Suasana di dalam ruangan terlihat luas nan mewah. Hanya dengan melihatnya sekilas saja sudah tampak jelas jika ruangan itu adalah ruangan eksklusif yang tidak sembarang orang bisa memasukinya. Desain interior yang dirancang dengan material berkualitas tinggi, dinding tampak di marmer serta dihiasi dengan panel kayu dan sedikit tambahan wallpaper premium. Lampu gantung kristal dengan cahaya lembut yang mampu menciptakan atmosfer hangat nan intim, juga tak tertinggal terdapat lukisan seni dan bunga segar yang dapat memberikan sentuhan estetika. Meja makan berbahan kayu yang panjangnya sekitar dua setengah sampai tiga meter, di atasnya sudah dipasang table runner atau yang biasa disebut dengan taplak meja. Tampak aksesoris seperti napkin kain, piring porselen, dan gelas kristal yang sudah tertata rapi di atas meja. Bangku-bangku saling berhadapan tampak sejajar dan rapi. Berbagai hidangan juga telah disajikan di atas meja. Alyssa menoleh pada Roy, “Mau makan sama siapa saja?” tan
“Bantu apa?” tanya Alyssa bingung. “Bantu membuatmu melupakan masa lalumu yang menyakitkan itu,” jawab Roy sungguh-sungguh. Alyssa tak menjawab. Wanita itu kembali memalingkan wajahnya menatap hamparan luas pemandangan di luar restoran. Kembali terjadi keheningan di antara mereka. Keduanya sama-sama menatap pemandangan dengan pikiran mereka masing-masing. “Alyssa,” panggil Roy dengan tenang. Alyssa menoleh, menatap wajah yang tampak tak sedatar biasanya. “Apa selama kau bersamaku, aku belum bisa membuatmu nyaman sedikit pun?” tanya Roy sembari menatap dalam mata Alyssa. Alyssa tersenyum kecut. “Aku tidak bisa menjawabnya,” ujar Alyssa memalingkan wajahnya. “Kenapa?” sahut Roy dengan dahi berkerut. “Jawabannya ada di dirimu sendiri.” “Maksudmu?” tanya Roy tak mengerti. Bukannya menjawab, Alyssa malah bangkit dari tempat duduknya dan bersiap pergi. Roy yang melihat Alyssa akan pergi lantas ikut berdiri, lalu memegang pergelangan tangan Alyssa. “Mau ke mana?” tanya R
Alyssa yang takut, lantas membuka kedua matanya dengan cepat, menatap mata Roy dengan takut-takut. Air matanya hampir tumpah, namun sebisa mungkin Alyssa tetap menahan dirinya agar tidak menangis di depan Roy. “Kenapa kau tidak mau meminum obatnya? Aku hanya memintamu minum obat, Alyssa, bukan menyuruhmu melakukan yang lain. Ini juga demi kesembuhanmu, kenapa sepertinya kau sangat sulit diberitahu?” ucap Roy setengah berbisik. “M–maafkan aku.” Hanya itu kalimat yang mampu keluar dari bibir Alyssa, bahkan saat berbicara, Alyssa pun tak berani menatap mata Roy. Alyssa kemudian memalingkan wajahnya menatap ke arah lain. Air matanya sudah hampir keluar, sebab itulah ia tak berani menatap mata Roy. “Aku tidak butuh permintaan maafmu, Alyssa. Aku hanya ingin kau meminum obatmu, itu saja. Bisa, ‘kan?” Alyssa mengangguk tanpa menatap Roy. Roy yang melihatnya lantas mengangkat salah satu tangannya, memegang dagu Alyssa dan mengarahkannya agar menatapnya kembali. Tes! Tanpa Roy s
Terjadi keheningan beberapa saat. Roy yang masih setia memandangi wajah Alyssa sambil senyum-senyum tidak jelas seperti orang gila, sedangkan Alyssa fokus menonton televisi tanpa menggubris kelakuan Roy.Beberapa menit kemudian seseorang mengetuk pintu kamar Alyssa, “Permisi, Tuan.” Bi Ningrum menunduk hormat sebelum akhirnya ia masuk ke dalam sembari membawa dua wadah popcorn camilan untuk teman menonton Alyssa dan Roy.“Ini popcornnya, Tuan, Nyonya.” Bi Ningrum meletakkan popcorn itu di atas nakas.“Makasih, Bi,” ujar Alyssa tersenyum tipis.“Sama-sama, Nyonya,” balas Bi Ningrum dengan senyum ramahnya.Setelah melihat Bi Ningrum akan keluar, Alyssa lantas melirik sinis ke arah Roy. “Sudah dibikinin, tapi gak ngucapin terima kasih,” tegur Alyssa ngedumel.Roy mengangkat sebelah alisnya. “Mereka di sini untuk kerja, melakukan apa yang aku perintahkan, dan aku membayar mereka tidak sedikit,” balas Roy cuek. Alyssa hanya menanggapinya dengan merotasikan kedua bola matanya, merasa malas
Keadaan yang genting membuat Dio terpaksa harus membuka pintu rumahnya dan menghadapi rentenir itu seorang diri.“Ada apa ya, Pak?” tanya Dio pura-pura tidak tahu.“Ada apa ada apa, bayar hutangmu, nih!” sahut rentenir itu dengan nada tinggi seraya menunjukkan sebuah kertas perjanjian saat Dio meminjam uang.“Maaf, Pak, saya belum punya uang. Tolong kasih saya waktu.”Debt kolektor yang geram dengan jawaban Dio lantas menyela dengan cepat, disertai nada tinggi meluapkan emosinya, "Waktu? Sudah berapa kali kami kasih waktu buat kamu? Janjimu bulan lalu gimana? Bohong terus! Keluar sekarang juga, atau kami masuk secara kasar."“Saya nggak bohong, Pak. Saya memang belum punya uang, saya saat ini lagi susah. Saya juga lagi cari pinjaman lain untuk bayar hutang-hutang ke kalian. Tolong kasih saya waktu satu minggu lagi.”Salah satu dari debt kolektor itu spontan tertawa kecil dengan nada mengejek saat mendengar ucapan Dio. “Cari pinjaman? Kamu pikir kami bodoh? Kami udah sering denger alas
Di lain tempat, Alyssa yang sudah selesai selesai mengenakan pakaian yang disiapkan oleh Roy tadi, lantas keluar dari kamar mandi. Terlihat Roy yang tengah duduk di pinggir ranjang dengan posisi menghadap ke arah kamar mandi. Alyssa yang melihatnya lantas menatap ke arah lain seolah dirinya tak peduli dengan keberadaan Roy.Ia berjalan ke arah meja rias, lalu mendudukkan dirinya di atas kursi, sedangkan Roy bangkit dari ranjang dan berjalan menghampiri Alyssa yang sedang bersiap memoles wajahnya.Roy berdiri tepat di belakang Alyssa, meletakkan kedua telapak tangannya pada pinggang Alyssa dengan membungkukkan badannya. “Aku ganti baju dulu, nanti aku ke sini lagi,” ucap Roy sebelum dirinya mengecup pucuk kepala Alyssa dengan lembut.Alyssa terlihat tak menggubris sikap Roy sama sekali, namun saat Roy telah menjauh dari kamarnya, seketika pipi Alyssa tampak memerah. Ia tahu dirinya sangat membenci orang-orang di sekelilingnya termasuk Roy, tapi perlakuan Roy yang selalu mampu membuatny
Dio terlihat sangat frustasi dengan keadaannya saat ini yang mendesaknya untuk mendapatkan uang hari ini juga karena esok Dio sudah harus memberikannya pada debt kolektor yang akan datang ke rumahnya lagi. Dengan wajah kusut Dio berjalan tergesa-gesa dari ruang televisi menuju ke kamarnya, pria itu mendorong pintu dengan kasar hingga terdengar suara yang berderit. Pandangannya langsung tertuju pada lemari pakaian yang tak begitu besar di sudut ruangan. Tanpa membuang waktu, Dio menghampirinya dan menarik pintu lemari dengan cepat. Pintu kayu itu terbuka lebar, menampakkan tumpukan-tumpukan pakaian yang sebagian masih tersusun dengan rapi, namun sebagiannya lagi sudah terlihat berantakan Pria itu kemudian mengobrak-abrik isi lemari dengan gelisah. Tangannya menyibak tumpukan baju milik istrinya satu per satu, melemparnya ke lantai tanpa peduli akan kekacauan yang ia ciptakan. Suara gesekan hanger dan pakaian yang jatuh berserakan memenuhi ruangan. Laci kecil di bagian tengah lemari
Alyssa yang semakin kesal lantas berdecak seraya menoleh kembali ke arah samping, “Aku sudah punya suami, Roy!” cetus Alyssa. “Gak pantes kalau ada laki-laki lain yang manggil saya seperti itu. Saya bukan wanita murahan,” lanjut Alyssa dengan tatapan menusuk.“Berarti kalau udah single boleh dong, aku panggil kamu sayang?” Pria itu tersenyum lebar. Senyum yang sejak tadi ia sembunyikan, pada akhirnya terlepas juga dari tempatnya hingga memperlihatkan ketampanannya yang hakiki. Alyssa hanya berdecak kesal dan tak menggubris ucapan pria di sampingnya. “Ini topinya, Nyonya.” Seorang wanita yang Alyssa duga sebagai maid atau pelayan di sana memberikan sebuah topi lebar pada Alyssa guna melindungi wajahnya dari sinar matahari. Alyssa lantas menerimanya dengan senang hati seraya menyertakan senyuman yang ia tampilkan di wajahnya.Kebetulan Alyssa tidak membawa topi karena Roy tadi tidak menyiapkannya sekalian, dan lagi Roy juga tidak mengatakan mereka akan berolahraga apa, jadi maklum saja
Mobil mewah memasuki halaman rumah yang tampak begitu megah, berhenti di depan pintu dengan jarak sekitar lima meter. Roy menoleh, menatap wajah cantik Alyssa yang bersandar di bahunya dengan mata yang terpejam. Tampaknya ia ragu untuk membangunkan Alyssa, sementara supirnya sudah membukakan pintu untuknya. Akhirnya, Roy mengangkat Alyssa dengan perlahan supaya Alyssa tak terbangun. Seorang pelayan dengan sigap menghampiri mobil tuannya, berdiri di depan Jerry dengan memegang payung besar guna memayungi majikannya. Roy keluar dari mobilnya dengan menggendong Alyssa ala bridal style, sedangkan Bi Ningrum memayungi keduanya hingga sampai di depan pintu, lalu memberikan payung itu pada pelayan yang lain untuk disimpan di tempat semula, sementara Bi Ningrum menyiapkan minuman untuk majikannya. Begitu minuman yang ia bikin sudah siap, Bi Ningrum dengan dibantu pelayan lainnya, lantas meletakkan minuman-minuman itu di atas nampan-nampan yang telah mereka siapkan, satu untuk Roy, dan sat
Pria itu kemudian sedikit menjauhkan badannya dari Alyssa, mengusap air mata itu dengan lembut, menatapnya dengan raut wajah bersalah. “Alyssa?” panggilnya berbisik. Suaranya bahkan hampir tak terdengar saking pelannya. “Apa sakit? Maaf jika aku mencium 'mu terlalu kasar. Sakit, ya?” Roy meniup pelan bibir Alyssa yang terlihat sedikit bengkak akibat ulahnya. “Maafkan aku.” Roy kembali meminta maaf merasa bersalah pada Alyssa. Namun, Alyssa justru meremas baju di bagian dadanya seakan memberitahu jika dadanya teramat sakit menerima takdir pahit yang selalu datang kepadanya. Mata Roy tak lepas dari gerak-gerik yang dilakukan Alyssa, ia menggenggam halus tangan Alyssa sambil bertanya, "Kenapa? Apa yang sakit?" Namun, Alyssa hanya diam, matanya tetap terpejam dengan diiringi air mata yang terus keluar. "Hey, please ... jangan nangis, dong? Tolong jangan bikin aku panik, Alyssa." Roy mengusap lembut pipi Alyssa, ia menatap sedih pada wanita di hadapannya yang terlihat sangat hancur.
Lagi-lagi Alyssa hanya menggeleng. Roy spontan mengepalkan satu tangannya melihat respon Alyssa yang jelas terlihat kalau Alyssa sedang tidak baik-baik saja. Pria itu menoleh ke arah Tiffany, meminta jawaban dari sikap Alyssa yang tampak badmood, namun Tiffany hanya menggeleng sebagai jawaban kalau dia tidak tahu Alyssa kenapa. “Mau pulang?” tanya Roy. Tangannya mengusap lembut rambut Alyssa dengan penuh kasih sayang, tatapannya sangat terpancar jika pria itu benar-benar mencintai Alyssa. “Beri aku waktu sebentar,” tukas Alyssa tanpa ingin dibantah. Roy mengangguk, lalu menyandarkan tubuhnya pada kursi yang ia duduki. Satu tangannya masih terus membelai lembut rambut Alyssa, berharap wanita di sampingnya kembali ceria seperti saat mereka berlatih tadi. “Tak usah memikirkan hal yang tidak penting, Baby. Cukup nikmati hidupmu di samping ku, maka akan ku pastikan kau bahagia bersamaku selamanya,” bisik Roy yang kemudian mengecup singkat pucuk kepala Alyssa cukup lama, sedangkan A
Dengan cepat wanita itu menggeleng, “Maaf, saya tidak tahu, Nyonya.” “Oh … ya sudah kalau gitu, biar saya tunggu di sini saja.” Alyssa mendudukkan pantatnya pada kursi yang ada di gazebo tersebut. “Baik, Nyonya. Saya akan jaga Nyonya dari situ,” ucapnya sambil menunjuk bangku yang tidak begitu jauh dari Alyssa. Alyssa spontan menoleh cepat, melihat pelayan itu berjalan ke arah bangku yang tidak jauh darinya. “Mbak, gak perlu jagain saya gak apa-apa, kok. Mbak lanjut kerja aja,” seru Alyssa yang merasa sedikit tak enak hati. “Gak apa-apa, Nyonya, sudah tugas saya untuk menemani pelanggan.” Wanita itu lantas mendudukkan bokongnya di salah satu kursi yang ada di gazebo, tentunya tidak jauh dari Alyssa untuk tetap menjaga Alyssa, hanya berjarak dua meter dari kursi yang Alyssa duduki. “Bosnya gak marah Mbak, kalau Mbak nemenin saya?” tanya Alyssa. Ia takut kalau nanti pelayan itu dimarahi oleh bosnya karena menemani dirinya. “Tidak, Nyonya. Bos saya justru akan marah kalau saya tida
“Jadi benar kau selingkuh dariku?” Alex menatap Tasya dengan penuh emosi. Tasya menoleh, menatap Alex sambil tersenyum miring. “Selingkuh? Dia calon suamiku, dan aku tidak pernah mengkhianatinya,” tukas Tasya melirik sinis. “Jadi selama ini kau mempermainkanku?” seru Alex dengan wajah yang telah memerah menahan amarah. Tasya terkekeh pelan, “Hidup itu memang seperti permainan. Kita tinggal memilih, menjadi pemainnya, atau yang dimainkan,” celetuk Tasya. Alex yang semakin terbawa emosi lantas mengepalkan kedua tangannya, lalu menarik-nariknya dan berusaha mengeluarkan tangannya dari ikatan besi yang menjeratnya. Namun, sayangnya hal itu sia-sia baginya. Tasya dan pria di sampingnya berbalik menghadap Roy, “Tugas saya sudah selesai, King. Kami izin untuk kembali berjaga,” pamit Tasya dengan membungkukkan sedikit badannya kepada Roy, lalu keduanya keluar dari ruangan itu setelah Roy memberi kode lewat gerakan telunjuknya. Tatapan Alex terkejut, “Jadi, dia orang suruhan Roy?” batin
Di sebuah ruang bawah tanah yang agak gelap, terlihat seorang pria terikat di dinding berwarna abu-abu. Kedua tangan dan kakinya diikat dengan rantai besi yang berat, memaksa tubuhnya tetap bersandar tegak pada dinding. Wajahnya penuh luka dan lebam, bekas pertarungan atas perlawanannya saat akan ditangkap oleh anak-anak buah Roy. Matanya memancarkan kelelahan, tetapi ada kilatan amarah yang belum padam. Terlihat darah yang telah mengering di bagian pelipis dan sudut bibirnya. Di sekelilingnya tak terdengar suara apapun, sangat sunyi dan sepi. Dalam kesunyian, pria itu tampak merencanakan sesuatu, menunggu momen yang tepat untuk membebaskan dirinya dari rantai-rantai yang mengikatnya. Namun, dia tidak tahu bahwa tepat di balik pintu tebal itu, dua penjaga berpakaian serba hitam berdiri dengan wajah tanpa ekspresi, dan tangan mereka masing-masing menggenggam senjata api. Dari jauh, terdengar suara langkah pelan namun tegas. Seorang pria dengan setelan santai namun tetap terlihat el
“Tempat memanah? Untuk apa kita ke sini?” tanya Alyssa bingung. Roy menoleh, menatap wajah Alyssa seraya tersenyum lembut. “Untuk apa lagi? Ayo!” pungkas Roy menaikkan dagunya, memberi kode pada Alyssa agar masuk ke lapangan tempat bermain panah. “T--tapi ... aku tidak bisa bermain panah. Aku belum pernah mencobanya,” ucap Alyssa ragu. “Maka aku yang akan mengajarimu sampai kau bisa,” sela Roy. Pria itu terlihat cukup antusias untuk mengajari Alyssa bermain panah, olahraga yang belum pernah Alyssa coba. Keduanya berjalan memasuki lapangan tempat khusus untuk memanah. Roy menerima busur dan anak panah yang diberikan oleh anak buahnya, lalu meletakkan tas kulit berisi beberapa anak panah ke samping tubuhnya. “Aku tidak yakin bisa melakukannya,” ucap Alyssa pesimis. “Tapi aku yakin kau bisa melakukannya,” sela Roy penuh percaya diri. Pria itu lantas berdiri di belakang badan Alyssa, menggenggam kedua tangan Alyssa, lalu menuntunnya untuk memegang busur dan anak panah yang se
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya sang pemilik toko emas.“Saya ingin menjual gelang emas ini, Pak.” Dio menyodorkan gelang yang ia bawa.Pemilik toko emas lantas mengamati gelang tersebut dengan seksama. “Gelang ini bagus, kenapa dijual, Mas?”“Saya lagi butuh duit, makanya terpaksa harus saya jual ini gelang istri saya,” ujar Dio dengan ekspresi memelas supaya pria di hadapannya percaya dan kasihan kepadanya.“Oh, gitu.” Pria itu mengangguk paham. “Ya sudah, saya cek kadar emasnya dulu ya kalau gitu. Tunggu sebentar.” Pemilik toko emas itu lantas mulai memeriksa gelang yang Dio bawa menggunakan mesin penguji emas dan juga timbangan untuk memastikan kadar dan berat gelang tersebut.Setelah mengecek gelang itu beberapa saat, pria itu kembali menghadap Dio dengan tangannya membawa gelang yang akan dijual Dio tadi. “Gelang ini kadar emasnya 24 karat, dan beratnya 10 gram. Kalau sekarang harga pasarnya sekitar Rp1.533.000 per gram. Jadi totalnya sekitar Rp15.330.000. Bagaimana, mau?”Dio
Roy menoleh terkejut, menatap Alyssa dengan lekat, tatapan matanya terlihat jelas ada kesedihan sekaligus emosi secara bersamaan yang tengah pria itu sembunyikan.“Apa yang harus aku lakukan agar kau tidak pergi meninggalkanku?” tanya Roy.Tampaknya Roy mulai bingung harus bagaimana lagi agar ia bisa mengambil hati Alyssa.Alyssa memalingkan wajahnya menatap lain, menghindar dari tatapan Roy. “Aku lebih bahagia hidup sendiri. Aku ingin melupakan semua hal-hal buruk yang pernah terjadi selama hidupku,” ungkap Alyssa.Satu tangan Roy spontan mengepal, menahan emosi yang ingin meledak saat ia mendengar ungkapan sedih Alyssa. Rasanya ia ingin membunuh orang-orang yang telah membuat hati Alyssa hancur.Roy mengangkat tangannya yang lain, merangkul pinggang Alyssa, menariknya sedikit hingga badan keduanya saling bersentuhan. Tarikannya tak terlalu kuat, tetapi cukup untuk menyampaikan rasa takut kehilangan yang tersembunyi di dalam hatinya.Pria itu kemudian menundukkan kepala, wajahnya ia