi tuan rumah pengganti untuk sementara sampai semua tamu itu pamit undur diri dengan sederet pesan untuk Ethan.“Kenapa aku merasa sedang jadi asisten pribadi gorila itu ya?” keluh Gregory pada Alex, setelah kesekian kalinya dia menerima titipan ucapan selamat ulang tahun dari para tamu yang berpamitan pulang.“Tuan, Yuna mendekat kesini,” bisik Alex cepat saat melihat Yuna berdiri di antara para tamu undangan yang akan berpamitan pada Gregory.“Hmm,” sahut Gregory lalu melanjutkan perannya melepas kepergian para
“Berjanjilah ini terakhir kalinya kalian melibatkan diri dalam situasi yang berbahaya seperti kemarin.”Maudy meremas lembut kedua telapak tangan dalam genggamannya. Sangat bersyukur mengetahui dirinya masih mampu menatap pemilik telapak tangan itu tanpa harus kehilangan salah satunya. “Tante percaya, Morgan ataupun Vyan, mereka pasti bisa memperbaiki kehancuran karena si keparat itu.”Bianca mengangguk. Ia mengusap pipinya yang basah. Di otaknya terlintas sosok Morgan yang tengah tersenyum menenangkan kepadanya. “Aku-pun percaya. Sangat percaya. Kita harus memperbaiki hidup kita setelah ini.”“Ya, itu benar.” Karen menanggapi. “Setelah itu aku akan hidup tanpa bayang-bayang Pak Candra. Bahkan aku nggak sudi panggil dia ayah.”“Ibu juga akan mengurus surat cerai secepatnya.”Bianca dan Karen sontak saling berpandangan dan terkejut. Keterkejutan mereka tentu beralasan kare
“T-tante Maudy ...”Suara itu terdengar, bersamaan dengan pintu yang terbuka dan memperlihatkan tiga orang di sana. Sementara itu, Maudy dan Vyan yang terkejut, lantas terpaku pada seseorang yang duduk di atas kursi roda, mengenakan baju rumah sakit yang sama seperti milik Maudy dan dengan mata berkaca-kaca.“B-Bianca ...”(Flashback)“Bolehkah aku mengunjungi Karen bersama Kak Nesha? Aku harus tau keadaan sepupuku.”Morgan sempat terkejut sebelum mengembalikan ekspresi datarnya. “Tapi.”“Maaf Bi, sepertinya belum bisa sekarang Karen perlu perawatan intensif untuklukanya dan ia belum diperbolehkan untukbanyak berbicara terlebih dahulu. Mungkin kamu bisa menemuinya besok atau lusa,” ujar Reynald menginterupsi.“Reynald benar, Bi.” Nesha menambahkan setelah ia melihat raut kecewa Bianca. Ia sangat paham dengan kekhawatiran Bianca, namun seperti yang Reynald ka
Morgan berjongkok, meraih rahang Candra dengan ujung jarinya. Candra sama sekali tidak melawan karena tengah berperang melawan rasa sakit, namun matanya menyiratkan kebencian yang hanya dibalas Morgan dengan kekehan.“Gimana rasanya disekap dalam ruangan kotor ini? Dengan tangan terikat dan ancaman di depan mata lo, hm?” tanya Morgan, mempertahankan nada rendah dalam suaranya. Terdengar menusuk dan cukup membuat Candra kehilangan sedikit demi sedikit keberaniannya.“C-cukup menyenangkan. A apa kau ingin balas dendam atas istrimu? Cih!” Tapi rupanya Candra tidak ingin terlihat lemah. Ia masih sempat memberikan decihan, sementara Morgan mulai dikuasai emosi.Sial! Kalau saja Morgan tidak ingat jika dirinya tidak boleh menjadi pembunuh mungkin Morgan akan melenyapkan nyawa pria itu dengan tangannya sendiri. Berani beraninya ia membicarakan Bianca di depan Morgan!“Sepuluh kali lipat.” Morgan mencengkeram rahang Candra deng
“Apa yang mereka omongin? Kayaknya super penting,” gumam Nesha yang mampu didengar oleh Bianca. Bedanya, Bianca sama sekali tidak ambil pusing dengan urusan dua pria itu.“Aku juga nggak tau, Kak ...”“Ah ya, Bi, gimana Karen? Aku dengar dia terluka.”Detik berikutnya, Bianca harus kembali murung, mengingat ia belum bertemu Karen kembali setelah insiden penyerangan tadi malam. Dan jujur saja, Bianca ingin menemui Karen, memastikan gadis itu baik-baik saja dan mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikannya.“Aku ... aku belum ketemu sama dia kak Morgan yang ngelarang, katanya aku harus memulihkan kondisiku dulu dan nggak perlu cemas karena Karen sudah berhasil di operasi. Tapi ... tapi tetap saja. Aku merasa bersalah udah bikin dia terluka.”“Aku setuju tentang Morgan yang ngelarang kamu.” Nesha duduk di sisi Bianca, meraih tangan kanan Bianca yang terbebas dari selang infuse dan me
“K-kamu … kamu menyembunyikannya dariku?”Bianca menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Sungguh, ia tidak bermaksud menyembunyikan kehamilannya dari Morgan. Ia ingin memberitahu Morgan, namun waktu masih belum mengizinkannya. Toh Bianca tidak memiliki satu alasanpun mengapa ia harus menyembunyikan calon buah hati mereka.“T-tidak … A-aku nggak m-menyembunyikannya … a-aku … t-tadi malam mau b-bilang-”Semuanya berjalan terlalu cepat. Bianca yang berusaha menjelaskan semuanya, lalu Morgan yang tiba-tiba mendekati Bianca dan membawa gadis itu dalam pelukan eratnya. Bianca kehilangan kemampuan bicara, tubuhnya menegang dan matanya mengerjab bingung. Semakin bingung ketika ia mendengar isakan dari samping telinganya.Apa Morgan menangis?Tangan Bianca mengambang di udara. Ia ingin membalas pelukan Morgan, tapi Morgan tiba-tiba melepas pelukannya. Membuat wajah sembabnya terlih
“A-aku ... -Ugh!” Morgan semakin bingung ketika Bianca tidak berucap dan justru menutup mulutnya dengan telapak tangan. Gadis itu tampak gelisah tanpa bisa Morgan ketahui penyebabnya.“Hey ada apa? Jangan bikin aku takut-”“Toilet!” Bianca kembali menutup mulutnya setelah menyerukan satu kata yang membuat kernyitan muncul di dahi Morgan.“A-apa?” tanya Morgan. Otaknya penuh dengan tanda tanya besar, terlebih melihat Bianca yang tiba-tiba turun dari ranjang dan melangkah menuju kamar mandi sambil membawa stand infuse-nya.Morgan terdiam bengong. Beberapa detik kemudian, ia tersentak saat mendengar suara muntah dari toilet di ujung ruangan. Morgan lantas menghampiri Bianca yang berjongkok di depan closet seraya memuntahkan isi perutnya.“Bianca,” Bianca menoleh mendengar panggilan Morgan. Wajah pucatnya terlihat jelas oleh Morgan yang langsung menghampiri Bianca dan memijat pelan tengk
Sejak awal, Vyan selalu mensugesti dirinya untuk menerima apa pun risiko yang harus ia terima setelah mendapatkan Karenina dalam dekapannya.Ia tahu, dan bahkan hafal di luar kepala, jika Karenina bukanlah sosok perempuan remaja kebanyakan yang menghabiskan waktu untuk bergossip, bersolek, merawat diri di salon, ataupun bersikap manja kepada pasangannya.Tapi, mungkin itu pula yang membuat Vyan bertekuk lutut pada sosok gadis bernama Karen itu. Vyan terlanjur terpesona dengan kepribadian Karen, dan mungkin juga kekurangan gadis itu.Tidak ada satu hal-pun yang tidak membuat Vyan terpesona dari diri Karenina. Hanya saja, Vyan juga tidak menampik jika ia merasa kesal ketika Karen selalu mementingkan orang lain dibandingkan dirinya sendiri.Jujur saja, Vyan merasa marah. Marah untuk siapa? Vyan-pun tidak tahu. Ia hanya tidak suka melihat Karen menderita karena pengorbanannya.“Janji kalo ini terakhir kalinya.” Sisa-sisa amarah
[Still FLASHBACK ...]Karen merintih kesakitan dan Bianca memekik shock. Darah segar mulai mengalir, membasahi bagian depan blouse biru muda yang dikenakan Karen, menimbulkan aroma anyir yang menyengat.“Karen! Sadarlah!”Karen ambruk dan Bianca dengan sigap membawa Wanita itu ke pangkuannya. Tangisan Bianca pecah melihat Karen meringis menahan sakit, bulir-bulir keringat di dahinya dan bibirnya yang mulai memucat. Tangannya gemetar menggenggam tangan Karen yang berlumuran darah, mencoba menguatkan Wanita itu dengan pikiran kacau tak tentu arah.Sementara itu, Eric berdecak sebal. “Lagi-lagi lo ngancurin rencana gue, Karenina!” geramnya yang mampu di dengar Bianca namun Wanita itu sama sekali tak perduli.Dan Eric lalu berlari keluar untuk kabur menyelamatkan diri sebelum seseorang menyadari teriakan Karen.Bianca terisak semakin parah. Ia ingin berteriak meminta tolong, namun suaranya hilang entah kemana. Kepalanya m