Rian menatap wajah Zara yang masih tampak pucat, tetapi kini lebih tenang. Setelah semua yang terjadi, ia merasa bersyukur bisa tetap berada di samping istrinya. Sentuhan hangat di perut Zara tadi masih terasa di tangannya, sebuah keajaiban kecil yang membuatnya semakin ingin berjuang.Namun, ada satu hal yang tidak bisa ia lupakan. Dengan kondisi tubuhnya yang masih lumpuh, ia tahu ada banyak hal yang tidak bisa ia lakukan sendiri.Meski begitu, ia tidak akan menyerah.Dengan susah payah, Rian menyesuaikan posisinya di kursi roda. Ia lalu mengambil handuk kecil di meja samping tempat tidur dan merendamnya dalam air hangat. Tangannya sedikit gemetar saat memeras handuk itu, tapi ia tetap berusaha."Rian, kamu tidak perlu melakukan ini... panggil saja perawat," kata Zara dengan suara lemah, tapi penuh perhatian.Rian menggeleng tegas. "Aku suamimu. Sudah tugasku merawatmu."Ia lalu menempelkan handuk hangat itu ke dahi Zara, menye
Setelah beberapa hari menjalani perawatan di rumah sakit, kondisi Zara semakin membaik. Lukanya mulai sembuh, dan tubuhnya sudah lebih kuat meski masih membutuhkan banyak istirahat. Dokter akhirnya memberikan izin untuk pulang dengan syarat Zara harus tetap menjaga kesehatannya dan tidak terlalu banyak bergerak.Rian yang masih dalam masa pemulihan juga berusaha keras untuk bisa berdiri sendiri menggunakan tongkat. Meski tidak mudah, ia memaksa dirinya untuk tetap kuat. Baginya, Zara dan bayi-bayi mereka adalah alasan terbesar untuk terus berjuang.Pagi itu, ruangan rumah sakit terasa lebih hangat dari biasanya. Bu Sari dan Bu Hanan membantu Zara berkemas, memastikan semua barang sudah siap sebelum mereka meninggalkan rumah sakit."Jangan terlalu memaksakan diri di rumah, Nak," pesan Bu Sari sambil merapikan syal di leher Zara. "Kalau merasa lelah, segera istirahat, jangan keras kepala."Zara tersenyum lembut. "Iya, Bu. Aku janji akan lebih berhat
Sandi yang sedang menikmati makanannya tiba-tiba menghentikan gerakannya saat mendengar suara Rian."Berhenti memanggilku Tuan, aku sudah menganggapmu seperti keluargaku sendiri," kata Rian dengan nada hangat namun tegas.Sandi tertegun, tangannya mengepal di pangkuannya. Sejak dulu, ia selalu menjaga jarak dan tetap bersikap formal, menganggap dirinya hanyalah seorang bawahan. Tapi melihat bagaimana Rian sekarang, dengan senyum tulus dan pandangan penuh ketulusan, hatinya terasa hangat."Tapi, Tuan—"Rian menggeleng. "Lihat? Kamu masih saja memanggilku begitu."Sandi menggaruk tengkuknya, sedikit canggung. "Aku... sudah terbiasa.""Mulai sekarang, biasakan untuk tidak memanggilku begitu lagi." Rian menepuk bahu Sandi ringan. "Kamu lebih dari sekadar pengawal atau asisten. Kamu sudah banyak berkorban dan selalu ada di saat kami membutuhkannya. Aku benar-benar menganggapmu sebagai bagian dari keluarga."Lena tersenyum kec
Sandi memejamkan mata, mencoba mengontrol napas yang semakin cepat. Meskipun ia tahu Luna adalah sosok yang penuh misteri dan kejam, mendengar kabar seperti itu tetap menghantamnya. Tidak ada yang benar-benar bisa siap untuk mendengar sesuatu seperti ini."Kami sudah memeriksanya. Luna ditemukan tergantung di selnya. Semua prosedur sudah dilakukan, dan kami menduga ini adalah bunuh diri," lanjut petugas itu dengan suara penuh penyesalan.Sandi menatap kosong pada semua orang. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan untuk Luna, tidak ada lagi pertempuran yang bisa dimenangkan."Terima kasih atas informasinya," jawab Sandi akhirnya, suara hampir tidak terdengar. Ia menutup telepon dan menunduk dalam keheningan.Sandi menatap semua orang di meja makan satu per satu, tetapi saat melihat Rian dan Zara, ia merasa sedikit canggung. Mereka menatapnya dengan penuh harapan, seakan menunggu kabar apa yang dibawa Sandi."Zara... Rian..." Sandi membuka mulut, suara terhenti sejena
Setelah makan siang, Zara dan Rian akhirnya kembali ke kamar mereka. Kamar yang dulu terasa sepi dan sunyi kini terasa lebih hangat dengan kehadiran mereka berdua. Zara duduk di tepi tempat tidur, merasakan sedikit kelelahan setelah hari yang penuh kejadian.Rian yang meskipun masih harus menggunakan tongkat untuk berjalan, perlahan-lahan mendekati Zara. Dengan senyum tipis di wajahnya, dia duduk di sampingnya."Kamu sudah makan dengan baik, kan?" tanya Rian, memastikan kalau Zara baik-baik saja.Zara mengangguk, meskipun hatinya masih sedikit campur aduk. "Iya, Rian. Cuma... agak capek aja," jawabnya dengan nada ringan.Rian meraih tangan Zara dan menggenggamnya erat. "Aku ngerti, kok. Kita sudah melalui banyak hal, tapi kamu harus tahu, semuanya bakal baik-baik aja. Kita berdua bisa ngadepin ini bareng-bareng."Zara menatap tangan Rian yang menggenggamnya. Ada kehangatan yang datang dari sentuhan itu, sesuatu yang membuatnya merasa lebih tenang. "Aku cuma takut, Rian. Semua yang ter
"Zara, sebenarnya Jerry mendonorkan banyak darah untukmu. Jika bukan karena dia, aku tida tahu apa yang terjadi padamu dan si kembar." Rian berkata dengan berat hati, namun Zara harus tetap tahu.Zara terdiam sejenak, mencerna kata-kata Rian. Matanya menatap kosong ke depan, pikirannya melayang pada kejadian beberapa hari lalu, saat dirinya terbaring lemah, nyaris kehilangan segalanya."Jerry...?" gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.Rian mengangguk, menatap wajah Zara dengan serius. "Iya, dia yang menyelamatkanmu. Darahmu langka, dan rumah sakit tidak punya stok. Kalau bukan karena Jerry yang mendonorkan darahnya, aku nggak tahu apa yang akan terjadi."Zara menggigit bibirnya, perasaannya bercampur aduk. Jerry orang yang dulu sempat menjadi bagian dari hidupnya, kini terasa terikat dengan takdirnya dalam cara yang tidak pernah ia bayangkan."Jadi... aku hidup karena dia?" tanyanya pelan, lebih kepada dirinya sendiri."Bukan cuma kam
Saat Jerry kembali digiring oleh dua polisi menuju mobil tahanan, Zara menghela napas berat. Ia ingin melepaskan segala kepenatan ini, tapi matanya terusik oleh sesuatu.Di kejauhan, di balik pohon yang sedikit tertutup kabut hujan, seorang pria tampak mengawasi mereka. Sosoknya tinggi, mengenakan jaket gelap dengan tudung yang menutupi sebagian wajahnya. Sekilas, Zara bisa melihat rahangnya yang tegas dan tatapan tajamnya yang menusuk.Zara menoleh ke Rian, memastikan apakah suaminya juga menyadarinya. Namun, Rian justru sibuk menyesuaikan tongkatnya di tanah becek."Rian..." Zara berbisik, sedikit menarik lengannya. "Ada seseorang di sana. Sejak tadi dia berdiri di balik pohon dan memperhatikan kita."Rian menoleh ke arah yang dimaksud, tapi pria itu segera berbalik, berjalan menjauh sebelum akhirnya menghilang di antara pepohonan pemakaman.Lena dan Sandi yang mendengar percakapan mereka ikut melihat ke sekitar. "Kamu yakin, Zara?" tanya Lena."Aku yakin.
Malam semakin larut, tetapi pikiran Rian tak bisa tenang. Ia duduk di ruang kerjanya, menatap layar laptop yang menampilkan laporan keuangan terakhir. Lima miliar rupiah bukan hanya angka biasa, itu adalah serangan langsung terhadap perusahaan dan dirinya.Ia tahu bahwa menjadi pemimpin bukanlah hal mudah, tetapi semakin hari, semakin banyak yang ingin melihatnya jatuh. Apalagi setelah keluarga Hendrawan hancur, banyak pihak yang merasa kehilangan pegangan. Mereka mencari celah, dan sekarang, pencurian dana ini bisa jadi bagian dari permainan mereka.Zara berjalan mendekat, membawa secangkir teh hangat. "Kamu belum tidur?" tanyanya lembut.Rian tersenyum tipis, menerima cangkir itu. "Banyak yang harus kupikirkan."Zara duduk di sampingnya. "Menurutmu, ini ada hubungannya dengan keluarga Hendrawan?"Rian mengangguk. "Kemungkinan besar. Setelah keluarga kita jatuh, banyak pihak yang kehilangan perlindungan dan mulai bergerak sendiri. Aku tidak terkejut kalau sekara
Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Pernikahan Jerry dan Tasya berlangsung di sebuah taman indah yang dihiasi dengan bunga-bunga putih dan lilin-lilin kecil yang berkelap-kelip. Langit cerah, burung-burung berkicau seolah ikut merayakan kebahagiaan mereka.Di antara para tamu, Rian dan Zara berdiri di barisan depan, tersenyum bangga melihat sahabat mereka akhirnya bersatu dalam ikatan suci.Di samping mereka, dua anak kecil yang menggemaskan, Naomi dan Nathan, anak kembar mereka berlari-lari kecil sambil menggenggam bantal berbentuk hati sambil membawa cincin pernikahan."Tante Tasya cantik sekali!" seru Naomi dengan mata berbinar.Nathan mengangguk setuju. "Om Jerry juga kelihatan keren hari ini!"Zara tersenyum dan berbisik pada Rian, "Mereka lebih bersemangat dari kita."Rian terkekeh. "Ya, lihat saja nanti, mereka pasti ikut heboh di pesta."Sementara itu, Jerry berdiri di altar dengan gugup, menunggu Tasya yang berjalan menuju ke arahnya. Gaun putih pa
Jerry berdiri di depan cermin, merapikan kemeja putihnya yang baru disetrika. Ini bukan pertama kalinya dia merasa gugup, tetapi kali ini berbeda. Hari ini adalah hari di mana dia akan mengambil langkah terbesar dalam hidupnya.Melamar Tasya.Setelah berbicara dengan kedua orang tua Tasya beberapa hari lalu, dia semakin yakin bahwa ini adalah keputusan yang tepat. Dia tidak ingin menunggu lebih lama lagi. Dia mencintai Tasya, dan dia ingin menghabiskan sisa hidupnya bersamanya.Jerry telah merencanakan semuanya dengan matang. Dia ingin momen ini menjadi sesuatu yang Tasya kenang selamanya. Dia memilih restoran rooftop eksklusif dengan pemandangan kota yang indah di malam hari.Di sana, dia sudah menyiapkan dekorasi dengan lilin-lilin kecil, kelopak bunga mawar, dan musik romantis yang akan mengiringi makan malam mereka.Tidak hanya itu, Jerry juga meminta bantuan sahabat-sahabat Tasya untuk memastikan semuanya berjalan lancar. Sahabat terbaik Tasya, Rina dan Dita
Malam itu, Jerry duduk di dalam mobilnya, menatap ponselnya dengan ragu. Jarinya berulang kali melayang di atas nama Tasya, tetapi ia tidak juga menekan tombol panggil.Setelah percakapan dengan Rian, pikirannya semakin kacau. Dia ingin berbicara dengan Tasya, ingin meyakinkan bahwa perasaannya tulus. Namun, dia juga tidak ingin membuat perempuan itu semakin menjauh.Akhirnya, dengan tekad yang sudah bulat, Jerry keluar dari mobilnya dan berjalan menuju rumah sakit tempat Tasya bekerja. Dia tahu jam kerja perempuan itu hampir selesai. Jika dia ingin bicara, ini adalah kesempatan terbaiknya.Saat ia sampai di lobi rumah sakit, matanya segera menangkap sosok Tasya yang sedang berbicara dengan seorang pria berseragam dokter. Jerry mengenali pria itu, dokter Alex, rekan kerja Tasya yang pernah beberapa kali ia dengar namanya disebut dalam percakapan mereka.Ada sesuatu dalam cara Tasya tertawa kecil yang membuat Jerry merasa gelisah. Itu adalah tawa yang dulu sering ia d
Beberapa hari berlalu sejak percakapan itu, dan Jerry mulai menyadari sesuatu yang aneh. Tasya tidak lagi menghubunginya seperti sebelumnya. Tidak ada pesan singkat menanyakan kabarnya, tidak ada ajakan makan siang atau sekadar berbagi cerita.Jika biasanya Tasya selalu hadir dengan senyumannya yang hangat, kini dia seakan menghilang begitu saja.Awalnya, Jerry berpikir bahwa Tasya hanya sibuk dengan pekerjaannya di rumah sakit. Tapi ketika dia mencoba menghubunginya, hanya balasan singkat yang ia dapatkan, atau bahkan pesan yang tidak pernah dibalas sama sekali.Rasa penasaran mulai mengusik Jerry. Ada sesuatu yang terjadi, dan dia ingin tahu alasannya. Sore itu, dia memutuskan untuk menunggu di luar rumah sakit tempat Tasya bekerja.Setelah beberapa jam berlalu, akhirnya dia melihat sosok perempuan itu keluar dari gedung dengan wajah lelah. Tasya tampak terkejut ketika melihat Jerry berdiri di sana.“Tasya,” panggil Jerry pelan.Tasya menghentikan langkahny
Hari-hari berlalu sejak Jerry membantu Tasya mendapatkan pekerjaan di rumah sakit. Semakin sering mereka bertemu, semakin banyak pula percakapan yang mereka bagi.Jerry, yang biasanya tertutup, mulai menemukan kenyamanan dalam keberadaan Tasya. Sementara itu, Tasya juga merasakan sesuatu yang berbeda saat berbicara dengan Jerry.Suatu sore setelah jam kerja, Tasya sedang membereskan berkas-berkas pasien di meja resepsionis. Jerry, yang kebetulan baru menyelesaikan pertemuan dengan direktur rumah sakit, melihat Tasya yang terlihat lelah."Masih sibuk?" tanya Jerry sambil menyandarkan tangannya di meja.Tasya menoleh dan tersenyum tipis. "Iya, harus menyelesaikan ini dulu sebelum pulang. Kamu sendiri, kenapa masih di sini?"Jerry mengangkat bahunya. "Menunggu seseorang," jawabnya santai."Menunggu siapa?" Tasya bertanya sambil melirik jam tangannya. Rumah sakit sudah mulai sepi, hanya tersisa beberapa staf yang juga bersiap untuk pulang.Jerry tersenyum kec
Jerry melangkah memasuki supermarket dengan langkah santai. Acara pernikahan Lena dan Sandi tadi cukup melelahkan, dan sekarang ia hanya ingin membeli minuman dingin untuk menyegarkan pikirannya.Setelah mengambil sebotol air mineral dari lemari pendingin, ia beranjak ke kasir. Saat itu, matanya menangkap sosok seorang wanita yang sedang sibuk merapikan barang di rak dekat kasir.Rambut panjangnya diikat ke belakang, dan ia mengenakan seragam pegawai supermarket berwarna hijau. Ketika wanita itu berbalik, mata mereka bertemu, dan keduanya terdiam."Tasya?" Jerry mengernyit, mencoba memastikan bahwa penglihatannya tidak salah.Wanita itu pun terkejut, lalu tersenyum setelah memastikan siapa yang berdiri di hadapannya. "Jerry? Ya ampun, lama sekali kita tidak bertemu!" serunya dengan nada antusias.Jerry mengangguk pelan, masih memproses fakta bahwa ia bertemu dengan teman Zara di masa lalu. "Sudah lama sekali. Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini."
Rian tiba-tiba saja berjongkok di hadapan istrinya, mengeluarkan sebuah kotak dari sakunya. Dia mengungkapkan cintanya, melamar Zara lagi. Dia bilang, mungkin dulu mereka menikah karena paksaan dan Rian hanyalah peran pengganti Jerry. Namun, sekarang Rian ingin hidup bersama dengan Zara, saling mencintai.Zara menatap Rian dengan mata berkaca-kaca. Dadanya bergemuruh, campuran antara keterkejutan dan kebahagiaan yang tak bisa dijelaskan. "Rian..." suaranya hampir tak terdengar.Rian membuka kotak kecil itu, menampilkan cincin berlian yang berkilauan di bawah cahaya lampu taman mereka. "Zara, aku ingin kita memulai kembali. Kali ini, bukan karena keadaan atau paksaan. Aku ingin menikahimu lagi, dengan sepenuh hati dan dengan rasa cinta yang tak terbantahkan."Zara menutup mulutnya, air mata mulai mengalir. Hatinya berdesir hangat mendengar pengakuan itu. Sejak dulu, ia selalu mempertanyakan bagaimana perasaan Rian sebenarnya. Apakah ia hanya menjadi bayanga
Hari itu, suasana di Hendrawan Group terasa berbeda. Para karyawan berbisik-bisik sejak pagi, membicarakan satu hal yang menjadi pusat perhatian mereka. Kembalinya Jerry Hendrawan sedang menjadi topik hangat. Setelah empat tahun berlalu, nama Jerry kembali menggema di dalam gedung perusahaan.Sejak kepergiannya, banyak hal telah berubah. Rian, yang selama ini mengelola perusahaan, sudah menyiapkan semuanya. Ia tidak ingin ada kekacauan atau ketidakjelasan dalam transisi ini. Bagaimanapun, Jerry adalah pemilik sah Hendrawan Group, dan Rian tahu saatnya sudah tiba untuk mengembalikan hak tersebut.Saat Jerry memasuki gedung, semua mata tertuju padanya. Pria itu mengenakan setelan hitam dengan kemeja putih bersih, langkahnya tegas dan penuh percaya diri. Tidak ada lagi bayangan pria yang dulu penuh kemarahan dan dendam. Wajahnya terlihat lebih matang, lebih tenang, meskipun masih menyimpan ketegasan yang khas.Ketika lift membawanya ke lantai eksekutif, sekretaris Rian sege
Zara melangkah memasuki rumah sakit dengan perasaan campur aduk. Setelah sekian lama absen dari dunia medis, hari ini adalah hari pertamanya kembali bertugas sebagai dokter.Meskipun ia sudah terbiasa membantu Rian di perusahaan, dunia rumah sakit adalah tempat di mana hatinya benar-benar berada. Perasaan nostalgia langsung menyergapnya begitu ia melewati koridor yang dulu sangat akrab baginya."Selamat datang kembali, Dokter Zara," sapa salah satu perawat yang dikenalnya, Rina, dengan senyum ramah.Zara membalas dengan anggukan hangat. "Terima kasih, Rina. Bagaimana keadaan di sini? Apa ada perubahan besar selama aku pergi?"Rina tertawa kecil. "Tidak banyak, hanya saja kami kehilangan seorang dokter yang sangat berdedikasi. Sekarang, kami senang karena dokter itu kembali."Zara tersenyum, lalu melanjutkan langkahnya menuju ruang ganti. Ia mengenakan jas putihnya dengan perasaan familiar yang menyenangkan. Setelah merapikan rambutnya, ia menuju ruang rapat untuk