“Menikah denganku?”
Deja vu. Bianca merasa pernah mengalami situasi ini beberapa waktu lalu setelah Morgan mengucapkan kata terakhirnya. Sudah dua kali Morgan menyatakan hal serupa, dan dua kali pula Bianca menganggap ini adalah mimpi. Mimpi tentang dirinya yang akan menikah dengan seseorang yang Bianca idamkan dan cintai.
Tidak ada kata yang terucap dari bibir berlekuk itu. Semula Bianca kehilangan seluruh oksigennya dan kini pita suaranya yang lenyap entah kemana. Sementara mata rusa bening miliknya tidak berkedip, tetap menjurus pada bola mata pemuda yang baru saja melamarnya.
Sekali lagi, melamar Bianca di pagi yang cerah dan detakan jarum jam mendekati angka delapan. Dengan lamaran yang tak pernah direncanakan sebelumnya.
“Aku belum siapin cincin sebelumnya. Maaf.” Tidak ada senyum untuk membalas senyuman tipis Morgan. “Aku hanya nggak bisa nunggu lebih kama lagi buat milikin kamu. Milikin kamu seb
Tepat pukul empat sore, jam kuliah Bianca berakhir. Gadis bermata rusa nan jernih itupun memperbaiki rambutnya yang tertiup angin. Bianca berharap hujan tidak turun terlalu cepat sebab ia harus berdiri sendirian di depan gerbang demi menunggu sopirnya datang menjemput.Sebuah mobil berhenti tepat di depan Bianca. Bianca hafal dengan mobil itu namun ia tidak menyangka Morgan-lah yang menjemputnya, bukan Pak Yusuf.“Ayo masuk!”Morgan menurunkan kaca mobilnya seraya tersenyum tampan.Bianca membalas senyum itu dan memasuki mobil Morgan yang sejak awal sudah dihafalnya.“Aku kira kerjaanmu belum selesai,” ucap Bianca setelah menutup pintu mobil.“Kerjaanku udah selesai sejak jam tiga tadi.”“Ohya? Tumben.”Morgan mengelus puncak kepala Bianca gemas. Bianca benar, Morgan sangat jarang pulang lebih awal. Biasanya jam pulang Morgan adalah jam lima sore, itupun jika tidak
Morgan datang lebih lambat dari waktu yang telah ia janjikan untuk menjemput Bianca. Meskipun hanya lima belas menit dan Bianca tidak mempermasalahkan hal itu, tetap saja ia merasa bersalah karena harus membuat Bianca menunggunya.Hal itu membuatnya tidak banyak bicara selama perjalanan dan Bianca hanya membiarkan Morgan fokus pada laju mobilnya hingga tak terasa mobil hitam mewah itu telah sampai di depan rumah minimalis berwarna putih salju milik keluarga Reynald.“Kita sampai.” Morgan mematikan mesin mobilnya dan keluar, sementara Bianca ikut keluar dan berdiri di samping lelaki itu.“Kak,” sela Bianca membuat langkah Morgan terhenti. Lelaki itu diam saja saat Bianca membebaskan jemarinya, mengangkat dua jari telunjuk untuk dibawa ke setiap sudut bibirnya dan menariknya saling menjauh. Membentuk sebuah senyuman yang dipaksakan.“Kamu nakutin kalau diem dan cemberut,” ujar Bianca tersenyum membu
Suasana kantor masih terlalu sepi di pukul enam pagi seperti ini. Embun masih menggantung di jendela kaca besar yang menghadap hiruk pikuk kota Jakarta yang tidak pernah sepi. Belum ada suara kehidupan selain suara Cleaning Service yang membersihkan setiap sudut ruangan sebelum karyawan kantor mulai berdatangan untuk aktivitas hari ini.Tap ... tap ... tap ...Langkah seorang pria menggema di sebuah gedung berlantai tiga itu. Ia berjalan ke arah suara Cleaning Service itu, dan menemukan seorang pria seumuran dengannya baru mengunci pintu Ruang Divisi Pemasaran. Pria itu tersentak kaget akan kedatangannya.“Oh, s-selamat pagi Pak Candra.”Petugas CS itupun membungkuk hormat kepada salah satu petinggi perusahaan itu. Di hatinya tersimpan pertanyaan mengapa pria itu datang sepagi ini di kantor. Tidak biasanya.“Beri aku kunci ruangan Presdir!” perintah Pak Candra dengan nada angkuhnya.“M-maa
“K–Kak ...”“Aku dapet paket itu kemarin. Jessica merancang khusus gaun itu buat kamu.”“Jessica?”Percayalah, Bianca tidak asing dengan nama itu. Dulu Mama memang sering membicarakan nama itu, meskipun Bianca tidak yakin ia adalah orang yang sama.“Ya. Wanita yang merancang gaun saat pertunangan kita dulu.” Mata rusanya kembali terpaku pada gaun itu dan ia tergoda untuk melihat gaun itu lebih detail dengan mengangkatnya tinggi-tinggi.“Cantik sekali.” Bianca berpaling pada Morgan dan Morgan membalasnya dengan senyuman bangga. Bangga telah berhasil menerbitkan senyum bahagia Bianca dengan begitu indahnya.“Benar. Jessica sangat pandai merancang baju yang cocok buat kamu.”Itu adalah kalimat pujian untuk gadis lain tetapi Bianca tidak sedikitpun cemburu, ia justru membenarkannya. “Aku tidak sabar ngeliat kamu pake gaun itu enam ha
Morgan kembali duduk di sofanya setelah mempersilakan Maudy duduk juga, dan ia melirik singkat ke arah Pak Anwar. Pria paruh baya itu tidak mengucapkan sepatah kata-pun. Ia sendiri juga tidak tahu tentang apa yang terjadi dengan adik mendiang Presdir-nya dan ia tidak ingin berkomentar karena itu bukanlah urusannya.“Baiklah, saya akan membacanya.” Ketiga orang lainnya terdiam, mempersiapkan diri untuk mengetahui keputusan Pak Adnan. “Aku, Adnan Hardianto , menulis surat wasiat ini tanpa paksaan dan ancaman dari pihak manapun. Menyatakan bahwa aku akan memberikan seluruh saham perusahaan atas namaku kepada putriku, Bianca Putri Hardianto. Dengan kata lain, aku mempercayakan putriku yang memimpin perusahaan Prima Growth Company dan tidak menginginkan siapa pun menggantikannya dengan alasan apa pun. Sementara Adian Putra Hardianto, putraku akan meneruskan kepemimpinan Prima Growth Company di masa depan.”“Dan untuk adik
Hari masih terbilang pagi saat sebuah tempat sudah ramai dengan berbagai kesibukan yang berbeda. Puluhan orang di sana sudah stand by untuk mengerjakan apa yang sudah menjadi tugasnya, menyiapkan satu per satu hal yang diperlukan dengan rinci dan berharap tidak ada yang cacat sedikitpun. Ada cacat sedikit saja, maka bisa dipastikan mereka akan menerima konsekuensi pemotongan gaji atau bahkan lebih parahnya kehilangan pekerjaan. Dan tidak ada satupun yang mengharapkan hal itu terjadi.Jika diluar dipenuhi kesibukan, maka ada satu ruangan yang terbilang sunyi. Hanya ada satu sosok yang kini tengah berdiri di hadapan sebuah cermin besar, memperlihatkan tubuh mungilnya yang dibalut dengan gaun pernikahan yang anggun dan sangat mewah.Bianca, adalah gadis itu. Gadis yang tak lama lagi melepas masa lajangnya demi menjadi pendamping hidup lelaki yang dicintainya, Morgan.Berdiri merasakan kegugupan dan kebahagiaan di detik ini sama sekali tidak d
Sekali lagi, Morgan mengusap bulir-bulir keringat di pelipisnya. Kegugupan membuat keringat dingin berlomba-lomba keluar dari lapisan kulitnya. Wajah boleh saja datar, tetapi tidak ada yang tahu bagaimana gugupnya Morgan menjelang moment paling bersejarah dihidupnya kecuali sang sahabat karib. Hal itu yang membuat Reynald dan Vyan terkikik geli di sebuah bangku panjang yang mereka bagi bersama pasangan masing-masing. Bangku yang terletak di barisan nomor dua dari depan.“Lihat Morgan. Kayaknya dia bakal mati gugup kalau harus nunggu lebih lama lagi.”Ucapan Reynald membuat Vyan terkikik geli. “Lo bahkan dulu lebih gugup dari itu.” ejeknya.“Eyy enak aja! Wajar bukan kalau pengantin pria gugup setengah mati? Ck, itu karena lo belum pernah ngerasain.”“Memang gimana rasanya nunggu di sana?”“Lebih ngeri daripada nunggu pasien nenek-nenek sadar habis operasi.”Se
Vyan menggenggam erat tangan mungil Karen yang dingin. Keduanya tengah berjalan santai, menikmati kerlipan lampu dari kejauhan dan suasana tenang sekitar taman.Ya, setelah menghadiri pernikahan Morgan dan Bianca di gereja, Karen meminta mampir ke taman kota lebih dulu. Awalnya Vyan tidak setuju, karena ia tahu Karen kelelahan setelah ia bekerja dan izin pulang ketika akan berangkat. Awalnya Vyan menolak karena tahu kekasihnya perlu istirahat, tapi Karen selalu memiliki cara untuk memaksa Vyan memenuhi keinginannya. Dengan sebuah perjanjian kalau hanya jalan-jalan sebentar, jadilah mereka di sini sekarang.“Bee,”“Hm?”“Kapan terakhir kali kita kencan?” tanya Vyan membuat Karen menatap langit untuk berpikir.“Nggak tahu. Kita terlalu sibuk kerja sampai nggak kepikiran buat kencan.”Vyan mengangguk. Walaupun sebenarnya ia sedikit tidak menyetujui bahwa mereka berdua terlal
“Kami hanya makan siang. Astaga! Kau bahkan bisa menghabiskan waktu semalaman dengan adikku. Bertemu dia sepanjang pagi, sedangkan aku hanya bertemu saat makan siang. Come on, gorila,” sahut Gregory mulai ngedumel juga.Jawaban yang diterima Gregory hanya Ethan yang memeletkan lidahnya pada pria itu. Ethan lalu membawa Megan pergi begitu saja dan meninggalkan Gregory bersama para tamu undangan yang tidak menyadari kepergian yang punya acara ulang tahun. Gregory terpaksa menjadi tuan rumah pengganti untuk sementara sampai semua tamu itu pamit undur diri dengan sederet pesan untuk Ethan.“Kenapa aku merasa sedang jadi asisten pribadi gorila itu ya?” keluh Gregory pada Alex, setelah kesekian kalinya dia menerima titipan ucapan selamat ulang tahun dari para tamu yang berpamitan pulang.“Tuan, Yuna mendekat kesini,” bisik Alex cepat saat melihat Yuna berdiri di antara para tamu undangan yang akan berpamitan pada Gregory.“Hmm,” sahut Gregory lalu melanjutkan perannya melepas kepergian para
“Berjanjilah ini terakhir kalinya kalian melibatkan diri dalam situasi yang berbahaya seperti kemarin.”Maudy meremas lembut kedua telapak tangan dalam genggamannya. Sangat bersyukur mengetahui dirinya masih mampu menatap pemilik telapak tangan itu tanpa harus kehilangan salah satunya. “Tante percaya, Morgan ataupun Vyan, mereka pasti bisa memperbaiki kehancuran karena si keparat itu.”Bianca mengangguk. Ia mengusap pipinya yang basah. Di otaknya terlintas sosok Morgan yang tengah tersenyum menenangkan kepadanya. “Aku-pun percaya. Sangat percaya. Kita harus memperbaiki hidup kita setelah ini.”“Ya, itu benar.” Karen menanggapi. “Setelah itu aku akan hidup tanpa bayang-bayang Pak Candra. Bahkan aku nggak sudi panggil dia ayah.”“Ibu juga akan mengurus surat cerai secepatnya.”Bianca dan Karen sontak saling berpandangan dan terkejut. Keterkejutan mereka tentu beralasan kare
“T-tante Maudy ...”Suara itu terdengar, bersamaan dengan pintu yang terbuka dan memperlihatkan tiga orang di sana. Sementara itu, Maudy dan Vyan yang terkejut, lantas terpaku pada seseorang yang duduk di atas kursi roda, mengenakan baju rumah sakit yang sama seperti milik Maudy dan dengan mata berkaca-kaca.“B-Bianca ...”(Flashback)“Bolehkah aku mengunjungi Karen bersama Kak Nesha? Aku harus tau keadaan sepupuku.”Morgan sempat terkejut sebelum mengembalikan ekspresi datarnya. “Tapi.”“Maaf Bi, sepertinya belum bisa sekarang Karen perlu perawatan intensif untuklukanya dan ia belum diperbolehkan untukbanyak berbicara terlebih dahulu. Mungkin kamu bisa menemuinya besok atau lusa,” ujar Reynald menginterupsi.“Reynald benar, Bi.” Nesha menambahkan setelah ia melihat raut kecewa Bianca. Ia sangat paham dengan kekhawatiran Bianca, namun seperti yang Reynald ka
Morgan berjongkok, meraih rahang Candra dengan ujung jarinya. Candra sama sekali tidak melawan karena tengah berperang melawan rasa sakit, namun matanya menyiratkan kebencian yang hanya dibalas Morgan dengan kekehan.“Gimana rasanya disekap dalam ruangan kotor ini? Dengan tangan terikat dan ancaman di depan mata lo, hm?” tanya Morgan, mempertahankan nada rendah dalam suaranya. Terdengar menusuk dan cukup membuat Candra kehilangan sedikit demi sedikit keberaniannya.“C-cukup menyenangkan. A apa kau ingin balas dendam atas istrimu? Cih!” Tapi rupanya Candra tidak ingin terlihat lemah. Ia masih sempat memberikan decihan, sementara Morgan mulai dikuasai emosi.Sial! Kalau saja Morgan tidak ingat jika dirinya tidak boleh menjadi pembunuh mungkin Morgan akan melenyapkan nyawa pria itu dengan tangannya sendiri. Berani beraninya ia membicarakan Bianca di depan Morgan!“Sepuluh kali lipat.” Morgan mencengkeram rahang Candra deng
“Apa yang mereka omongin? Kayaknya super penting,” gumam Nesha yang mampu didengar oleh Bianca. Bedanya, Bianca sama sekali tidak ambil pusing dengan urusan dua pria itu.“Aku juga nggak tau, Kak ...”“Ah ya, Bi, gimana Karen? Aku dengar dia terluka.”Detik berikutnya, Bianca harus kembali murung, mengingat ia belum bertemu Karen kembali setelah insiden penyerangan tadi malam. Dan jujur saja, Bianca ingin menemui Karen, memastikan gadis itu baik-baik saja dan mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikannya.“Aku ... aku belum ketemu sama dia kak Morgan yang ngelarang, katanya aku harus memulihkan kondisiku dulu dan nggak perlu cemas karena Karen sudah berhasil di operasi. Tapi ... tapi tetap saja. Aku merasa bersalah udah bikin dia terluka.”“Aku setuju tentang Morgan yang ngelarang kamu.” Nesha duduk di sisi Bianca, meraih tangan kanan Bianca yang terbebas dari selang infuse dan me
“K-kamu … kamu menyembunyikannya dariku?”Bianca menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Sungguh, ia tidak bermaksud menyembunyikan kehamilannya dari Morgan. Ia ingin memberitahu Morgan, namun waktu masih belum mengizinkannya. Toh Bianca tidak memiliki satu alasanpun mengapa ia harus menyembunyikan calon buah hati mereka.“T-tidak … A-aku nggak m-menyembunyikannya … a-aku … t-tadi malam mau b-bilang-”Semuanya berjalan terlalu cepat. Bianca yang berusaha menjelaskan semuanya, lalu Morgan yang tiba-tiba mendekati Bianca dan membawa gadis itu dalam pelukan eratnya. Bianca kehilangan kemampuan bicara, tubuhnya menegang dan matanya mengerjab bingung. Semakin bingung ketika ia mendengar isakan dari samping telinganya.Apa Morgan menangis?Tangan Bianca mengambang di udara. Ia ingin membalas pelukan Morgan, tapi Morgan tiba-tiba melepas pelukannya. Membuat wajah sembabnya terlih
“A-aku ... -Ugh!” Morgan semakin bingung ketika Bianca tidak berucap dan justru menutup mulutnya dengan telapak tangan. Gadis itu tampak gelisah tanpa bisa Morgan ketahui penyebabnya.“Hey ada apa? Jangan bikin aku takut-”“Toilet!” Bianca kembali menutup mulutnya setelah menyerukan satu kata yang membuat kernyitan muncul di dahi Morgan.“A-apa?” tanya Morgan. Otaknya penuh dengan tanda tanya besar, terlebih melihat Bianca yang tiba-tiba turun dari ranjang dan melangkah menuju kamar mandi sambil membawa stand infuse-nya.Morgan terdiam bengong. Beberapa detik kemudian, ia tersentak saat mendengar suara muntah dari toilet di ujung ruangan. Morgan lantas menghampiri Bianca yang berjongkok di depan closet seraya memuntahkan isi perutnya.“Bianca,” Bianca menoleh mendengar panggilan Morgan. Wajah pucatnya terlihat jelas oleh Morgan yang langsung menghampiri Bianca dan memijat pelan tengk
Sejak awal, Vyan selalu mensugesti dirinya untuk menerima apa pun risiko yang harus ia terima setelah mendapatkan Karenina dalam dekapannya.Ia tahu, dan bahkan hafal di luar kepala, jika Karenina bukanlah sosok perempuan remaja kebanyakan yang menghabiskan waktu untuk bergossip, bersolek, merawat diri di salon, ataupun bersikap manja kepada pasangannya.Tapi, mungkin itu pula yang membuat Vyan bertekuk lutut pada sosok gadis bernama Karen itu. Vyan terlanjur terpesona dengan kepribadian Karen, dan mungkin juga kekurangan gadis itu.Tidak ada satu hal-pun yang tidak membuat Vyan terpesona dari diri Karenina. Hanya saja, Vyan juga tidak menampik jika ia merasa kesal ketika Karen selalu mementingkan orang lain dibandingkan dirinya sendiri.Jujur saja, Vyan merasa marah. Marah untuk siapa? Vyan-pun tidak tahu. Ia hanya tidak suka melihat Karen menderita karena pengorbanannya.“Janji kalo ini terakhir kalinya.” Sisa-sisa amarah
[Still FLASHBACK ...]Karen merintih kesakitan dan Bianca memekik shock. Darah segar mulai mengalir, membasahi bagian depan blouse biru muda yang dikenakan Karen, menimbulkan aroma anyir yang menyengat.“Karen! Sadarlah!”Karen ambruk dan Bianca dengan sigap membawa Wanita itu ke pangkuannya. Tangisan Bianca pecah melihat Karen meringis menahan sakit, bulir-bulir keringat di dahinya dan bibirnya yang mulai memucat. Tangannya gemetar menggenggam tangan Karen yang berlumuran darah, mencoba menguatkan Wanita itu dengan pikiran kacau tak tentu arah.Sementara itu, Eric berdecak sebal. “Lagi-lagi lo ngancurin rencana gue, Karenina!” geramnya yang mampu di dengar Bianca namun Wanita itu sama sekali tak perduli.Dan Eric lalu berlari keluar untuk kabur menyelamatkan diri sebelum seseorang menyadari teriakan Karen.Bianca terisak semakin parah. Ia ingin berteriak meminta tolong, namun suaranya hilang entah kemana. Kepalanya m