“Bantu apa?” tanya Alyssa bingung. “Bantu membuatmu melupakan masa lalumu yang menyakitkan itu,” jawab Roy sungguh-sungguh. Alyssa tak menjawab. Wanita itu kembali memalingkan wajahnya menatap hamparan luas pemandangan di luar restoran. Kembali terjadi keheningan di antara mereka. Keduanya sama-sama menatap pemandangan dengan pikiran mereka masing-masing. “Alyssa,” panggil Roy dengan tenang. Alyssa menoleh, menatap wajah yang tampak tak sedatar biasanya. “Apa selama kau bersamaku, aku belum bisa membuatmu nyaman sedikit pun?” tanya Roy sembari menatap dalam mata Alyssa. Alyssa tersenyum kecut. “Aku tidak bisa menjawabnya,” ujar Alyssa memalingkan wajahnya. “Kenapa?” sahut Roy dengan dahi berkerut. “Jawabannya ada di dirimu sendiri.” “Maksudmu?” tanya Roy tak mengerti. Bukannya menjawab, Alyssa malah bangkit dari tempat duduknya dan bersiap pergi. Roy yang melihat Alyssa akan pergi lantas ikut berdiri, lalu memegang pergelangan tangan Alyssa. “Mau ke mana?” tanya R
Alyssa yang takut, lantas membuka kedua matanya dengan cepat, menatap mata Roy dengan takut-takut. Air matanya hampir tumpah, namun sebisa mungkin Alyssa tetap menahan dirinya agar tidak menangis di depan Roy. “Kenapa kau tidak mau meminum obatnya? Aku hanya memintamu minum obat, Alyssa, bukan menyuruhmu melakukan yang lain. Ini juga demi kesembuhanmu, kenapa sepertinya kau sangat sulit diberitahu?” ucap Roy setengah berbisik. “M–maafkan aku.” Hanya itu kalimat yang mampu keluar dari bibir Alyssa, bahkan saat berbicara, Alyssa pun tak berani menatap mata Roy. Alyssa kemudian memalingkan wajahnya menatap ke arah lain. Air matanya sudah hampir keluar, sebab itulah ia tak berani menatap mata Roy. “Aku tidak butuh permintaan maafmu, Alyssa. Aku hanya ingin kau meminum obatmu, itu saja. Bisa, ‘kan?” Alyssa mengangguk tanpa menatap Roy. Roy yang melihatnya lantas mengangkat salah satu tangannya, memegang dagu Alyssa dan mengarahkannya agar menatapnya kembali. Tes! Tanpa Roy s
Di tengah malam yang sunyi, suara berisik dari ruang tamu mulai terdengar jelas di seluruh penjuru ruangan yang ada di dalam rumah kecil itu. Alyssa Xaviera, wanita sekaligus istri dari pria bernama Dio Andreas itu terlihat tengah duduk di sofa itu sembari memijit pelipisnya menahan lelah dan frustasi yang sudah mulai mencapai puncaknya. Bau alkohol yang cukup menyengat itu mulai memenuhi dalam ruangan ketika Dio—suami Alyssa berjalan masuk dengan tubuh yang telah sempoyongan sambil memegang dua minuman keras. Wajah pria itu tampak sangat kusut, dengan mata yang sudah memerah. Alyssa bergegas menghampiri suaminya dan berdiri di hadapan Dio—sang suami. Kini, hanya tersisa jarak sekitar satu meter saja diantara Alyssa dan pria pemabuk itu. “Kamu mabuk lagi, Mas? Udah berapa kali aku bilang sama kamu, jangan pulang dalam keadaan mabuk seperti ini,” tegur Alyssa seraya menahan amarah di dalam hatinya. Meskipun sebenarnya Alyssa sudah sangat muak dan dongkol, tapi sebisa mungkin Alyssa
Alyssa segera berjalan cepat dengan kedua tangannya yang telah penuh dengan bawaannya. Di tangan kanannya, Alyssa memegang nampan besar berisi hidangan yang akan ia sajikan untuk suaminya, termasuk nasi dan lauk pauk seperti tumisan yang telah ia masak tadi dan juga tempe yang telah ia goreng, serta piring dan sendok yang sudah tertata rapi di atasnya, sedangkan di tangan kirinya, Alyssa membawa sebuah teko yang berisi air putih, serta dua gelas yang ia jepit di antara jemari dan bagian pegangan tekonya. Alyssa tampak fokus dan sangat berhati-hati agar ia tak menjatuhkan apa yang dia bawa. “Lama banget, sih!” omel Dio kesal. “Maaf, Mas.” Hanya itu yang Alyssa katakan agar Dio tidak semakin marah. Pria itu lantas mengambil makan dengan terburu-buru layaknya orang yang sudah satu minggu tidak makan. Setelah Dio selesai mengambil sarapannya, Alyssa kemudian ikut menyusul mengambil sarapan pada piringnya. Keduanya makan bersama di piring mereka masing-masing. Tak ada percakapan dianta
Dio hanya menatap dingin. “Aku hanya ingin menuruti keinginanmu. Kamu tidak mau hidup susah denganku, 'kan? Maka ikutlah bersama Roy,” kata Dio.Alyssa menggeleng. “Enggak, Di, aku gak mau. Aku gak kenal sama dia, aku gak mau ikut dia. Aku mau pulang aja.” Alyssa berbalik. Pikirannya hanya ingin pulang. Ia tak mau dijual seperti ini. Benar-benar cara yang sangat hina. Apakah ia serendah itu? Apa mereka pikir Alyssa sama dengan hewan yang bisa dijual secara bebas? Benar-benar biadab sekali mereka.Namun, Dio yang melihat Alyssa akan kabur pun lantas menahan Alyssa dan berusaha membujuk wanita itu agar Alyssa mau ikut bersama Roy. “Al, aku mohon sama kamu, ikutlah dengan Roy. Aku yakin dia bisa menjamin kehidupan kamu dengan sangat layak.” Dio menatap mata Alyssa, berusaha meyakinkan istrinya.“Aku gak butuh kehidupan layak kalau caranya kayak gini. Kamu anggap aku apa sih, Di? Kamu pikir aku hewan yang bisa kamu jual seenaknya? Aku ini istri kamu, Di, istri kamu!” Alyssa menangis terse
Bagai dihantam batu, perasaan Alyssa terluka mendengarnya. Ia seolah seperti wanita murahan yang bisa dengan mudahnya diperintahkan untuk melakukan hal hina seperti itu. Statusnya masih menjadi istri dari pria lain, tetapi kini ia justru disuruh melayani lelaki lain sebab ulah suaminya sendiri. Entah apa salahnya sehingga takdirnya seperti ini. Dalam keadaan saat ini ingin rasanya Alyssa menjerit sekencang-kencangnya untuk meluapkan emosi di dalam dirinya, namun semua itu harus ia tahan demi keamanan dirinya.Selesai dengan acara minumnya, Roy mengajak Alyssa pulang ke rumahnya. Meski sebenarnya enggan, tapi mau tak mau Alyssa harus menuruti apa yang dikatakan oleh Roy, atau nyawanya yang mungkin nanti akan terancam.Di dalam mobil, meski Roy dan Alyssa duduk berdekatan, tapi keduanya sama-sama tak ada yang membuka suara. Keduanya sama-sama memilih diam dengan pikiran mereka masing-masing. Sesampainya di kediaman Roy yang tampak sangat megah nan mewah, rumah dengan cat berwarna putih
Belum sempat Alyssa menoleh, dengan gerakan yang sangat cepat Roy memindahkan nasi yang telah dikunyah dari mulutnya ke mulut Alyssa menggunakan bibirnya, Alyssa yang terkejut berusaha memberontak, tapi tak bisa karena Roy menahan tengkuknya dengan salah satu tangan pria itu, sedangkan tangan yang lainnya Roy gunakan untuk menekan kedua pipi Alyssa agar wanita itu membuka mulutnya. Setelah makanan itu masuk ke dalam mulut Alyssa, dengan cepat Roy langsung menahan dagu Alyssa agar mulut wanita itu tidak terbuka. “Telan, cepat!” titah Roy dengan halus, namun penuh penekanan bahwa dia tidak mau dibantah.Alyssa menggeleng. Wanita itu ingin memuntahkan makanan di mulutnya, tapi mulutnya tidak bisa ia buka karena ditahan oleh Roy. “Telan, atau aku yang akan memakanmu,” ancam Roy sekali lagi, namun Alyssa tetap menggeleng mencerminkan penolakannya pada Roy.Roy yang kesal lantas kembali mengunyah makanan itu dan memindahkannya ke mulut Alyssa lagi untuk yang ke dua kalinya. Namun, jika yang
Di tempat lain, seorang pria berumur 33 tahun dengan mengenakan kemeja kasual yang dibuka beberapa kancing bagian atasnya, pria itu tampak sedang bersantai di salah satu sofa yang ada di sebuah klub malam. Lampu neon berwarna biru dan ungu memantulkan bayangan pria itu, sementara musik EDM berdentum keras dari speaker di sekitarnya. Di meja depannya, terdapat botol-botol minuman keras disertai gelas-gelas kaca yang telah berjejer rapi. Aroma minuman, rokok, dan wangi parfum yang menusuk hidung bercampur menjadi satu memenuhi udara. Pria itu tampak tertawa lepas bersama beberapa teman lelakinya yang juga terlihat sedang menikmati suasana malam. "Malam ini kita bisa habiskan malam panjang kita bersama wanita-wanita yang kita inginkan. Tinggal pilih mau yang mana, mereka akan dengan senang hati melayani kita sepuasnya, hahahaha." Pria itu tertawa sembari mengangkat tangannya untuk kembali menghisap rokok yang ia selipkan pada jari-jarinya. Di lain sofa, beberapa wanita berpakaian min
Alyssa yang takut, lantas membuka kedua matanya dengan cepat, menatap mata Roy dengan takut-takut. Air matanya hampir tumpah, namun sebisa mungkin Alyssa tetap menahan dirinya agar tidak menangis di depan Roy. “Kenapa kau tidak mau meminum obatnya? Aku hanya memintamu minum obat, Alyssa, bukan menyuruhmu melakukan yang lain. Ini juga demi kesembuhanmu, kenapa sepertinya kau sangat sulit diberitahu?” ucap Roy setengah berbisik. “M–maafkan aku.” Hanya itu kalimat yang mampu keluar dari bibir Alyssa, bahkan saat berbicara, Alyssa pun tak berani menatap mata Roy. Alyssa kemudian memalingkan wajahnya menatap ke arah lain. Air matanya sudah hampir keluar, sebab itulah ia tak berani menatap mata Roy. “Aku tidak butuh permintaan maafmu, Alyssa. Aku hanya ingin kau meminum obatmu, itu saja. Bisa, ‘kan?” Alyssa mengangguk tanpa menatap Roy. Roy yang melihatnya lantas mengangkat salah satu tangannya, memegang dagu Alyssa dan mengarahkannya agar menatapnya kembali. Tes! Tanpa Roy s
“Bantu apa?” tanya Alyssa bingung. “Bantu membuatmu melupakan masa lalumu yang menyakitkan itu,” jawab Roy sungguh-sungguh. Alyssa tak menjawab. Wanita itu kembali memalingkan wajahnya menatap hamparan luas pemandangan di luar restoran. Kembali terjadi keheningan di antara mereka. Keduanya sama-sama menatap pemandangan dengan pikiran mereka masing-masing. “Alyssa,” panggil Roy dengan tenang. Alyssa menoleh, menatap wajah yang tampak tak sedatar biasanya. “Apa selama kau bersamaku, aku belum bisa membuatmu nyaman sedikit pun?” tanya Roy sembari menatap dalam mata Alyssa. Alyssa tersenyum kecut. “Aku tidak bisa menjawabnya,” ujar Alyssa memalingkan wajahnya. “Kenapa?” sahut Roy dengan dahi berkerut. “Jawabannya ada di dirimu sendiri.” “Maksudmu?” tanya Roy tak mengerti. Bukannya menjawab, Alyssa malah bangkit dari tempat duduknya dan bersiap pergi. Roy yang melihat Alyssa akan pergi lantas ikut berdiri, lalu memegang pergelangan tangan Alyssa. “Mau ke mana?” tanya R
Suasana di dalam ruangan terlihat luas nan mewah. Hanya dengan melihatnya sekilas saja sudah tampak jelas jika ruangan itu adalah ruangan eksklusif yang tidak sembarang orang bisa memasukinya. Desain interior yang dirancang dengan material berkualitas tinggi, dinding tampak di marmer serta dihiasi dengan panel kayu dan sedikit tambahan wallpaper premium. Lampu gantung kristal dengan cahaya lembut yang mampu menciptakan atmosfer hangat nan intim, juga tak tertinggal terdapat lukisan seni dan bunga segar yang dapat memberikan sentuhan estetika. Meja makan berbahan kayu yang panjangnya sekitar dua setengah sampai tiga meter, di atasnya sudah dipasang table runner atau yang biasa disebut dengan taplak meja. Tampak aksesoris seperti napkin kain, piring porselen, dan gelas kristal yang sudah tertata rapi di atas meja. Bangku-bangku saling berhadapan tampak sejajar dan rapi. Berbagai hidangan juga telah disajikan di atas meja. Alyssa menoleh pada Roy, “Mau makan sama siapa saja?” tan
“Ck, bisa jalan yang bener gak, sih!” omel Alyssa dengan kesal. Wanita itu benar-benar malu karena tak sengaja menabrak badan Roy, ditambah lagi ia terkejut saat mendengar pertanyaan random dari mulut pria dingin di hadapannya itu. Roy terkekeh. “Makanya kalau jalan yang fokus, lihat ke depan.” “Ini juga tadi udah fokus, kamunya aja yang tiba-tiba berhenti gak bilang-bilang,” sahut Alyssa. Roy yang melihat Alyssa mengomel justru tersenyum. Pandangannya fokus pada bibir Alyssa yang terlihat menggemaskan. Andai ia tak mengendalikan dirinya seperti sekarang, sudah pasti Roy langsung melahap habis bibir wanita di hadapannya itu. Alyssa yang menyadari Roy justru fokus pada bibirnya, seketika wanita itu langsung merinding takut. Ia tak ingin dirinya digarap oleh Roy lagi. Dengan cepat Alyssa berjalan keluar dari kamarnya meninggalkan Roy begitu saja, sedangkan Roy justru terkekeh melihat Alyssa yang sedang menghindarinya. “Bi, makan malamnya kalian makan aja, saya dan Alyssa mau ma
Dengan sedikit panik Roy keluar dari kamarnya, berjalan cepat menuruni anakan tangga menuju ke lantai bawah, tepatnya ke dapur tempat para pelayan sedang menyiapkan makan siang untuknya dan Alyssa. “Bi, Alyssa ke mana?” tanya Roy to the point. Bi Ningrum yang mendengar suara majikannya lantas langsung meninggalkan pekerjaannya begitu saja, lalu menghampiri tuannya, sedangkan kerjaannya spontan langsung digantikan oleh pelayan lainnya atas inisiatif dari teman sesama para pelayan di sana. “Maaf, Tuan, Nyonya tadi minta pindah ke kamarnya, jadi saya antarkan Nyonya ke kamar beliau,” jawab Bi Ningrum menunduk. “Oh ….” Roy menggantung kalimatnya. “Oke,” lanjutnya kemudian. Pria itu lantas berbalik, berjalan menaiki tangga sembari memikirkan sesuatu. Bi Ningrum yang melihat tuannya sepertinya sudah puas dengan jawabannya pun lantas kembali masuk ke dapur untuk melanjutkan pekerjaannya. Namun, baru saja Bi Ningrum akan melanjutkan pekerjaannya, tiba-tiba suara Roy kembali terdengar
Roy berjalan masuk ke dalam toko bunga tersebut. Tercium harum yang sangat wangi dengan aroma bunga yang berbeda-beda dan penuh warna. Penjual bunga yang melihat kedatangan seorang pria dengan setelan mahal nan keren, lantas menghampiri pria tersebut yang tak lain adalah Roy. “Selamat siang, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya dengan ramah. “Saya ingin membeli bunga yang istimewa untuk istri saya. Tolong pilihkan bunga yang bisa membuat mood-nya menjadi lebih baik.” “Baik. Apakah ada bunga favorit yang disukai istri Bapak?” “Saya tidak tahu. Pilihkan saja bunga yang spesial dengan warna yang cantik untuknya,” pungkas Roy, masih dengan wajah yang datar. “Baik, Pak. Saya pilihkan dulu bunga-bunganya, nanti Bapak tinggal pilih yang cocok untuk diberikan pada istri Bapak. Mohon menunggu sebentar ya, Pak.” Wanita itu lantas bergegas memilihkan bunga-bunga yang spesial untuk pelanggannya, sedangkan Roy duduk menunggu bunga yang ia pesan sembari memainkan ponselnya. Selang
POV Roy. Aku tidak tau lagi harus bagaimana. Entah apa yang harus kulakukan agar Alyssa bisa menerimaku. Jujur aku mencintainya sejak pandangan pertama, tapi aku tahu saat itu Alyssa sedang terpuruk karena ditinggalkan oleh suaminya bersamaku. Aku tahu Alyssa bukanlah wanita biasa karena auranya begitu terpancar hingga membuatku tertarik dan melabuhkan hati ini padanya. Setiap melihatnya, rasanya aku jatuh cinta berkali-kali lipat padanya. Dia satu-satunya wanita yang mampu membuatku jatuh cinta. Dia juga yang mampu membuatku jadi bucin begini. Setiap hari aku selalu mengajak Alyssa makan bersama, tak jarang juga aku meminta Bi Ningrum untuk memanggil Alyssa agar segera turun dan makan bersamaku di ruang makan. Aku selalu berusaha mencari topik pembicaraan agar kami bisa mengobrol, tapi ia selalu menjawab dengan singkat sambil tersenyum tipis. Namun, aku tak pernah menyerah untuk mendapatkan hatinya. Aku bahkan selalu membawakan sesuatu setiap kali aku sampai rumah seusai pergi
Di kamar Roy, Bi Ningrum duduk di pinggir ranjang setelah sebelumnya ia mengetuk pintu dan meminta izin pada Alyssa untuk masuk ke dalam. Kini, wanita paruh baya itu menemani Alyssa sambil mengajak Alyssa mengobrol. Membicarakan banyak hal yang menarik untuk dibahas. Meski awalnya Alyssa masih agak canggung, tapi lama-kelamaan Bi Ningrum mampu mengambil hati Alyssa dan mereka bisa mengobrol dengan seru. “Oh iya, Bi, ini kamar Roy, ya?” tanya Alyssa pada Bi Ningrum. Bi Ningrum lantas mengangguk. “Iya, Nyonya.” “Oh, pantes banyak foto dia.” Alyssa manggut-manggut. “Trus kenapa saya dibawa ke sini, Bi?” tanya Alyssa kemudian. “Sprei Nyonya kemarin basah, jadi Tuan pindahin Nyonya ke sini,” ungkap Bi Ningrum. “Tapi sekarang sudah bisa dipake, kok, spreinya sudah Bibi ganti.” “Syukurlah, nanti saya bisa balik ke kamar kalau sudah tidak begitu lemas.” *** Di sisi lain, mobil Roy yang sudah sampai di depan bangunan besar yang biasa Roy jadikan basecamp sekaligus tempat penjar
Roy menatap Alyssa yang mengalihkan pandangannya. Pria itu tahu kalau Alyssa pasti sedang sedih dengan pikiran yang bersarang di kepala wanita itu. “Makanlah. Sarapan dulu, buka mulutmu.” Roy menyodorkan sendok di tangannya ke mulut Alyssa. Alyssa menoleh. “Aku bertanya, Roy,” ujar Alyssa menatap wajah pria di sampingnya. Tanpa menjawab, Roy kembali menyodorkan sendok di tangannya. “Makan dulu. Aaaaaa.” Alyssa membuka mulutnya dengan pandangan yang masih tertuju pada Roy. “Habiskan dulu makananmu, baru aku jawab pertanyaanmu,” pungkas Roy tak ingin dibantah. Akhirnya, mau tak mau Alyssa harus menahan rasa penasaran di dalam dirinya hingga sarapan itu habis nanti. Dengan patuh Alyssa memakan sarapan itu sampai habis, lalu menelan obat yang disodorkan Roy dengan diakhiri minum air mineral. Setelahnya Roy menaruh nampan itu di atas nakas, lalu membaringkan badannya di samping Alyssa dengan posisi miring ke arah Alyssa. Tangannya merapikan rambut Alyssa dengan lembut. “Apa yang