Morgan menuruni tangga seraya sibuk dengan ponselnya. Besok ia sudah mulai bekerja dan sekretarisnya –Doni- sudah membawa beberapa file dan laptop kerjanya tadi, saat Morgan menyuruhnya mengambil pakaian ganti.
“Lo masih di apartment gue?”
Morgan berbicara di telepon, dan pria tinggi bernama Vyan adalah lawan bicaranya.
“ ...”
“Lo bisa nginep di sana. Gue nggak bisa pulang malam ini.”
“ ...”
“Hm. Bianca sakit. Gue nggak tega ninggalin dia sendirian. Well, walaupun ada pelayan tapi mereka nggak mungkin jagain Bianca sepanjang malam.”
“ ...”
“Ya. Gue yang minta tolong Doni buat ngambil pakaian termasuk setelan kantor.”
“ ...”
“Oke. Gue tutup.”
Klik!
Morgan meletakkan ponsel ke dalam saku celananya. Kini ia tengah duduk di sofa, menghampiri laptop dan beberapa file yan
“Ayo kita menikah!”Bianca membeku dalam sekejab. Mata rusanya yang masih memerah akibat demam, berpendar lurus di mata tajam Morgan. Mencari celah canda di sana dan -sayangnya- ia tidak menemukannya di paras tampan itu.Apa Morgan sedang dalam mode serius?Atau, Bianca yang salah dengar? Ia sedang sakit dan kemungkinan besar inderanya tidak berfungsi dengan baik untuk mencerna ucapan Morgan. Mungkin Morgan mengajak Bianca untuk 'tidur' bukan 'menikah' seperti yang Bianca dengar. Ya, mungkin seperti itu.“S-sepertinya aku salah dengar.”“Aku serius, Bi. Aku mau menikah denganmu. Dan kamu nggak salah dengar.”Dan di saat Bianca tengah bingung dengan isi pikirannya, maka Morgan seolah menyiram bensin dalam bara api. Pria itu memperjelas lagi, menunjukkan bahwa dirinya tidak salah minum obat ataupun mabuk atau Bianca yang salah dengar.Nyatanya Bianca sama sekali tidak salah deng
Bianca kembali tenang dan tidak menggigil separah tadi, setidaknya dalam waktu dua puluh menit. Tepat ketika Morgan memutuskan untuk kembali terlelap, Bianca kembali bergerak dan menggulung tubuhnya lebih parah. Detik itu juga Morgan tidak merasakan kantuk ataupun keinginan untuk istirahat sama sekali.“Bianca ... katakan padaku mana yang sakit?” tanya Morgan dalam keadaan cemas bukan main. Sungguh, kalau saja Bianca tidak memohon dan memelas dengan wajah sayunya untuk tidak membawanya ke Rumah Sakit, mungkin Morgan akan nekat mengendarai mobil ke Rumah Sakit sendiri dan membiarkan Bianca mendapatkan perawatan intensif di sana.“D-dingin ...”Morgan mendekatkan tubuh Bianca padanya lebih dekat, bahkan nyaris menempel. Mencoba mengalirkan kalor tubuhnya ke tubuh Bianca yang masih mengeluh kedinginan. Tak lama Bianca kembali tenang. Morgan mengelus lembut punggung gadis itu dan memastikan jika Bianca mendapatkan tidur
“Ada apa?” tanya Morgan setelah pintu benar-benar tertutup dan ia menghampiri meja kerjanya. Muncul rasa penasaran pada Morgan saat melihat raut berbeda Doni.“Saya mendapat informasi mengenai Prima Growth Company.” Raut Morgan menegang saat nama itu disebut.“Pengalihan jabatan Presiden Direktur akan dilakukan dalam waktu dekat mengingat jabatan tertinggi itu kosong hampir satu bulan lamanya. Kandidat Presiden Direktur yang terkuat sejauh ini adalah Pak Candra yang merupakan Wakil Presiden Direktur, akan tetapi pengangkatan beliau masih menjadi perdebatan dewan direksi.”“Kenapa?” tanya Morgan.Otomatis di otak Morgan tersirat bayangan ekspresi sedih Bianca mengingat gadis itu sangat menentang nama Pak Candra menjadi pengganti ayahnya. Meski Morgan belum berhasil menebak kenapa gadisnya sangat membenci pria yang menjadi pamannya itu.“Alasan pertama karena beliau tidak me
“Mereka kangen kamu, kak. Tiap Mama datang ke rumah, beliau selalu nanyain kamu. Nanya kabar kamu ke aku, apa kamu makan teratur, apa pekerjaan kamu lancar, dan apa kamu sangat sibuk sampai nggak pernah hubungin mereka? Mama juga bilang kalau Papa selalu nungguin kedatangan kakak di rumah.”Satu tetes air mata sukses meluncur membasahi pipi kiri Bianca yang tersapu oleh bedak tipis. Namun Bianca tidak menyisakan tempat di pikirannya untuk memikirkan hal itu.“Bagaimana bisa … bagaimana bisa kamu anggep mereka nggak ada sementara aku sangat ingin kayak kamu? Hidup sama orangtua yang masih bisa kulihat setiap hari tanpa harus ngerasain kangen.”Morgan membeku begitupun otaknya. Ia tidak tahu harus bagaimana sementara hatinya seperti ditikam dengan pisau tajam.Rasa bersalah menggerogoti hati Morgan tanpa ampun. Rasa bersalah kepada Papa dan Mamanya, dan rasa bersalah pada sosok gadis tegar yang lagi-lagi
Tiba-tiba Bianca merasa sentimental. Entahlah, semula ia sangat bahagia melihat kebahagiaan terpancar di sekitarnya. Namun tanpa bisa dicegah, kerinduan itu muncul ke permukaan hatinya, hingga tanpa sadar menggigit bibirnya untuk meredam tangis yang bisa menghancurkan suasana hangat itu. Bianca merindukan Papa dan Mama. Duduk di kursi makan bersama Adian, berdoa, dan menikmati makan malam dengan penuh canda dan keceriaan. Suatu ketika sang Mama memarahi Adian karena nilainya yang menurun, ketika sang Papa akan membela Adian setelahnya, dan ketika Bianca hanya mengejek adik lelakinya dengan leletan lidah. Hal sederhana itulah yang membuat Bianca lagi-lagi teringat keluarga utuhnya dulu. Meskipun ia telah dianggap sebagai anggota keluarga Morgan, tapi tetap saja, tidak ada yang mampu menggantikan kehangatan keluarganya sendiri, di mana Bianca dilahirkan dan dibesarkan dalam waktu dua puluh tahun ini. “Sudah! Sudah! Jangan bahas itu lagi!
Morgan keluar dari ruang kerja Ayahnya dan langsung menuju ruang tengah. Tetapi Bianca tidak ada disana dan Mamanya-pun entah kemana. Sepi, Morgan mencari ke ruang utama juga nihil. Tidak ada tanda-tanda Bianca berada di sana.“Bianca!” panggilnya mengitari lantai dasar rumahnya yang cukup luas. Kesunyian membuat suaranya memantul dan tidak ada sahutan dari Bianca.“Mas Morgan,” Seorang pelayan memanggil Morgan, dan Morgan langsung menanyakan keberadaan kekasihnya.“Di mana Bianca?”“Ada di kamarnya Mas. Nyonya juga berada di sana. Beliau minta saya untuk memberitahu Mas Morgan.”“Oke.”Pelayan itu berlalu pergi dan Morgan juga melangkah cepat menuju kamarnya di lantai dua. Ia tidak sabar untuk melihat kondisi Bianca lebih jelas. Apakah tadi Bianca benar-benar habis menangis? Lantas apa alasannya? Morgan mempercepat langkahnya dan akhirnya tiba di depan pintu
“Menikah denganku?”Deja vu. Bianca merasa pernah mengalami situasi ini beberapa waktu lalu setelah Morgan mengucapkan kata terakhirnya. Sudah dua kali Morgan menyatakan hal serupa, dan dua kali pula Bianca menganggap ini adalah mimpi. Mimpi tentang dirinya yang akan menikah dengan seseorang yang Bianca idamkan dan cintai.Tidak ada kata yang terucap dari bibir berlekuk itu. Semula Bianca kehilangan seluruh oksigennya dan kini pita suaranya yang lenyap entah kemana. Sementara mata rusa bening miliknya tidak berkedip, tetap menjurus pada bola mata pemuda yang baru saja melamarnya.Sekali lagi, melamar Bianca di pagi yang cerah dan detakan jarum jam mendekati angka delapan. Dengan lamaran yang tak pernah direncanakan sebelumnya.“Aku belum siapin cincin sebelumnya. Maaf.” Tidak ada senyum untuk membalas senyuman tipis Morgan. “Aku hanya nggak bisa nunggu lebih kama lagi buat milikin kamu. Milikin kamu seb
Tepat pukul empat sore, jam kuliah Bianca berakhir. Gadis bermata rusa nan jernih itupun memperbaiki rambutnya yang tertiup angin. Bianca berharap hujan tidak turun terlalu cepat sebab ia harus berdiri sendirian di depan gerbang demi menunggu sopirnya datang menjemput.Sebuah mobil berhenti tepat di depan Bianca. Bianca hafal dengan mobil itu namun ia tidak menyangka Morgan-lah yang menjemputnya, bukan Pak Yusuf.“Ayo masuk!”Morgan menurunkan kaca mobilnya seraya tersenyum tampan.Bianca membalas senyum itu dan memasuki mobil Morgan yang sejak awal sudah dihafalnya.“Aku kira kerjaanmu belum selesai,” ucap Bianca setelah menutup pintu mobil.“Kerjaanku udah selesai sejak jam tiga tadi.”“Ohya? Tumben.”Morgan mengelus puncak kepala Bianca gemas. Bianca benar, Morgan sangat jarang pulang lebih awal. Biasanya jam pulang Morgan adalah jam lima sore, itupun jika tidak
“Kami hanya makan siang. Astaga! Kau bahkan bisa menghabiskan waktu semalaman dengan adikku. Bertemu dia sepanjang pagi, sedangkan aku hanya bertemu saat makan siang. Come on, gorila,” sahut Gregory mulai ngedumel juga.Jawaban yang diterima Gregory hanya Ethan yang memeletkan lidahnya pada pria itu. Ethan lalu membawa Megan pergi begitu saja dan meninggalkan Gregory bersama para tamu undangan yang tidak menyadari kepergian yang punya acara ulang tahun. Gregory terpaksa menjadi tuan rumah pengganti untuk sementara sampai semua tamu itu pamit undur diri dengan sederet pesan untuk Ethan.“Kenapa aku merasa sedang jadi asisten pribadi gorila itu ya?” keluh Gregory pada Alex, setelah kesekian kalinya dia menerima titipan ucapan selamat ulang tahun dari para tamu yang berpamitan pulang.“Tuan, Yuna mendekat kesini,” bisik Alex cepat saat melihat Yuna berdiri di antara para tamu undangan yang akan berpamitan pada Gregory.“Hmm,” sahut Gregory lalu melanjutkan perannya melepas kepergian para
“Berjanjilah ini terakhir kalinya kalian melibatkan diri dalam situasi yang berbahaya seperti kemarin.”Maudy meremas lembut kedua telapak tangan dalam genggamannya. Sangat bersyukur mengetahui dirinya masih mampu menatap pemilik telapak tangan itu tanpa harus kehilangan salah satunya. “Tante percaya, Morgan ataupun Vyan, mereka pasti bisa memperbaiki kehancuran karena si keparat itu.”Bianca mengangguk. Ia mengusap pipinya yang basah. Di otaknya terlintas sosok Morgan yang tengah tersenyum menenangkan kepadanya. “Aku-pun percaya. Sangat percaya. Kita harus memperbaiki hidup kita setelah ini.”“Ya, itu benar.” Karen menanggapi. “Setelah itu aku akan hidup tanpa bayang-bayang Pak Candra. Bahkan aku nggak sudi panggil dia ayah.”“Ibu juga akan mengurus surat cerai secepatnya.”Bianca dan Karen sontak saling berpandangan dan terkejut. Keterkejutan mereka tentu beralasan kare
“T-tante Maudy ...”Suara itu terdengar, bersamaan dengan pintu yang terbuka dan memperlihatkan tiga orang di sana. Sementara itu, Maudy dan Vyan yang terkejut, lantas terpaku pada seseorang yang duduk di atas kursi roda, mengenakan baju rumah sakit yang sama seperti milik Maudy dan dengan mata berkaca-kaca.“B-Bianca ...”(Flashback)“Bolehkah aku mengunjungi Karen bersama Kak Nesha? Aku harus tau keadaan sepupuku.”Morgan sempat terkejut sebelum mengembalikan ekspresi datarnya. “Tapi.”“Maaf Bi, sepertinya belum bisa sekarang Karen perlu perawatan intensif untuklukanya dan ia belum diperbolehkan untukbanyak berbicara terlebih dahulu. Mungkin kamu bisa menemuinya besok atau lusa,” ujar Reynald menginterupsi.“Reynald benar, Bi.” Nesha menambahkan setelah ia melihat raut kecewa Bianca. Ia sangat paham dengan kekhawatiran Bianca, namun seperti yang Reynald ka
Morgan berjongkok, meraih rahang Candra dengan ujung jarinya. Candra sama sekali tidak melawan karena tengah berperang melawan rasa sakit, namun matanya menyiratkan kebencian yang hanya dibalas Morgan dengan kekehan.“Gimana rasanya disekap dalam ruangan kotor ini? Dengan tangan terikat dan ancaman di depan mata lo, hm?” tanya Morgan, mempertahankan nada rendah dalam suaranya. Terdengar menusuk dan cukup membuat Candra kehilangan sedikit demi sedikit keberaniannya.“C-cukup menyenangkan. A apa kau ingin balas dendam atas istrimu? Cih!” Tapi rupanya Candra tidak ingin terlihat lemah. Ia masih sempat memberikan decihan, sementara Morgan mulai dikuasai emosi.Sial! Kalau saja Morgan tidak ingat jika dirinya tidak boleh menjadi pembunuh mungkin Morgan akan melenyapkan nyawa pria itu dengan tangannya sendiri. Berani beraninya ia membicarakan Bianca di depan Morgan!“Sepuluh kali lipat.” Morgan mencengkeram rahang Candra deng
“Apa yang mereka omongin? Kayaknya super penting,” gumam Nesha yang mampu didengar oleh Bianca. Bedanya, Bianca sama sekali tidak ambil pusing dengan urusan dua pria itu.“Aku juga nggak tau, Kak ...”“Ah ya, Bi, gimana Karen? Aku dengar dia terluka.”Detik berikutnya, Bianca harus kembali murung, mengingat ia belum bertemu Karen kembali setelah insiden penyerangan tadi malam. Dan jujur saja, Bianca ingin menemui Karen, memastikan gadis itu baik-baik saja dan mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikannya.“Aku ... aku belum ketemu sama dia kak Morgan yang ngelarang, katanya aku harus memulihkan kondisiku dulu dan nggak perlu cemas karena Karen sudah berhasil di operasi. Tapi ... tapi tetap saja. Aku merasa bersalah udah bikin dia terluka.”“Aku setuju tentang Morgan yang ngelarang kamu.” Nesha duduk di sisi Bianca, meraih tangan kanan Bianca yang terbebas dari selang infuse dan me
“K-kamu … kamu menyembunyikannya dariku?”Bianca menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Sungguh, ia tidak bermaksud menyembunyikan kehamilannya dari Morgan. Ia ingin memberitahu Morgan, namun waktu masih belum mengizinkannya. Toh Bianca tidak memiliki satu alasanpun mengapa ia harus menyembunyikan calon buah hati mereka.“T-tidak … A-aku nggak m-menyembunyikannya … a-aku … t-tadi malam mau b-bilang-”Semuanya berjalan terlalu cepat. Bianca yang berusaha menjelaskan semuanya, lalu Morgan yang tiba-tiba mendekati Bianca dan membawa gadis itu dalam pelukan eratnya. Bianca kehilangan kemampuan bicara, tubuhnya menegang dan matanya mengerjab bingung. Semakin bingung ketika ia mendengar isakan dari samping telinganya.Apa Morgan menangis?Tangan Bianca mengambang di udara. Ia ingin membalas pelukan Morgan, tapi Morgan tiba-tiba melepas pelukannya. Membuat wajah sembabnya terlih
“A-aku ... -Ugh!” Morgan semakin bingung ketika Bianca tidak berucap dan justru menutup mulutnya dengan telapak tangan. Gadis itu tampak gelisah tanpa bisa Morgan ketahui penyebabnya.“Hey ada apa? Jangan bikin aku takut-”“Toilet!” Bianca kembali menutup mulutnya setelah menyerukan satu kata yang membuat kernyitan muncul di dahi Morgan.“A-apa?” tanya Morgan. Otaknya penuh dengan tanda tanya besar, terlebih melihat Bianca yang tiba-tiba turun dari ranjang dan melangkah menuju kamar mandi sambil membawa stand infuse-nya.Morgan terdiam bengong. Beberapa detik kemudian, ia tersentak saat mendengar suara muntah dari toilet di ujung ruangan. Morgan lantas menghampiri Bianca yang berjongkok di depan closet seraya memuntahkan isi perutnya.“Bianca,” Bianca menoleh mendengar panggilan Morgan. Wajah pucatnya terlihat jelas oleh Morgan yang langsung menghampiri Bianca dan memijat pelan tengk
Sejak awal, Vyan selalu mensugesti dirinya untuk menerima apa pun risiko yang harus ia terima setelah mendapatkan Karenina dalam dekapannya.Ia tahu, dan bahkan hafal di luar kepala, jika Karenina bukanlah sosok perempuan remaja kebanyakan yang menghabiskan waktu untuk bergossip, bersolek, merawat diri di salon, ataupun bersikap manja kepada pasangannya.Tapi, mungkin itu pula yang membuat Vyan bertekuk lutut pada sosok gadis bernama Karen itu. Vyan terlanjur terpesona dengan kepribadian Karen, dan mungkin juga kekurangan gadis itu.Tidak ada satu hal-pun yang tidak membuat Vyan terpesona dari diri Karenina. Hanya saja, Vyan juga tidak menampik jika ia merasa kesal ketika Karen selalu mementingkan orang lain dibandingkan dirinya sendiri.Jujur saja, Vyan merasa marah. Marah untuk siapa? Vyan-pun tidak tahu. Ia hanya tidak suka melihat Karen menderita karena pengorbanannya.“Janji kalo ini terakhir kalinya.” Sisa-sisa amarah
[Still FLASHBACK ...]Karen merintih kesakitan dan Bianca memekik shock. Darah segar mulai mengalir, membasahi bagian depan blouse biru muda yang dikenakan Karen, menimbulkan aroma anyir yang menyengat.“Karen! Sadarlah!”Karen ambruk dan Bianca dengan sigap membawa Wanita itu ke pangkuannya. Tangisan Bianca pecah melihat Karen meringis menahan sakit, bulir-bulir keringat di dahinya dan bibirnya yang mulai memucat. Tangannya gemetar menggenggam tangan Karen yang berlumuran darah, mencoba menguatkan Wanita itu dengan pikiran kacau tak tentu arah.Sementara itu, Eric berdecak sebal. “Lagi-lagi lo ngancurin rencana gue, Karenina!” geramnya yang mampu di dengar Bianca namun Wanita itu sama sekali tak perduli.Dan Eric lalu berlari keluar untuk kabur menyelamatkan diri sebelum seseorang menyadari teriakan Karen.Bianca terisak semakin parah. Ia ingin berteriak meminta tolong, namun suaranya hilang entah kemana. Kepalanya m